SANGAT BERBAHAYA KETIKA SESEORANG TIDAK MEMAHAMI HAQIQOT BID’AH

SANGAT BERBAHAYA KETIKA SESEORANG TIDAK MEMAHAMI HAQIQOT BID’AH

Terjerumus kesyirikan bisa karena tidak paham tentang bid’ah

Pada masa kini semakin jelas apa yang telah ditulis oleh ulama besar Syria, pakar syariat (fiqih), DR. Said Ramadhan Al-Buthy dalam bukunya yang berjudul Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam.

Semakin banyak kaum muslim yang awam tidak lagi mau mengikuti pendapat atau pemahaman para Imam Mazhab yang empat.  Mereka terindoktrinisasi atau terhasut perkataan ulama-ulama mereka bahwa apa yang ulama mereka sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh.  Benar, ulama-ulama mereka membaca Al Qur’an , tafsir bil matsur, kitab hadits shohih, sunan, musnad, namun apa yang mereka sampaikan bukanlah pemahaman Salafush Sholeh melainkan pemahaman mereka sendiri terhadap  Al Qur’an , tafsir bil matsur, kitab hadits shohih, sunan, musnad. Setiap upaya penterjemaahan, pentafsiran dan pemahaman bisa benar dan bisa pula salah. Yang pasti benar adalah lafaz/nash Al Qur’an dan Hadits bukan terjemahan dan bukan pula tafsirnya. Kitab-kitab tersebut bukanlah penjelasan pemahaman Salafush Sholeh namum harus ada upaya pemahaman lebih lanjut.

Ironis, segelintir kaum muslim yang awam disampaikan oleh ulama-ulama mereka bahwa para Imam Mazhab yang empat tidak maksum namun ketika kita luruskan kesalahpahaman ulama-ulama mereka, seolah-olah ulama-ulama mereka lebih berkompetensi daripada Imam Mazhab yang empat. Padahal ulama-ulama mereka tidak pernah dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.

Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya Jarir bin Abdillah , bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”

Hadits di atas diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.

Dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan adanya sunnah hasanah dan sunnah sayyiah

Arti sunnah adalah hadits Rasulullah atau anjuran (mandub/mustahab) atau contoh/ suri tauladan

Arti hasanah adalah kebaikan, sayyiah adalah keburukan

Anjuran (mandub/mustahab) artinya jika dikerjakan mendapatkan kebaikan (pahala) jika ditinggalkan boleh saja.

Dari ketiga kemungkinan arti dari kata sunnah, tentu tidak ada  anjuran (mandub/mustahab) keburukan , tentu pula tidak ada hadits Rasulullah yang menyuruh dalam keburukan.

Dalam hal hadits diatas dapat disimpulkan sunnah artinya contoh / suri tauladan atau sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya atau perkara baru yang belum dilakukan oleh orang lain sebelumnya.

Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 dijelaskan “Yang membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian dengan pokok-pokok syar’i atau tidak”.

Sunnah hasanah adalah contoh / perkara baru yang tidak bertentangan dengan pokok-poko syar’i atau contoh / perkara baru yang tidak bertentangan dengan apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya.

Sunnah sayyiah adalah  contoh / perkara baru yang bertentangan dengan pokok-pokok syar’i atau contoh / perkara baru yang bertentangan dengan apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas/larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

Segala perkara yang ditetapkanNya atau diwajibkanNya  atau “urusan kami” atau  “perkara syariat” atau  “dalam agama” adalah segala perkara yang wajib dijalankan dan segala perkara wajib ditinggalkan atau  perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa) , perkara larangan (dikerjakan berdosa), perkara pengharaman (dikerjakan berdosa).

Setelah Nabi Sayyidina wa Maulana Muhammad Shallallahu alaihi wasallam di utus oleh Allah Azza wa Jalla maka apa yang ditetapkanNya atau diwajibkanNya terurai dalam kitab Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Jadi kesimpulannya : Sunnah  Hasanah adalah contoh / perkara baru yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits

Sunnah  Sayyiah adalah contoh / perkara baru  yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits

Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”

Kesalahpahaman-kesalahpahaman yang terjadi selama ini adalah karena segelintir ulama tidak lagi mau mengikuti pendapat/pemahaman para Imam Mazhab yang empat dan mereka mau berijtihad (upaya pemahaman)  sendiri sedangkan mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid

Pokok kesalahpahaman ulama-ulama mereka tentang bid’ah adalah salah memahami sabda Rasulullah “kullu bid’atin dholalah”.

Pengertian arti kullu ada tiga, dan disesuaikan dengan susunan kata dalam bahasa arab :

1. syay’in artinya setiap satu

2. ba’din artinya setiap sebagian

3. jam’in artinya setiap semua.

Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).

Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.

Hadits  “Kullu Bid’ah dlalalah” merupakan hadits bersifat umum yang dijelaskan (dikhususkan) pada hadits-hadits yang lain seperti contoh,

Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang membuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak”

“Urusan kami” adalah perkara syariat atau segala yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya yakni perkara yang wajib di jalankan dan wajib dijauhi atau perkara kewajiban, larangan dan pengharaman

Jadi bid’ah dholalah adalah perkara baru dalam perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa), perkara larangan (jika dikerjakan berdosa) dan pengharaman (jika dikerjakan berdosa)

Rasulullah mencontohkan kita untuk menghindari perkara baru dalam kewajiban (jika ditinggalkan berdosa)

Rasulullah bersabda, “Aku khawatir bila shalat malam itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687). 

Bid’ah dholalah adalah perbuatan yang tidak ada ampunannya karena bid’ah dholalah adalah perbuatan syirik.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda

إِنَّ اللهَ حَجَبَ اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ

“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]

Bid’ah dholalah, Adalah membuat perkara baru dalam hal yang menjadi hak Allah ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa), larangan (dikerjakan berdosa) , pengharaman (dikerjakan berdosa) adalah perbuatan syirik, penyembahan kepada selain Allah.

‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat yang artinya, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah [9] : 31) , kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu“. Maka jawab Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Jadi perkara baru (bid’ah) atau mengada-ada yang tidak diwajibkan menjadi wajib atau sebaliknya, yang tidak haram (halal) mejadi haram atau sebaliknya atau yang tidak dilarang menjadi dilarang atau sebaliknya adalah dholalah (kesesatan) karena penyembahan kepada selain Allah atau penyembahan diantara yang menetapkan dengan yang mengikutinya.

Untuk itulah ulama yang berfatwa dalam perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa), larangan (dikerjakan berdosa) dan pengharaman (dikerjakan berdosa) wajib berlandaskan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla.

Kenyataan yang timbul pada saat ini adanya segelintir ulama yang melarang amal-amal kebaikan yang dilakukan oleh kaum muslim seperti peringatan Maulid, sholawat nariyah, sholawat badar, qashidah burdah, maulid barzanji, ratib al haddad dan amal kebaikan lainnya dikarenakan kesalahpahaman mereka tentang bid’ah ditambah ketidakmauan mereka mendalami balaghoh atau mengingkari makna majaz.

Dengan kata lain karena kesalahpahaman-kesalahpahaman ulama mereka menyebabkan segelintir umat Islam terjerumus kedalam bid’ah dholalah atau kesyirikan karena mengada-ada dalam perkara larangan. Mereka menyembah kepada selain Allah atau menyembah diantara yang berfatwa dengan yang mengikutinya.

Ada diantara mereka memfatwakan larangan peringatan Maulid berdasarkan kaidah tanpa dalil dari Al Qur’an dan Hadits yakni “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIHI” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya). 

Mereka bertanya , “Kalau peringatan Maulid Nabi tersebut adalah perkara baik kenapa Rasulullah ataupun para Sahabat tidak melakukannya?”

Jawab kami, “Kalau Rasulullah melakukannya artinya peringatan Maulid Nabi bukanlah perkara baru”

Peringatan Maulid Nabi adalah bukan kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) , kalau berkeyakinan bahwa peringatan Maulid Nabi adalah kewajiban maka inilah yang namanya bid’ah dholalah.

Peringatan Maulid Nabi adalah kebutuhan bagi kami yang zaman kehidupannya telah terpaut jauh dengan zaman kehidupan para Salafush Sholeh. Kami amat sangat merindukan bertemu dengan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Jika tidak sekarang bertemu Rasulullah, semoga Allah Ar Rahmaan Ar Rahiim meridhoi kita dan mendapatkan syafa’at  Beliau shallallahu alaihi wasallam sehingga bertemu dan ditempatkan dekat Beliau shallallahu alaihi wasallam dan dekat pula dengan Allah Azza wa Jalla, berkumpul dengan orang-orang disisiNya. Memang diantara kami, pada saat ini ada yang dizinkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk “mendatangi” Rasulullah dengan cara/sarana yang dikehendakiNya. Mereka yang diizinkan “mendatangi” Rasulullah menyampaikan salam Beliau kepada kita semua.

Rasulullah bersabda,

 حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.

“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih dengan komentarnya : hadits diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih)

Ketika kami mendatangi Rasulullah di makam Beliau dalam masjid Nabawi, Madinah , kami terenyuh dengan umat Rasulullah yang seolah “dihalang-halangi” oleh mereka yang tidak meyakini bahwa Rasulullah melihat umatnya yang menziarahi makamnya. Oleh karena ketidak-tahuan atau ketidak-yakinan mereka malah diperintahkan umat Rasulullah untuk berdoa menghadap kiblat dan “membelakangi” makam Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.

Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar”. (HR Ahmad).

Al Hafidh Al Haitsami menyatakan, “Para perawi atsar di atas itu sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih ( Majma’ul Zawaaid vol 8 hlm. 26 ). Al Hakim meriwayatkanya dalam Al Mustadrok dan mengatakan atsar ini shahih sesuai kriteria yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Adz Dzahabi sama sekali tidak mengkritiknya. ( Majma’ul Zawaid vol. 4 hal. 7 ).

‘Aisyah tidak melepaskan baju dengan tanpa tujuan, justru ia mengetahui bahwa Nabi dan kedua sahabatnya mengetahui siapakah yang orang yang berada didekat kuburan mereka.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

(ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس ورد عليه حتي يقوم)

“Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).

Bahkan kita ketika di dekat makam Beliau,  tidak tersedia waktu yang cukup untuk sekedar bertawasul dengan do’a seperti

Artinya : Selamat sejahtera atasmu wahai Rasulullah, rahmat Allah dan berkat-Nya untukmu. Selamat sejahtera atasmu wahai Nabiyallah. Selamat sentosa atasmu wahai makhluk pilihan Allah. Selamat sejahtera atasmu wahai kekasih Allah. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan ( yang disembah) selain Allah, Yang Esa/ Tunggal, tiada sekutu bagi-Nya dan engkau adalah hamba-Nya serta rasul-Nya. Dan saya bersaksi, bahwa Engkau telah menyampaikan risalah engkau telah menunaikan amanat egkau telah memberi nasihat pada ummat, engkau telah berjihad di jalan Allah maka selamat-Nya, untukmu selawat yang berkekalan sampai hari kiamat, Wahai tuhan kami, berilah kami ini kebaikan di dunia dan kebaikan pula di akhirat serta peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Allah, berilah pada beliau kemuliaan dan martabat yang tinggi serta bangkitkan dia di tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan padanya, sesungguhnya Engkau tidak akan memungkiri janji.

Begitupula dikarenakan para ulama pada masa kini tidak lagi menyampaikan atau menjalankan tasawuf  atau tentang Ihsan, ketika tawaf di masjidil haram atau hendak mencium hajar aswad dapat kita temukan saudara-saudara muslim kita yang tidak mengerti tentang Ihsan sehingga mereka berdesak-desakan , saling mendorong karena mereka tidak  merasa sedang diawasi/dilihat oleh Allah Azza wa Jalla. Padahal mereka sedang di Baitullah, di tempat yang mulia.

قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)

Juga karena tidak diajarkan tentang Ihsan atau tasawuf maka bisa kita dapati para koruputor, pemimpin tidak adil, mafia pengadilan dan pelaku perbuatan keji dan mungkar lainnya, ketika kita tanyakan pada mereka , “takutkah dengan siksa neraka”, seolah-olah mereka menjawab “itu bagaimana nantilah”. Semua itu karena mereka tidak tahu tentang Ihsan , tidak takut (takhsya / khassyah) kepada Allah Azza wa Jalla yang melihat segala sikap perbuatan mereka. Mereka seolah berdusta ketika mereka mengucapkan “Allahu Akbar”

Begitupula dengan ulama-ulama mereka ketika kita tanyakan pada mereka, “takutkah dengan siksa neraka”, tentulah dengan ilmu mereka akan menjawab, “mereka takut siksa neraka” , namun karena mereka tidak mendalami dan menjalankan tasawuf atau tentang Ihsan maka seolah tidak tampak takut (takhsya / khassyah) kepada Allah Azza wa Jalla yang melihat segala fatwa mereka. Mereka tetapkan larangan-larangan tanpa berlandaskan apa yang telah ditetapkanNya atau tanpa berlandaskan Al Qur’an dan Hadits.

Contoh (sunnah sayyiah) lainnya, mereka membolehkan atau berfatwa untuk meminta perlindungan kepada Amerika yang dibelakangnya kaum Zionis Yahudi. Begitupula mereka menyusun kurikulum pendikan bekerjasama dengan Amerika.

Padahal Allah Azza wa Jalla memperingatkan kita dengan firmanNya yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (Ali Imran, 118)

“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (Ali Imran, 119)

Seolah mereka berdusta karena mereka selama ini kita kenal sering mengaku hanya meminta pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla.

Boleh jadi akibat contoh fatwa buruk (sunnah sayyiah) ulama mereka maka ada saja pemimpin-pemimpin negeri yang muslim namun berlindung “diketiak” Amerika.   Inilah yang disampaikan oleh Rasulullah dengan “al Wahn”

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hampir tiba suatu masa di mana berbagai bangsa atau kelompok mengerubuti kalian bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka.” Seorang sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada waktu itu?” Nabi  shallallahu alaihi wasallam menjawab, “(Tidak) Bahkan jumlah kalian pada hari itu banyak (mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah buih, laksana buih di lautan (banjir).

Allah mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan menanamkan penyakit “al wahn”ke dalam hati kalian. Seseorang bertanya, “Apakah al wahn itu wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Dawud).

Leave your comment here: