PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA QIRO’AT DAN TAJWID DALAM MEMBACA AL-QUR’AN
Ada dua term dalam bacaan Al-Qur’an yang masih menjadi sorotan para pengaji ilmu Al-Qur’an, yaitu term tajwid dan ilmu qira’at. Di satu sisi, qira’at adalah sebuah term yang memiliki akses besar dalam kajian bacaan Al-Qur’an, bahkan tidak berlebihan jika ada adagium mengatakan bahwa seseorang tidak akan mencapai kesempurnaan dalam bacaan Al-Qur’an tanpa mengetahui ilmu qira’at.
Sementara di sisi yang lain, ilmu tajwid merupakan term yang sangat penting dalam bacaan Al-Qur’an bahkan tidak berlebihan jika Imam al-Jazari mengatakan bahwa seorang yang membaca Al-Qur’an tanpa menggunakan ilmu tajwid, maka ia berdosa.
Imam al-Jazari berkata:
والأخذ بالتّجويد حتم لازم *** من لم يجوّد القرآن آثم لأنّـــه بــه الإلـــه أنـــزلا *** وهكذا منه إلينا وصلا
Artinya: “Menggunakan tajwid (dalam membaca Al-Qur’an) adalah keharusan. Barangsiapa yang tidak menggunakan tajwid dalam membaca Al-Qur’an maka ia berdosa. Sesungguhnya Allah menurunkan Al-Qur’an dengan (memakai) tajwid, begitu pula bacaan itu hingga sampai kepada kita”.
Apakah keduanya berkelindan dalam satu masalah atau memiliki perbedaan yang mendasar?
Untuk itu, di sini akan dijelaskan perbedaan dan kesamaan keduanya agar dapat dipahami secara proporsional dan dipetakan secara tepat. Oleh karena itu, maka perlu kiranya memetakan difinisi keduanya dan fokus objek pembahasannya.
Qira’at adalah suatu ilmu yang membahas tentang cara baca dalam lafadz-lafadz Al-Qur’an, baik menyangkut perpindahan huruf maupun harakat, perubahan dialek seperti tahqiq, isymam, imalah, dan lain-lain dengan menisbatkan bacaan itu kepada penukilnya.
Dalam hal ini al-Jazari mengatakan:
علم بكيفية أداء كلمات القرآن واختلافها بعزو الناقلة
Artinya: “ilmu yang mempelajari tentang tata cara mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan menisbatkan kepada penukilnya.”
Selain itu, qira’at adalah sebuah bacaan yang memiliki jalur yang sah dan otentik yang bersambung kepada Nabi Muhammad, baik melalui periwayatan maupun penukilan. Bacaan ini bersumber dari Nabi secara langsung yang kemudian riwayatkan kepada generasi tabi’in oleh para sahabat hingga sampai kepada kita.
Dalam ilmu qira’at memiliki objek kajian yang terfokus dua aspek, yaitu: pertama, kajian yang menyangkut pada kalimat-kalimat Al-Qur’an yang bersifat komprehensif, seperti bacaan panjang, pendek, tashil, idgham, imalah, taqlil, dan lain-lainnya. Kajian ini dalam ilmu qira’at disebut “Usul al-Qira’at”.
Sedangkan yang kedua yaitu kajian yang terkait pada aspek kalimat-kalimat Al-Qur’an yang bersifat parsial, yaitu seperti membaca lafadz (مالك), al-Baqarah: 3.
Pada lafadz ini Imam Asim dan Imam al-Kisa’i membaca panjang huruf mim, yang berarti pemilik. Sementara Imam-imam yang lainnya membaca pendek huruf mim yang berarti penguasa.
Dalam lafadz (مالك) ini hanya berlaku pada surat al-Baqarah saja meskipun pada surat-surat yang lain ditemukan lafadz-lafadz seperti di atas. Kajian yang kedua ini disebut dengan al-Furu’ atau al-Furusy..
Sementara pengertian tajwid dalam bahasanya berasal dari kata “jawwada”, yang memiliki arti memperindah atau memperbagus. Sedangkan secara istilah, para ulama memberikan pengertian tajwid sebagaimana berikut:
Imam al-Suyuthi mengungkapkan definisi tajwid sebagai berikut:
إِعْطَاءُ الْحُرُوفِ حُقُوقَهَا وَتَرْتِيبَهَا وَرَدُّ الْحَرْفِ إِلَى مَخْرَجِهِ وَأَصْلِهِ وَتَلْطِيفُ النُّطْقِ بِهِ عَلَى كَمَالِ هَيْئَتِهِ مِنْ غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا تَعَسُّفٍ وَلَا إِفْرَاطٍ وَلَا تَكَلُّفٍ
“Tajwid adalah mengucapkan huruf sesuai hak-haknya dan tertibnya, dan mengembalikannya kepada makhraj dan asalnya, dan melembutkan bacaanya secara sempuran tanpa berlebih-lebihan, serampangan, tergesa-gesa dan dipaksakan”.
Sayyid al-Murshifi menjelaskan definisi tajwid sebagai berikut:
إخراج كل حرف من مخرجه وإعطاءه حقه ومستحقه من الصفات
Artinya: “mengucapkan setiap huruf-huruf dari makhrajnya dan memberikannya sesuai dengan hak-haknya dan hak-haknya yang baru timbul”.
Adapun yang dimaksud dengan “haqqul huruf” adalah sifat yang melekat dan tetap pada sebuah huruf, seperti jahr, shiddah, isti’la’, istifal, ithbâq, qalqalah, dan lain-lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan “mustahiqqul huruf” adalah sifat-sifat yang baru timbul sebab suatu keadaan, seperti tipis (tarqîq) tebal (tafkhîm) dan lain-lain.
Sementara objek pembahasan dalam ilmu tajwid lebih fokus pada ruang lingkup pengucapan sifat dan makhraj huruf dalam Al-Qur’an. Sementara pada qira’at lebih fokus pada pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur’an, baik perubahan huruf maupun harakat yang sifatnya melalui penukilan dari seorang perawi maupun imam secara mutawatir.
Seperti misalnya dalam lafadz ( يحزنك ), dalam hal ini, tajwid lebih fokus pada pengucapan sifat dan makhraj huruf serta bacaan ikhfa’ yang meliputi kadar dengungnya, durasi dan tingkat tebal dan tipis dalam pengucapan ikhfa’nya. Sementara dalam qira’at lebih fokus pada sisi periwayatannya, apakah dalam lafadz itu, huruf ya’-nya dibaca dhammah dan huruf zay-nya dibaca kasrah atau huruf ya’-nya dibaca fathah dan huruf zay-nya dibaca dhammah.
Oleh sebab itu, dari pemetaan di atas dapat disimpulkan sebagaimana berikut:
1. Kesamaan antara qira’at dan tajwid adalah keduanya sama-sama mengaji tentang Usuliyyat al-Qira’at, seperti idgham, idhhar hukum nun sukun dan tanwin, dan lain lain. Maka dari itu, tajwid adalah bagian dari qira’at.
2. Perbedaannya sebagaimana berikut:
Qira’at mengaji tentang kalimat-kalimat Al-Qur’an yang bersifat parsial, perbedaan bacaan dan dialek kebahasaan. Sedangkan ilmu tajwid lebih menekankan pada aspek kalimat-kalimat Al-Qur’an dari sisi makhraj dan sifat-sifat huruf dan teknis memperindah bacaan.
Qira’at berpegang pada riwayat (rantai sanad) sedangkan tajwid berpedoman pada dirayat (disiplin ilmu).
Qira’at dari sisi fokus pada penukilan dan periwayatan, sementara tajwid fokus kemampuan seorang qari’ dalam menganalisis tingkat kadar suara huruf dan sifat-sifatnya, baik saat sendirian maupun saat menjadi susunan kata dengan kalimat lain.
WALLOHU A’LAM