HADITS HARUS DI MAKNAI DENGAN TA’WIL ULAMA JANGAN ATAS INISIATIF SENDIRI

HADITS HARUS DI MAKNAI DENGAN TA’WIL ULAMA JANGAN ATAS INISIATIF SENDIRI

Ada tiga pertanyaan :

1. Apakah semua hadits butuh syarah/penjelasan dan tidak bisa hanya diambil dhohir lafadznya saja?

2. Bagaimanakah hukumnya seseorang yg menjelaskan sebuah hadits hanya berdasarkan akal dan perasaannya dan hadist tersebut ia jadikan untuk mendukung opininya tentang suatu hal?

3. Apakah batal jika saat puasa kita membersihkan telinga, saya pernah dengar kalau pada saat puasa tidak boleh memasukkan sesuatu ke dalam lubang tubuh ?

Tidaklah semua orang bisa mengartikan hadits, karena untuk mengartikannya membutuhkan disiplin ilmu bahasa arab dan gramatikalnya (ilmu nahwu), ilmu tentang nasikh dan mansukh nya hadits serta mustolah hadits dan lain-lain. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk menafsirkan hadits sebelum mengetahui beberapa fan ilmu di atas. Namun haruslah berpegangan pada tafsiran para ulama’ yang kompeten dalam ilmunya, yaitu menggunakan kitab syarh mereka bukan dengan menggunakan akal pikiran sendiri. Karena memungkunkan hadits itu ternyata mansukh dengan hadits lain yang lebih akhir, atau tidak sesuai dengan maksud yang disampaikan oleh Nabi. Padahal Rasulullah SAW bersabda :

من كذب علي متعمداً فليتبوأ مقعده من النار

“ Barang siapa secara sengaja mendustakan atasku, maka dia telah mempersiapkan tempatnya di neraka “

Sebagai contoh : Hadits Nabi SAW :

عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Diriwayatkan dari sahabat Anas, bahwa Nabi SAW bersabda “ Tidaklah beriman salah satu diantara kalian sehingga menyukai kebaikan bagi saudaranya apa yang dia suka bagi dirinya sendiri “

Jika kita pandang dari makna dhohir hadits saja, kita akan menganggap banyak orang menjadi kafir karena tidak menyukai untuk saudaranya apa yang dia suka untuk dirinya sendiri. Padahal itu sangatlah sulit bagi setiap orang mukmin, karena secara tabiat orang lebih menyukai untuk dirinya sendiri daripada untuk saudaranya. Adapun menurut para ulama’ maksud dari hadits tersebut adalah nafyul kamal (meniadakan kesempurnaan keimanan), artinya : Tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menyukai kebaikan bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri.

Demikian juga dengan hadits Nabi SAW :

لا صلاة لجار المسجد إلا في المسجد

“ Tidak ada shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid ”

Dhohir arti hadits terebut shalat tetangga masjid yang dilakukan di rumah tidak sah. Sedangkan menurut para ulama’ maksud hadits tersebut adalah nafyul kamal (meniadakan kesempurnaan) : Artinya tidaklah sempurna shalat tetangga masjid kecuali dilakukan di masjid.

Hadits lain Nabi SAW bersabda :

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِن بِاَللَّهِ وَالْيَوْم الْآخِر فَلْيُكْرِمْ ضَيْفه

“ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tamunya “

Dhohir arti hadits tersebut adalah orang yang tidak memuliakan tamunya atau bahkan mengusir tamunya dihukumi kafir. Padahal bukanlah demikian, karena yang dimaksud hadits tersebut sebagaimana keterangan ulama’ adalah alkamal (kesempurnaan iman). Artinya orang yang memuliakan tamu adalah orang yang sempurna keimanannya.

Dan masih banyak sekali hadits-hadits lain semisal hadits di atas yang tidak bisa kami sebutkan yang intinya kita tidak bisa hanya mengambil dari dhohir makna hadits tapi harus lebih dicermati lagi. Oleh karena itu wajib bagi kita yang belum kompeten dalam keilmuannya untuk berpegangan pada tafsiran para ulama’.

Adapun membersihkan telinga bagi orang yang sedang puasa, jika sampai pada bagian dalam telinga (batin telinga), menurut pendapat yang kuat membatalkan puasa jika dilakukan dalam keadaan sengaja dan ingat. Namun menurut pendapat yang lemah dan pendapat Imam al-Ghozali tidak membatalkan karena telinga bukan termasuk lubang yang tembus ke bagian dalam tubuh.

Referensi:

مقدمة ابن الصلاح – (ج 1 / ص 47)

عن أبي داود السنجي قال: سمعت الأصمعي يقول: أن أخوف ما أخاف على طلاب العلم، إذا لم يعرف النحو: أن يدخل في جملة قول النبي صلى الله عليه وسلم: ” من كذب علي فليتبوأ مقعدء من النار ” لأنه صلى الله عليه وسلم لم يكن يلحن، فمهما رويت عنه ولحنت فيه كذبت عليه.  قلت: فحق على طالب الحديث أن يتعلم من النحو واللغة ما يتخلص به من شين اللحن والتحريف ومعرتهما. روينا عن شعبة قال: من طلب الحديث ولم يبصر العربية فمثله مثل رجل عليه رجل برنس ليس له رأس،أوكما قال. عن حماد بن سلمة قال: مثل الذي يطلب الحديث و لايعرف النحو مثل الحمار عليه مخلاة لا شعير فيها. وأما التصحيف: فسبيل السلامة منه الأخذ من أفواه أهل العلم والضبط، فإن من حرم ذلك: و كان أخذه وتعلمه من بطون الكتب، كان من شأنه التحريف، ولم يفلت من التبديل والتصحيف، والله أعلم

الباعث الحثيث في اختصار علوم الحديث – (ج 1 / ص 19)

“ فرع آخر ” : ينبغي لطالب الحديث أن يكون عارفاً بالعربية. قال الأصمعي: ” أخشى عليه إذا لم يعرف العربية أن يدخل في قوله: ” من كذب علي متعمداً فليتبوأ مقعده من النار ” ، فإن النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يلحن ” فمهما رويت عنه ولحنت فيه كذبت عليه ” .وأما التصحيف، فدواؤه أن يتلقاه من أفواه المشايخ الضابطين. والله الموفق

شرح النووي على مسلم – (ج 1 / ص 126(

– قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَا يُؤْمِن أَحَدكُمْ حَتَّى يُحِبّ لِأَخِيهِ أَوْ قَالَ لِجَارِهِ مَا يُحِبّ لِنَفْسِهِ )

هَكَذَا هُوَ فِي مُسْلِم لِأَخِيهِ أَوْ لِجَارِهِ عَلَى الشَّكِّ ، وَكَذَا هُوَ فِي مُسْنَد عَبْد بْن حُمَيْدٍ عَلَى الشَّكِّ ، وَهُوَ فِي الْبُخَارِيِّ وَغَيْره ( لِأَخِيهِ ) مِنْ غَيْر شَكٍّ ، قَالَ الْعُلَمَاء رَحِمَهُمْ اللَّه : مَعْنَاهُ لَا يُؤْمِن الْإِيمَان التَّامّ ، وَإِلَّا فَأَصْلُ الْإِيمَان يَحْصُل لِمَنْ لَمْ يَكُنْ بِهَذِهِ الصِّفَة . وَالْمُرَاد يُحِبّ لِأَخِيهِ مِنْ الطَّاعَات وَالْأَشْيَاء الْمُبَاحَات وَيَدُلّ عَلَيْهِ مَا جَاءَ فِي رِوَايَة النَّسَائِيِّ فِي هَذَا الْحَدِيث ” حَتَّى يُحِبّ لِأَخِيهِ مِنْ الْخَيْر مَا يُحِبّ لِنَفْسِهِ ” قَالَ الشَّيْخ أَبُو عَمْرو بْن الصَّلَاح : وَهَذَا قَدْ يُعَدُّ مِنْ الصَّعْب الْمُمْتَنِع ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ ، إِذْ مَعْنَاهُ لَا يَكْمُل إِيمَان أَحَدكُمْ حَتَّى يُحِبّ لِأَخِيهِ فِي الْإِسْلَام مِثْل مَا يُحِبّ لِنَفْسِهِ ، وَالْقِيَام بِذَلِكَ يَحْصُل بِأَنْ يُحِبّ لَهُ حُصُول مِثْل ذَلِكَ مِنْ جِهَةٍ لَا يُزَاحِمهُ فِيهَا ، بِحَيْثُ لَا تَنْقُص النِّعْمَة عَلَى أَخِيهِ شَيْئًا مِنْ النِّعْمَة عَلَيْهِ ، وَذَلِكَ سَهْل عَلَى الْقَلْب السَّلِيم ، إِنَّمَا يَعْسُرُ عَلَى الْقَلْب الدَّغِل . عَافَانَا اللَّه وَإِخْوَانَنَا أَجْمَعِينَ . وَاَللَّه أَعْلَم

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج  – (ج 5 / ص 202)

( وَالتَّقْطِيرُ فِي بَاطِنِ الْأُذُنِ ) وَإِنْ لَمْ يَصِلْ إلَى الدِّمَاغِ ( وَ ) بَاطِنِ ( الْإِحْلِيلِ ) وَهُوَ مَخْرَجُ الْبَوْلِ مِنْ الذَّكَرِ وَاللَّبَنِ مِنْ الثَّدْيِ وَإِنْ لَمْ يَصِلْ إلَى الْمَثَانَةِ وَلَمْ يُجَاوِزْ الْحَشَفَةَ أَوْ الْحَلَمَةَ ( مُفْطِرٌ فِي الْأَصَحِّ ) بِنَاءً عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ ، وَهُوَ اعْتِبَارُ كُلِّ مَا يُسَمَّى جَوْفًا ، وَالثَّانِي : لَا ، بِنَاءً عَلَى مُقَابِلِهِ إذْ لَيْسَ فِيهِ قُوَّةُ الْإِحَالَةِ ، وَأُلْحِقَ بِالْجَوْفِ عَلَى الْأَوَّلِ الْحَلْقُ .قَالَ الْإِمَامُ : وَمُجَاوَزَةُ الْحُلْقُومِ ، وَيَنْبَغِي الِاحْتِرَازُ حَالَةَ الِاسْتِنْجَاءِ فَإِنَّهُ لَوْ أَدْخَلَ طَرَفَ أُصْبُعِهِ دُبُرَهُ بَطَلَ صَوْمُهُ ، وَكَذَا حُكْمُ فَرْجِ الْمَرْأَةِ وَلَوْ طَعَنَ نَفْسَهُ أَوْ طَعَنَ غَيْرَهُ بِإِذْنِهِ فَوَصَلَ السِّكِّينُ جَوْفَهُ أَوْ أَدْخَلَ فِي إحْلِيلِهِ أَوْ أُذُنِهِ عُودًا أَوْ نَحْوَهُ فَوَصَلَ إلَى الْبَاطِنِ بَطَلَ صَوْمُهُ

التقريرات السديدة /451-452

المفطر السادس : وصول عين من منفذ مفتوح الى الجوف

(قوله: وصول عين) خرج به الهواء، فلا يضر وصول هواء الى الجوف وكذلك مجرد الطعم والريح بدون عين فلا يفطر ما وصل منهما الى الجوف. (قوله: منفذ مفتوح) خرج به اذا وصلت العين الى الجوف من منفذ غير مفتوح كالدهن ونحوه بتشرب المسام. وكل المنافذ مفتوحة في مذهب الإمام الشافعي الا العين، وكذلك الأذن عند الإمام الغزالي