KISAH MALIK BIN DINAR DAN SAYYAR SI AHLI SUFI YANG MEMBAHAS PAKAIAN

KISAH MALIK BIN DINAR DAN SAYYAR SI AHLI SUFI YANG MEMBAHAS PAKAIAN

Dalam kitab al-Kawâkib al-Duriyyah fî Tarâjim al-Sâdah al-Shûfiyyah, Syekh Zainuddin bin Muhammad Abdurrauf al-Munawi (w. 1031 H) memasukkan sebuah kisah menarik tentang Sayyar bin Dinar dan Malik bin Dinar. Berikut riwayatnya:

وكان له ثياب حسنة يلبسها ويلبس جماعته الصوف، فدخل يوما علي مالك بن دينار فقال له: ما لك تلبس هذه الثياب؟ فقال: ثيابي تضعني عندك أو ترفعني؟ قال: بل تضعك، قال: هذا التواضع. يا مالك، أخاف أن يكون ثوباك نزلا بك من الناس ما لم ينزلا بك من الله تعالي

Terjemah bebas: Sayyar mengenakan pakaian yang bagus, dan jamaahnya (murid-muridnya) mengenakan (pakaian) shuf (wol kasar). Kemudian di suatu hari, ia masuk (berkunjung) ke Malik bin Dinar. Malik bin Dinar bertanya kepadanya: “Pakaian apa yang kau kenakan ini?” Sayyar berkata: “Pakaianku (ini) merendahkan (derajat)ku di hadapanmu atau (malah) menaikannya?” Malik bin Dinar menjawab: “Merendahkanmu.” “Ini adalah tawadu’,” ucap Sayyar. “Malik, aku khawatir dua pakaianmu (ini) diturunkan kepadamu dari manusia, tidak diturunkan kepadamu dari Allah ta’ala” (Syekh Zainuddin bin Muhammad Abdurrauf al-Munawi, al-Kawâkib al-Duriyyah fî Tarâjim al-Sâdah al-Shûfiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2008, juz 1, h. 287).

Dalam riwayat lain, kisah di atas terjadi di sebuah masjid ketika Sayyar bin Dinar shalat mengenakan pakaian yang bagus. Malik bin Dinar menegurnya setelah ia menyelesaikan shalatnya. Ia mengatakan: “Hadzihish shalâh wa hadzihits tsiyâb?” (ini adalah shalat, dan [kau mengenakan] pakaian semacam ini?). Sayyar bin Dinar balik bertanya kepada Malik bin Dinar, “Apakah pakaian ini menambah tinggi derajatku di sisimu atau menambah rendah?” Malik menjawab, “Menambah rendah.” Sayyar mengatakan: “Hadzâ aradtu” (ini yang aku kehendaki). Lalu ia berujar:

يا مالك إني لأحسب ثوبيك هذين قد أنزلاك من نفسك ما لم ينزلك من الله

Terjemah bebas: “Wahai Malik, sungguh aku menduga bahwa dua pakaianmu ini diturunkan padamu dari dirimu sendiri, tidak diturunkan padamu dari Allah” (Imam Abu al-Farj Abdurrahman bin al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 8).

Mendengar jawaban Sayyar bin Dinar, Malik menangis (fabaka mâlik) dan ia bertanya: “Anta sayyâr?” (kau Sayyar?). Kemudian Sayyar menjawab, “Iya.” Sebuah jamuan telah terhampar, antara dua sufi besar; Sayyar bin Dinar dan Malik bin Dinar. Keduanya adalah samudera kearifan, dengan cara dan lakunya sendiri-sendiri. Sayyar yang selalu berpenampilan menarik. Malik yang gemar berpakaian sederhana. Mereka memiliki cara pandang dan niatnya masing-masing, tapi tidak sungkan bertukar pandangan. Ketika Malik bin Dinar menegur caranya berpakaian, Sayyar bin Dinar tidak langsung membela diri. Ia balik bertanya dengan lembut kepada Malik, apakah pakaian yang dikenakannya meninggikan atau merendahkan derajatnya. Malik menjawab, “merendahkan.” Pertanyaan Sayyar bin Dinar mengandung sebuah pelajaran. Ia enggan menilai Malik bin Dinar hanya dari satu pertanyaannya. Bisa jadi, apa yang dikatakan Malik bin Dinar adalah ucapan biasa. Ia khawatir jika ia telah salah menilai Malik bin Dinar. Setelah mendengar jawaban Malik bin Dinar, ia tahu posisi Malik tentang pakaian. Kemudian ia mengatakan, “inilah tawadhu’,” karena orang lain memandang rendah dirinya.

Di riwayat lain, ia mengatakan, “inilah yang aku inginkan.” Artinya, ia ingin dipandang rendah oleh orang lain. Kemudian ia berkata kepada Malik, bahwa pakaian itu kau pandang baik oleh dirimu sendiri, belum tentu Allah memandang sama. Malik pun menangis, ia bertanya, “apakah kau Sayyar?” Ia menjawab, “Iya.” Malik bin Dinar bergegas memeluknya dengan erat (fa’anâqahu). (Imam Abu al-Farj Abdurrahman bin al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, 2009, juz 2, h. 8).

 Malik bin Dinar mengira orang yang di depannya adalah Sayyar karena di daerah ini, orang yang paling zuhud, wara’, berilmu dan bijaksana adalah Sayyar bin Dinar. Sehingga Malik menyimpulkan ia adalah Sayyar dan langsung memeluknya. Ia menyesal telah memandang rendah seseorang dari pakaiannya, apalagi pandangannya belum tentu sama dengan pandangan Tuhannya. Karena hanya Allah lah yang berhak menilai derajat seseorang.

Manusia tidak punya hak sama sekali untuk itu. Perjumpaan Malik bin Dinar dengan banyak wali meluaskan wawasan spiritualnya, hingga mengantarnya menjadi salah satu wali paling ternama di dunia. Ia selalu membuka diri untuk belajar. Ia selalu mengambil hikmah dari ragam peristiwa yang menemuinya. Ia tidak sungkan mengambil pelajaran dari siapa saja. Ia tidak segan mengaku salah jika salah. Ia tidak ragu memperjuangkan kebenaran jika benar.

Karena itu, kita jangan terlalu mudah menilai orang lain, jangan terlalu sombong menganggap diri selalu benar, dan jangan terlalu congkak untuk mengaku salah. Sebagai manusia, tiga “terlalu” tersebut pasti pernah bergerak di hati kita, baik secara sadar maupun tidak. Kisah di atas memberikan pelajaran tentang tiga “terlalu” tersebut, bahwa manusia harus selalu terbuka dalam menggauli, mengakrabi dan menguatkan dirinya. Jangan sampai tertutup dan lemah sehingga mudah dipaksa oleh tiga “terlalu” tersebut.

Namun, pada akhirnya, kekaguman kita pada sebuah kisah tidak akan menjadi apa-apa jika kesadaran dan pencerahan yang hadir hanya sekadar melintas. Kita perlu merumahkannya di hati kita; membuatnya tinggal di jiwa kita, dengan keistiqamahan belajar dan mengambil pelajaran. Tanpa itu, kisah hanya akan menjadi hikmah yang melintas, bukan hikmah yang menetap dan berkembang. Pertanyaannya, sejauh mana hikmah memberi dampak pada kehidupan kita? Atau jangan-jangan ia hanya “numpang lewat” untuk sesaat, dan terlupakan setelahnya. Wallahu a’lam bish-shawwab

Leave your comment here: