Ingat Liberal dan Moderat? Ini Paparan Menteri Agama Yang Dulu

Ingat Liberal dan Moderat? Ini Paparan Menteri Agama Yang Dulu

Selama ini ada orang atau kelompok beragama yang mengaku dirinya bersikap moderat. Hanya saja terkadang dalam beberapa kasus dinilai kebablasan sertajauh dari karakter moderat, sehingga malah ada yang menyebut ekstrem atau liberal.

Demikian sebuah masalah yang ditanyakan oleh salah satu peserta Kopi Darat (Kopdar) Santrinet Nusantara Jum’at (10/08) kemarin, di kantor Kemenag, Jakarat Pusat. Berangkat dari situ Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan bahwa liberal itu artinya terlalu bebas, yang juga sebuah ekstremitas tertentu. Ia mencontohkan ada seseorang memakai baju Santa termasuk bagian budaya, seperti halnya budaya orang Islam yang memakai jubah atau sarung.

“Tidak ada kewajiban orang memakai baju Santa dalam agama Kristiani. Tetapi ketika di komunitas, misalnya di kota santri, masyarakat yang sangat memegangi nilai-nilai Islam lalu anda pakai baju Santa, bagi saya anda terlalu liberal. Karena ajaran agama itu harus melihat konteksnya,” ucap Menag saat membuka acara Kopdar Akbar Santrinet Nusantara. Lukman mengisahkan, dahulu mujtahid Imam Syafi’i ketika tinggal di Irak berpendapat bahwa semua laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya tidak membatalkan wudu. Namun ketika hijrah ke Mesir, Imam Syafi’i berbeda ijtihadnya, bahwa semua laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya membatalkan wudu.

“Bahkan seorang ulama besar pandangannya bisa berbeda karena konteksnya berbeda. Lalu murid-muridnya mencoba menginterpretasikan karena ketika Imam Syafi’i masih ada, beliau tidak pernah menjelaskan kenapa pandangnnya berbeda,” kisah Lukman. Maka, lanjut Menag, murid-muridnya menjelaskan bahwa ketika di Baghdad, air itu susah sehingga demi untuk kemaslahatan, tidak menyulitkan orang banyak, tidak apa-apa. Tetapi ketika beliau ada di Mesir air sangat melimpah maka sebaiknya wudu itu diperbaiki lagi.

Menag Lukman menyampaikan dua poin penting, pertama apabila seseorang masuk kepada kutub ekstrem, apakah terlalu konservatif, apakah terlalu liberal, tidak hanya semata pada perspektif fikihnya, karena dalam fikih itu pendapatnya aktual dan banyak pandangan. “Contoh ketika shalat, tahiyat ada yang tunjuk tangan ada yang tidak. Yang tunjuk tangan ada yang bergerak-gerak, ada yang muter-muter, kan macem-macem itu tetap bisa ditoleransi, karena memang ada rujukannya,” contoh Menag.

Dikatakan, kitab-kitab itu (Hidayatul Mujtahid) menjelaskan kenapa ada yang menunjuk ada yang tidak, kenapa ada yang putar-putar ada yang gerak-gerak itu ada rujukannya. Ketika sudah tidak ada rujukannya maka itu yang bersifat ekstrem, itu yang tidak bisa ditolerir. Yang kedua, lanjut Lukman, jangan hanya melihatnya dari perspektif syar’i tapi konteks lingkungan strategis juga harus dilihat. Lantaran dalam agama, hukum itu juga dipengaruhi oleh ruang lingkup di mana seseorang tinggal. “Konteks juga penting, itu yang saya katakan sebagai tenggang rasa, tepo seliro pada ajaran leluhur kita. Kita bisa merasakan meskipun benar menurut saya tapi kebenaran saya ini apa bisa diterima oleh lingkungan saya. Ketika tidak bisa, maka harus hormati, hargai dengan apa yang tidak sama dengan kita,” tegas Menag.