PACEKLIK DI KEMARAU BERKEPANJANGAN DAN DO’A ROSULULLOH SAW DALAM MEMOHON HUJAN

PACEKLIK DI KEMARAU BERKEPANJANGAN DAN DO’A ROSULULLOH SAW DALAM MEMOHON HUJAN

Standar kekeringan atau paceklik bukan seberapa tidak pernahnya hujan turun, melainkan tumbuh atau tidaknya tanah yang kita huni.

Dalam kitab al-Du’â al-Ma’tsûrât wa Âdâbuhu wa Mâ Yajibu ‘alâ al-Dâ’î Ittibâ’uhu wa Ijtinâbuhu, Imam Abu Bakr al-Thurthusyi membahas soal bencana kekeringan atau paceklik dan doa meminta hujan dari Nabi Muhammad.

Imam Abu Bakr al-Thurthusyi dalam Bâb al-Du’â ‘Ind al-Istisqâ’ mengawalinya dengan mengutip kitab Siyar al-Shâlihîn wa Sunan al-‘Âbidîn. Dalam kitab itu terdapat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mengatakan (HR. Imam Muslim dan Imam al-Baihaqi):

لَيْسَتْ السَّنَةُ بِأَنْ لَا تُمْطَرُوا وَلَكِنْ السَّنَةُ أَنْ تُمْطَرُوا وَتُمْطَرُوا وَلَا تُنْبِتُ الْأَرْضُ شَيْئًا

“Paceklik (kemarau) itu bukan kalian tidak diberi hujan, melainkan paceklik adalah kalian diberi hujan dan hujan, tapi bumi tidak menumbuhkan apa pun.” (Imam Abu Bakr al-Thurthusyi, al-Du’â al-Ma’tsûrât wa Âdâbuhu wa Mâ Yajibu ‘alâ al-Dâ’î Ittibâ’uhu wa Ijtinâbuhu, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002, h. 173).

Dengan mengemukakan hadits ini, Imam Abu Bakr al-Thurthusyi seakan-akan hendak memberitahu kita bahwa kemarau, kekeringan, atau paceklik standarnya bukan seberapa tidak pernahnya hujan turun, melainkan tumbuh atau tidaknya tanah yang kita huni. Andai hujan terus turun, tapi bumi tidak menghasilkan apa-apa, itu juga merupakan bencana atau paceklik.

Pada paragraf selanjutnya, Imam Abu Bakr al-Thurthusyi mengutip sebuah riwayat yang berkaitan erat dengan hadits di atas. Tentunya agar pemahaman kita tentang bencana atau paceklik bisa lebih luas. Berikut riwayatnya (HR. Imam al-Bukhari):

عن أنس قال: قام رجل فقال: يا رسول الله، هلكت المواشي وتقطعت السبل، فادع الله أن يغيثنا، فرفع يديه وقال: (اللهمَّ اسْقِنَا، اللهمَّ اسْقِنَا، اللهمَّ اسْقِنَا)

قال أنس: فلا والله لا نري في السماء من سحاب ولا قزعة ولا شيئا، فطلعت سحابة من وراء سلع مثل الترس، فلما توسطت السماء انتشرت ثم أمطرت إلي الجمعة

فقال رجل: يا رسول الله، هلكت الأموال وانقطعت السبل، فادع الله يمسكها، فرفع رسول الله صلي الله عليه وسلم بيده وقال: (اللهمَّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا) فانجاب السحاب عن المدينة حتي أحدق بها كالإكليل

“Dari Anas, ia berkata: “Seorang laki-laki berdiri, ia berkata: ‘Wahai Rasulullah binatang ternak telah mati (kehausan) dan jalanan telah retak-retak, maka berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan kepada kami.” Kemudian Rasulullah mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Allahummas qinâ, Allahummas qinâ, Allahummas qinâ” (Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami).”

Anas berkata: “Demi Allah, kami tidak melihat awan mendung, gumpalan awan, dan sesuatu pun di langit, lalu muncullah awan mendung hitam dari belakang bukit Sala’ seperti lingkaran bergigi. Ketika awan hitam sampai di tengah dan menyebar, hujan turun sampai hari Jumat.

Kemudian laki-laki (yang sama) berkata: “Wahai Rasulullah, harta benda telah hancur, dan jalanan terputus (karena banjir), maka berdoalah kepada Allah agar menghentikan hujan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat tangannya dan berdoa: “Allahumma hawâlaynâ wa lâ ‘alainâ” (Ya Allah, [tunrunkanlah hujan] di sekeliling kami, bukan [azab] atas kami).” Kemudian awan mendung (mendadak) hilang dari (langit) Madinah sehingga (hanya) mengelilinginya seperti mahkota.” (Imam Abu Bakr al-Thurthusyi, al-Du’â al-Ma’tsûrât wa Âdâbuhu wa Mâ Yajibu ‘alâ al-Dâ’î Ittibâ’uhu wa Ijtinâbuhu, h. 173)

Dalam riwayat di atas, seorang laki-laki mengeluh kepada Rasulullah tentang banyaknya ternak yang mati dan memintanya untuk berdoa. Namun, ia hanya meminta diturunkannya hujan tanpa mempertimbangkan aspek lainnya, seperti banjir dan lain sebagainya. Karena kekurangannya akan sesuatu, membuatnya fokus akan sesuatu itu saja, dalam hal ini adalah air hujan. Sehingga ketika bencana lain muncul akibat hujan yang tak kunjung reda, ia kembali meminta Rasulullah untuk berdoa. Dan dengan senang hati Rasulullah berdoa kepada Allah meminta hujan dihentikan.

Dari dua riwayat di atas, kita sedang diajari bahwa doa sebaiknya disertai dengan kesabaran, agar kita dapat memahami pentingnya keseimbangan dalam segala sesuatu. Dalam arti, tidak mengeluh berlebihan sampai marah, dan tidak senang berlebihan sampai lalai. Agar pikiran kita masih bisa memandang luas, sehingga fokus kita tidak hanya pada kekurangan yang sedang menimpa kita saja, tapi bagaimana caranya agar pemenuhan kekurangan kita dilakukan dengan cara yang baik dan tidak menyebabkan munculnya sisi buruk lain. Karena itu, kesabaran dan kepasrahan harus selalu menjadi pijakan dalam berdoa dan usaha dalam mencari solusi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan riwayat di atas, sedang mengingatkan kita bahwa keluhan tanpa kesabaran bisa menjadi bencana. Kita tahu, manusia selalu mengharapkan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. Ketika hari sangat panas, mereka meminta mendung; ketika jemuran tak kunjung kering, mereka meminta panas, dan seterusnya. Padahal, keberlebihan akan sesuatu memiliki konsekuensinya sendiri. Konsekuensi yang harus ditanggung dari hujan yang terus-menerus turun adalah banjir. Artinya, kelebihan maupun kekurangan air sama-sama bisa menjadi bencana. Bahkan di titik tertentu, kelebihan lebih berbahaya dari kekurangan.

Karena itu, Rasulullah mengingatkan kita bahwa bencana atau paceklik bukan melulu soal tidak adanya hujan, tapi ketidak-mampuan kita mengelola air juga bencana. Artinya, di saat persediaan air melimpah, kita lalai, dan di saat persediaan air menipis, kita mengeluh. Pertanyaannya, sudahkah keluhan kita berubah menjadi doa dan usaha?

Wallahu a’lam bish-shawwab…

Leave your comment here: