BANI UMAYYAH BENARKAH TIDAK MENYUKAI AHLUL BAIT ATAU BANI HASYIM
Ketika membaca sejarah Islam, terutama sejarah Bani Umayyah, kita lihat banyak penulis sejarah memberikan informasi negatif terhadap klan Quraisy satu ini. Mereka dicap sebagai perebut kekuasaan. Licik. Zhalim. Propagandis. Dan seabrek tudingan miring lainnya. Di antara faktor yang memicu tersebarnya berita buruk tentang mereka adalah pembukuan sejarah banyak terjadi pada periode musuh mereka, Bani Abbas. Juga fitnah yang disebar oleh orang-orang Syiah.
Terkadang, para kolumnis dan sejarawan terjebak fanatisme dan sekteranianisme ini, sehingga mereka tak mampu melihat fakta sejarah. Bahkan, di antara mereka ada yang mengkafirkan Bani Umayyah. Seperti al-Maqrizi dalam karyanya an-Naza’ wa at-Takhashum fi ma Baina Bani Umayyah wa Bani Hasyim. Demikian juga Sayyid Quthb, yang karya-karya tulisnya cukup berpengaruh dan tersebar di kalangan umat Islam khususnya generasi muda. Dalam al-Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam, Sayyid Quthub berkomentar tentang Bani Umayyah, “Pun, Bani Umayyah di era Islam adalah Bani Umayyah di era jahiliyyah.” (Lathif, 2014: 4). Artinya, menurut Sayyid Quthub, Bani Umayyah di era Islam sama saja dengan Bani Umayyah di era jahiliyyah dalam permusuhannya terhadap Islam.
Dalam tulisan berikut ini, kita berusaha untuk adil terhadap Bani Umayyah. Karena di antara mereka banyak yang menjadi orang-orang kepercayaan Rasulullah dan tokoh-tokoh Islam.
Pengertian Ahlul Bait
Ahlussunnah memiliki pandangan yang berbeda dengan Syiah tentang pengertian ahlul bait (keluarga Nabi). Menurut Syiah Zaidiyah dan Syiah Imamiyah secara umum, ahlul bait adalah ash-habul kisa. Ash-habul kisa adalah Ali bin Abu Thalib, Fatimah binti Rasulullah, Hasan bin Ali, dan Husein bin Ali (al-Qarmusyi, 2013: 59).
Sementara Ahlussunnah wal Jamaah berpendapat, ahlul bait Nabi adalah semua keturunan Hasyim bin Abdu Manaf. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan klan Bani Hasyim terdiri dari keluarga Abbas bin Abdul Muthalib, keluarga Ali bin Abu Thalib, keluarga Ja’far bin Abu Thalib, keluarga Aqil bin Abu Thalib, dan keluarga al-Harits bin Abdul Muthalib (al-Qarmusyi, 2013: 50). Ibnul Arabi dan sebagian Malikiyah memasukkan istri-istri juga sebagai ahlul bait beliau (al-Qarmusyi, 2013: 55).
Dari pengertian di atas bisa kita kumpulkan data-data sejarah bagaimana hubungan Bani Umayyah dan ahlul bait Nabi, yakni Bani Hasyim.
Bani Umayyah dan Bani Hasyim Masa Pra Islam
Silsilah keturunan Bani Umayyah dan Bani Hasyim bertemu pada satu kakek, yaitu Abdu Manaf bin Qushay. Abdu Manaf memiliki empat orang anak laki-laki: Abdu Syams, Hasyim, al-Muthalib, dan Naufal. Di antara anak laki-laki Abdu Syams Umayyah. Kepada Umayyah inilah nasab penguasa Bani Umayyah terhubung. Karena itu, ketika Heraclius bertanya kepada kafilah Quraisy yang berdagang ke Syam, “Siapa yang paling dekat kekerabatannya dengan laki-laki yang mengaku Nabi itu?” Abu Sufyan menjawab, “Akulah orang yang paling dekat hubungan nasab dengannya. Dia adalah anak pamanku.”
Bani Abdu Manaf memiliki kedudukan terhormat di Mekah. Mereka adalah pemimpin kota suci itu. Kepemimpinan itu dimulai tatkala ayah mereka, Qushay bin Kilab berhasil mengembalikan kekuasaan kota Mekah ke tangan Quraisy, keturunan Nabi Ismail. Setelah sebelumnya dikuasai oleh orang-orang Khuza’ah. Ketika usia Qushay telah lanjut, ia menyerahkan posisinya kepada Abdur Dar, sang putra sulung. Adapun Abdu Manaf (putranya yang lain) telah kesohor semasa ayahnya masih hidup. Sejak saat itu, Abdud Dar memegang kepengerusan al-hijabah (pemeliharaan Ka’bah), al-liwa’ (panji perang), as-siqayah (pengadaan air minum untuk jamaah haji), dan ar-raifadah (pengadaan konsumsi jamaah haji).
Sepeninggal Qushay, seluruh putra-putrinya memenuhi hak saudara tertua mereka demi menghormati wasiat sang ayah. Tidak seorang pun di antara mereka berani lancang merebutnya. Namun setelah Abdud Dar dan Abdu Manaf wafat, putra-putri Abdu Manaf (Abdu Syams, Hasyim, al-Muthallib, dan Naufal) bersepakat merebut kekuasaan pengurusan Kota Mekah dan Ka’bah dari anak paman mereka. Hampir saja terjadi konflik terbuka. Namun tokoh-tokoh Mekah segera mengadakan rekonsiliasi agar benang kusut ini dapat terurai.
Realisasi dari putusan itu adalah pembagian tugas antara dua kabilah. Bani Abdu Manaf dipercaya untuk menyediakan air minum dan konsumsi. Sedangkan pemeliharaan panji dan pengelolaan lembaga permusyaratan tetap dipegang Bani Abdud Dar. Gemuruh konflik pun redam.
Kemudian, putra-putri Abdu Manaf menjalankan tugas mereka dengan tanggung jawab. Tugas ini secara penuh mereka serahkan kepada Hasyim. Karena ia salah satu yang terkaya di antara mereka. Setelah tugas ini meninggal diserahkan kepada al-Muthallib bin Abdu Manaf. Setelah itu kepada Abdul Muthallib bin Hasyim. Kemudian kepada az-Zubair bin Abdul Muhtallib. Selanjutnya kepada Abu Thalib bin Abdul Muthallib. Setelah itu, pengurusan dipegang oleh Abbas bin Abdul Muthallib.
Lihatlah bagaimana kokohnya hubungan persaudaraan Bani Abdu Manaf. Keturunan Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf tidak merasa berat hati dan protes kepengurusan Ka’bah turun-temurun dipegang oleh anak paman mereka dari keturunan Hasyim bin Abdu Manaf.
Kesetiaan itu diuji di masa sulit. Ini pun terjadi pada hubungan kekerabatan Bani Umayyah dan Bani Hasyim. Pada saat ancaman dari luar datang. Orang-orang Bani Umayyah dan Bani Hasyim bersatu. Pada saat terjadi perang yang dikenal dengan Perang Fijar. Orang-orang Quraisy bersatu dengan Bani Kinanah melawan musuh mereka dari Suku Qais Ghailan. Kepemimpinan Quraisy ketika itu dijabat oleh Harb bin Umayyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu berusia 20 tahun juga terlibat langsung dalam perang ini.
Secara individu, tokoh-tokoh Bani Hasyim juga bersahabat dengan tokoh-tokoh Bani Umayyah. Seperti Abdul Muthallib -pemimpin Bani Hasyim- bersahabat dengan Harb bin Umayyah -pemimpin Bani Umayyah-. Demikian juga Abbas bin Abdul Muthalib -paman Nabi- bersahabat dengan Abu Sufyan bin Harb. Kisah keislaman Abu Sufyan saat terjadi Fathu Mekah adalah bukti konkrit dari semua itu.
Jelang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Mekah, Abbas sangat menginginkan kalau Rasulullah menduduki Mekah dengan tanpa kekerasan. Karena itu, sebelum kedatangan beliau, Abbas ingin terlebih berjumap dengannya. Abbas mencari seseorang yang bisa mengumumkan kepada penduduk Mekah ihwal pergerakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abbas pun berjumpa dengan Abu Sufyan yang kebetulan juga berangkat mencari informasi tentang kedatangan Rasulullah. Abbas berkata, “Abu Sufyan, waspadalah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bergerak bersama pasukan yang sangat banyak. Demi Allah, waspadalah wahai kaum Quraisy!” Abu Sufyan bertanya, “Demi ayah dan ibuku, bagaimana cara menghadapinya?” “Kalau kau kalah perang, pastilah beliau menjatuhimu hukuman mati. Naiklah keledai ini, agar engkau kubawa menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku akan memintakan perlindungan bagimu kepadanya”, kata Abbas. Lihatlah persahabatan antara dua tokoh Bani Hasyim dan Bani Umayyah ini.
Tidak hanya sampai di situ, bahkan Abbas mengusahakan agar wibawa Abu Sufyan tetap terjaga. Ia berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang suka dipandang (berbangga). Karena itu lakukanlah sesuatu untuknya.” Rasulullah menjawab, “Baiklah. Barangsiapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, ia aman…”.
Abbas tidak hanya memohon agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perlindungan bagi Abu Sufyan. Tapi, ia juga mengusahakan agar Abu Sufyan mendapat keistimewaan yang tidak didapat orang Quraisy lainnya. Inilah persahabatan.
Bani Umayyah dan Bani Hasyim di Masa Islam
Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima wahyu dan mendakwahkan Islam, banyak klan Quraisy yang memusuhi beliau. Entah mengapa, seolah-olah Bani Umayyah lah yang dikesankan sangat memusuhi dakwah ini. Padahal anggota klan Bani Hasyim sendiri juga memusuhi beliau. Seperti paman beliau, Abu Lahab bin Abdul Muthallib. Sepupu beliau Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul Muthallib. Dan Aqil bin Abu Thalib bin Abdul Muthallib. Permusuhan mereka tak kalah hebat dibandingkan dengan orang-orang Bani Umayyah.
Para propagandis lupa bahwa sebagian Bani Umayyah tergolong para pelopor yang paling dahulu masuk Islam. Bahkan, jumlah Bani Umayyah yang pertama-tama masuk Islam bisa jadi lebih banyak daripada Bani Hasyim. Utsman bin Affan bin Abul Ash bin Umayyah adalah salah satu Bani Umayyah yang paling dahulu masuk Islam. Putra-putra Said bin al-Ash bin Umayyah: Khalid bin Said dan Amr bin Said juga termasuk golongan pertama yang memeluk Islam. Khalid bin Said sendiri adalah orang yang kelima yang masuk Islam. Demikian juga dengan saudaranya, Amr bin Said, yang turut dua kali hijrah. Kemudian Aban bin Said. Khalid dan Aban adalah putra Said bin al-Ash yang menjadi pencatat wahyu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lathif, 2014: 20).
Tapi sayang, bukti sejarah ini tidak memuaskan para pemuja hawa nafsu untuk tetap menghujat Bani Umayyah. Meskipun orang-orang Bani Umayyah ini telah mengorbankan harta dan jiwa mereka untuk Islam. Rasulullah bahagia dengan keislaman mereka. Pemuja hawa nafsu tetap teguh pada kekeliruan mereka.
Bani Umayyah Diangkat Nabi Jadi Pejabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu kedudukan Bani Umayyah, sehingga beliau senang dengan keislaman mereka. Beliau memberikan tempat dalam pemerintahannya guna memanfaatkan potensi mereka. Di antara contohnya adalah:
- Nabi mengistimewakan Abu Sufyan dibanding orang-orang Quraisy lainnya saat Fathu Mekah.
- Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah diangkat menjadi wali kota Najran.
- Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah diangkat menjadi sekretaris Rasulullah.
- Rasulullah mengangkat Attab bin Usaid bin Abul Ash bin Umayyah menjadi wali kota pertama untuk kota suci Mekah setelah peristiwa Fathu Mekah.
- Rasulullah mengangkat Amr bin Said bin al-Ash bin Umayyah sebagai kepala desa Khaibar, Wadi al-Qura, Taima, dan Tabuk
- Rasulullah mengangkat al-Hakam bin Said bin al-Ash bin Umayyah sebagai kepala pasar di Mekah.
- Rasulullah mengangkat Khalid bin Said bin al-Ash bin Umayyah sebagai wali kota Shan’a.
- Rasulullah mengangkat Aban bin Said bin al-Ash sebagai Gubernur Bahrain.
Pengangkatan orang-orang Bani Umayyah sebagai pejabat-pejabat Rasulullah, merupakan bukti konkrit akan pengakuan Nabi terhadap sifat amanah dan bagus keislaman mereka. Tokoh-tokoh besar lainnya adalah al-Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr, Shafwan bin Umayyah, Yazid bin Abu Sufyan, dan Hakim bin Hizam.
Kesimpulan
Sikap sebagian Bani Umayyah sebelum terjadi Fathu Mekah tentulah sepakat kita kecam. Tidak seorang pun yang dapat membelanya. Namun permusuhan mereka terhadap Rasulullah bukan karena dendam. Atau permusuhan lama yang mengakar antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim (ahlul bait).
Setelah memeluk Islam, terutama setelah Fathu Mekah, Bani Umayyah menempati posisi-posisi penting. Bahkan menjadi orang-orang kepercayaan Rasulullah. Benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
النَّاسُ مَعَادِنُ كَمَعَادِنِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي اْلإِسْلاَمِ إِذَا فَقُهُوا
“Manusia ibarat barang tambang berharga seperti tambang emas dan perak. Orang yang mulia pada masa jahiliyah, akan menjadi orang yang mulia juga dalam Islam apabila ia paham agama.” (HR. Muslim).