IMAN DAN ISLAM SERTA IHSAN SEBAGAI TOLERANSI DI JALAN RAYA
Islam, Iman, dan Tertib Lalu Lintas
Agaknya, kalau perlu diberikan peringkat, cara yang jitu untuk mengukur derajat keberimanan seseorang itu adalah di jalan raya. Ketika berkendara di jalan raya, orang-orang akan tampil apa adanya. Tidak ada tipu-tipu di sana, tidak seperti di atas panggung, lebih-lebih di depan kamera, di televisi. Di media sosial, misalnya, orang bisa tampak alim, tapi begitu paket datanya habis, ia mendadak bingung jika ilmunya Googlelial.
Melihat tingginya kecelakaan lalu lintas, wabil khusus Indonesia, pemerintah lalu menetapkan tahun 2017 sebagai tahun keselamatan berlalu lintas. Ini merupakan pertanda bahwa kesemrawutan dan keserampangan masyarakat di jalanan melampai batas. Tapi, bagaimana data-data kecelakaan di tahun 2018? Data resminya, saya tidak tahu.
Faktanya, kesemrawutan tetap terjadi di mana-mana. Kecelakaan, atau situasi yang nyaris-nyaris mengarah pada kecelakaan, nyaris saya saksikan setiap hari.
Di Indonesia, kecelakaan (lalu lintas) masuk 10 peringkat ‘pembunuh’ yang berdarah dingin. Bukankah ini ngeri sekaligus memalukan? Keselamatan itu, pada dasarnya, dapat diupayakan.
Yang bikin malu, mengapa itu terjadi di negara yang muslimnya sangat banyak, bahkan dominan: mengaku Islam tapi kelakuannya begitu? Padahal, kita tahu, Islam sangat rinci dalam mengatur segala aspek kehidupan umatnya, dari doa masuk jamban hingga cara makan dan minum, begitu pula dengan akhlak, termasuk di jalan. Sekadar ‘pemanasan’ di esai yang pendek ini, kita sebut dulu tiga butir terkait hal ini:
Pertama, larangan mengganggu dan merintangi jalan. Dalam Surah Al-A’raf ayat 86 (وَلَا تَقْعُدُوا بِكُلِّ صِرَاطٍ تُوعِدُونَ وَتَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِهِ وَتَبْغُونَهَا عِوَجًا ) dengan jelas Allah melarangnya.
Meskipun ayat ini mengacu kepada umat Nabi Syuaib, tapi semangatnya tetap berlaku untuk zaman sekarang. Pengertian mengganggu dapat dikembangkan untuk berbagai bentuk, mulai nongkrong (sambil mengusili orang yang melintas), hingga membegal pelintas jalan.
Kedua, anjuran untuk memberikan kemudahan bagi pelalu lintas. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi bersabda: “الإيمان بضع و سبعون اوبضع وستون شعبة فأفضلها قول لا اله إلا الله وأدناها إماطة الأذى عن الطريق , والحياء شعبة من الإيمان”
Tema hadis ini adalah pemeringkatan iman. Yang tertinggi adalah ucapan tahlil (La ilaha illallah) dan yang paling rendah adalah “menyingkirkan aral dari tengah jalan”. Namun, amanat di dalamnya adalah karsa untuk memudahkan orang saat melintas di jalanan.
Menyadari bahwa pekerjaan remeh ini—yakni “hanya” menyingkirkan sandungan yang ada di jalan—dapat menjadi indikator keimanan, mestinya membuat kita malu jika tidak berjiwa besar untuk mengalah, lebih-lebih malah mau menang sendiri. Kenyataannya, rendahnya sikap mau mengalah (di jalan raya) menjadi pemantik terjadinya kecelakaan.
Ketiga, “Ada ‘CCTV’ di mana-mana!”, inilah konsep puncaknya. Hadis masyhur riwayat Syd. Muadz bin Jabal yang berbunyi “اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحسنةَ تَمْحُهَا، وخَالقِ النَّاسَ بخُلُقٍ حَسَنٍ” adalah kata kunci utama keberimanan. Ketika kita mengaku mukmin, pada saat itulah kita harus awas dan sadar bahwa Allah selalu memantau gerak-gerik manusia, bahwa hingga suara hati kita. Intermalisasi semangat hadis ini akan membuat manusia senantiasa beriman dalam kondisi apa pun, di mana pun.
Mengapa di supermarket jarang terjadi pencurian oleh pembeli? Mengapa di perempatan kota yang dijaga oleh petugas nyaris tak ada yang melanggar? Alasannya adalah “karena ada yang memantau dan mereka itu ‘ada’ serta ‘kelihatan’!
Sementara Allah, meskipun diyakini Ada, tapi karena tidak kelihatan oleh mata telanjang, maka manusia pun mudah lupa, atau melupakan, atau pura-pura lupa, sehingga mereka tidak malu untuk melanggar syariat-Nya. Hilangnya kesadaran ini membuat iman seseorang melorot ke tingkat terendah.
Demikian pula dengan pelanggaran di jalan raya. Terkadang, yang melakukannya itu adalah seorang muslim yang taat dalam ibadah dan rajin dalam hal shalat. Kok bisa?
Salah satunya penyebabnya adalah adanya pemahaman bahwa menaati aturan lalu lintas itu bukanlah bagian dari ketaatan dalam menjalankan syariah, padahal aturan ini merupakan wilayah ulil amri (pemerintah; melalui Dishub dan Polantas) yang harus ditaati selama tidak menganjurkan kemaksiatan.
Andaipun kita mau tetap menolak tunduk dengan hujah yang lain, bukankah sudah cukup alasan untuk tertib dengan mengakui keberadaan kita sebagai manusia yang harus menghargai sesamanya?
Di negara-negara maju, di Eropa misalnya, masyarakatnya tertib, termasuk di jalan raya, padahal mereka—anggap saja sebagiannya—justru ateis atau sekuler.
Mereka tertib karena taat kepada aturan yang dikondisikan oleh sistem, etiket, lingkungan, dan hal itu butuh proses sangat lama. Adapun masyarakat Indonesia (yang kebanyakan muslim) mestinya lebih disiplin lagi karena ketaatan mereka itu berada di bawah naungan keimanan.
Sekarang, di lampu-lampu APILL di perempatan jalan kota, sudah dipasangi CCTV. Pelanggaran pasti berkurang jika ancaman dendanya benar-benar dijalankan.
Tapi, masa iya kita mau taat hanya karena takut terhadap kamera CCTV artifisial yang dipasang itu? Bukankah kita jauh akan lebih terhormat sebagai mukmin jika takut terhadap ‘CCTV’ yang tepasang di setiap hati sanubari kita semua dan ia dipantau langsung oleh Allah Swt?
Sepanjang Apakah Toleransi dan Keadaban Kita di Jalan Raya?
Sejak belia, bermula dari jalanan yang paling dekat di keseharian, orang-orang berani menadah konflik sekaligus harmoni. Jalan mengambil peran sebagai pengasuh dan pengasah cara beretika atau bersikap. Akhir-akhir ini, kita sering mendapati jalanan kampung berbenar menjadi lebih ramah.
Warga kampung ingin berdaulat bahwa jalan kampung memiliki cara menjadi toleran dengan gayanya, tidak hanya jalan-jalan kota yang berdaulat dengan segala tata rambunya.
Ada yang menggambari jalan kampung dengan gambar dua dan tiga dimensi berupa jembatan di atas jurang atau kubangan besar yang misterius. Gambar tiga dimensi ini segera menarik perhatian sekaligus sewaktu-waktu bisa menginsafkan para pengendara yang mengebut. Psikologi mereka “dipermainkan” oleh jurang yang tampak nyata. Gambar di jalan tegas berkata, “berhati-hatilah!” Kata lebih tegas dari plakat, “Hati-hati banyak anak-anak!”
Di jalanan, orangtua dan anak tidak merasakan ancaman yang membahayakan jiwa serta raga. Tidak ada hal yang perlu ditakutkan dari jalan. Anak secara tidak langsung menjadi pembelajar tentang di jalan, bukan hanya pembelajar cara berjalan.
Kita sering merasakan kekhawatiran sejak jalanan kampung yang kecil sekalipun. Anak-anak sekolah dasar sudah dibiarkan menaiki sepeda motor dan memang sengaja diajari sebelum penempaan etika berjalan dalam diri.
Mereka cenderung tergoda menjadi superior sebagai pengguna jalan karena berada di atas kendaraan bermesin; ngebut, ngetril, atau mengeraskan suara mesin. Orangtua terlalu menyepelekan.
Baca juga: Ini Cara Hasan dan Husain Ingatkan Kesalahan Seseorang
Pengguna jalan tanpa kendaraan dan kaum bersepeda menjadi pihak yang harus selalu mengalah dan dikalahkan. Jalan gagal mengabarkan keberadilan lewat rutinitas harian yang pasti menggunakan jalan.
Jalan dibangun bukan saja sebagai infrastruktur yang melancarkan mobilitas. Pihak kepolisian dipastikan tidak hanya mengurusi keperluan SIM yang melegalkan seseorang dewasa berkendara dan menggunakan jalan raya.
Selain anjuran berhati-hati di jalan dari orangtua dan guru, pihak kepolisian melengkapi dengan safari keselamatan di pelbagai institusi pendidikan kanak. Aneka permainan, alat transportasi mini, ataupun adegan rekonstruksi di jalan diperagakan dan dipermainan. Anak-anak diharap menjadi para calon pengguna jalan yang bijak, dari menaati peraturan, mengenali rambu, dan saling berbagi dengan sesama pengguna.
Majalah anak Si Kuncung edisi No.8 (XVII, 1974) pernah memuat tulisan “Polantas Cilik” oleh Syaiful Bakhri, Padang. Sekilas dari ilustrator garapan Timboel Soedradjat, tampak lima anak sedang berada di jalan untuk menjadi pembelajar jalan. Di sana juga ada Polisi Lalu Lintas yang diceritakan, “Terlihat polisi itu cekatan. Enak saja tangannya melambai dan mengacung, memberhentikan kendaraan serta menyuruh kendaraan dari jurusan lain berjalan.”
Giliran lima anak, Rusli, Tono, Ati, Sri, dan Budi menyimak dan mempraktekkan. “Anak-anak itu memperhatikan dengan seksama. Tampak tangan Polisi itu yang satu diacungkan ke muka dan yang satunya lagi membuat sudut siku. Lalu, ia memutar lagi ke kanan. Peluit sekali-kali berbunyi tanda berhati-hati.”
Calon-calon polantas cilik beraksi di jalan untuk menggenapi pengetahuan dari buku-buku. Mereka belajar betapa berbahaya jalan tanpa pesan keselamatan yang disepakati bersama demi aman bersama.
Mereduksi Konflik
Di buku pelajaran lawas atau mutakhir, kita mendapati bagaimana kota dinarasikan lewat jalan. Bangunan, jalan, keramaian orang-orang, dan alat-alat transportasi menjadi penglihatan modern dan megah.
Kita cerap di buku bacaan anak lawas berjudul Titian (1950) garapan R.M. Djamain dan gambar oleh Sajuti Karim. Ada tulisan berjudul “Di kota” yang bercerita,
“Bagus-bagus rumah di kota. Lagi pula besar-besar. Djalannya lebar-lebar. Banjak oto jang bagus-bagus. Ada jang ketjil, ada jang besar. Mereka lalu dimuka toko. Sebentar-sebentar mereka berhenti hendak melihat-lihat. Banjak jang gandjil-gandjil!”
Ali, si tokoh anak dalam cerita begitu terpukau dengan keramaian. Meski tidak diceritakan secara tersurat, keberadaan jalan memberikan kesadaran jalan sebagai wilayah publik yang tidak bisa dihadapi dengan kesewenangan atau kesembronoan. Aturan berlaku untuk mereduksi konflik sosial, ekonomi, politik, dan fisik serta jiwa.
Secara moral, anak-anak yang salah waktu dan sikap di jalan mendapat stigma buruk. Kita tentu sering melihat jalan sebagai gaung kebebasan anak-anak berseragam untuk mbolos, konvoi, mengebut, atau melakukan aksi vandalisme.
Perlawanan di jalan bisa saja menjadi pelampisan frustrasi menghadapi rutinitas di sekolah ataupun di jalan. Sangat mungkin juga bahwa anak-anak ini memang lebih dulu mendapati gaya hidup ugalan pengendara dewasa: menyerobot lampu merah, berkonvoi, menerabas trotoar, dan pastinya mengebut.
Dari jalan, anak bertumbuh menjadi manusia bertoleransi atau memilih egoistik yang merusak atau mengganggu. Bukan hanya rambu-rambu keselamatan atau polisi memberikan jaminan selamat, tapi para pengendara sekaligus peristiwanya menjadi percontohan nan hidup bagi banyak bocah.
Bagi kota yang menggaungkan jargon “Kota Ramah Anak”, harus benar-benar memikirkan jalan tidak hanya sebagai jalur melenggangkan keangkuhan mesin-mesin modernitas. Kita tidak ingin anak hanya melihat jalan sebagai biang kematian, kecelakaan, kemacetan, tindak intoleran, dan waktu yang melenggang sia-sia.
Dari jalan kampung sampai jalan kota raya, mereka berjalan berdemokrasi, bertoleransi kepada sesama, dan saling berbagi. Jalan bukan sekadar infrastruktur penting bagi negara untuk melancarkan kepentingan politik, ibadah, ekonomi, sosial, dan pariwisata.
Di jalanlah –bukan hanya di kantor yang bersih, di meja rapat yang berwibawa, di masjid, di klenteng, di gereja, di pure atau tempat ibadah lainnya– setiap orang disemai menjadi manusia beradab.