KHOTMUL AULIYA SEBAGAI PEWARIS UTAMA KHOTMUL ANBIYA SECARA KHUSUS DAN KAFFAH
Pengertian Wali Khatam
AL KHATMUL AULIYA’ ADALAH PEWARIS UTAMA KHATMUL ANBIYA’ SECARA KHUSUS DAN KAFFAH
Rasulullah SAW bersabda:
اَلعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ لَمْ يَرِثوُا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، وَإِنَّماَ وَرَثوُا العِلْمَ وَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَهُ بِحَظٍّ وَاِفرٍ. (رواه البخاري)
“Al Ulama’ adalah pewaris para Nabi, mereka tidak mewariskan dinar dan dirham (harta kekayaan), dan mereka semata mata hanya mewariskan ilmu, dan barangsiapa yang mengambilnya, maka ia mengambil ilmu itu dengan keberuntungan yang banyak sekali”. (HR. Bukhari)
Dalam hadits diatas, sangat jelas bahwa para ulama yakni para wali (dalam pengertian ini) adalah pewaris para Nabi. Yang dimaksud para Nabi disini jelas bukan hanya Nabi Muhammad SAW, tapi semua Nabi sejak zaman Nabi Adam as sampai dengan Nabi Muhammad SAW.
Oleh karena itu kalau kita mau awas / teliti dalam melihat fenomena ini, maka akan jelas terlihat bahwa terdapat persamaan dan kemiripan antara manaqib (biografi) seorang wali dengan sejarah salah satu Nabi, baik dari kemiripan rupa, sosok ketegapan tubuh, nama, sifat sifat secara khusus, karomah dengan mukjizatnya dan lain sebagainya.
Sebagai contoh, dalam manaqib Sayyidi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, diceriterakan bahwa pada suatu hari ketika beliau makan, terdapat salah satu menu yang mengundang selera yaitu masakan seekor ayam. Pada saat itu datang tamu yaitu orang tua salah satu santrinya. Melihat lezatnya dan mutu makanan yang dimakan oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani ra, tamu tersebut ingat anaknya dan jenis serta mutu makanan yang dimakan anaknya di pondok pesentren Syeikh Abdul Qadir ra. Dalam hati orang tersebut timbul perasaan iri, karena para murid makan makanan sangat sederhana sementara gurunya makan makanan lezat, bergizi dan bermutu tinggi.
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tahu apa yang tersirat dihati tamunya. Begitu selesai makan, maka beliau pandang tulang belulang ayam yang masih teronggok diatas meja makannya. Lalu beliau tunjuk seraya berkata : “Bangunlah (wahai ayam) atas izin Allah SWT!!!”, seketika itu juga ayam tersebut kembali utuh dan hidup kembali sebagaimana sediakala. Karomah ini sama dengan mu’jizat Nabi Musa yang menghidupkan kembali orang yang sudah mati dengan memukulkan lidah sapi betina pada mayat itu.
Disini bisa kita renungkan, Nabi Musa menghidupkan kembali orang mati (mayat itu masih dalam keadaan utuh) dengan cara memukulkan lidah sapi betina ke tubuh mayat tersebut, dan orang itu hidup kembali atas izin Allah SWT. Sedangkan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ra bisa menghidupkan kembali tulang belulang tanpa daging, tanpa perantara alat apapun. Cukup dia berkata “Bangunlah kamu atas izin Allah SWT !!!” maka hiduplah ia kembali dan bangun seperti dalam keadaan semula. Subhanallah… inilah salah satu karomah ummat terbaik dari nabi terbaik junjungan kita Nabi Muhaamd SAW, karomahnya lebih tinggi dari mu’jizat para nabi terdahulu.
Sebenarnya masih banyak kisah karomah para wali yang sama persis dan mirip dengan mu’jizat para Nabi sebelum Rasulullah SAW. Demikian juga banyak bukti ikhtiyar dan mujahadah mereka serta ujian para Wali untuk mencapai puncak kedudukan disisi Allah SWT. Diantaranya ada yang mirip Nabi Ayyub as, dia mengalami ujian kena penyakit lepra dan dikucilkan manusia, tapi justru dia merasakan nikmatnya sendiri bersama Allah SWT. Intinya kejadian kejadian tersebut adalah bukti nyata yang menjelaskan kebenaran Hadits Nabi Muhammad SAW bahwa PARA WALI adalah pewaris PARA NABI. Bukan pewaris Nabi Muhammad SAW secara khusus. Lalu siapakan pewaris tunggal Khatmul Anbiya wal Mursalin Nabi Muhammad SAW ? untuk itu mari kita dalami secara khusus siapakah Al Khatmul Auliya’ yang menjadi pewaris khusus Al Khatmul Anbiya’ tersebut.
Sebelum kita melangkah lebih jauh, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini:
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُونَ (النحل: 34)
“Bertanyalah kalian kepada “Ahla Adz Dzikri” jika kamu tidak tahu”. (QS. An Nahl:43)
Khitab (orang yang dituju) dan dimaksud dalam ayat ini sebenarnya ahlul kitab yaitu Yahudi dan Kresten. Tapi konteks kejadiannya adalah ketidak percayaan orang arab Mekkah atas diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul bagi mereka. Anggapan mereka Rasul itu seharusnya bukan manusia tapi malaikat, oleh karena itu Allah SWT menyuruh mereka (Orang Arab Mekkah) untuk bertanya kepada orang orang Yahudi dan Kresten yang jujur tentang Nabi dan Rasul yang diutus pada mereka. Apakah manusia atau malaikat?…
Berbicara untuk membahas kenabian, sebenarnya jauh lebih sulit dan pelik dari pada berbicara masalah ketuhanan, jauh lebih sulit dan pelik lagi jika berbicara masalah kewalian. Ada sekelompok manusia percaya adanya tuhan tapi tidak percaya adanya nabi dan rasul, ada juga percaya adanya tuhan dan Nabi serta rasul tapi tidak percaya adanya wali. Hal ini terjadi karena tendensi manusiawi mereka atau disebabkan karena keterbatasan informasi, karena ilmu yang membahas masalah kewalian ini tergolong khusus dan tidak semua orang tahu.
Oleh karena terbatasnya pengetahuan kita dan terbatas pula informasi dan kitab rujukan kita, maka dalam pembahasan masalah kewalian ini mari kita berhusnudz dzanni untuk mengambil pendapat dan informasi dari para ulama yang kredible, tetapi tetap merujuk pada acuan utama kita terhadap Al Qur’an dan Sunnah Nabawiyah. Demikian juga pembahasan kita tentang Al Khatmul Wilayah Al Muhammadiyah Al Khaashah, kami kemukakan keterangan para ulama dan auliya’ yang jelas dan kredible dengan tetap mengacu pada Al Qur’an dan Sunnah. dalam kitab jawahirul Ma’ani Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijany RA. menyatakan :
وَلَناَقَاعِدَةٌ وَاحِدَةٌ عَنْهَا تُنْبِئُ جَمِيعُ الأُصُولِ: أَنَّهُ لاَحُكْمَ إِلاَّ للهِ وَرَسُولِهِ، وَلاَعِبْرَةَ فِي الحُكْمِ إِلاَّ بِقَولِ اللهِ وَقَوْلِ رَسُولِهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ،وَأَنَّ أَقَاوِيلَ العُلَمَاءِ كُلَّهَا بَاطِلَةٌ إِلاَّ مَاكَانَ مُستَنِدًا لِقَولِ اللهِ أَوقَولِ رَسُولِهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَكُلُّ قَولٍ لِعَالِمٍ لاَ مُستَنِدً لَهُ مِنَ القُرأَنِ وَلاَمِنْ قَولِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ بَاطِلٌ وَكُلُّ قَولَةٍ لِعَالِمٍ جَاءَتْ مُخَالِفَةٌ لِصَرِيحِ القُرأَنِ الْمُحْكَمِ أَولِصَرِيْحِ قَولِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَحَرَامُ الفَتوَى بِهَا وَإِنْ دَخَلَتْ فِى كُتُبِ الفِقْهِ، لِأَنَّ الفَتْوَى بِالقَوْلِ الْمُخَالِفِ لِنَصِّ القُرْأَنِ أَوِالحَدِيْثِ كُفْرٌصَرِيْحٌ مَعَ العِلْمِ بِهِ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ”وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ” وَقَالَ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ “مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهٌ فَهُوَ رَادٌّ”. (جواهر المعاني وبلوغ الأماني: 2/ 195-196)
Dan kami hanya punya satu pedoman / qoidah sebagai dasar dari semua usul. Bahwasanya tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allah Swt. dan Rasulnya Saw. bahwasanya tidak ada ibarat dalam hukum kecuali firman Allah Swt. dan sabda Rasulullah Saw. Bahwasanya semua pendapat Ulama itu Batal (ditolak) kecuali berlandaskan Al Qur’an dan Al Hadits. Semua perkataan orang berilmu batal kecuali berlandaskan Al Qur’an dan Al Hadits, dan tiap-tiap pendapat orang berilmu yang bertentangan dengan Al Aqur’an yang shorih dan muhkam dan bertentangan pula dengan Hadits yang shohih, maka haram di fatwakan, walaupun pendapat tersebut dimasukkan dalam kitab kitab Fiqh. Karena fatwa yang diucapkan dengan sadar dan tahu kalau hal tersebut menyalahi Nas Al Qur an dan Hadits, maka itu (salah satu bentuk) kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman; ”Barangsiapa yang tidah bertahkim dengan apa yang diturunkan Allah ( Al Quran) maka mereka adalah orang orang kafir”. Dan Sabda Rasulullah SAW; “Barangsiapa yang mengada ada ( hal yang baru) dalam urusan kami ini (Agama Islam), sedangkan hal tersebut tidak ada dalam Islam, maka hal tersebut ditolak.” – (Jawahirul ma’ani : 2/195-196)
Lebih jauh dan tegas lagi, Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijani ra menyatakan:
إِذَا سَمِعْتُم عَنِّى شَيْئًا فَزِنُوهُ بِمِيزَانِ الشَّرعِ فَإِنْ وَافَقَ فَاعْمَلُوا بِهِ فَإِنْ خَالَفَ فَاْترَكُوهُ (الإفادة الأحمدية: 13)
“Apabila kalian mendengar sesuatu dariku, maka timbanglah dengan neraca syariat Islam (Alquran dan Hadits), maka jika sesuai (dengan syariah) kerjakanlah dan jika menyimpang tinggalkanlah“(Al Ifaadatul Ahmadiyyah:13).
- Al Khatmul Auliya’ adalah seorang Wali besar yang mencapai maqam Al Katmu (Al Quthbul Maktum).
Kalau kita mencari istillah Al Khatmul Auliya’, Al Quthbu Al Maktum dalam kitab kitab tasawwuf seperti Ihya’ Ulumuddin, Al Hikam, Jami’ul Usul fil Auliya’ dan kitab kitab lain, mungkin tidak ada. Karena wali yang mampu membahas maqam ini secara khusus dan tuntas hanyalah mereka yang berada pada level tingkat atas saja. Diantara Wali yang mengungkap masalah ini secara panjang lebar adalah As Syeikh Muhyiddin Ibnul Arabi Alhaatimy. Beliau seorang ulama dan wali besar pada zamannya yang sangat produktif dan banyak menulis kitab dalam berbagai disiplin ilmu lebih dari 200 judul, beliau wafat pada tahun 638 H (awal abad ke 7).
Diantara kitab yang beliau tulis berjudul “Al futuuhatul Makiyah” yang terdiri dari 20 jilid. Didalam kitab tersebut beliau membahas cukup jelas tentang khatmul Auliya’ dengan sifat sifat dan berbagai tanda tanda khususi lainnya. Kemudian beliau menulis lagi kitab yang diberi judul: “Anqaa-u Maghrib fii Khatmil Awliya-i wa Syamsil Maghrib”. Inti dari bahasan beliau dalam kitab ini adalah penjelasan tentang khatmul Auliya’, diantara ciri cirri khatmul Auliya’ yaitu: Munculnya di Maghrib (saat ini bernama Maroko) dan mendapatkan cobaan berat diingkari banyak orang.
Wali lain yang membahas khatmul Auliya sebelum Syeikh Ibnul ‘Arabi adalah Ash Shufi Al Kabiir Muhammad bin Ali Al Hakim At Turmudzi (wafat pada tahun 255H) pertengahan abad ke 3 hijriyah. Salah satu kitab yang beliau tulis berjudul Khatmul Auliya’.
Dalam kitab tersebut beliau menjelaskan makna Al Khatmul Auliya’ itu ada tiga macam.
- Al Khatmul Auliya’ adalah seorang wali yang menjadi puncak atau penutup pangkat para wali pada zamannya masing masing, kalangan sufi ada yang menyebutnya sebagai Quthbu Az Zaman atau Shahibul Waqti. Dimana pada setiap zaman terdapat seorang Wali Quthub yang menjadi pusat rujukan seluruh auliya’ pada zaman tersebut, dialah penyandang mahkota puncak kewalian pada zamannya, yang menjadi penutup pangkat (pemegang pangkat tertinggi) dan dari dialah mengalir seluruh karunia Allah atas seluruh mahluk. Khatmul Auliya’ jenis ini hanya ada satu dalam setiap zaman dan jika ia wafat maka Allah memilih orang lain sebagai penggantinya.
- Al Khatmul Auliya’ Al ‘Ammah (penutup para wali secara umum) yang hidup di akhir zaman. Dia hanya satu tidak ada duanya yaitu Nabi Isa bin Maryam as, yang akan turun di akhir zaman sebagai wali dari ummat Nabi Muhammad SAW. Dimana jika beliau wafat maka tidak ada wali lagi yang hidup setelahnya, maka dengan demikian ahlak ummat manusia akan mencapai puncak kerusakan yang menyebabkan terjadinya kiamat kubra.
- Al Khatmul Auliya’ Al Muhammadiyyah Al Khashshah. Adalah seorang wali quthub yang memegang mahkota puncak pangkat kewalian yang menjadi rujukan seluruh auliya’ sejak zaman Nabi Adam as sampai hari kiamat. Dari beliaulah memancar mata air ilmu kewalian yang dinikmati oleh para wali sejak zaman nabi Adam as sampai kiamat baik mereka sadar atau tanpa sadar. Beliau adalah Barzahul Barazaah atau Al Barzahul mahtum wal maktum yang menjadi garis pemisah (hijab) terakhir dan sangat dirahasiakan antara posisi para nabi dengan seluruh auliya’ dan mahluk semuanya.
Pembahasan Al Khatmul Auliya’ Al Muhammadiyyah Al Khaashshah inilah yang menjadi konsumsi pembahasan para wali besar sejak zaman dulu sampai saat ini. Mengingat masalah ini adalah masalah super khusus dan sangat rahasia maka dalam membahas masalah ini lebih lanjut maka kami akan mengutip berbagai pernyataan para tokoh yang memang berkompeten di bidang tersebut dan para ulama khas dan khasul khas membenarkannya. Oleh karena itu pada tatanan bahasan ini kita menggunakan mitode ‘undzur man qaala’ (melihat dan menilai siapa yang bicara). Karena yang bicara adalah orang yang berhak maka kita wajib taslim (menerima) dengan husnu dzan.
- Pengertian Al Katam (Al Quthbu Al Maktum).
Al Katam artinya tersembunyi atau dirahasiakan. Al Quthbul Maktum artinya Wali Quthub yang di rahasiakan. Dan untuk mengetahui lebih detail, mari kita telaah pernyataan Sayyidi Syeikh Al Quthbul Maktum Ahmad bin Muhammad At Tijani ra berikut ini:
فَقِيْلَ لَهُ وًمَا مَعْنَى الْمَكْتُومُ؟ فَقَالَ رَضِيَ اللهُ عَنهُ هُوَ الَّذِي كَتَمَهُ اللهُ تَعَالَى عَنْ جَمِيعِ خَلْقِهِ حَتَّى الْمَلاَئِكَةِ وَالنَّبِيِّينَ إِلاَّ سَيِّدُ الوُجُودِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ عَالِمٌ بِهِ وَبِحَالِهِ وَهُوَ الَّذِي حَازَ مَاعِنْدَ الأَولِيَاءِ مِنَ الكَمَالاَتِ الإِلَهِيَّةِ وَاحْتَوَى عَلَى جَمِيْعِهَا. (أقوى الأدلة والبراهين:40)
Maka ditanyakan kepadanya: dan apakah arti Al Maktum?.. Maka (Sayyidi Syeikh Ahmad At Tijani ra) menjawab: “Wali Al Maktum adalah wali yang dirahasiakan Allah dari semua mahluknya bahkan malaikat dan para nabipun (tidak tahu). Kecuali Sayyidul Wujud Rsulullah SAW, sesungguhnya beliau tahu kepadanya dan semua hal ihwalnya. Dialah wali yang menghimpun semua kesempurnaan sifat ilahiyah yang ada pada para wali dan menjadi penjaga bagi semuanya. (Aqwa Al Adillah wal Barahiin : 40).
Karena Wali Al Quthbul Maktum itu sangat dirahasiakan oleh Allah SWT, maka tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Sayyidul Wujud Rasulullah SAW. Oleh karena itu, ketika beliau lahir dan mendapat perintah untuk mengikrarkan jabatan dan martabat kewaliannya, maka timbullah beragam reaksi baik yang pro, kontra maupun yang bingung. Hal ini juga akibat tingginya ilmu dan asrarur rabbani yang beliau ceriterakan, sehingga para ‘arifiin yang tingkat tinggi sekalipun banyak yang tidak mengerti akibat terbatasnya daya jangkau akal dan dzauqiyah mereka. Sifat diingkari orang ini juga yang menjadi tanda tanda Al Katmu itu sendiri. Hal ini juga sudah diisyaratkan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an:
بَلْ كَذَّبُوا بِمَالَمْ يُحِيْطُوا بِعِلْمِهِ وَلَمَّا يَأتِهِمْ تَأوِيلُهُ (يونس:39)
“Bahkan mereka mendustakan terhadap apa yang mereka belum ketahui (dengan sempurna), padahal belum datang penjelasan pada mereka” (QS. Yunus:39).
Dalam satu kesempatan Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijani ra ditanya apakah beliau akan diingkari orang atau tidak, beliau menyatakan:
أَيَكْذِبُ عَلَيْكَ؟ قَالَ نَعَمْ، إِذَا سَمِعْتُمْ عَنِّى شَيئًا فَزِنُوهُ بِمِيزَانِ الشَّرعِ فَإِنْ وَافَقَ فَاعْمَلُوا بِهِ فَإِن خَالَفَ فَاترَكُوهُ (الافادة الأحمدية: 13)
“Apakah kamu akan didustakan / diingkari? Beliau menjawab: Ia, (oleh karena itu) Apabila kalian mendengar sesuatu dariku, maka timbanglah dengan neraca syariat Islam (Alquran dan Hadits), maka jika sesuai (dengan syariah) kerjakanlah dan jika menyimpang tinggalkanlah “. (Al Ifaadatul Ahmadiyyah:13).
- Kedudukan Al Katam (Al Quthbul Maktum).
Untuk mengetahui kedudukan Al Quthbu Al Maktum, penulis kutip penjelasan Sayyidi Syeikh Al Quthbul Maktum Ahmad bin Muhammad At Tijani ra dalam ktab Rimah sebagai berikut:
أَنَّ القُّطْبَ الْمَكْتُومِ هُوَالوَاسِطَةُ بَيْنَ الأَنْبِيَاءِ وَالأَولِيَاءِ, فَكُلُّ وَلِيِّ اللهِ تَعَالَى مِنْ كِبَرِ شَأنِهِ وَمِنْ صِغَرِ لاَيَتَلَقَّى فَيضًا مِنْ حَضَرَةٍ النَّبِيِّ إِلاَّ بِوَاسِطَتِهِ رَضِيَ اللهُ عَنهُ مِنْ حَيْثُ لاَيَشْعُرُ بِهِ وَمَدَدِهِ الخَّاصُ بِهِ.إِنَّماَ يَتَلَقَّاهُ مِنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَلاَ اَطْلاَعَ لِأَحَدٍ مِنَ الأَنبِيَاءِ عَلَيهِمُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى فَيْضِهِ الخَاصِ بِهِ لِأَنَّ لَهُ مَشْرَبًا مَعَهُمْ مِنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ. (رماح -ج :2 \ص:14)
Sesungguhnya Al Quthbul Maktum adalah wasithah (perantara) antara para Nabi dan para Auliya’. Maka seluruh Wali Allah baik yang berpangkat tinggi maupun yang rendah, tidak menerima limpahan karunia yang (mengalir) dari para nabi kecuali melalui wasithah (perantara) Al Quthbul Maktum radliyallaahu anhu itu dari arah yang tidak mereka sadari. Dan madad (pemberian karunia) khusus kepadanya hanya menerima (langsung) dari Sayyidul Wujud SAW. Dan tak seorang nabipun yang tahu terhadap limpahan khusus tersebut, karena untuk mereka (para Nabi) juga mempunyai sumber limpahan tersendiri dari Rasulullah SAW. (Rimah: juz 2 /14).
Dari penjelasan kitab Rimah tersebut diatas, tersimpul bahwa Wali Al Katam (Al Quthbul Maktum) adalah Wali tertinggi yang memegang kunci telaga ilmu kewalian yang bersumber dari telaga ilmu kenabian Rasulullah SAW. Dan dari telaga inilah mengalir ilmu kewalian menuju telaga telaga kecil maupun besar para auliya’ sejak zaman Nabi Adam as. sampai ahir zaman. Jadi orang yang menjabat Wali Katam (Al Quthbul Maktum) itu adalah Wali Khatam (Al Khatmul Auliya’). Sehingga dalam penyebutan lengkapnya adalah Al Khatmul Auliya’ Al Quthbul Maktuum (Wali Quthub penutup puncak pangkat para wali yang dirahasiakan).
Dalam banyak kitab disebut juga sebagai Al Khatmul Auliya’ Al Muhammadiyyah Al Khaashah (Penutup kewaliyan dari ummat Nabi Muhammad SAW yang khusus) maksudnya penutup puncak pangkat kewalian, sebagaimana pembagian khatmul auliya’ poin c yang dijelaskan oleh As Sufi Al Kabir Al Imam Muhammad bin Ali Al Hakim At Turmudzi tersebut pada halaman 110. oleh karena itu, jika urutan pangkat (martabat) kewaliyan tersebut disebut semua maka tersusunlah sebagai berikut: Al Quthbu Al Maktum wal Khatmu Al Auliya’ Al Muhammadiyyi Al Makluum artinya Wali Quthub yang dirahasiakan yang menjadi penutup (puncak martabat) kewaliyan dari Ummat Nabi Muhammad SAW yang sudah diketahui.
Menurut penjelasan Syeikh Muhyiddin Ibnu Al rabi Al Hatimi, kedudukan (martabat) Al Khatmul Auliya’ adalah sebagai berikut:
- Khatmul Auliya’ adalah Wali Allah tertinggi yang mendapat tugas kewaliyan sejak zaman azali (sebelum alam diciptakan) sampai akhir zaman, tapi kemunculan atau kelahirannya di dunia adalah tergolong akhir.
- Khatmul Auliya’ adalah Wali Allah yang menjadi pusat aliran karunia ilmu kewalian langsung dari Rasulullah SAW, (pemegang kunci telaga ilmu kewalian) dan dari dialah selanjutnya aliran ilmu itu memancar kepada semua Wali Allah sejak zaman Nabi Adam sampai kiamat.
- Khatmul Auliya’ adalah Wali Allah yang menjadi penutup martabat (pangkat) kewalian, dimana tidak ada lagi pangkat kewalian yang lebih tinggi lagi diatasnya kecuali pangkat kenabian.
- Khatmul Auliya’ adalah Wali Allah yang mempunyai ilmu, asror, nur, fuyudhat dan tajalliyat terbanyak dari semua wali yang ada di muka bumi dari zaman Nabi Adam sampai kiamat.
- Khatmul Auliya’ adalah Wali Allah yang menjadi hijab (barzah) terahir antara Al Hadrah hakekat Al Muhammadiyyah dengan Al Hadrah Jami’il Auliya’ wal makhluqat.
Sedangkan martabat / kedudukan Al Quthbul Maktum menurut Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijani radliyallaahu anhu adalah:
- Al Quthbul Maktuum adalah Wali Allah yang menjadi tumpuan dan rujukan seluruh auliya’ serta menjadi sumber limpahan karunia yang memancar ke seluruh alam sejak awal terjadinya alam raya ini sampai akhir zaman.
- Al Quthbul Maktuum adalah Wali Allah yang terbanyak ilmu, asrarur rabbani, dan nur ilahiyahnya.
- Al Quthbul Maktuum adalah Wali Allah yang menjadi wasithah / perantara antara para Nabi dengan para wali sejak zaman Nabi Adam as. sampai ditiupnya sangkakala (kiamat).
- Al Quthbul Maktuum adalah Wali Allah yang mendapat karunia khususiyah secara langsung dari Sayyidul wujud Rasulullah SAW.
- Al Quthbul Maktuum adalah Wali Allah yang menduduki puncak tertinggi dalam martabat kewalian sejak zaman Nabi Adam sampai ditiupnya sangkakala.
Catatan penting yang perlu diketahui juga disini adalah:
Martabat Al Khatmul Auliya’ Al Quthbul Maktuum dalam tatanan kewalian lebih tinggi dari pada martabat Al Khatmul Auliya’ Al ‘Ammah yang disandang oleh Nabi Isa bin Maryam as, dimana beliau di akhir zaman kelak akan turun kembali ke bumi yang sekaligus juga menjadi tanda akan datangnya kiamat kubra. Tapi beliau hadir bukan sebagai Nabi dan Rasul yang membawa syariat, tapi sebagai wali terakhir Al Khatmul Auliya’ Al ‘Ammah karena martabat kenabian telah terkunci rapat sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terahir dimana tidak ada Nabi dan Rasul lagi setelahnya.
Dilain pihak Nabi Isa bin Maryam as. tetap lebih tinggi martabatnya dari pada Al Khatmul Auliya’ Al Quthbul Maktuum, karena dia aslinya adalah seorang Nabi dan Rasul yang tergolong ulul azmi yang mana martabat kenabian itu jelas lebih tinggi dari pada martabat kewalian.
- Orang orang yang pernah mengklaim sebagai Al Khatmul Auliya.
Secara naluri manusiawi, martabah Al Khatmul Auliyaa’ adalah martabat paling bergengsi dalam tatanan kewalian. Oleh karena itu tidak heran jika banyak orang khusus yang menginginkan martabat itu jatuh pada diri mereka. Diantara wali besar yang sempat mengira bahwa martabat Al Khatmul Auliyaa’ Al Quthbul Maktuum tersebut adalah miliknya antara lain:
- Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Jazuli. Beliau adalah seorang wali besar dan sangat masyhur, salah satu karya beliau yang fenomenal adalah kitab kumpulan shalawat yang berjudul “Dalaailul Khairaat”. Beliau wafat pada tahun 870 Hiriyah (abad 9 Hijriyah).
- Syeikh Muhammad Wafa, yang diketahui dari perkataan putranya Seikh Ali bin Muhammad Wafa.
- Syeikh Muhyiddin ibnu Al Arabi Al Hatimi. Wafat pada tahun 638 Hijriyah (awal abad ketujuh Hijriyah). Dia mengira bahwa dirinya adalah Al Khatmul Auliyaa’ dari isyarah mimpi. Dia bermimpi bahwa bangunan Ka’bah sedang direnofasi dan dibangun kembali dengan batu bata dari emas dan perak. Ketika renofasi selesai ternyata bangunan dinding Ka’bah antara rukun Yamani dan rukun Syami kurang dua buah batu bata, dan beliau dalam mimpi tersebut merasa sebagai batu bata terahir dan tertinggi tempatnya, sehingga dengan isyarah tersebut beliau merasa sebagai Al Khatmul Auliyaa’. Saat bangun dari tidurnya, beliau takwilkan mimpi tersebut dengan penuh keyakinan dan suka cita bahwa beliaulah Al Khatmul Auliya’ tersebut. Karena begitu senangnya perasaan beliau, maka pada saat itu beliau bersyair :
بِنَاخَتَمَ اللهُ الوِلاَيَةِ فَانتَهَتْ * إِلَينَا فَلاَ خَتْمَ يَكُونُ لِمَنْ بَعْدِي
وَمَا فَازَ بِالخَتْمِ الَّذِي لِمُحَمَّدٍ * مِنْ أُمَّتِهِ وَالعَلَمِ إِلاَّ أَنَاوَحدِي
Kamilah yang dijadikan penutup kewalian oleh Allah, maka (puncak martabah) kewalian berakhir (jatuh pada kami, maka tidak akan ada lagi wali khatam setelahku.
Dan tidak seorangpun dari ummat Nabi Muhammad SAW yang beruntung mendapat martabah Al Khatam (Khatmul Auliya’) dan ilmu kecuali aku sendiri.
Ketika beliau dalam suasana suka cita tersebut dan baru saja selesai bersair, terdengarlah oleh beliau seruan ghaib (hatif) yang mengatakan bahwa : “Bukan kepunyaanmu apa yang kamu duga dan kamu harapkan itu, itu kepunyaan seorang wali di akhir zaman. Tak ada wali yang lebih tinggi dan lebih mulia di sisi Allah SWT dari dia”. Mendengar teguran dari alam ghaib tersebut beliau menyambut baik dan mengatakan: “Keserahkan urusan perkara ini kepada Dzat yang menciptakan dan mewujudkan”.
Catatan penting:
- Klaim (pernyataan) bahwa dirinya sebagai khatmul auliya’ oleh ketiga wali besar tersebut diatas adalah pernyataan yang mereka dapat dari penafsiran terhadap bisyarah (pengalaman ruhani) mereka, dan tidak didukung oleh fakta dan pernyataan pihak lain yang mendukung, misalnya berita langsung dari Rasulullah SAW.
- Diantara pernyataan tersebut dicabut kembali oleh yang menyatakan.
- Selain dari ketiga wali besar tersebut diatas, tidak seorang walipun baik sebelum dan sesudahnya yang menyatakan bahwa dia sebagai khatmul auliya’.
Lebih jauh, kami kutip sebuah pernyataan Syeikh Muhyiddin Ibnu Al Arabi Al Haatimi ra yang terdapat dalam kitab Futuuhaatul Makkiyah, dan juga dikutip oleh pengarang kitab Aqwal Adillah wal baraahiin pada halaman 17 sebagai berikut: “Dan pada tahun 595 Hijriyah. Saya (Syeikh Muhyiddin Ibnu Al Arabi Al Haatimi ra) berjumpa dia (Al Khatmul Auliya’) yang merupakan wali tertinggi baik ilmu maupun martabatnya disisi Allah SWT yang tidak ada lagi derajat diatasnya, dalam pertemuan secara barzahi di alam arwah, (karena ia belum lahir kedunia). Pada pertemuan tersebut, saya melihat sedikit dari tanda tanda Al Khatmul Auliya’ yang disembunyikan Allah SWT dari mata para hamba-Nya. Dan Allah SWT membuka sedikit dari alamat rahasia besar tersebut pada saya, diantaranya; dia tinggal di kota Fas (sebuah kota di wilayah negara kerajaan Maroko saat ini), dan dia dihadapkan pada cobaan diingkari orang karena ketinggian ilmu dan asrar rabbaninya yang sangat dalam”.
Berita lain yang menambah atau melengkapi pernyataan Syeikh Muhyiddin Ibnu Al Arabi Al Haatimi ra. Adalah pernyataan seorang wali besar “Syeikh Mukhtar Al Kanati ra” yang hidup pada qurun / abad dua belas Hijriyyah. Beliau menyatakan bahwa qurun / abad dua belas Hijriyyah menyerupai qurun Rasulullah SAW, diantara alasannya adalah pada abad 12 Hijriyyah tersebut lahirnya Al Khatmul Auliya’ sebagaimana abad pertama Hijriyyah adalah abad kelahiran Al Khatmul Anbiya’.
Yang menjadi catatan penting dalam pernyataan tersebut diatas dan menjadi fakta fakta pendukung atas kebenaran klaim Al Khatmul Auliya’ yang dilontarkan oleh Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijani ra, bahwa:
- Syeikh Mukhtar Al Kanati hidup pada qurun 12 Hijriyah. Tapi dia tidak menyatakan bahwa dirinya sebagai Al Khatmul Auliya’.
- Pada pertengahan qurun 12 Hijriyyah tersebut lahir seorang Wali besar dan sangat terkenal yaitu Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijani ra, tepatnya pada tahun 1150 Hijriyyah dan wafat pada tahun 230 Hijriyyah.
- Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijani ra, menyatakan bahwa dia adalah Al Quthbu Al Maktum wal Khatmul Auliya’ Al Muhammadiy.
- Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijani ra, lahir di Ain Al Madi wilayah negara Al Jazair Afrika utara, kemudian beliau hijrah dan menetap di kota Fes, wilayah kerajaan Maroko saat ini dalam istilah bahasa arab dikenal dengan Al Maghribil Aqsha (Afrika barat).
- Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijani ra, menyatakan bahwa dirinya adalah Al Quthbul Maktum yang menjadi Khatmul Auliya’ Al Khaashshah tersebut.
- Pernyataan beliau bersumber dari pernyataan Rasulullah SAW dalam pertemuah langsung tanpa perantara, secara sadar (yaqdzah) bukan mimpi.
- Tak seorangpun yang menyatakan pernyataan yang sama dan didukung oleh fakta fakta yang akurat baik sebelum maupun sesudah kelahiran Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijani ra.
- Perbedaan mendasar antara pernyataan Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijani ra. Dengan pernyataan ketiga auliya’ sebelumnya adalah pada sumber yang menjadi dasar pernyataan. Ketiga auliya’ yang menyatakan bahwa dia adalah Al Khatmul Auliya’ dasarnya adalah dzan (prasangka) dia pribadi terhadap fenomena pengalaman ruhani baik melalui mimpi atau peristiwa lain yang dialami mereka. Sedangkan Sayyidi Syeikh Ahmad At Tijani ra. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang beliau terima melalui pertemuan langsung dalam sadar (yaqadzah) bukan mimpi.
- Bertemu Rasulullah SAW dalam sadar (yaqadzah) bukan mimpi adalah hal yang lumrah terjadi di kalangan wali kelas atas, dan hal tersebut termasuk karomah yang menjadi tanda kesempurnaan ma’rifah mereka.
- Al Khatmul Auliya’ Al Quthbul Maktum adalah pewaris tunggal dan khusus dari Rasulullah SAW.
Sebelum melangkah klebih jauh, mari kita renungkan secara jernih dan mendalam hadits Rasulullah SAW berikut ini:
اَلعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الأَنبِيَاءِ لَمْ يَرِثوُا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، وَإِنَّماَ وَرَثوُا العِلْمَ وَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَهُ بِحَظٍّ وَافِرٍ. (رواه البخاري)
“Al Ulama’ (dalam pengertian Al Auliya’) adalah pewaris para Nabi (bukan para Rasul), mereka tidak mewariskan dinar dan dirham (harta kekayaan), dan mereka semata mata hanya mewariskan ilmu, dan barangsiapa yang mengambilnya, maka ia mengambil ilmu itu dengan keberuntungan yang banyak sekali”. (HR. Bukhori)
Jadi berdasarkan hadits Nabi SAW tersebut diatas, jelas bahwa para auliya’ adalah pewaris ilmu, asrar, fuyudhat dan tajalliyat serta nur para Nabi dari Nabi Adam as sampai nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ada diantara mereka yang cara dakwah dan thariqah serta karomahnya yang mirip Nabi Adam, Nabi Idris, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Ayyub dll. Yang mewarisi Nabi Ayyub as mengalami sakit kulit parah sampai keluar nanah terus menerus, di kerubungi lalat berkepanjangan sampai dikucilkan, orang lain melihatnya dengan rasa jijik, kasihan dan lain lain. Tapi dia sendiri bisa menikmati kebahagiaan hidup hakiki dalam kondisi tersebut serta tetap istiqamah, asik beribadah dan munajat kepada Allah SWT.
Ada yang mewarisi Nabi Sulaiman as, hidup dengan kekayaan melimpah tapi hatinya tidak pernah bergeser dari kelezatan sejati yaitu terpusatnya pandangan dan perhatian mereka ke Hadrah Al Qudsiyyah. Ada yang mirip Nabi Musa as yang dihadapkan pada berbagai tantangan ummat yang sangat jahil. Sok pinter, culas dan lain sebagainya. Dia dapat karomah seperti mukjizat Nabi Musa as bisa melawan sihir, menghidupkan kembali orang maupun hewan yang sudah mati atas izin Allah SWT.
Adapun wali yang menjadi pewaris tunggal dan sekaligus juga wasithah (perantara) antara Sayyidul wujud Rasulullah SAW dengan para awliya’ adalah wali Allah yang berpredikat Al Quthbul Maktum wal Khatmul Muhammadiy. Dia adalah Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijani ra. Karena memang dia yang menyandang predikat dan martabat tersebut, maka hanya dia pula yang bisa menjelaskan secara tepat dan akurat tentang kedudukan tersebut dan tugasnya. Untuk itu berikut ini kami kutip pernyataan beliau yang tertulis dalam kitab Rimah sebagai berikut:
أَنَّ القُّطْبَ الْمَكتُومِ هُوَالوَاسِطَةُ بَيْنَ الأَنبِيَاءِ وَالْأَولِيَاءِ, فَكُلُّ وَلِيِّ اللهِ تَعَالَى مِن كِبَرِ شَأنِهِ وَمِنْ صِغَرِ لاَيَتَلَقَّى فَيْضًا مِنْ حَضَرَةٍ النَّبِيِّ إِلاَّ بِوَاسِطَتِهِ رَضِيَ اللهُ عَنهُ مِن حَيْثُ لاَيَشعُرُ بِهِ وَمَدَدِهِ الخَّاصُ بِهِ.إِنَّماَ يَتَلَقَّاهُ مِنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ اَطْلاَعَ ِلأَحَدٍ مِنَ الأَنبِيَاءِ عَلَيهِمُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى فَيْضِهِ الخَاصُ بِهِ ِلأَنَّ لَهُ مَشرَبًا مَعَهُمْ مِنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ. (رماح -ج :2 \ص:14)
Sesungguhnya Al Quthbul Maktum adalah wasithah (perantara) antara para Nabi dan para Auliya’. Maka seluruh Wali Allah baik yang berpangkat tinggi maupun yang rendah, tidak menerima limpahan karunia yang (mengalir) dari para nabi kecuali melalui wasithah (perantara) Al Quthbul Maktum radliyallaahu anhu itu dari arah yang tidak mereka sadari. Dan madad (pemberian karunia) khusus kepadanya hanya menerima (langsung) dari Sayyidul Wujud SAW. Dan tak seorang nabipun yang tahu terhadap limpahan khusus tersebut, karena untuk mereka (para Nabi) juga mempunyai sumber limpahan tersendiri dari Rasulullah SAW. (Rimah: juz 2 /14).
- Al Quthbil Maktum Wal Khatmil Auliya’ Al Muhammadiy Al Khashah adalah Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijani ra.
Dari semua uraian dan penjelasan tersebut diatas, kita sudah mengerti siapa sebenarnya Al Quthbul Maktum Wal Khatmul Auliya’ Al Muhammadiy Al Khashah. Dia mempunyai banyak kemiripan bahkan kesamaan yang amat sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Dan wali yang mirip dan hampir bisa dikatakan sama persis dengan pribadi Rasulullah SAW hanya satu. Dialah pewaris tunggal ilmu, sifat, asrar, fadhail, fuyudhat dan tajalliyat serta berbagai kekhususan Khatmul Anbiya’ wal Mursaliin Nabi kita Muhammad SAW. Dialah orangnya, yaitu Sayyidul Auliya’ Al Quthbi Al Maktum Wal Khatmi Al Muhammady Al Ma’luum sayyiduna wa habibuna Abul Abbas Ahmad bin Muhammad At Tijany ra.
WALLOHU A’LAM BIS SHOWAB