MANFAAT AIR KELAPA HIJAU DAN HUKUM JUAL BELINYA

Khasiat dan manfaat air Kelapa Hijau

Saat ini air kelapa dari jenis kelapa hijau sangat digemari di masyarakat, karena manfaat air kelapa hijau memang sangat banayk sekali. Air kelapa hijau mengandung banyak manfaat dan juga harga dari air kelapa hijau lebih mahal dibandingkan dengan air kelapa biasa. Air kelapa hijau baik dikonsumsi untuk anak-anak, remaja, dan juga orang tua, bahkan untuk ibu hamil dan bayi. Ini lah 20 manfaat dari air kelapa hijau.

1. Kelapa Hijau Untuk Menurunkan berat badan

2. Air Kelapa Hijau dapat menetralisir racun dalam tubuh

Manfaat air kelapa hijau selanjutnya adalah untuk menetralisir racun dalam tubuh. Sudah sejak dahulu masyarakat mempercayai bahwa air kelapa hijau ampuh menbuang racun yang terdapat di dalam tubuh. Kandungan Tanin dan antidotum (anti racun) yang terdapat pada air kelapa hijau sangatlah tinggi. Air kelapa hijau juga mengandung enzim yang dapat mengurai sifat racun dalam tubuh.

3. Menghilangkan dehidrasi

Air kelapa hijau memiliki banyak kesamaan dengan cairan yang berada di dalam tubuh kita. Selain itu kandungan elektrolit dalam air kelapa hijau sangatlah tinggi. Air kelapa hijau yang memiliki kandungan elektrolit yang sangat tinggi dapat menggantikan cairan yang hilang di dalam tubuh kita ketika kita sedang beraktivitas. Kandungan lain yang terdapat dalam air kelapa hijau adalah potasium yang berguna untuk menjaga tekanan air dalam sel dan di dalam darah. Selain itu, air kelapa hijau sangat mudah diserap tubuh. Hal itulah yang menjadi alesan mengapa air kelapa hijau dapat menghilangkan dehidrasi dalam tubuh.

4. Sebagai anti penyakit untuk ibu hamil dan janin

Air kelapa hijau mengandung senyawa asam laurat, senyawa ini dapat membantu melawan berbagai penyakit. Asam laurat ini juga ditemukan dalam ASI dan memiliki kesamaan karakteristik untuk antijamur, anti bakteri, dan anti virus. Sehingga air kelapa hiaju ini baik untuk ibu hamil dan janin

5. Menambah energi di dalam tubuh

Untuk Anda yang memiliki banyak kegiatan yang cukup berat, air kelapa hijau dapat digunakan sebagai minuman untuk menambah energi secara alami. Air kelapa hijau juga mempunyai efek normalisasi. Kandungan vitamin yang cukup banyak pada air kelapa hijau dapat menambah energi kita saat sedang beraktifitas. Air kelapa hijau dapat diminum dengan mencampurkannya dengan madu.

6. Menambah kandungan gizi di dalam tubuh

Bagi Anda yang merasa kekurangan gizi, maka Anda dapat mengkonsumsi air kelapa hijau sebagai tambahan gizi untuk tubuh Anda. Banyaknya vitamin dan mineral yang mudah diserap dapat membantu mencukupi gizi bagi tubuh Anda.

7. Menjaga kesehatan jantung

Banyaknya vitamin dan kandungan yang berguna untuk tubuh yang terdapat dalam air kelapa hijau ternyata juga dapat digunakan untuk menjaga kesehatan jantung

8. Menjaga kesehatan ginjal

Ginjal merupakan organ yang sangat penting bagi tubuh kita. Dengan mengkonsumsi air kelapa hijau secara rutin, maka kita dapat menjaga kesehatan pada ginjal.

9. Menjaga sistem pencernaan

Bagi Anda yang mengalami kesulitan dalam sistem pencernaan seperti susah buang air besar, maka Anda dapat mencoba air kelapa hijau sebagai obatnya. Kandungan air kelapa hijau yang dapat mengurai racun dalam tubuh dapat juga mengurai sampah atau kotoran yang terdapat dalam tubuh dan dikeluarkan melalui buang air besar.

10. Menangkal radikal bebas

Air kelapa hijau mengandung zat antioksidan yang dapat membantu menangkal radikal bebas sehingga membantu menghambat penuaan dini pada kulit.

11. Menjaga tekanan darah agar tetap stabil

Air kelapa hijau yang mengandung magnesium dan kalium dapat membantu untuk menjada tekanan darah agar tetap stabil untuk para penderita darah tinggi secara alami.

12. Mengobati penyakit migran

Kandungan magnesium yang dimiliki air kelapa hijau dapat membantu pengobatan penyakit migran.

13. Menjaga kadar kolesterol

Untuk Anda yang mempunyai masalah pada kadar kolesterol yang tinggi, maka Anda dapat mengkonsumsi air kelapa hijau secara rutin. Kandungan lemak yang rendah pada air kelapa hijau di percaya dapat menjaga kadar kolesterol dalam tubuh kita.

14. Mendukung sistem imun

Kandungan asam laurat yang berupa anti virus dan anti bakteri yang terdapat di dalam air kelapa hijau dapat membantu tubuh dalam menjaga sistem imun serta membantu membunuh cacing – cacing berbahaya dalam tubuh.

15. Meningkatkan HDL

Kandungan lemak yang rendah pada air kelapa hijau di percaya dapat meningkatkan HDL (kolesterol baik) dalam tubuh kita.

16. Menyembuhkan alergi pada kulit

Beberapa alergi kulit terjadi karena adanya virus, bakteri, atau pun jamur. Air kelapa hijau yang mempunyai sifat mengurai virus, bakteri, dan jamur dapat membantu menyembuhkan alergi pada kulit Anda.

17. Mengatasi rambut rontok

Belum banyak yang mengetahui bahwa air kelapa hijau berguna juga untuk mengatasi rambut rontok. Kandungan glukosa, asam amino, fruktosa, sakarosa, mineral, dan sukrosa dapat membantu mengatasi rambut rontok akibat ketombe. Penggunaan air kelapa sebagai obat mengatasi rambut rontok yaitu dengan cara campurkan garam kedalam air kelapa hijau lalu diamkan semalaman. Setelah semalaman didiamkan, maka usapkan pada kepala dari kulit kepala hingga ujung rambut dan pijat – pijat sebentar. Setelah itu bungkus dengan handuk dan diamkan semalaman dan bilas dengan hair hangat keesokan harinya

18. Membuat kulit menjadi mulus

Kecantikan kulit adalah hal yang sangat diidam – idamkan oleh setiap wanita. Senyawa yang terdapat dalam air kelapa bermanfaat untuk membentuk jaringan kolagen pada kulit.

Cara penggunaannya :

cukuplah mudah, hanya dengan cara meminum atau dengan cara mencuci wajah dengan air kelapa hijau secara rutin dapat membantu menghilangkan jerawat, menghilangkan noda hitam pada wajah, menghilangkan kerutan halus pada wajah, menjaga kelembaban pada kulit, dan mencagah penuaan dini pada kulit wajah.

19. Sebagai obat untuk penyakit demam

Banyaknya zat yang terdapat pada air kelapa juga dapat membantu menurunkan panas demam. Air kelapa hijau dapat digunakan sebagai obat pertolongan pertama, yaitu dengan cara campurkan segelas air kelapa hijau dengan satu sendok makan madu kedalam air hangat lalu diminumkan kepada penderita demam.

Jual beli kelapa yang belum dikupas hukumnya khilaf :

1. Menurut Qoul Al-Azhhar tidak sah.

2. Menurut Muqobilul Azhhar diantaranya Imam Al Baghowiy dan Imam Al Ruyaaniy jga menurut Imam madzhab yang tiga hukumnya sah tapi bagi pembeli diperbolehkan khiyar ketika melihat.

– Ahkamul Fuqoha :

أحكام الفقهاء، ج 1 ص 23،  ما قولكم فيمن اشترى شيئا لايراه قبل العقد كاللبن فى إنائه والبصل فى النرجيل فى قشره العليا فهل يصح البيع أم لا؟

ج: اختلف العلماء فى صحة ذلك البيع قيل انه صحيح وعليه الائمة الثلاثة وقيل لا وهو القول الجديد الاظهر قال فى شرح سلم التوفيق فى باب الربا ص 53 مانصه: ويحرم بيع مالم يره قبل العقد حذرا من الغرر اى البيع المشتمل على الغرر فى البيع

Apa pendapatmu tentang orang yang membeli barang yang belum ia lihat sebelum aqad, seperti susu dalam kaleng dan bawang yang masih ada kulit bagian atas, apakah sah jual belinya apa tidak ? Jawab : ulama’ beda pendapat tentang sahnya jual beli tersebut : ada yang mengatakan sah yaitu 3 imam dan ada yang mengatakan tidak sah dan ini adalah qoul jadid yang adzhar. Syeh Nawawi berkomentar dalam syarah kitab sullam taufiq pada bab riba hal 53 menetapkan, haram beli barang yang tidak terlihat sebelum aqad dikhawatirkan ada unsur ghoror / penipuan dalam arti jual beli yang mencakup unsur penipuan.

– Ibarot lain :

.والأظهر أنه لا يصح في غير نحو الفقاع كما مر بيع الغائب وهو ما لم يره المتعاقدان أو أحدهما ثمنا أو مثمنا ولو كان حاضرا في مجلس البيع الى أن قال والثاني وبه قال الأئمة الثلاثة يصح البيع إن ذكر جنسه وإن لم يرياه ويثبت الخيار للمشتري عند الرؤية لحديث فيه ضعيف بل قال الدار قطني باطل

 نهاية المحتاج ٣/٤١٦

ويحرم أيضا بيع ما لم يره قبل العقد حذرا من الغرر أى الخطر إلى أن قال وفي صحة بيع ذلك قولان أحدهما أنه يصح و به قال الأئمة الثلاثة و طائفة من أئمتنا منهم البغوي والروياني والجديد الأظهر أنه لا يصح لأنه غرر إنتهى

 سلم التوفيق ص : ٥٣

وفي قول يصح بيع المجهول، و به قال الأئمة الثلاثة

 بغية المسترشدين ص : ١٢٤

NIFAS DAN DARAH YANG KELUAR SETELAH 60 HARI

Waktu nifas minimal satu tetes atau sebentar. Maksimalnya 60 hari 60 malam, terhitung sejak dari keluarnya seluruh tubuh janin atau gumpalan daging.

Hitungan nifas dimulai sejak usai melahirkan, bukan sejak keluarnya darah. Tetapi yang dihukumi nifas sejak keluarnya darah. Jadi wanita yang melahirkan tanggal 1 kemudian tanggal 10 baru keluar darah, maka hitungan 60 hari 60 malam dihitung sejak tanggal 1. Sedang yang dihukumi nifas sejak tanggal 10. Jadi antara tanggal 1 sampai dengan tanggal 9 dihukumi suci, dan tetap wajib melakukan shalat.

Bila jarak antara selesai melahirkan dengan keluarnya darah itu mencapai 15 hari 15 malam (360 jam), maka darah tersebut tidak dihukumi nifas. Melainkan darah haid.

Wanita yang mengalami pendarahan dengan terputus-putus sebelum 60 hari 60 malam setelah melahirkan, maka semua darahnya dihukumi nifas. Sedangkan masa bersih di sela-sela nifas hukumnya sama dengan masa bersih di sela-sela haid. Ada yang menghukumi suci, ada yang menghukumi nifas.

Tapi perlu diingat, bila putusnya mencapai 15 hari 15 malam. Maka darah setelah masa putus tersebut bukan lagi nifas melainkan haid. Dan masa putus tersebut dihukumi suci.

Pendarahan yang karena melahirkan yang terjadi sebelum atau menyertai kelahiran tidak dihukumi nifas, ataupun haid. Kecuali bila bersambung dengan pendarahan haid yang terjadi sebelumnya. Misalnya wanita yang sebelum merasakan sakit akan melahirkan sudah mengalami pendarahaan beberapa hari (lebih 24 jam) sampai dengan terasa akan melahirkan ia tetap mengalami pendarahan. Maka semua darahnya dihukumi haid.

JIKA KELUAR DARAH NIFAS LEBIH DARI 60 HARI

Ada perempuam setelah melahirkan, mengelurakan darah 67 hari dengan rincian sebagai berikut:

– Darah Lemah 50 hari

– Darah Kuat 17 hari

Berapa hari yang dihukumi nifas.

Dalam hal ini perempuan tersebut dihukumi ghoiru mumayyizah atau redaksi lain mumayyizah faaqidatun lissyarti. Tapi hukumnya tetap sama yaitu menggunakan konsep ghoiru mumayyizah.

Kalau dirasa berat mengqodloi sholatnya karena mestinya jika ghoiru mumayyizah jika mubtadi’ah dikembalikan ke lahdloh dan sisanya selama 60 hari wajib diqodlo sholatnya. Maka jika keberatan bisa taqlid pada pendapat muqobilul adhar yang mengatakan Nifasnya dikembalikan 40 hari. Jadi mengqodloi sisanya, sebenarnya ada yang lebih meringankan yakni pendapat yang ghorib bahwa Nifasnya dikembalikan 60 hari, namun sekali lagi ini pendapat yang ghorib, lebih baik kalau mau taqlid pada pendapat muqobil adhar saja. Kemudian untuk mu’tadah dikembalikan ke adatnya (kebiasaan).

a. Seorang wanita yang belum pernah haidl dan nifas, setelah melahirkan keluar darah selama 90 hari lebih sedikit. Maka, yang dihukumi nifas adalah darah setetes pertama, 29 hari 29 malam setelahnya dihukumi istihadloh, sehari semalam setelahnya dihukumi haidl, dan 29 hari 29 malam dihukumi istihadloh, sehari semalam haidl. Demikian pula 29 hari 29 malam selanjutnya dihukumi istihadloh dan sehari semalam haidl.

b. Bila ia sudah pernah haidl dan suci dan ingat kebiasaan haidlnya, maka yang dihukumi nifas adalah darah setetes pertama. Kemudian darah yang sama dengan kebiasaan suci dari haidl dihukumi istihadloh. Dan darah yang lamanya sama dengan kebiasaan haidl, dihukumi haidl, begitu seterusnya.

Contoh:

Seorang wanita yang belum pernah nifas, adat haidlnya 5 hari dan sucinya 25 hari. Lalu setelah melahirkan keluar darah selama 70 hari lebih sedikit. Maka, yang dihukumi nifas adalah darah setetes pertama, 25 hari setelahnya dihukumi istihadloh, 5 hari setelahnya dihukumi haidl, 25 hari setelahnya dihukumi istihadloh, 5 hari selanjutnya dihukumi haidl, 10 hari setelahnya dihukumi istihadloh.

Wallohu a’lam.

Referensi :

المجموع شرح المهذب ج ٢ ص ٤٣٤

( الْحَالُ الثَّانِي ) : أَنْ يَتَقَدَّمَ الضَّعِيفُ وَهِيَ مَسَائِلُ الْكِتَابِ وَلَهَا صُوَرٌ ( إحْدَاهَا ) : أَنْ يَتَوَسَّطَ قَوِيٌّ بَيْنَ ضَعِيفَيْنِ بِأَنْ تَرَى خَمْسَةً حُمْرَةً ثُمَّ خَمْسَةً سَوَادًا ثُمَّ تُطْبِقُ الْحُمْرَةُ أَوْ تَرَى خَمْسَةً حُمْرَةً ثُمَّ عَشَرَةً سَوَادًا ثُمَّ تُطْبِقُ الْحُمْرَةُ ، فَفِيهَا الْأَوْجُهُ الثَّلَاثَةُ الَّتِي حَكَاهَا الْمُصَنِّفُ ، وَهِيَ مَشْهُورَةٌ حَكَوْهَا عَنْ ابْنِ سُرَيْجٍ ، أَصَحُّهَا بِاتِّفَاقِهِمْ أَنَّ حَيْضَهَا السَّوَادُ الْمُتَوَسِّطُ ، وَيَكُونُ مَا قَبْلَهُ وَبَعْدَهُ طُهْرًا لِلْحَدِيثِ : ” { دَمُ الْحَيْضِ أَسْوَدُ } ” وَهُوَ حَدِيثٌ صَحِيحٌ كَمَا بَيَّنَّاهُ ; وَلِأَنَّ اللَّوْنَ عَلَامَةٌ بِنَفْسِهِ فَقُدِّمَ وَلِهَذَا قَدَّمْنَا التَّمْيِيزَ عَلَى الْعَادَةِ عَلَى الْمَذْهَبِ . وَالثَّانِي : أَنَّهَا فَاقِدَةٌ لِلتَّمْيِيزِ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ مِنْ التَّعْلِيلِ ; وَلِأَنَّ الْجَمْعَ بَيْنَ الدَّمَيْنِ خِلَافُ مُقْتَضَى الْعَمَلِ بِالتَّمْيِيزِ ، وَالْعُدُولُ عَنْ الْأَوَّلِيَّةِ مَعَ إمْكَانِ الْعَمَلِ بِهَا بَعِيدٌ ، فَيَكُونُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ فِي الْمُبْتَدَأَةِ فَتَحِيضُ مِنْ أَوَّلِ الْحُمْرَةِ يَوْمًا وَلَيْلَةً فِي قَوْلٍ ، وَسِتًّا وَسَبْعًا فِي قَوْلٍ . وَالثَّالِثُ : يُجْمَعُ بَيْنَ الْأَوَّلِيَّةِ وَاللَّوْنِ فَيَكُونُ حَيْضُهَا الْحُمْرَةَ الْأُولَى مَعَ السَّوَادِ ، هَذَا إذَا أَمْكَنَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا ، فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ بِأَنْ رَأَتْ خَمْسَةً حُمْرَةً ثُمَّ أَحَدَ عَشَرَ سَوَادًا فَإِنْ قُلْنَا فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى يُقَدَّمُ اللَّوْنُ أَوْ قُلْنَا فَاقِدَةٌ لِلتَّمْيِيزِ فَكَذَا هُنَا ، وَإِنْ قُلْنَا بِالْجَمْعِ فَهُوَ مُتَعَذِّرٌ هُنَا فَتَكُونُ فَاقِدَةً لِلتَّمْيِيزِ ، وَفِيهِ وَجْهٌ مَشْهُورٌ أَنَّ حَيْضَهَا الْحُمْرَةُ الْأُولَى تَغْلِيبًا لِلْأَوَّلِيَّةِ ; لِتَعَذُّرِ الْجَمْعِ . قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ : هَذَا الْوَجْهُ هَفْوَةٌ لَا أَعُدُّهُ مِنْ الْمَذْهَبِ . هَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ مِنْ التَّفْصِيلِ وَالْخِلَافِ هُوَ الْمَشْهُورُ ، وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ . وَقَالَ صَاحِبُ الْحَاوِي : إنْ كَانَتْ مُبْتَدَأَةً فَحَيْضُهَا السَّوَادُ بِلَا خِلَافٍ ، وَإِنْ كَانَتْ مُعْتَادَةً فَوَجْهَانِ : ، قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ وَأَبُو عَلِيٍّ : حَيْضُهَا الْحُمْرَةُ ، وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ وَجُمْهُورُ الْمُتَأَخِّرِينَ : حَيْضُهَا السَّوَادُ وَحْدَهُ

Fokus :

( الصُّورَةُ الثَّانِيَةُ ) : رَأَتْ خَمْسَةً حُمْرَةً ثُمَّ أَطْبَقَ السَّوَادُ فَجَاوَزَ الْخَمْسَةَ عَشَرَ فَثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ ، الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ أَنَّهَا فَاقِدَةٌ لِلتَّمْيِيزِ فَتَحِيضُ مِنْ أَوَّلِ الْحُمْرَةِ يَوْمًا وَلَيْلَةً فِي قَوْلٍ وَسِتًّا أَوْ سَبْعًا فِي قَوْلٍ : وَبِهَذَا الْوَجْهِ قَطَعَ الْبَغَوِيّ وَادَّعَى الِاتِّفَاقَ عَلَيْهِ . وَالثَّانِي : الْحَيْضُ مِنْ أَوَّلِ السَّوَادِ يَوْمًا وَلَيْلَةً فِي قَوْلٍ وَسِتًّا أَوْ سَبْعًا فِي قَوْلٍ : وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ ذَكَرَهُمَا الْمُصَنِّفُ بِدَلِيلِهِمَا . وَالثَّالِثُ حَكَاهُ الْخُرَاسَانِيُّونَ : حَيْضُهَا الْحُمْرَةُ لِقُوَّةِ الْأُولَى وَهُوَ ضَعِيفٌ جِدًّا كَمَا قَدَّمْنَاهُ

المهذب بهامش المجموع ج ٢ ص ٥٤٧

قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى ( وَإِنْ نَفِسَتْ الْمَرْأَةُ وَعَبَرَ الدَّمُ السِّتِّينَ فَحُكْمُهَا حُكْمُ الْحَيْضِ إذَا عَبَرَ الْخَمْسَةَ عَشَرَ فِي الرَّدِّ إلَى التَّمْيِيزِ وَالْعَادَةِ وَالْأَقَلِّ وَالْغَالِبِ لِأَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ الْحَيْضِ فِي أَحْكَامِهِ فَكَذَلِكَ فِي الرَّدِّ عِنْدَ الْإِشْكَالِ )

روضة الطالبين ج ١ ص ١٧٨

فَصْلٌ إِذَا جَاوَزَ دَمُ النُّفَسَاءِ سِتِّينَ ، فَقَدِ اخْتَلَطَ نِفَاسُهَا بِاسْتِحَاضَتِهَا . وَطَرِيقُ التَّمْيِيزِ بَيْنَهُمَا ، مَا تَقَدَّمَ فِي الْحَيْضِ . هَذَا هُوَ الصَّحِيحُ الْمَعْرُوفُ

وَفِي وَجْهٍ : نِفَاسُهَا سِتُّونَ . وَمَا بَعْدَهَا اسْتِحَاضَةٌ إِلَى تَمَامِ طُهْرِهَا الْمُعْتَادِ ، أَوِ الْمَرْدُودِ إِلَيْهِ إِنْ كَانَتْ مُبْتَدَأَةً ، وَمَا بَعْدَهُ حَيْضٌ

فِي وَجْهٍ ثَالِثٍ : نِفَاسُهَا سِتُّونَ . وَمَا بَعْدَهَا حَيْضٌ مُتَّصِلٌ بِهِ . وَاتَّفَقَ الْجُمْهُورُ عَلَى تَضْعِيفِ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ ، وَالتَّفْرِيعُ عَلَى الصَّحِيحِ

الى ان قال  وَأَمَّا الْمُمَيِّزَةُ فَتَرُدُّ إِلَى التَّمْيِيزِ بِشَرْطِهِ . كَالْحَائِضِ ، وَشَرْطُ تَمْيِيزِ النُّفَسَاءِ ، أَنْ لَا يَزِيدَ الْقَوِيُّ عَلَى سِتِّينَ يَوْمًا . وَلَا ضَبْطَ فِي أَقَلِّهِ ، وَلَا أَقَلِّ الضَّعِيفِ

روضة الطالبين وعمدة المفتين ج ١ ص ٦٥ مكتبة الشاملة

المستحاضة الثانية والثالثة المبتدأة المميزة وغير المميزة أما غير المميزة فترد إلى لحظة على الأظهر وإلى أربعين على الثاني هذا هو المذهب وفي قول غريب ترد إلى ستين وفي وجه إلى اللحظة جزما ثم إن كانت هذه النفساء معتادة في الحيض حسب لها بعد مرد النفاس طهرها ثم حيضها المعتادان وإن كانت مبتدأة فيه أقمنا طهرها ثم حيضها على ما تقتضيه حال المبتدأة

أسنى المطالب ج ٢ ص١٦٧

( فَصْلٌ فَإِنْ جَاوَزَ ) دَمُ النُّفَسَاءِ ( السِّتِّينَ جَرَتْ عَلَى عَادَتِهَا فِي النِّفَاسِ ) إنْ كَانَتْ مُعْتَادَةً فِيهِ ( وَيُفْرَضُ ذَلِكَ ) أَيْ الْخَارِجُ فِي عَادَتِهَا ( حَيْضَةٌ ثُمَّ تَمْكُثُ ) بَعْدَهُ إنْ كَانَتْ مُعْتَادَةً فِي الْحَيْضِ ( قَدْرَ طُهْرِهَا مِنْهَا ) أَيْ مِنْ الْحَيْضَةِ ( فِي الْعَادَةِ ) فِي الطُّهْرِ ( ثُمَّ تَحَيُّضُهَا كَالْعَادَةِ ) فِي الْحَيْضِ ( فَإِذَا تَعَوَّدَتْ النِّفَاسَ ) بِأَنْ سَبَقَ لَهَا فِيهِ عَادَةٌ ( دُونَ الْحَيْضِ ) بِأَنْ كَانَتْ مُبْتَدَأَةً فِيهِ ( جَعَلْنَا طُهْرَهَا بَعْدَ عَادَةِ النِّفَاسِ تِسْعَةً وَعِشْرِينَ يَوْمًا وَحَيَّضْنَاهَا ) بَعْدَهُ ( يَوْمًا وَلَيْلَةً وَاسْتَمَرَّتْ وَهَكَذَا مُبْتَدَأَةٌ فِيهِمَا ) أَيْ فِي النِّفَاسِ وَالْحَيْضِ ( إلَّا أَنَّ هَذِهِ ) أَيْ الْمُبْتَدَأَةَ فِيهِمَا ( نِفَاسُهَا لَحْظَةٌ ) وَهُوَ الْأَقَلُّ لِأَنَّهُ الْمُتَيَقَّنُ ( وَكَذَا مَنْ وَلَدَتْ مِرَارًا وَلَمْ تَرَ نِفَاسًا ) نِفَاسُهَا فِيمَا ذَكَرَ لَحْظَةٌ ( إلَّا أَنَّهَا تُرَدُّ إلَى عَادَتِهَا فِي الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ ) إنْ كَانَتْ مُعْتَادَةً فِيهِمَا

تحفة المحتاج في شرح المنهاج ج ٤ ص ٣٣٠

فَتُرَدُّ الْمُبْتَدَأَةُ الْمُمَيِّزَةُ إلَى التَّمْيِيزِ بِشَرْطِ أَنْ لَا يَزِيدَ الْقَوِيُّ عَلَى سِتِّينَ وَلَا ضَبْطَ فِي الضَّعِيفِ وَغَيْرِ الْمُمَيِّزَةِ إلَى لَحْظَةٍ عَلَى الْأَظْهَرِ وَالْمُعْتَادَةُ الْمُمَيِّزَةُ إلَى التَّمْيِيزِ لَا الْعَادَةُ فِي الْأَصَحِّ

المجموع على شرح الهذب ج ٢ ص ٥٣١

أَمَّا الْمُبْتَدَأَةُ فِي النِّفَاسِ غَيْرُ الْمُمَيِّزَةِ إذَا جَاوَزَ دَمُهَا السِّتِّينَ وَهِيَ غَيْرُ مُمَيِّزَةٍ فَفِيهَا الْقَوْلَانِ السَّابِقَانِ فِي الْحَيْضِ: أَصَحُّهُمَا الرَّدُّ إلَى أَقَلِّ النِّفَاسِ وَهُوَ لَحْظَةٌ لَطِيفَةٌ نَحْوُ مَجَّةٍ. وَالثَّانِي الرَّدُّ إلَى غَالِبِهِ وَهُوَ أَرْبَعُونَ يَوْمًا هَكَذَا قَالَهُ الْجُمْهُورُ، وَزَادَ صَاحِبُ الْعُدَّةِ قَوْلًا ثَالِثًا وَهُوَ أَنَّهَا تُرَدُّ إلَى أَكْثَرِ النِّفَاسِ وَهُوَ سِتُّونَ يَوْمًا وَهَذَا غَرِيبٌ عَنْ الشَّافِعِيِّ وَإِنَّمَا نَقَلَهُ الْأَصْحَابُ عن المزني مذهبنا للمزني وحكاه الشيخ أبو حامد وغيره وجها لِبَعْضِ أَصْحَابِنَا وَحَكَى الْمَحَامِلِيُّ فِي الْمَجْمُوعِ وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا طَرِيقًا آخَرَ عَنْ ابْنِ سُرَيْجٍ وابي اسحق وَهِيَ الرَّدُّ إلَى الْأَقَلِّ قَوْلًا وَاحِدًا فَحَصَلَ ثَلَاثَةُ طُرُقٍ، وَالصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ مَا سَبَقَ مِنْ الْقَوْلَيْنِ. فَإِذَا عُلِمَ حَالُهَا فِي مَرَدِّهَا فِي النِّفَاسِ فَلَهَا فِي الْحَيْضِ حَالَتَانِ: إحْدَاهُمَا أَنْ تَكُونَ مُعْتَادَةً فَيُجْعَلَ لَهَا بَعْدَ مَرَدِّ النِّفَاسِ قَدْرُ عَادَتِهَا فِي الطُّهْرِ طُهْرًا ثُمَّ بَعْدَهُ قَدْرُ عَادَتِهَا فِي الْحَيْضِ حَيْضًا ثُمَّ تَسْتَمِرُّ كَذَلِكَ ــــ إلى أن قال ــــ أَمَّا الْمُبْتَدَأَةُ الْمُمَيِّزَةُ فَتُرَدُّ إلَى التَّمْيِيزِ بِشَرْطِ أَلَّا يَزِيدَ الْقَوِيُّ عَلَى أَكْثَرِ النِّفَاسِ وَأَمَّا الْمُعْتَادَةُ الْمُمَيِّزَةُ فَهَلْ يُقَدَّمُ تَمْيِيزُهَا أَمْ الْعَادَةُ فِيهِ الْخِلَافُ السَّابِقُ فِي مِثْلِهِ فِي الْحَيْضِ وَالْأَصَحُّ تَقْدِيمُ التَّمْيِيزِ. إهـ

BATASAN AIR SUDAH DI SEBUT BERUBAH DAN TIDAK BISA MENSUCIKAN

Pertanyaan:

Sebatas mana air dalam jeding dianggap berubah, sehingga tidak bisa mensucikan lagi?

Jawaban:

Air dianggap berubah banyak sehingga tidak mensucikan lagi, ketika air tersebut tidak lagi disebut air (tanpa batasan). Melainkan disebut teh, kopi, atau air sabun misalnya, menurut orang yang faham hukum terkait air, atau yang disebut dengan ahlul ‘urfi wal lisan dalam ibarat ulama’.

Referensi:

*حاشية البيجوري؛ ج ١، ص ٥٩*

(والمتغير) أي ومن هذا القسم الماء المتغير أحد أوصافه (بما) ﺃﻱ ﺑﺸﻲء (ﺧﺎﻟﻄﻪ ﻣﻦ اﻟﻄﺎﻫﺮاﺕ) ﺗﻐﻴﺮا ﻳﻤﻨﻊ ﺇﻃﻼﻕ اﺳﻢ اﻟﻤﺎء ﻋﻠﻴﻪ، ﻓﺈﻧﻪ ﻃﺎﻫﺮ ﻏﻴﺮ ﻃﻬﻮﺭ

الشرح:

 (ﺗﻐﻴﺮا) ﺃﻱ ﻛﺜﻴﺮا ﻛﻤﺎ ﺃﺷﺎﺭ ﺇﻟﻴﻪ اﻟﺸﺎﺭﺡ ﺑﻘﻮﻟﻪ: (ﻳﻤﻨﻊ ﺇﻃﻼﻕ اﺳﻢ اﻟﻤﺎء ﻋﻠﻴﻪ) ﻓﺈﻧﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻤﻨﻊ ﺫﻟﻚ ﻟﻜﺜﺮﺗﻪ *ﺑﺤﻴﺚ ﻳﻘﻮﻝ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺭﺁﻩ ﻫﺬا ﻟﻴﺲ ﻣﺎء* ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ اﻟﺘﻐﻴﺮ ﻗﻠﻴﻼ ﺑﺤﻴﺚ ﻻ ﻳﻤﻨﻊ ﺇﻃﻼﻕ اﺳﻢ اﻟﻤﺎء ﻋﻠﻴﻪ ﻟﻢ ﻳﻀﺮ، ﻛﻤﺎ ﺳﻴﺬﻛﺮﻩ اﻟﺸﺎﺭﺡ، ﻭﻛﺬا ﻟﻮ ﺷﻚ ﻫﻞ اﻟﺘﻐﻴﺮ ﻛﺜﻴﺮ ﺃﻭ ﻗﻠﻴﻞ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﻀﺮ ﻷﻥ ﻻ ﻧﺴﻠﺐ اﻟﻄﻬﻮﺭﻳﺔ ﺑﺎﻟﺸﻚ

*حاشية البيجوري؛ ج ١، ص ٥٣*

قوله: (الماء المطلق) هو ما يسمى ماء بلا قيد لازم عند العالم بحاله من أهل العرف واللسان، ليخرج المستعمل والمتنجس بمجرد الملاقاة، لأن من علم بحالهما ممن ذكر لا يسميهما ماء بلا قيد، وليدخل المتغير كثيرا بما في المقر والممر مثلا، فإن أهل العرف واللسان يطلقون عليه إسم ماء بلا قيد مع علمهم بحاله، فهو مطلق

*[البجيرمي ,حاشية البجيرمي على الخطيب = تحفة الحبيب على شرح الخطيب؛ ج ١، ص ١٧٨]*

وقوله: (من غير المطلق) أي من عدم جواز التطهير بغير المطلق. وقوله: (على أن الرافعي) إلخ. معتمد وأهل اللسان هم أهل اللغة وأهل العرف هم حملة الشرع

BOLEHKAH DALAM ISLAM MENGHUKUM MATI KORUPTOR

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Sosial RI, Juliari Batubara dan beberapa jajarannya sebagai tersangka kasus korupsi dana bantuan Covid-19 pada Ahad (6/12). Wacana hukuman mati pun menggaung di jagat media. Pasalnya, pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memungkinkan hal tersebut. Kemungkinan penerapan hukuman mati itu dipertegas dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 sebagai revisi atas UU Nomor 31 Tahun 1999. Pasal 2 ayat 2 memperjelas kondisi tertentu yang dimaksud di antaranya adalah korupsi dana penanggulangan keadaan bahaya.

Berikut selengkapnya. “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.”

Nahdlatul Ulama juga telah menetapkan agar koruptor dihukum mati. Keputusan ini diambil saat Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama Tahun 2012 di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat. Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, NU juga memutuskan bahwa penerapan hukuman mati bisa dilakukan jika memenuhi dua hal, pertama, apabila telah melakukan korupsi berulang kali dan tidak jera dengan berbagai hukuman. Kedua, melakukannya dalam jumlah besar yang dapat membahayakan rakyat banyak.

Para kiai mendasari keputusannya pada berbagai rujukan kitab-kitab mu’tabar berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Di antara dasar keputusan tersebut adalah Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 33.

“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.”

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir yang dikutip keputusan tersebut, para ulama salaf, di antaranya Said ibn al-Musayyab, menyebutkan bahwa korupsi merupakan bagian dari perbuatan merusak di bumi. Baca

Sementara itu, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan bahwa keputusan hukuman mati sudah ada aturannya sebagaimana disebutkan di atas. Namun, hakimlah yang akan memutuskannya. “Aturannya sudah ada, berbagai kemungkinan hukuman bisa dijatuhkan hakim, termasuk hukuman mati. Tapi biarlah hakim memutuskan. Berikan kebebasan dan kemerdekaan kepada hakim untuk memutus sesuatu. Jika memang layak dihukum mati, hakim sudah tahu itu,” katanya.

Salah satu isu yang diangkat Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyah pada Muktamar Ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Agustus lalu adalah soal hukuman mati yang dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) dan pandangan Islam. Dalam Islam, hukuman mati masuk dalam kategori qishash.

Komisi yang diketuai KH Afifuddin Muhajir ini merumuskan bahwa selain menjadi sanksi atas tindak kejahatan pembunuhan, hukuman mati juga diterapkan untuk berbagai tindak kejahatan berat tertentu.

Mengapa Islam menerapkan hukuman mati?

Dalam keputusan yang disahkan pada sidang pleno Muktamar Ke-33 NU, 5 Agustus, itu dijelaskan, hukuman mati merupakan bukti dari upaya serius syariat Islam untuk memberantas kejahatan berat yang menjadi bencana kemanusiaan, seperti pembunuhan. Sanksi tersebut dinilai setimpal dan menjadi pelajaran paling efektif bagi orang lain supaya tidak berbuat hal yang sama.

Muktamirin berpandangan, pada hakikatnya dimaksudkan untuk beberapa hal, antara lain

(1) memberantas tuntas kejahatan yang tidak dapat diberantas dengan hukuman yang lebih ringan,

(2) orang lain akan terkendali untuk tidak melakukannya karena mereka tidak akan mau dihukum mati,

(3) melindungi orang banyak dari tindak kejahatan itu.

Dengan berpijak pada dasar hakikat disyariatkannya hukuman mati ini, hukuman mati dinilai tak dapat dinyatakan melanggar HAM. Justru sebaliknya, hukuman tersebut untuk memberantas pelanggaran HAM dengan membela hak hidup banyak orang. Pandangan tersebut didasarkan pada argumen al-Qur’an, as-Sunnah, dan pendapat para ulama yang tersebar dalam berbagai literatur. Jauh sebelum muktamar, PBNU juga telah mengeluarkan imbauan penerapan hukuman mati bagi koruptor kelas berat dan gembong peredaran narkoba.

HUKUMAN MATI BAGI KORUPTOR

Korupsi atau jelasnya pencurian uang negara dan rakyat di Indonesia baik yang dilakukan secara terang-terangan atau terselubung sejak Republik ini berdiri tetap saja berlangsung. Bahkan nilainya semakin menggelembung, berlipat ganda. Akibatnya sangat merugikan bangsa dan negara. Rakyat jadi miskin, negara hampir bangkrut. Kekayaan dan aset negara terkuras dan tergadaikan. Dari data hasil survei lembaga Internasional PERC, Indonesia adalah negara terkorup di Asia dan menempati nomor satu. Padahal, Indonesia berpenduduk mayoritas Islam.

 Sebenarnya Bagaimana definisi atau konsep syariah mengenai korupsi?

Dalam pandangan syariat, korupsi merupakan pengkhianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian (sariqah), dan perampokan (nahb).

Abdullah bin Husain Al-Ba’lawi dalam Is’ad al-Rafiq Syarh Matn Sulam al-Taufiq menerangkan: (Dan) di antara dosa besar adalah (sariqah -pencurian-), dengan dibaca fathah huruf sin dan kasrah huruf ra’nya. Yaitu mengambil harta -yang bukan miliknya) secara sembunyi-sembunyi. Menurut kesepakatan para ulama perbuatan pencurian termasuk dosa besar. Dalam al-Zawajir Ibn Hajar al-Haitami menyatakan: “Itu merupakan pernyataan yang sangat jelas dari beberapa hadits, semisal hadits: “Seorang pezina tidak melakukan perzinahan dalam kondisi ia beriman dan seorang pencuri tidak melakukan pencurian dalam kondisi ia beriman.“ Dalam riwayat lain dengan redaksi: “Jika ia melakukan hal tersebut maka ia telah menanggalkan hukum Islam dari dirinya. Jika ia bertobat maka Allah menerima tobatnya.” Dan hadits: “Allah melaknat seorang pencuri yang mencuri sebiji telur sehingga menyebabkan tangannya dipotong, dan yang mencuri seutas tali sehingga tangannya dipotong.“ Al-A’masy menjelaskan: “Para sahabat Nabi menilai harga telur (helm baja untuk perang) dan tali (kapal) sampai tiga dirham. Dan beberapa hadits lain yang cukup banyak. Ibn Hajar menjelaskan: “Yang jelas sungguh tidak ada perbedaan dalam hal pencurian itu merupakan dosar besar, antara pencurian yang mengakibatkan hukuman potong tangan dan yang tidak, jika yang diambil memang tidak halal baginya. Semisal ia mengambil tikar masjid, maka hukumnya haram, akan tetapi tidak mengakibatkan hukuman potong tangan, karena ia memiliki bagian hak dalam tikar masjid itu. Kemudian saya melihat al-Imam al-Harawi secara jelas menyatakan hal tersebut.” Karena ulama mengqiyaskan korupsi dengan mencur,i maka hukuman bagi pelakunya adalah potong tagan sampai dengan hukuman mati. sekaligus dituntut untuk mengembalikan apa yang telah dikorupnya.

Hal ini jelas diterangkan oleh Muhammad bin Mansur al-Jamal dalam Futuhat al-Wahhab bi Taudih Syarh Manhaj al-Thullab

Imam Malik berkata: “Jika pelaku tindak pencurian merupakan orang kaya, maka ia menanggung pengembaliannya, dan jika ia bukan orang kaya, maka tidak harus. Dan Hukuman potong tangan tetap berlaku pada semua kondisi. Bila ia mengembalikan harta curian ke tempat penyimpanan (semula), maka tidak menggugurkan hukuman potong tangan dan tanggungjawab mengembalikannya.

Begitu pula yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh

Dan kesimpulannya adalah sungguh boleh menghukum mati sebagai kebijakan bagi orang-orang yang sering melakukan tindakan kriminal, pecandu minuman keras, para penganjur tindak kejahatan, dan pelaku tindakan subversif yang mengancam keamanan negara dan semisalnya.

Mengani hal ini sangat baik untuk ditelaah kembali apa yang ditulis oleh Muhammad bin Abi bakar al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an

 Para ulama berkata: “Perbuatan khianat (korupsi) merupakan bagian dari dosa besar berdasarkan ayat ini. Dan hadits yang telah kami sebutkan dari riwayat Abu Hurairah Ra.; ”Sungguh ia akan memikul hutangnya di lehernya.“ Rasulullah Saw. Sungguh telah bersabda tentang Mid’am (seorang budak): “Aku bersumpah demi Dzat yang jiwaku ada dalam kekuasanNya. Sungguh selendang selimut yang ia ambil di hari peperangan Khaibar yang merupakan harta pampasan perang yang diambil oleh pegawai pembagian harta, akan menyalakan api neraka baginya.” Setelah mendengar penjelasan itu lalu ada yang datang kepada Rasulullah Saw. menyerahkan satu atau dua utas tali sandal, lalu beliau Saw. bersabda: “Seutas tali dan dua utas tali sandal dari itu dari api neraka.” Hadits itu diriwayatkan Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa’.

Maka sumpah Nabi Saw. dengan kaliamat: “Demi Dzat yang jiwaku ada alam kekuasanNya.” dan penolakannya menyolati orang yang telah melakukan pengkhianatan (korupsi) merupakan dalil atas parahnya perbuatan tersebut, begitu besar dosanya, ia termasuk dosa besar yang terkait dengan hak-hak orang lain dan di dalamnya harus diberlakukan qishash terkait amal kebajikan dan amal jeleknya.

Yang diperlakuakan dalam ajaran islam bagi seorang KORUPTOR adalah :

1. Harus melunasi tanggungannya/mengembalikan harta yang ia korupsi

2. Dihukum dengan potong tangan bahkan hingga hukuman mati.

ثم رأيت فى منهاج العابدين للغزالى أن الذنوب التى بين العباد إما فى المال ويجب رده عند المكنة فإن عجز لفقر استحله فإن عجز عن استحلاله لغيبته أو موته وأمكن التصدق عنه فعله وإلا فليكثر من الحسنات ويرجع إلى الله ويتضرع إليه فى أن يرضيه عنه يوم القيامة اه

“Kemudian aku melihat dalam kitab Minhaj al-‘Aabidiin karya al-Ghozaly dikatakan : Bahwa dosa yang terjadi antar sesama hamba-hamba Allah adakalanya berhubungan dengan harta benda Dan wajib mengembalikan harta tersebut (pada pemilik harta) bila dalam kondisi berkemungkinan, bila tidak mampu karena kefakirannya maka mintalah halal darinya, bila tidak mampu meminta halal karena ketiadaannya atau telah meninggalnya dan (pemilik tanggungan) berkemungkinan bersedekah, maka bersedekahlah dengan atas namanya, dan bila masih tidak mampu maka perbanyaklah berbuat kebajikan, kembalikan segalanya pada Allah, rendahkanlah diri dihadapanNya agar kelak dihari kiamat Allah meridhoi beban tanggungan harta (yang masih belum tertuntaskan)”.Hasyatul Jamal V/388

التعزير هو التأديب بنحو حبس وضرب غير مبرح كصفح ونفى وكشف رأس وتسويد وجه – إلى أن قال – أما التعزير لوفاء الحق المالى فإنه يحبس إلى أن يثبت إعساره وإذا امتنع من الوفاء مع القدرة ضرب إلى أن يؤديه أو يموت لأنه كالصائل .اهـ

Ta’zir adalah bentuk pembelajajaran tatakrama agar bisa menimbulkan efek jera, dapat dilakukan dengan semacam memenjarakan, memukul dengan tanpa merusakkan anggauata tubuh seperti dengan menampar, mengisolisir, membuka penutup kepala dan mencorengi hitam mukanya… Sedang ta’zir yang diberlakukan atas pengembalian harta benda dilakukan dengan mengekangnya hingga ia jatuh miskin, bila dalam kondisi mampu namun tidak mau mengembalikan harta tanggungannya dengan dipukuli hingga menyakitkannya atau membuatnya mati karena ia seperti SHO’IL (orang yang menjarah hak orang lain).

Tanwirul Qulub hal. 392

وَقَالَ مَالِكٌ إنْ كَانَ غَنِيًّا ضَمِنَ وَإِلَّا فَلَا ، وَالْقَطْعُ لَازِمٌ بِكُلِّ حَالٍ وَلَوْ أَعَادَ الْمَالَ الْمَسْرُوقَ إلَى الْحِرْزِ لَمْ يَسْقُطْ الْقَطْعُ وَلَا الضَّمَانُ

Imam Malik berkata “Jika pelaku tindak pencurian merupakan orang kaya, maka ia menanggung pengembaliannyadan jika buka orang kaya maka tidak harus.Dan hukuman potongan tangan tetap berlaku pada semua kondisi, bila ia mengembalikan uang curia ketempat penyimpanan uang (semula) maka juga tidak menggugurkan hukuman potong tangan dan tanggiungjawab mengembalikannya.

Hasyiyah al-Jamal 21/188

والخلاصة: أنه يجوز القتل سياسة لمعتادي الإجرام ومدمني الخمر ودعاة الفساد ومجرمي أمن الدولة، ونحوهم

Dan kesimpulannya adalah sungguh boleh menghukum mati sebagai kebijakan bagi orang-orang yang sering melakukan tindakan kriminal, pecandu minuman keras, para penganjur tindakan kejahatan dan pelaku tindakan subversif yang mengancam keamanan negara dan semisalnya.

Al-Fiqh al-Islam VII/518

WALLOHU A’LAM….

TATA CARA AMALIYAH IBADAH BAGI PASIEN YANG SEDANG SAKIT

Wudhu Untuk Pasien

Tidak seperti orang yang sehat, para pasien sering mengalami berbagai kesulitan ketika hendak berwudhu. Kesulitan itu bisa berupa ketersediaan air, atau beberapa kesulitan teknis yang menyangkut tempat atau kesehatan pasien. Dalam hal ini, Islam memberikan keringanan kepada pasien untuk berwudhu dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Apabila pasien masih mampu bergerak dan menurut dokter, air tidak berdampak negatif untuk proses penyembuhan, maka ia wajib berwudhu sendiri.

b. Jika pasien sudah tidak mampu bergerak, maka seseorang bisa membantunya untuk berwudhu.

c. Jika menurut dokter, air membahayakan atau memperlambat proses penyembuhan pasien, maka dia bertayamum sebagai ganti wudhu.

d. Jika pada bagian anggota badan yang wajib dibasuh atau diusap dalam wudhu terdapat luka, tapi masih memungkinkan dibasuh, maka dia tetap wajib membasuhnya. Jika beresiko, hendaknya dia mengusapnya sekali usapan dengan air. Jika mengusapnya beresiko pula, dia bisa membalutnya dengan gips atau plester dan mengusap balutannya. Jika masih tidak memungkinkan, maka dia boleh bertayamum. Untuk poin yang keempat ini bisa dilakukan setelah anggota badan telah suci baik dari hadats maupun najis. Cara bertayamum bagi anggota badan yang dibalut atau digips cukup mengusap bagian luarnya saja dengan debu.

e. Pasien yang tidak bisa menahan kencing, buang angin, keluar darah dan sebagainya secara terus-menerus, dia wajib berwudhu atau tayamum setelah masuk waktu shalat dan segera melakukan shalat. Ia wajib membersihkan pakaian dan tempat yang terkena najis setiap akan shalat berikutnya. Adapun najis yang tidak dapat dihindari selama berlangsungnya shalat, tidak menghalangi sahnya shalat karena keadaan yang amat darurat.

f. Jika pasien tidak bisa membersihkan badan, pakaian dan tempat serta tidak ada orang lain yang membantunya, menurut para ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah, ia tetap mengerjakan shalat dengan keadaan darurat serba najis karena ia telah terbebas dari tanggungjawab bersuci (shalat lihurmatil waqti). Akan tetapi ia wajib mengulanginya (i’adah) jika sudah sehat.

Mandi Untuk Pasien

a. Pasien yang berstatus junub artinya memiliki tanggungan hadats besar karena haid, nifas dan sebagainya, ia wajib mandi. Selama belum mandi, ia tidak boleh menjalankan shalat, menyentuh atau membaca al-Qur’an atau tinggal di masjid. Hal ini perlu menjadi catatan sebab banyak pasien yang ingin tetap memperbanyak ibadah untuk memohon kesembuhan dari Allah dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an. Karena bacaan al-Qur’an itu telah menjadi kebiasaan yang bersangkutan sehari-hari. Ia tidak sadar atau tidak tahu bahwa bacaan itu diharamkan baginya selama ia belum suci dari hadats besar. Sebagai gantinya ia bisa berdzikir dengan bacaan apapun selain al-Qur’an atau diperbolehkan juga berdoa walaupun doa-doa itu terambil dari al-Qur’an. Misalnya bacaan salawat nabi, asmaul husna, tahlil (la ilaha illallah), tasbih (subahanallah), istighfar (astaghfirullah) atau doa para Nabi yang termaktub dalam al-Qur’an dan sebagainya.

b. Bagaimana pasien yang terkena kewajiban mandi namun menurut dokter tidak boleh terkena air atau tidak tersedia air, pasien yang demikian diperbolehkan tayamum sebagai pengganti mandi. Ia mendapatkan sejumlah keringanan sebagaimana keringanan tayamum sebagai pengganti wudhu seperti telah dijelaskan sebelumnya.

c. Masih banyak orang Islam yang salah paham dan menganggap tayamum hanya sebagai pengganti wudhu. Kesalahpahaman tersebut juga pernah terjadi pada zaman Nabi Saw, ketika ada orang yang lagi junub dan tidak tersedia air, maka shahabat itu menggelindingkan badannya di atas pasir. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa tayamum bisa menjadi pengganti mandi dengan tata cara pelaksanaan yang sama dengan tayamum pengganti wudhu. Ketika tayamum, ia harus berniat untuk membersihkan hadats besar.

Tayamum Bagi Pasien

Pasien diizinkan tayamum jika mengalami hal-hal sebagai berikut:

a. Dinyatakan oleh dokter atau menurut keyakinan pasien sendiri bahwa sentuhan air berbahaya bagi kesehatannya atau memperlambat proses penyembuhan.

b. Tidak kuat secara fisik pergi ke tempat berwudhu atau adanya kesulitan lainnya.

c. Sebagian atau keseluruhan anggota badan yang wajib dibasuh untuk wudhu tidak boleh terkena air seperti ada balutan atau gips, luka dan lain-lain.

d. Kesulitan mendapat air. Misalnya air di Rumah Sakit sangat terbatas atau bahkan kehabisan karena macetnya saluran air, atau antrian panjang di tempat berwudhu sedangkan waktu shalat sudah hampir habis.

Tayamum dilakukan setelah masuknya waktu shalat dan menggunakan debu yang kering dan suci. Semua najis yang ada pada tubuhnya wajib dibersihkan terlebih dahulu sebelum tayamum. Bagaimana cara mendapatkan debu tersebut? Cukup mengusap tangan ke tembok atau benda di sekitarnya yang dianggap kering dan berdebu meskipun sedikit.

Bagi pasien yang berpendirian tayamum harus dengan debu yang benar-benar terlihat mata, maka keluarga pasien bisa menyediakan debu suci dari rumah. Jika cara ini yang dilakukan maka pasien dan keluarga harus memperhatikan kebersihan rumah sakit. Harus diusahakan agar debu yang dibawa dari luar rumah sakit benar-benar suci dan diupayakan tidak mengotori rumah sakit karena hal ini bisa juga beresiko terhadap kesehatan para pasien dan orang-orang yang tinggal di ruangan itu.

Tata cara tayamum adalah sebagai berikut:

a. Mengusapkan tangan ke tembok ataupun benda di sekitar pasien yang dianggap bersih dan suci serta tidak basah, atau pada debu yang disiapkan secara khusus dari rumah oleh pasien atau keluarganya.

b. Mengusapkan kedua telapak tangan tersebut pada muka dengan terlebih dahulu mengibaskan tangan atau meniupnya agar debu tidak membekas pada wajah.

c. Mengusapkan kedua tangan ke tembok atau debu sekali lagi.

d. Mengusap tangan kanan dan kemudian tangan kiri sampai ke siku. Jika ada kesulitan melepas lengan baju, atau alasan lain, maka boleh mengusap tangan sampai ke pergelangan saja.

e. Pasien yang tidak dapat melakukan wudhu dan tayamum sendiri, dapat dibantu oleh orang lain sesama jenis atau lain jenis yang mahram, misalnya anak, saudara kandung dan sebagainya.

Orang yang tidak bisa melakukan wudhu, mandi, maupun tayamum karena berbagai kesulitan, maka para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban shalatnya.

a. Menurut ulama Malikiyah, dia tidak lagi terkena kewajiban shalat.

b. Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah, dia tetap shalat tanpa bersuci namun wajib mengulanginya jika sudah sehat. Shalat ini disebut shalat lihurmatil waqti yaitu shalat yang dilakukan semata-mata untuk menghormati kemuliaan waktu shalat.

c. Menurut ulama Hanabilah, dia shalat seperti biasa sekalipun tanpa bersuci dan tidak wajib mengulanginya.

Shalat Pasien

Islam adalah agama kemudahan. Orang yang mengalami kesulitan menjalankan ibadah karena kondisi tertentu, selalu diberi jalan kemudahan oleh agama. Demikian juga shalat bagi pasien baik di rumah sakit atau di rumah sendiri. Ia bisa menjalankan shalat dengan berdiri, duduk, terlentang dan dengan cara lain yang tidak menyulitkan baginya.

Shalat Berdiri

Pasien yang masih mampu berdiri dan tidak mengkhawatirkan sakitnya bertambah parah, wajib melaksanakan shalat dengan cara berdiri

Menurut Imam Hanafi dan Imam Hanbali, jika pasien masih kuat berdiri dengan bantuan tongkat atau bersandar pada tembok atau orang lain dan tidak mempengaruhi proses kesembuhan, ia masih tetap wajib berdiri.

Adapun shalat sunnah seperti shalat sebelum dan sesudah shalat wajib (shalat sunnah rawatib), shalat tahajud dan sebagainya boleh dikerjakan dengan duduk sekalipun ia sehat dan kuat berdiri. Sekalipun diizinkan, namun shalat sunnah sebaiknya dikerjakan dengan berdiri bagi orang yang masih sehat karena shalat dengan berdiri lebih utama daripada dengan duduk. Nabi Saw bersabda,”Jika seseorang melakukan shalat (sunnah) sambil berdiri, maka hal itu lebih baik, dan barang siapa shalat sambil duduk maka ia mendapat separo pahala shalat dengan berdiri, dan barang siapa yang shalat sambil terlentang maka ia mendapatkan separo pahala shalat dengan duduk.” (HR. Al-Bukhari)

Shalat Duduk

Dalam kondisi pasien tidak mampu melaksanakan shalat dengan berdiri, maka ia bisa shalat dengan duduk. Nabi Saw bersabda, ”Shalatlah dengan berdiri, jika engkau tidak mampu (dengan berdiri), maka shalatlah dengan duduk, jika engkau tidak mampu shalat (dengan duduk), maka shalatlah dengan berbaring.” (HR. Al-Bukhari)

Shalat fardhu (wajib) boleh dikerjakan dengan duduk jika:

a. Pasien tidak kuat berdiri, atau kuat namun tidak diizinkan menurut petunjuk dokter.

b. Tidak ada tempat lain selain tempat tidur pasien dan tidak memungkinkan berdiri di atasnya karena tempat tidur memantul, rapuh dan sebagainya. Kondisi inilah yang paling sering dialami oleh banyak pasien.

c. Pasien bertinggi badan yang tidak memungkinkan dia berdiri di tempat itu.

Adapun tata-caranya shalat duduk adalah:

a. Duduk menghadap kiblat dengan posisi iftirasy (duduk di atas mata kaki kiri, telapak kaki kanan ditegakkan, ujung jari kaki kanan ditekuk menghadap kiblat). Adapun cara duduknya bisa dengan bersila, iftirasy, atau menyelonjorkan kaki ke arah kiblat. Menurut kebanyakan ulama, duduk iftirasy lebih baik. Imam As-Subki dan Al-Adzra’i berpendapat lain, bahwa bersila lebih utama karena untuk membedakan antara duduk karena darurat lantaran tidak bisa berdiri dengan duduk iftirasy secara normal pada posisi tasyahud (duduk pada tasyahud awal atau duduk di antara dua sujud). Bagi perempuan lebih baik duduk bersila, agar auratnya lebih tertutup.

b. Berniat shalat dan kemudian menjalankan semua rukun (aturan wajib) shalat.

c. Ketika ruku’, badan dibungkukkan sedikit dan tangan diletakkan di atas paha.

d. Untuk posisi sujud, bisa dengan sujud sempurna jika kesehatan memungkinkan dan bisa dengan membungkukkan badan dengan posisi sedikit lebih rendah daripada posisi ruku’.

e. Untuk duduk tasyahud (duduk terakhir sebelum salam penutup shalat) bisa dengan tawarruk (seperti duduk iftirasy hanya saja telapak kaki kiri dikeluarkan ke kanan sehingga pantat duduk di atas alas shalat) atau dengan duduk istirasy jika fisik tidak memungkinkan.

Shalat Berbaring

Shalat dengan berbaring dilakukan bagi pasien yang tidak mampu shalat dengan berdiri ataupun duduk.

Adapun tata caranya adalah sebagai berikut:

a. Berbaring (miring) dengan bertumpu pada lambung kanan, kepala di sebelah utara, dada dan wajah menghadap kiblat.

b. Berniat shalat dan kemudian menjalankan semua rukun (aturan wajib) shalat.

c. Ketika ruku’ sedikit menundukkan kepala ke arah dada.

d. Ketika sujud, menundukkan kepala lebih menunduk daripada ketika ruku’.

e. Selanjutnya meneruskan rukun shalat sampai salam dalam posisi berbaring.

Shalat Terlentang

Apabila pasien tidak mampu melakukan shalat dengan duduk ataupun berbaring, maka ia bisa melakukan shalat dengan terlentang.

Adapun tata caranya, ialah:

a. Pasien tidur terlentang dengan kaki membujur ke arah kiblat, kepala diangkat sedikit tinggi dengan bantal atau lainnya dan wajah menghadap kiblat. Jika karena sesuatu hal sehingga tidak memungkinkan menghadapkan wajah ke arah kiblat, misalnya karena posisi tempat tidur, atau karena kepala tidak bisa diangkat lebih tinggi maka cukup dengan menghadapkan kedua telapak kaki saja kearah kiblat.

b. Ketika ruku’ sedikit menundukkan kepala ke arah dada.

c. Ketika sujud, menundukkan kepala sedikit lebih menunduk daripada ketika ruku’.

d. Selanjutnya meneruskan rukun sampai salam dalam keadaan terlentang.

Shalat Isyarat

Jika pasien tetap tidak bisa melakukan shalat dengan semua keringanan di atas, maka cara yang terakhir adalah shalat dengan isyarat.

Adapun tata caranya ialah:

a. Posisi badan bebas. Jika masih mungkin, tetap menghadap kiblat.

b. Semua gerakan shalat dilakukan hanya dengan isyarat anggota badan misalnya jari telunjuk tangan, kedipan mata atau lainnya.

c. Jika isyarat dengan anggota tubuh tidak mampu, maka cukup isyarat dengan hati demikian juga bacaan-bacaan shalat. Hanya pasien dan Allah yang dapat mengetahui shalat dengan cara ini. Inilah ikhtiar terakhir yang dilakukan oleh pasien dalam memenuhi kewajibannya sebagai hamba Allah.

d. Jika dengan isyarat hati tidak bisa, maka berarti pasien sudah tidak terbebani kewajiban apapun.

e. Untuk kemudahan dan konsentrasi shalat pasien, ia boleh dipandu gerakannya oleh orang lain, seperti perawat, anggota keluarga dan lain sebagainya.

MENINGGALKAN SHOLAT WITIR DAN KONSEKUENSI IMAM KETIKA DATANG MAKMUM BARU

1. Seputar Hukum meninggalkan sholat witir,

Ada hadist berbunyi, “Man tarokash sholata ‘andan faqod kafaro jiharon” – [Barang siapa meninggalkan sholat dengan sengaja maka kafirlah ia dengan nyata]. {Koreksi matan hadistnya kalo ada salah}

Namun dalam Mazhab Syafi’i tidak serta merta kafir jika ia masih berkeyakinan sholat itu adalah perintah, dan hanya dihukum dosa besar. Maka Jelas sudah hukum meninggalkan sholat wajib ini.

Ada lagi Hukum meninggalkan sholat, yaitu sholat witir, sholat ini hukumnya sunnah muakaddah, namun ada Hadist yang jelas dalam “HUKUM MENINGGALKAN SHOLAT WITIR” Yakni.. “Man Lam Yutiiru Falaisa Minna” – [“Barang Siapa tidak sholat Witir, maka ia bukan dari golongan kami”]. {Koreksi matan hadistnya kalo ada salah}

Bagaimana menyikapi hadist ini? Apakah kami yg hampir tidak pernah sholat witir tiap malamnya kecuali di bulan Ramadhan itu tidak termasuk dari golongan Nabi SAW?.

2. Seputar Sholat berjamaah,

Dalam sholat berjamaah, yang tadinya seorang imam dan seorang makmum, kedatangan masbuk lainnya (lebih dari 2 orang) – meski sudah diberi isyarat bagi simakmum sendiri tadi tetapi makmum tadi tetap tidak mau mundur untuk menjadikan shaf baru. Jika sudah demikian, apakah sang Imam boleh maju untuk memberikan jarak buat simasbuk yg baru datang, atau simasbuk tetap dibelakang imam dengan shaf yang tak teratur atau bagaimana yang harus dilakukan?

JAWABAN :

[1]  Makna hadits :

“ من ترك الصلاة متعمدا فقد كفر جهارا “

“Barang siapa meninggalkan shalat dengan sengaja, maka  dia telah kufur secara terang-terangan”

Jumhur ulama’ mengartikan dengan مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدًا جَاحِدًا بِوُجُوْبِهَا  yaitu meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya, maka dinyatakan kafir dengan terang-terangan karena dihukumi murtad. Akan tetapi jika meninggalkannya karena malas tidak dihukumi kafir akan tetapi berdosa besar. Atau hadits di atas sebagai tahdid (peringatan keras) bagi orang yang meninggalkan shalat. Dan masih banyak lagi ta’wil dari hadits di atas. Namun sebagian ulama’ mengartikan walaupun meninggalkan shalat wajib dengan malas, maka dihukumi kafir. Pendapat pertama lebih kuat dari pendapat kedua.

Adapun selain shalat lima waktu dan jumah, maka hukumnya sunnah termasuk shalat witir. Maksud hadits “من لم يوتر فليس منا ” , berarti ta’kid akan kesunahannya sama dengan hadits :

“من رغب عن سنتي فليس مني  ”

“ Barang siapa yang enggan (berpaling) mengerjakan sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku (bukanlah termasuk orang yang mengamalkan sunnah-sunnah-Ku)“

Atau sama dengan hadits :

ليس منا من لم يتغن بالقرآن

“  Bukanlah termasuk jalan-Ku (mengamalkan sunnah-sunnah-Ku) orang yang tidak memperindah bacaan Al-Qur’an “

[2]  Posisi shalat berjama’ah jika dengan makmum satu, makmum berdiri di sebelah kanan belakang imam. Jika datang lagi satu makmum masbuq, bediri di sebelah kiri imam. Namun jika yang datang dua atau lebih, maka mereka membuat shaf di belakang imam dan makmum pertama mundur menyatu dalam shaf tadi. Jika ia tidak berkenan mundur, maka diisyaratkan untuk mundur atau imam maju ke depan secukupnya untuk mereka membuat shaf yang lurus.

[1] تحفة الأحوذي – (ج 6 / ص 419)

أَمَّا حَدِيثُ أَنَسٍ فَأَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ بِإِسْنَادٍ لَا بَأْسَ بِهِ وَلَفْظُهُ : مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدًا فَقَدْ كَفَرَ جِهَارًا

فيض القدير – (ج 6 / ص 132)

(من ترك الصلاة متعمدا فقد كفر جهارا) أي استوجب عقوبة من كفر أو قارب أن ينخلع عن الإيمان بانحلال عروته وسقوط عماده كما يقال لمن قارب البلد إنه بلغها أو فعل فعل الكفار وتشبه بهم لأنهم لا يصلون أو فقد ستر تلك الأقوال والأفعال المخصوصة التي كلفه الله بأن يبديها

المجموع – (ج 18 / ص 22)

وقوله في الحديث ” فهو كما قال “.قال الحافظ في الفتح: يحتمل أن يكون المراد بهذا الكلام التهديد والمبالغة في الوعيد لا الحكم كأنه قال: فهو مستحق مثل عذاب من اعتقد ما قال ونظيره ” من ترك الصلاة فقد كفر ” أي استوجب عقوبة من كفر

العرف الشذي للكشميري – (ج 3 / ص 148)

– الحديث رقم: 1402

بعض الكلام في حديث الباب مر ولكن الكلام فيه أطول من حيث إدخالُ ما في الفقه من جواز قتل غير ما في حديث الباب ، من قطاع الطريق ومن تارك الصلاة عند غيرنا مثل الشافعية والحنابلة ، لكن القتل عند الحنابلة ارتداداً وفي كتاب لنا أن يقتل تارك الصلاة ، وفي عامة كتبنا أنه يضرب حتى يسيل الدم من بدنه ، فقيل في وجه إلحاق مثل هذين بما في الحديث بأنهم داخلون تحت النعت أي المفارق لجماعة ، وقيل بإدخالهم تحت المنعوت أيضاً أي التارك لدينه ، وورد في المعجم للطبراني : < من ترك الصلاة فقد كفر جهاراً > إلخ ، وهو متمسك الحنابلة وتمسك النووي بحديث فيه المقاتلة على قتل تارك الصلاة ، والحال أن بين القتال والقتل بوناً بعيداً حتى أن القتال قد يكون على ترك السنة أيضاً

شرح ابن بطال – (ج 4 / ص 205)

وقوله:  « من لم يوتر فليس منا » ، يقتضى الترغيب فيه، ومعناه: ليس بآخذ سُنتنا ولا مُقْتَدٍ بنا، كما قال:  « ليس منا من لم يتغن بالقرآن » ، ولم يرد إخراجه من الإسلام

شرح سنن النسائي – (ج 3 / ص 115)

حَاشِيَةُ السِّنْدِيِّ : قَوْله ( الْوِتْر حَقٌّ إِلَخْ )

قَدْ يَسْتَدِلُّ بِهِ مَنْ يَقُول بِوُجُوبِ الْوِتْر بِنَاء عَلَى أَنَّ الْحَقّ هُوَ اللَّازِم الثَّابِت عَلَى الذِّمَّة وَقَدْ جَاءَ فِي بَعْض الرِّوَايَات مَقْرُونًا بِالْوَعِيدِ عَلَى تَارِكِهِ وَيُجِيب مَنْ لَا يَرَى الْوُجُوب أَنَّ مَعْنَى حَقّ أَنَّهُ مَشْرُوع ثَابِت وَمَعْنَى لَيْسَ مِنَّا كَمَا فِي بَعْض الرِّوَايَات لَيْسَ مِنْ أَهْلِ سُنَّتِنَا وَعَلَى طَرِيقَتنَا أَوْ الْمُرَاد مَنْ لَمْ يُوتِر رَغْبَة عَنْ السُّنَّة فَلَيْسَ مِنَّا وَاَللَّه تَعَالَى أَعْلَمُ .

فيض القدير – (ج 1 / ص 207)

– (اجعلوا) من الجعل كما قال الحراني وهو إظهار أمر عن سبب وتصيير (آخر صلاتكم بالليل) يعني تهجدكم فيه (وترا) بالكسر والفتح وهو الفرد ما لم يشفع من العدد والمراد صلاة الوتر وذلك لأن أول صلاة الليل المغرب وهي وتر فناسب كون آخرها وترا والأمر للوجوب عند أبي حنيفة وللندب عند الشافعي بدليل ذكر صلاة الليل فإنها غير واجبة اتفاقا فكذا آخرها وخبر من لم يوتر فليس منا معناه غير عامل بسنتنا وفيه الأمر بجعل صلاة الوتر آخر الليل فتأخيره إلى آخره أفضل لمن وثق بانتباهه آخر الليل وتقديمه لغيره أفضل كما يصرح به خبر مسلم ” من خاف أن لا يقوم من آخر الليل فليوتر أوله ومن طمع أن يقوم آخره فليوتر آخر الليل فإن صلاة آخر الليل مشهودة أي تشهدها ملائكة الرحمة وعلى التفصيل تحمل الأحاديث المطلقة كخبر أوصاني خليلي أن لا أنام إلا على وتر (ق د) في الصلاة (عن ابن عمر) بن الخطاب وقضية صنيعه أنه لم يروه من الستة إلا هؤلاء الثلاثة والأمر بخلافه فإن النسائي رواه معهم

[2]  التقريرات السديدة / 294

كيفية الوقوف لصلاة الجماعة : ان يقف الذكر عن يمين الإمام، فاذا جاء آخر فعن يساره ، ثم يتقدم الإمام او يتأخران وهو الأفضل. وسقف خلف الإمام الرجال، ثم الصبيان، ثم الخناثى ، ثم النساء

حواشي الشرواني – (ج 2 / ص 305)

(أحرم عن يساره) أي ندبا ولو خالف ذلك كره وفاتت به فضيلة الجماعة كما أفتى به الوالد رحمه الله تعالى نعم إن عقب تحرم الثاني تقدم الامام أو تأخرهما نالا فضيلتها وإلا فلا تحصل لواحد منهما نهاية قال الرشيدي قوله وإلا فلا تحصل إلخ ظاهره أن فضيلة الجماعة تنتفي في جميع الصلاة وإن حصل التقدم أو التأخر بعد ذلك وهو مشكل وفي فتاوى والده في محل آخر ما يخالف ذلك فليراجع ا ه قول المتن (ثم يتقدم الامام) ظاهره استمرار الفضيلة لهما بعد تقدم الامام وإن داما على موقفهما من غير ضم أحدهما إلى الآخر وكذلك لو تأخرا ولا بعد فيه لطلبه منهما هنا ابتداء فلا يخالف ما سيأتي برماوي وعبارة العزيزي قوله أو يتأخران أي مع انضمامهما وكذا ينضمان لو تقدم الامام ا ه ويدل له قوله في الحديث فأخذ بأيدينا فأقامنا خلفه إلخ بجيرمي قوله: (في القيام) ومنه الاعتدال ع ش قول المتن (أفضل) أي من تقدم الامام مغني قوله: (وألحق به الركوع) أي كما بحثه شيخنا مغني ونهاية قوله: (وإلا) أي إن لم يمكن إلا أحدهما لضيق المكان من أحد الجانبين أو نحوه كما لو كان بحيث لو تقدم الامام سجد على نحو تراب يشوه خلقه أو يفسد ثيابه أو يضحك عليه الناس ع ش قوله: (تعين ما سهل منهما) يتردد النظر فيما لو ترك المتعين عليه ذلك فعله هل يكون مفوتا لفضيلة الجماعة بالنسبة إليه فقط لان الآخرين أو الآخر لا تقصير منهما أو منه أو بالنسبة للجميع لوجود الخلل في الجماعة في الجملة ولعل الاول أوجه بصري زاد ع ش وسئل الشهاب الرملي عما أفتى به بعض أهل العصر أنه إذا وقف صف قبل إتمام ما أمامه لم تحصل له فضيلة الجماعة هل معتمد أم لا فأجاب بأنه لا تفوته فضيلة الجماعة بوقوفة المذكور وفي ابن عبد الحق ما يوافقه وعليه فيكون هذا مستثنى من قولهم مخالفة السنن المطلوبة في الصلاة من حيث الجماعة مكروهة مفوتة للفضيلة

المجموع – (ج 4 / ص 292)

(احداها) السنة أن يقف المأموم الواحد عن يمين الامام رجلا كان أو صبيا قال اصحابنا ويستحب ان يتأخر عن مساواة الامام قليلا فان خالف ووقف عن يساره أو خلفه استحب له ان يتحول الي يمينه ويحترز عن افعال تبطل الصلاة فان لم يتحول استحب للامام ان يحوله لحديث ابن عباس فان استمر علي اليسار أو خلفه كره وصحت صلاته عندنا بالاتفاق (الثانية) إذا حضر امام ومامومان تقدم الامام واصطفا خلفه سوا كانا رجلين أو صبيين أو رجلا وصبيا: هذا مذهبنا ومذهب العلماء كافة الا عبد الله بن مسعود وصاحبيه علقمة والاسود فانهم قالوا يكون الامام والمأمومان كلهم صفا واحدا ثبت هذا عن ابن مسعود في صحيح مسلم دليلنا حديث جابر السابق قال اصحابنا فان حضر امام وماموم واحرم عن يمينه ثم جاء آخر احرم عن يساره ثم ان كان قدام الامام سعة وليس وراء المأمومين سعة تقدم الامام وان كان وراءهما سعة وليست قدامه تأخرا وان كان قدامه سعة ووراءهما سعة تقدم أو تأخرا وأيهما افضل فيه وجهان (الصحيح) الذى قطع به الشيخ أبو حامد والاكثرون تأخرهما لان الامام متبوع فلا ينتقل (والثاني) تقدمه قاله القفال والقاضى أبو الطيب لانه يبصر ما بين يديه ولانه فعل شخص فهو اخف من شخصين هذا إذا جاء المأموم الثاني في القيام فان جاء في التشهد والسجود فلا تقدم ولا تأخر حتي يقوموا ولا خلاف أن التقدم والتاخر لا يكون الا بعد احرام المأموم الثاني كما ذكرنا وقد نبه عليه المصنف بقوله ثم يتقدم الامام أو يتاخرا

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  – (ج 8 / ص 132)

( وَيَقِفُ ) عَبَّرَ بِهِ هُنَا وَفِيمَا يَأْتِي لِلْغَالِبِ أَيْضًا ( الذَّكَرُ ) وَلَوْ صَبِيًّا لَمْ يَحْضُرْهُ غَيْرُهُ ( عَنْ يَمِينِهِ ) وَإِلَّا سُنَّ لِلْإِمَامِ تَحْوِيلُهُ لِلِاتِّبَاعِ ( فَإِنْ حَضَرَ آخَرُ أَحْرَمَ عَنْ يَسَارِهِ ) ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِيَسَارِهِ مَحَلٌّ أَحْرَمَ خَلْفَهُ ثُمَّ تَأَخَّرَ إلَيْهِ مَنْ هُوَ عَلَى الْيَمِينِ ( ثُمَّ ) بَعْدَ إحْرَامِهِ لَا قَبْلَهُ ( يَتَقَدَّمُ الْإِمَامُ أَوْ يَتَأَخَّرَانِ ) فِي الْقِيَامِ وَأَلْحَقَ بِهِ الرُّكُوعَ ( وَهُوَ ) أَيْ تَأَخُّرُهُمَا ( أَفْضَلُ ) لِلِاتِّبَاعِ أَيْضًا وَلِأَنَّ الْإِمَامَ مَتْبُوعٌ فَلَا يُنَاسِبُهُ الِانْتِقَالُ هَذَا إنْ سَهَّلَ كُلٌّ مِنْهُمَا لِسَعَةِ الْمَكَانِ وَإِلَّا تَعَيَّنَ مَا سَهُلَ مِنْهُمَا تَحْصِيلًا لِلسُّنَّةِ أَمَّا فِي غَيْرِ الْقِيَامِ ، وَالرُّكُوعِ فَلَا تَقَدُّمَ وَلَا تَأَخُّرَ لِعُسْرِهِ حَتَّى يَقُومُوا

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  – (ج 8 / ص 134)

( قَوْلُهُ : فِي الْمَتْنِ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ الْإِمَامُ أَوْ يَتَأَخَّرَانِ ) لَوْ لَمْ يَتَقَدَّمْ الْإِمَامُ وَلَا تَأَخَّرَا كُرِهَ وَفَاتَتْ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ لَكِنَّ هَذَا وَاضِحٌ بِالنِّسْبَةِ لِلْمَأْمُومِ أَمَّا الْإِمَامُ فَهَلْ تَثْبُتُ الْكَرَاهَةُ وَفَوَاتُ الْجَمَاعَةِ فِي حَقِّهِ أَيْضًا أَوْ لَا ؛ لِأَنَّ طَلَبَ التَّقَدُّمِ ، وَالتَّأَخُّرِ إنَّمَا هُوَ لِمَصْلَحَةِ الْمَأْمُومِ فِيهِ نَظَرٌ وَلَا يَبْعُدُ ثُبُوتُ ذَلِكَ فِي حَقِّهِ أَيْضًا حَيْثُ أَمْكَنَهُ التَّقَدُّمُ وَلَا نُسَلِّمُ أَنَّ طَلَبَ مَا ذَكَرَهُ لِمَصْلَحَةِ الْمَأْمُومِ فَقَطْ بَلْ لِمَصْلَحَتِهِ هُوَ أَيْضًا فَلْيُتَأَمَّلْ وَيَجْرِي التَّرَدُّدُ الْمَذْكُورُ فِيمَا لَوْ وَقَفَ الْمَأْمُومُ عَنْ يَسَارِهِ وَأَمْكَنَهُ تَحْوِيلُهُ إلَى الْيَمِينِ أَوْ انْتِقَالُهُ هُوَ بِحَيْثُ يَصِيرُ الْمَأْمُومُ عَنْ يَمِينِهِ

HUKUM TUKANG PIJAT KETIKA ADA PASIEN LAWAN JENIS

Berprofesi sebagai tukang pijat itu hukumnya boleh jika si tukang pijat dan pasien sama jenis kelaminnya. Jika berbeda jenis kelamin antara tukang pijat dan pasien maka harus :

– ada nya mahrom atau suami/istri yg menemani, tidak berdua-duaan

– tidak ada tukang pijat yang ahli di bidang nya selain lawan jenis

Dan menurut Imam Al Mawardi : Jadi tukang pijat harus disyaratkan aman dari fitnah.

Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah (Ensiklopedi Fiqih), halaman 37/286 disimpulkan pendapat para ulama dari keempat madzhab sbb:

    Mayoritas ulama fiqih dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali (Hanabilah) berpendapat bahwa boleh bagi dokter muslim laki-laki, apabila tidak ada dokter perempuan, untuk mengobati pasien wanita bukan mahram yang muslimah dan melihat dan menyentuh tempat yang diperlukan untuk dilihat dan disentuh. Apabila tidak ada dokter perempuan dan tidak ada dokter muslim laki-laki maka boleh dokter non-muslim. Didahulukan dokter perempuan non-muslim dibanding dokter pria muslim karena pandangan wanita lebih ringan dibanding pria. Dan boleh bagi dokter perempuan melihat dan menyentuh pasien pria sesuai kebutuhan untuk dilihat dan disentuh apabila tidak ada dokter pria yang dapat mengobati pasien laki-laki. Ulama fikih menerapkan sejumlah syarat untuk hal ini.

    Madzhab Syafi’i menyatakan: Boleh melihat dan menyentuh untuk fashd, bekam dan pengobatan karena diperlukan akan tetapi harus di depan orang (ketiga) yang mencegah khalwat (berduaan) seperti mahram, suami, atau wanita yang bisa dipercaya karena bolehnya pertemuan satu laki-laki dengan dua perempuan yang bisa dipercaya. Al-Mawardi menyaratkan harus aman dari fitnah dan tidak membuka anggota tubuh kecuali yang diperlukan saja.

    Madzhab Syafi’i berkata: terkadang haram melihat tidak haram menyentuh seperti apabila memungkinkan bagi dokter mengetahui penyakit hanya dengan menyentuh saja. Madzhab Hanbali berkata: dokter boleh melihat dan menyentuh anggota tubuh yang perlu dilihat dan disentuh — berdasar teks Imam Ahmad bin Hanbal — sampai kemaluan dan bagian dalam karena itu tempat yang diperlukan walaupun dokternya non-muslim. Dan hal itu hendaknya ditemanioleh mahram atau suami karena khalwat tidak aman dari terjadinya perkara haram dan menutupi anggota tubuh yang selain yang diperlukan karena hukum aslanya adalah haram. Dan sama dengan dokter adalah orang yang bertugas menemani orang sakit saat wudhu dan istinja (cebok) dan lainnya dan seperti menyelamatkan orang dari tenggelam atau kebakaran dan lainnya. begitu juga apabila mencukur bulu kemaluan orang yang tidak bisa mencukurnya sendiri. Begitu juga untuk mengetahui keperawanan, janda atau baligh. Adapun menyentuh tanpa syahwat seperti menyentuh tangan untuk mengetahui penyakitnya maka itu tidak makruh (tidak dilarang) sama sekali.

Wallohu a’lam.

Referensi :

شرح المحلى على منهاج الطالبين بهامش حاشيتا قليوبي وعميرة ج ٣ ص ٢١٣

(وَيُبَاحَانِ) أَيْ النَّظَرُ وَالْمَسُّ (لِفَصْدٍ وَحِجَامَةٍ وَعِلَاجٍ) لِعِلَّةٍ لِلْحَاجَةِ إلَى ذَلِكَ وَلْيَكُنْ ذَلِكَ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ بِحُضُورِ مَحْرَمٍ، أَوْ زَوْجٍ وَيُشْتَرَطُ أَنْ لَا تُوجَدَ امْرَأَةٌ تُعَالِجُ الْمَرْأَةَ أَوْ رَجُلٌ يُعَالِجُ الرَّجُلَ، وَأَنْ لَا يَكُونَ ذِمِّيًّا مَعَ وُجُودِ مُسْلِمٍ

مغني المحتاج جـ ٤ صـ ٢١٥

(وَ) اعْلَمْ أَنَّ مَا تَقَدَّمَ مِنْ حُرْمَةِ النَّظَرِ وَالْمَسِّ هُوَ حَيْثُ لَا حَاجَةَ إلَيْهِمَا. وَأَمَّا عِنْدَ الْحَاجَةِ فَالنَّظَرُ وَالْمَسُّ (مُبَاحَانِ لِفَصْدٍ وَحِجَامَةٍ وَعِلَاجٍ) وَلَوْ فِي فَرْجٍ لِلْحَاجَةِ الْمُلْجِئَةِ إلَى ذَلِكَ؛ لِأَنَّ فِي التَّحْرِيمِ حِينَئِذٍ حَرَجًا، فَلِلرَّجُلِ مُدَاوَاةُ الْمَرْأَةِ وَعَكْسُهُ، وَلْيَكُنْ ذَلِكَ بِحَضْرَةِ مَحْرَمٍ أَوْ زَوْجٍ أَوْ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ إنْ جَوَّزْنَا خَلْوَةَ أَجْنَبِيٍّ بِامْرَأَتَيْنِ، وَهُوَ الرَّاجِحُ كَمَا سَيَأْتِي فِي الْعَدَدِ إنْ شَاءَ اللَّهُ – تَعَالَى -. وَيُشْتَرَطُ عَدَمُ امْرَأَةٍ يُمْكِنُهَا تَعَاطِي ذَلِكَ مِنْ امْرَأَةٍ وَعَكْسُهُ كَمَا صَحَّحَهُ فِي زِيَادَةِ الرَّوْضَةِ، وَأَنْ لَا يَكُونَ ذِمِّيًّا مَعَ وُجُودِ مُسْلِمٍ، وَقِيَاسُهُ كَمَا قَالَ الْأَذْرَعِيُّ أَنْ لَا تَكُونَ كَافِرَةً أَجْنَبِيَّةً مَعَ وُجُودِ مُسْلِمَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ، صَرَّحَ بِهِ فِي الْكِفَايَةِ، وَلَوْ لَمْ نَجِدْ لِعِلَاجِ الْمَرْأَةِ إلَّا كَافِرَةً وَمُسْلِمًا، فَالظَّاهِرُ كَمَا قَالَ الْأَذْرَعِيُّ أَنَّ الْكَافِرَةَ تُقَدَّمُ؛ لِأَنَّ نَظَرَهَا وَمَسَّهَا أَخَفُّ مِنْ الرَّجُلِ بَلْ الْأَشْبَهُ عِنْدَ الشَّيْخَيْنِ كَمَا مَرَّ أَنَّهَا تَنْظُرُ مِنْهَا مَا يَبْدُو عِنْدَ الْمَهْنَةِ بِخِلَافِ الرَّجُلِ

تَنْبِيهٌ رَتَّبَ الْبُلْقِينِيُّ ذَلِكَ، فَقَالَ: فَإِنْ كَانَتْ امْرَأَةٌ فَيُعْتَبَرُ وُجُودُ امْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ، فَإِنْ تَعَذَّرَتْ فَصَبِيٌّ مُسْلِمٌ غَيْرُ مُرَاهِقٍ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَصَبِيٌّ غَيْرُ مُرَاهِقٍ كَافِرٌ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَامْرَأَةٌ كَافِرَةٌ، فَإِنْ تَعَذَّرَتْ فَمَحْرَمُهَا الْمُسْلِمُ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَمَحْرَمُهَا الْكَافِرُ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَأَجْنَبِيٌّ مُسْلِمٌ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَأَجْنَبِيٌّ كَافِرٌ. اهـ

وَالْمُتَّجَهُ تَأْخِيرُ الْمَرْأَةِ الْكَافِرَةِ عَنْ الْمَحْرَمِ بِقِسْمَيْهِ، وَقَيَّدَ فِي الْكَافِي الطَّبِيبَ بِالْأَمِينِ فَلَا يُعْدَلُ إلَى غَيْرِهِ مَعَ وُجُودِهِ كَمَا قَالَهُ الزَّرْكَشِيُّ، وَشَرَطَ الْمَاوَرْدِيُّ أَنْ يَأْمَنَ الِافْتِتَانَ، وَلَا يَكْشِفَ إلَّا قَدْرَ الْحَاجَةِ كَمَا قَالَهُ الْقَفَّالُ فِي فَتَاوِيهِ، وَفِي مَعْنَى الْفَصْدِ وَالْحِجَامَةِ نَظَرُ الْخَاتِنِ إلَى فَرْجِ مَنْ يَخْتِنُهُ، وَنَظَرُ الْقَابِلَةِ إلَى فَرْجِ الَّتِي تُوَلِّدُهَا، وَيُعْتَبَرُ فِي النَّظَرِ إلَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ مُطْلَقُ الْحَاجَةِ، وَفِي غَيْرِهِمَا مَا عَدَا السَّوْأَتَيْنِ تَأَكُّدُهَا بِأَنْ يَكُونَ مِمَّا يُبِيحُ التَّيَمُّمَ كَشِدَّةِ الضَّنَى كَمَا نَقَلَاهُ عَنْ الْإِمَامِ، وَقَضِيَّةُ هَذَا كَمَا قَالَ الزَّرْكَشِيُّ أَنَّهُ لَوْ خَافَ شَيْئًا فَاحِشًا فِي عُضْوٍ بَاطِنٍ امْتَنَعَ النَّظَرُ، وَفِيهِ نَظَرٌ، وَفِي السَّوْأَتَيْنِ مَزِيدُ تَأَكُّدِهَا بِأَنْ لَا يُعَدَّ التَّكَشُّفُ بِسَبَبِهَا هَتْكًا لِلْمُرُوءَةِ كَمَا نَقَلَاهُ عَنْ الْغَزَالِيِّ وَأَقَرَّاهُ

تحفة المحتاج جـ ٧ صـ ٢٠٢

(وَيُبَاحَانِ) أَيْ النَّظَرُ وَالْمَسُّ (لِفَصْدٍ وَحِجَامَةٍ وَعِلَاجٍ) لِلْحَاجَةِ لَكِنْ بِحَضْرَةِ مَانِعِ خَلْوَةٍ كَمَحْرَمٍ، أَوْ زَوْجٍ أَوْ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ لِحِلِّ خَلْوَةِ رَجُلٍ بِامْرَأَتَيْنِ ثِقَتَيْنِ يَحْتَشِمُهُمَا وَلَيْسَ الْأَمْرَدَانِ كَالْمَرْأَتَيْنِ خِلَافًا لِمَنْ بَحَثَهُ؛ لِأَنَّ مَا عَلَّلُوا بِهِ فِيهِمَا مِنْ اسْتِحْيَاءِ كُلٍّ بِحَضْرَةِ الْأُخْرَى لَا يَأْتِي فِي الْأَمْرَدَيْنِ كَمَا صَرَّحُوا بِهِ فِي الرَّجُلَيْنِ. وَبِشَرْطِ عَدَمِ امْرَأَةٍ تُحْسِنُ ذَلِكَ كَعَكْسِهِ، وَأَنْ لَا يَكُونَ غَيْرَ أَمِينٍ مَعَ وُجُودِ أَمِينٍ وَلَا ذِمِّيًّا مَعَ وُجُودِ مُسْلِمٍ، أَوْ ذِمِّيَّةٍ مَعَ وُجُودِ مُسْلِمَةٍ وَبَحَثَ الْبُلْقِينِيُّ أَنَّهُ يُقَدَّمُ فِي الْمَرْأَةِ مُسْلِمَةٌ فَصَبِيٌّ مُسْلِمٌ غَيْرُ مُرَاهِقٍ فَمُرَاهِقٌ فَكَافِرٌ غَيْرُ مُرَاهِقٍ فَمُرَاهِقٌ فَامْرَأَةٌ كَافِرَةٌ فَمَحْرَمٌ مُسْلِمٌ فَمَحْرَمٌ كَافِرٌ فَأَجْنَبِيٌّ مُسْلِمٌ فَكَافِرٌ اهـ وَوَافَقَهُ الْأَذْرَعِيُّ عَلَى تَقْدِيمِ الْكَافِرَةِ عَلَى الْمُسْلِمِ وَفِي تَقْدِيمِهِ لَهَا عَلَى الْمَحْرَمِ نَظَرٌ ظَاهِرٌ وَاَلَّذِي يَتَّجِهُ تَقْدِيمُ نَحْوِ مَحْرَمٍ مُطْلَقًا عَلَى كَافِرَةٍ لِنَظَرِهِ مَا لَا تَنْظُرُ هِيَ وَمَمْسُوحٍ عَلَى مُرَاهِقٍ وَأَمْهَرَ وَلَوْ مِنْ غَيْرِ الْجِنْسِ وَالدَّيِّنُ عَلَى غَيْرِهِ وَوُجُودِ مَنْ لَا يَرْضَى إلَّا بِأَكْثَرَ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ كَالْعَدَمِ فِيمَا يَظْهَرُ بَلْ لَوْ وُجِدَ كَافِرٌ يَرْضَى بِدُونِهَا وَمُسْلِمٌ لَا يَرْضَى إلَّا بِهَا احْتَمَلَ أَنَّ الْمُسْلِمَ كَالْعَدَمِ أَيْضًا أَخْذًا مِمَّا يَأْتِي أَنَّ الْأُمَّ لَوْ طَلَبَتْ أُجْرَةَ الْمِثْلِ وَوَجَدَ الْأَبُ مَنْ يَرْضَى بِدُونِهَا سَقَطَتْ حَضَانَةُ الْأُمِّ وَيَحْتَمِلُ الْفَرْقَ وَيَظْهَرُ فِي الْأَمْرَدِ أَنَّهُ يَتَأَتَّى فِيهِ نَظِيرُ ذَلِكَ التَّرْتِيبِ فَيُقَدَّمُ مَنْ يَحِلُّ نَظَرُهُ إلَيْهِ فَغَيْرُ مُرَاهِقٍ فَمُرَاهِقٌ فَمُسْلِمٌ ثِقَةٌ فَكَافِرٌ بَالِغٌ وَيُعْتَبَرُ فِي الْوَجْهِ وَالْكَفِّ أَدْنَى حَاجَةٍ وَفِيمَا عَدَاهُمَا مُبِيحُ تَيَمُّمٍ إلَّا الْفَرَجَ وَقَرِيبَهُ فَيُعْتَبَرُ زِيَادَةٌ عَلَى ذَلِكَ، وَهِيَ أَنْ تَشْتَدَّ الضَّرُورَةُ حَتَّى لَا يُعَدُّ الْكَشْفُ لِذَلِكَ هَتْكًا لِلْمُرُوءَةِ

ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻮﺟﻴﺰ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﺹ : 482

ﻭﻣﻨﻬﺎ : ﺍﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﻭﺍﻟﻤﺲ ﻟﻠﻔﺼﺪ ﻭﺍﻟﺤﺠﺎﻣﺔ ﻭﺍﻟﻤﻌﺎﻟﺠﺔ ﻟﻌﻠﺔ ﻭﻟﻴﻜﻦ ﺫﻟﻚ ﺑﺤﻀﻮﺭ ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ ﻭﻳﺸﺘﺮﻁ ﻓﻰ ﺟﻮﺍﺯ ﻧﻈﺮ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺃ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻫﻨﺎﻙ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺗﻌﺎﻟﺞ ﻭﻓﻰ ﺟﻮﺍﺯ ﻧﻈﺮ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺃﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻫﻨﺎﻙ ﺭﺟﻞ ﻳﻌﺎﻟﺠﻪ ﻛﺬﻟﻚ ﺫﻛﺮﻩ ﺍﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺰﺑﻴﺮﻱ ﻭﺍﻟﻘﺎﺿﻰ ﺍﻟﺮﻭﻳﺎﻧﻲ ﺍﻳﻀﺎ ﻭﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻘﺎﺹ ﺧﻼﻓﻪ ﺛﻢ ﺍﺻﻞ ﺍﻟﺤﺎﺟﺔ ﻛﺎﻑ ﻓﻰ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﻭﺍﻟﻴﺪﻳﻦ ﻭﻟﺬﻟﻚ ﺟﺎﺯ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﺑﺴﺒﺐ ﺍﻟﺮﻏﺒﺔ ﻓﻰ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻭﻓﻰ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﺍﻟﻰ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻷﻋﻀﺎﺀ ﻳﻌﺘﺒﺮ ﺍﻟﺘﺄﻛﺪ ﻭﺿﺒﻄﻪ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻓﻘﺎﻝ ﻣﺎﻳﺠﺎﻭﺯ ﺍﻹﻧﺘﻘﺎﻝ ﺑﺴﺒﺒﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﺘﺮﺍﺏ ﻭﻓﺎﻗﺎ ﺍﻭ ﺧﻼﻓﺎ ﻛﺸﺪﺓ ﺍﻟﻀﻨﻰ ﻭﻣﺎ ﻓﻰ ﻣﻌﻨﻬﺎ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﺑﺴﺒﺒﻪ ﻭﻓﻰ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﺴﻮﺀﺗﻴﻦ ﻳﻌﺘﺒﺮ ﻣﺰﻳﺪ ﺗﺄﻛﺪ ﻗﺎﻝ ﻓﻰ ﺍﻟﻮﺳﻴﻂ : ﻭﺫﻟﻚ ﺑﺄﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﺤﺎﺟﺔ ﺑﺤﻴﺚ ﻻﻳﻌﺪ ﺍﻟﺘﻜﺸﻒ ﺑﺴﺒﺒﻬﺎ ﻫﺘﻜﺎ ﻟﻠﻤﺮﻭﺀﺓ ﻭﻳﻌﺬﺭ ﻓﻰ ﺍﻟﻌﺎﺩﺍﺕ ﻭﺍﻟﻰ ﻫﺬﺍﺍﻟﺘﺮﺗﻴﺐ ﺍﺷﺎﺭ ﻓﻰ ﺗﺎﻛﺘﺎﺏ ﺑﻘﻮﻟﻪ : ﻭﻟﻴﻤﻦ النظر ﺍﻟﻰ ﺍﻟﺴﻮأتين ﻟﺤﺎﺟﺔ ﻣﺆﻛﺪﺓ

ﺍﻟﺸﺮﻭﺍﻧﻰ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻟﺘﺎﺳﻊ ﺹ : 41-39

ﻭﻳﺒﺎﺣﺎﻥ ﺃﻱ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﺍﻟﻤﺲ ﻟﻔﺼﺪ ﻭﺣﺠﺎﻣﺔ ﻭﻋﻼﺝ ﻟﻠﺤﺎﺟﺔ ﻟﻜﻦ ﺑﺤﻀﺮﺓ ﻣﺎﻧﻊ ﺧﻠﻮﺓ ﻛﻤﺤﺮﻡ ﺃﻭ ﺯﻭﺝ ﺃﻭ ﺇﻣﺮﺃﺓ ﺛﻘﺔ ﻟﺤﻞ ﺧﻠﻮﺓ ﺭﺟﻞ ﺑﺎﻣﺮﺃﺓ ﺛﻘﺔ ﻟﺤﻞ ﺧﻠﻮﺓ ﺭﺟﻞ ﺑﺎﻣﺮﺃﺗﻴﻦ ﺛﻘﺘﻴﻦ ﻳﺤﺘﺸﻤﻬﺎ، ﺇﻟﻰ ﺍﻥ ﻗﺎﻝ ﻭﺑﺸﺮﻁ ﻋﺪﻡ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺗﺤﺴﻦ ﺫﻟﻚ ﻛﻌﻜﺴﻪ ﻭﺃﻥ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻏﻴﺮ ﺃﻣﻴﻦ ﻣﻊ ﻭﺟﻮﺩ ﺃﻣﻴﻦ ﻭﻻ ﺫﻣﻴﺎ ﻣﻊ ﻭﺟﻮﺩ ﻣﺴﻠﻢ ﺃﻭ ﺫﻣﻴﺔ ﻣﻊ ﻭﺟﻮﺩ ﻣﺴﻠﻤﺔ ﻭﺑﺤﺚ ﺍﻟﺒﻠﻘﻴﻨﻰ ﺇﻧﻪ ﻳﻘﺪﻡ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻣﺴﻠﻤﺔ ﻓﺼﺒﻰ ﻣﺴﻠﻢ ﻏﻴﺮ ﻣﺮﺍﻫﻖ ﻓﻤﺮﺍﻫﻖ ﻓﻜﺎﻓﺮ ﻏﻴﺮ ﻣﺮﺍﻫﻖ ﻓﻤﺮﺍﻫﻖ ﻓﺎﻣﺮﺃﺓ ﻛﺎﻓﺮﺓ ﻓﻤﺤﺮﻡ ﻣﺴﻠﻢ ﻓﻤﺤﺮﻡ ﻛﺎﻓﺮ ﻓﺄﺟﻨﺒﻲ ﻣﺴﻠﻢ ﻓﻜﺎﻓﺮ ﺍﻫـ ﻭﻭﺍﻓﻘﻪ ﺍﻷﺫﺭﻋﻯﻌﻠﻯﺘﻘﺪﻳﻢ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﺓ على ﺎﻟﻤﺴلم ﻭﻓﻰ ﺗﻘﺪﻳﻢ ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ ﻧﻈﺮ ، ﻭﺍﻟﺬﻯ ﻳﺘﺠﻪ ﺗﻘﺪﻳﻢ ﻧﺤﻮ ﻣﺤﺮﻡ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻋﻠﻰ ﻛﺎﻓﺮﺓ ﻟﻨﻈﺮﻩ ﻣﺎ ﻻ ﺗﻨﻈﺮ ﻫﻰ ﻭﻣﻤﺴﻮﺡ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺍﻫﻖ ﻭﺃﻣﻬﺮ ﻭﻟﻮﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﺠﻨﺲ ﻭﺍﻟﺪﻳﻦ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻩ ﻭﻭﺟﻮﺩ ﻣﻦ ﻻ ﻳﺮﺿﻰ ﺇﻻ ﺑﺄﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺃﺟﺮﺓ ﺍﻟﻤﺜﻞ ﻛﺎﻟﻌﺪﻡ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻈﻬﺮ ،ﺑﻞ ﻟﻮ ﻭﺟﺪ ﻛﺎﻓﺮ ﻳﺮﺿﻰ ﺑﺪﻭﻧﻬﺎ ﻭﻣﺴﻠﻢ ﻻ ﻳﺮﺿﻰ ﺇﻻ ﺑﻬﺎ ﺍﺣﺘﻤﻞ ﺍﻥ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﻛﺎﻟﻌﺎﺩﻡ ﺃﻳﻀﺎ

ذهب جمهور الفقهاء من الحنفية والمالكية والشافعية والحنابلة إلى أنه يجوز للطبيب المسلم إن لم توجد طبيبة أن يداوي المريضة الأجنبية المسلمة وينظر منها ويمس ما تلجئ الحاجة إلى نظره , ومسه فإن لم توجد طبيبة ولا طبيب مسلم جاز للطبيب الذمي ذلك , وتقدم المرأة الكافرة مع وجود طبيب مسلم لأن نظر الكافرة ومسها أخف من الرجل . ويجوز للطبيبة أن تنظر وتمس من المريض ما تدعو الحاجة الملجئة إلى نظره ومسه إن لم يوجد طبيب يقوم بمداواة المريض , وقد اشترط بعض الفقهاء شروطا لذلك

فقال الشافعية : ويباحان أي النظر والمس لفصد وحجامة وعلاج للحاجة لكن بحضرة مانع خلوة كمحرم أو زوج أو امرأة ثقة لحل خلوة رجل بامرأتين ثقتين , وشرط الماوردي أن يأمن الافتنان ولا يكشف إلا قدر الحاجة

وقال الشافعية كذلك : يحرم النظر دون المس كأن أمكن لطبيب معرفة العلة بالمس فقط . وقال الحنابلة : ولطبيب نظر ومس ما تدعو الحاجة إلى نظره ولمسه نص عليه , حتى فرجها وباطنه لأنه موضع حاجة وظاهره ولو ذميا , وليكن ذلك مع حضور محرم أو زوج , لأنه لا يأمن مع الخلوة مواقعة المحظور , ويستر منها ما عدا موضع الحاجة لأنها على الأصل في التحريم , وكالطبيب من يلي خدمة مريض أو مريضة في وضوء واستنجاء وغيرهما وكتخليصها من غرق وحرق ونحوهما , وكذا لو حلق عانة من لا يحسن حلق عانته , وكذا لمعرفة بكارة وثيوبة وبلوغ , وأما المس لغير شهوة كمس يدها ليعرف مرضها فليس بمكروه بحال

[2] حاشيتا قليوبي – وعميرة – (ج 3 / ص 213)

( وَيُبَاحَانِ ) أَيْ النَّظَرُ وَالْمَسُّ ( لِفَصْدٍ وَحِجَامَةٍ وَعِلَاجٍ ) لِعِلَّةٍ لِلْحَاجَةِ إلَى ذَلِكَ وَلْيَكُنْ ذَلِكَ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ بِحُضُورِ مَحْرَمٍ ، أَوْ زَوْجٍ وَيُشْتَرَطُ أَنْ لَا تُوجَدَ امْرَأَةٌ تُعَالِجُ الْمَرْأَةَ أَوْ رَجُلٌ يُعَالِجُ الرَّجُلَ ، وَأَنْ لَا يَكُونَ ذِمِّيًّا مَعَ وُجُودِ مُسْلِمٍ ،

فتاوى الأزهر (10/ 57

هل يجوز أن يتولى علاج المرأة وتوليدها رجل أجنبى؟

من القواعد الفقهية أن الضرورات تبيح المحظورات ، ومعلوم أن المرأة لا يجوز لها أن تكشف عن شىء من جسمها لرجل أجنبى-فيما عدا الوجه والكفين على تفصيل فى ذلك – وبالتالى لا يجوز اللمس بدون حائل ، أما عند الضرورة المصورة بعدم وجود زوج أو محرم أو امرأة مسلمة تقوم بذلك فلا مانع من النظر واللمس ، مع مراعاة القاعدة الفقهية الأخرى وهى: أن الضرورة تقدر بقدرها

ولهذا الاستثناء احتياطات وآداب نورد فيها بعض ما قاله العلماء

الإقناع فى شرح متن أبى شجاع” للشيخ الخطيب فى فقه الشافعية “ج 2 ص 120”

أن النظر للمداواة يجوز إلى المواضع التى يحتاج إليها فقط ، لأن فى التحريم حينئذ حرجا ، فللرجل مداواه المرأة وعكسه ، وليكن ذلك بحضرة محرم أو زوج أو امرأة ثقة إن جوزنا خلوة أجنبى بامرأتين وهو الراجح ، ويشترط عدم امرأة يمكنها تعاطى ذلك من امرأة ، وعكسه كما صححه كما فى زيادة “الروضة” وألا يكون ذميًا مع وجود مسلم ، وقياسه -كما قال الأذرعى- ألا تكون كافرة أجنبية مع وجود مسلمة على الأصح ، ولو لم نجد لعلاج المرأة إلا كافرة ومسلما فالظاهر أن الكافرة تقدم ، لأن نظرها ومسها أخف من الرجل ، بل الأشبه عند الشيخين أنها تنظر منها ما يبدو عند المهنة، بخلاف الرجل. وقيد -فى الكافى- الطبيب بالأمين ، فلا يعدل إلى غيره مع وجوده ، ثم قال :

وشرط الماوردى أن يأمن الافتتان ولا يكشف إلا قدر الحاجة ، وفى معنى ما ذكر نظر الخاتن إلى فرج من يختنه ، ونظر القابلة إلى فرج التى تولدها . ويعتبر فى النظر إلى الوجه والكفين مطلق الحاجة، وفى غيرهما -ما عدا السوأتين- تأكدها ، بأن يكون مما يبيح التيمم كشدة الضنا ، وفى السوأتين مزيد تأكدها ، بألا يعد التكشف بسببها هتكا للمروءة

البجيرمى على الخطيب ( ج ۱۰ ص ۹۰۔۹۱)

: (والضرب الخامس النظر للمداواة) كفصد وحجامة وعلاج ولو فى فرج (فيجوز إلى المواضع التى يحتاج إليها فقط) لأن فى التحريم حينئذ حرجا. فللرجل مداواة المرأة وعكسه. وليكن ذلك بحضرة محرم أو زوج أوامرأة ثقة إن جوزنا خلوة أجنبى بامرأتين وهو الراجح. ويشترط عدم امرأة يمكنها تعاطى ذلك من امرأة وعكسه كما صححه فى زيادة الروضة ـ إلى أن قال ـ وشرط الماوردى أن يأمن الإفتتان ولا يكشف إلا بقدر الحاجة. (قوله : والخامس النظر للمداوة إلخ) حاصل ما ذكره لأجل المداواة ستة : أن يقتصر على نظر محل الحاجة، واتحاد الجنس أو فقده مع حضور نحو محرم، وفقد مسلم فى حق مسلم والمعالج كافر، وأن يكون الطبيب أمينا، وأن يأمن الإفتتان، ووجود مطلق الحاجة فى الوجه والكفين وتأكدها فيما سوى السوأتين من غير الوجه والكفين ومزيد تأكدها فى السوأتين، وزيد سابع وهو أن لايكشف إلا قدر الحاجة ولا يحتاج إليه. لأن الأول يغنى عليه ـ إلى أن قال ـ (قوله : فيجوز إلى المواضع التى يحتاج إليها) وأما المس فإن احتاج إليه جاز وإلا فلا. إهــــ

نهاية المحتاج (ج ٦ ص ۱٩٦) :

يحل ويباحان أي النظر والمس لفصد وحجامة وعلاج للحاجة، لكن بحضرة مانع خلوة كمحرم أو زوج أو امرأة ثقة لحل خلوة رجل بامرأتين ثقتين، وليس الأمردان كالمرأتين على إطلاق المصنف وإن بحثه بعضهم لأن ما عللوا به فيهما من استحياء كل بحضرة الأخرى غير متأت في الأمردين كما صرحوا به في الرجلين. ويشترط فقد امرأة تحسن ذلك كعكسه، وأن لا يكون غير أمين مع وجود أمين، كما قاله الزركشي تبعا لصاحب الكافي، وشرط الماوردي أن يأمن الافتتان ولا يكشف إلا قدر الحاجة كما قاله القفال في فتاويه. إهــــ

شرح القواعد الفقهية للزرقا (ج ۱ ص ٢۰٨) :

الحاجة هى الحالة تستدعى تيسيرا أو تسهيلا لأجل الحصول على المقصود فهى دون الضرورة من هذه الجهة وإن كان الحكم الثابت لأجلها مستمرا والثابت للضرورة مؤقتا كما تقدم. إهــــ

KETERANGAN LENGKAP TENTANG SHOLAT WITIR

Termasuk shalat sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan) adalah shalat witir.

Witir secara bahasa berarti ‘ganjil’. Karena shalat ini memang harus dilaksanakan dalam jumlah ganjil.

Shalat witir tidak dianjurkan berjama’ah kecuali witir pada bulan Ramadhan.

Meskipun witir boleh dilaksankan hanya satu raka’at (sebagai jumlah minimal) tetapi yang utama dilakukan tiga rakaat dan paling utama adalah lima raka’at, kemudian tujuh raka’at dan lalu sembilan raka’at dan yang paling sempurna adalah sebelas raka’at (sebagai jumlah maksimal). Tidak di perbolehkan shalat witir lebih dari jumlah tersebut.

Jika seseorang melaksanakan witir lebih tiga raka’at, maka dilakukan setiap dua raka’at salam dan ditutup dengan satu raka’at. Bila melaksanakan tiga raka’at boleh dilakukan langsung raka’at seperti shalat maghrib. Tetapi sebagian ulama melihat bahwa dipisah lebih utama, yaitu dua rakaat salam lalu satu rakaat, sebagaimana keterangan hadits “Janganlah menyamakan witirmu dengan Maghrib “. Namun demikian tiga raka’at berturu-turut lebih utama dibandingkan hanya satu rakaat.

Bila tidak memberatkan, shalat witir disunnahkan untuk dikerjakan setiap malam, Abu Ayyub al-Anshari r.a. menjelaskan:

ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍَﻟْﻮِﺗْﺮُ ﺣَﻖٌّ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﻓَﻤَﻦْ ﺍَﺣَﺐَّ ﺍَﻥْ ﻳُﻮْﺗِﺮَ ﺑِﺨَﻤْﺲٍ ﻓَﻠْﻴَﻔْﻌَﻞْ ﻭَﻣَﻦْ ﺍَﺣَﺐَّ ﺍَﻥْ ﻳُﻮْﺗِﺮَ ﺑِﺜَﻠَﺎﺙٍ ﻓَﻠْﻴَﻔْﻌَﻞْ ﻭَﻣَﻦْ ﺍَﺟَﺐَّ ﺍَﻥْ ﻳُﻮْﺗِﺮَ ﺑِﻮَﺍﺣِﺪَﺓٍ ﻓَﻠْﻴَﻔْﻌَﻞْ

Rasulullah s.a.w, bwesabda: “witir itu adalah hak setiap muslim, siapa yang lebih suka witir lima rakaat, maka kerjakanlah, dan barang siapa yang lebih suka witir satu rakaat, maka kerjakanlah”. (Hadits shahih, riwayat abu Daud: 1212 dan al-Nasa’i: 1693).

ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺍَﻥْ ﻳَﻔْﺮُﻍَ ﻣِﻦْ ﺻَﻠَﺎﺓِ ﺍﻟْﻌِﺸَﺎﺀِ ﺍِﻟَﻰ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ ﺍِﺣْﺪَﻯ ﻋَﺸْﺮَﺓَ ﺭَﻛْﻌَﺔً ﻳُﺴَﻠِّﻢُ ﺑَﻴْﻦَ ﻛُﻞِّ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻭَﻳُﻮﺗِﺮُ ﺑِﻮَﺍﺣِﺪَﺓٍ

Dari Aisyah r.a. menjelaskan: “Nabi s.a.w, shalat sebelas rakaat di antara shalat isya sampai terbit fajar. Beliau salam setiap dua rakaat dan mengerjakan shalat witir dengan satu rakaat “. (hadits shahih, riwayat Muslim: 1216)

Meskipun shalat witir disebut sebagai penutup shalat malam, namun demikian tidak berarti harus selalu dikerjakan pada akhir malam, bisa juga dikerjakan pada awal atau tengah malam.

Dalam hadits yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah r.a, menyebutkan bahwa Rasulullah s.a.w, mengerjakan shalat witir pada setiap malam, pernah berwitir pada permulaannya, pertengahannyam atau penghabisannya.

ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻗَﺪْ ﺍَﻭْﺗَﺮَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻣِﻦْ ﺍَﻭَّﻝِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻭَﺍَﻭْﺳَﻄِﻪِ ﻭَﺍَﺧِﺮِﻩِ ﻓَﺎﻧْﺘَﻬَﻰ ﻭِﺗْﺮُﻩُ ﺍِﻟَﻰ ﺍﻟﺴَّﺤَﺮِ

Dari Aisyah r.a, menerangkan: “dari setiap malam, Nabi s.a.w, pernah mengerjakan shalat witir pada permulaan malam, pertengahannya dan akhirannya, dan berakhir pada waktu shubuh”. (hadits shahih, riwayat al-Bukhari:941 dan Muslim: 1230).

Bagi siapa yang khawatir tidak bangun di akhir malam, sebaiknya melakukan shalat witir sebelum tidur, sedangkan bagi mereka yang yakin bisa bangun di akhir malam untuk mengerjakan tahajjud, maka mengakhirkan shalat witir sebagai penutup shalat malam , cara inilah yang paling afdhal.

ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮٍ ﻗَﺎﻝَ ﻣَﻦْ ﺧَﺎﻑَ ﺍَﻥْ ﻟَﺎ ﻳَﻘُﻮْﻡَ ﻣِﻦْ ﺍَﺧِﺮِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻓَﻠْﻴُﻮْﺗِﺮْ ﺍَﻭَّﻟَﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﻃَﻤَﻊَ ﺍَﻥْ ﻳَﻘُﻮْﻡَ ﺍَﺧِﺮَﻩُ ﻓَﻠْﻴُﻮْﺗِﺮْ ﺍَﺧِﺮَﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻣَﺸْﻬُﻮْﺩَﺓً ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﺍَﻓْﻀَﻞُ

Dari Jabir r.a, menuturkan, “rasulullah s.a.w, bersabda: “barang siapa yang merasa tidak akan sanggup bangun pada akhir malam, hendaklah ia menyegerakan shalat witir pada permulaan malam, siapa yang mersa sanggup bangun pada akhir malam, berwitirlah pada akhir malam, karena shalat pada akhir malam itu dihadiri (para malaikat), dan itulah yang paling utama”. (hadits shahih, riwayat Muslim: 1255, al-Tirmidzi:418, Ibn Majah: 1177 dan Ahmad: 13691).

Pada dasarnya witir merupakan shalat penutup bagi shalat malam. Artinya, witir sebaiknya dilaksanakan setelah melakukan berbagai shalat sunnah malam misalkan shalat tahajjud, hajat, istikharah dan lain sebagainya. Itulah fungsi longgarnya waktu shalat witir semenjak usai shalat Isya’ hingga menjelang waktu subuh, dengan harapan menjadikan witir sebagai pungkasan segala shalat malam.

Namun demikian, bagi mereka yang merasa khawatir tidak mampu melaksanakan witir di tengah atau akhir malam, hendaklah melaksanakannya setelah salat Isya’, atau setelah salat Tarawih pada bulan Ramadhan dengan bilangan ganjil (3, 5, atau 7). Dan jikalau ternyata di tengah malam kemudian mereka melaksanakan shalat malam lagi (tahajjud, hajat dll) maka hendaklah menutupnya dengan shalat witir dalam jumlah genap (2 atau 4) sehingga tetap terjaga keganjilannya.

Begitulah pesan Rauslullah saw. dalam sabdanya ” Tidak ada witir dua kali dalam semalam “, karena jikalau shalat witir (ganjil) di tambah witir (ganjil) lagi maka akan menjadi genap.

Adapun niat shalat witir untuk dua rakaat adalah:

“ushollii sunnatam minal witri rok’ataini lillaahhi ta’aalaa”.

“Aku niat sholat sunnat witir 2 roka’at karena Allah Ta’ala”.

Dan Niat yang 1 roka’at:

“ushollii sunnatal witri rok’atal lillaahhi ta’aalaa”.

“Aku niat sholat sunnat witir satu roka’at karena Allah Ta’ala”.

Adapun Surat yang disunnahkan dibaca sebagaimana yang diajarkan Rasulullah saw dalam witir yang tiga raka’at adalah Sabbih-isma Rabiika pada rekaat pertama dan Al-Kafiruun pada rekaat kedua.

Sedangkan untuk satu raka’at yang terpisah adalah surat al-Ikhlas , al-Falaq dan an-nas .

Sedangkan setelah sholat witir disunnahkan membaca do’a.

Do’a Shalat Witir:

ﺃَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧَّﺎ ﻧَﺴْﺎَﻟُﻚَ ﺇِﻳْﻤَﺎﻧًﺎ ﺩَﺍِﺋﻤًﺎ ﻭَﻧَﺴْﺄَﻟُﻚَ ﻗَﻠْﺒًﺎ ﺧَﺎﺷِﻌًﺎ ﻭَﻧَﺴْﺄَﻟُﻚَ ﻋِﻠْﻤًﺎ ﻧَﺎﻓِﻌًﺎ ﻭَﻧَﺴْﺄَﻟُﻚَ ﻳَﻘِﻴْﻨًﺎ ﺻَﺎﺩِﻗًﺎ ﻭَﻧَﺴْﺄَﻟُﻚَ ﻋَﻤَﻠًﺎ ﺻَﺎﻟِﺤًﺎ ﻭَﻧَﺴْﺄَﻟُﻚَ ﺩِﻳْﻨًﺎ ﻗَﻴِّﻤًﺎ ﻭَﻧَﺴْﺄَﻟُﻚَ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ ﻭَﻧَﺴْﺄَﻟُﻚَ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮَ ﻭَﺍﻟْﻌَﺎ ﻓِﻴَﺔَ ﻭَﻧَﺴْﺄَﻟُﻚَ ﺗَﻤَّﺎﻡَ ﺍﻟْﻌَﺎﻓِﻴَّﺔِ ﻭَﻧَﺴْﺄَﻟُﻚَ ﺍﻟﺸُّﻜْﺮَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺎﻓِﻴَّﺔِ ﻭَﻧَﺴْﺄَﻟُﻚَ ﺍﻟْﻐِﻨَﻰ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺃَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺗَﻘَﺒَّﻞْ ﻣِﻨَّﺎ ﺻَﻠَﺎﺗَﻨَﺎ ﻭَﺻِﻴَﺎ ﻣَﻨَﺎ ﻭَﻗِﻴَﺎ ﻣَﻨَﺎ ﻭَﺗَﺨَﺸُﻌَﻨَﺎ ﻭَﺗَﻀَﺮُّﻋَﻨَﺎ ﻭَﺗَﻌَﺒُّﺪَﻧَﺎ ﻭَﺗَﻤِّﻢْ ﺗَﻘْﺼِﻴْﺮَﻧَﺎ ﻳَﺎ ﺃَﻟﻠﻪُ ﻳَﺎﺃَﺭْﺣَﻢَ ﺍﻟﺮَّﺍﺣِﻤِﻴْﻦَ ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺧَﻴْﺮِ ﺧَﻠْﻘِﻪِ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻟِﻪِ ﻭَﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ ﺃَﺟْﻤَﻌِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠﻪِ ﺭَﺏِّ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦَ

“Ya Allah, kami mohon pada-Mu, iman yang langgeng, hati yang khusyu’, ilmu yang bermanfaat, keyakinan yang benar,amal yang shalih, agama yang lurus, kebaikan yang banyak.kami mohon kepada-Muampunan dan kesehatan, kesehatan yang sempurna, kami mohon kepada-Mu bersyukur atas karunia kesehatan, kami mohon kepada-Mu kecukupan terhadap sesaama manusia. Ya Allah, tuhan kami terimalah dari kami: shalat, puasa, ibadah, kekhusyu’an, rendah diri dan ibadaha kami, dan sempurnakanlah segala kekurangan kami. Ya allah, Tuhan yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih. Dan semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada makhluk-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad s.a.w, demikian pula keluarga dan para sahabatnya secara keseluruhan. Serta segala puji milik Allah Tuhan semestra alam.

SHALAT TAHAJJUD SETELAH WITIR

Kita semua tahu bahwa shalat Tahajjud adalah shalat malam yang dilakukan setelah tidur, sementara ada hadits nabi yang menerangkan bahwa shalat witir itu pelaksanaannya di penghujung shalat malam.

Sabda Nabi SAW. :

ﺍِﺟْﻌَﻠُﻮْﺍ ﺁﺧِﺮَ ﺻَﻼَﺗِﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻭِﺗْﺮًﺍ . ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻭﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ‏( ﺍﻟﺠﺎﻣﻊ ﺍﻟﺼﻐﻴﺮ ﺹ : 10 ‏)

Artinya :

“Lakukanlah shalat yang paling akhir di waktu malam berupa shalat witir”. HR. Baihaqi dan Abu Dawud.

Hadits ini difahami oleh sebagian orang bahwa setelah shalat witir pada saaat malam itu sudah tidak ada shalat sunat lagi.

Sehubungan dengan hal tersebut, sering muncul pertanyaan : apabila kita sudah melaksanakan shalat witir setelah tarawih sebagaimana yang biasa bita lakukan setiap malam di bulan ramadlan kemudian kita tidur dan nanti menjelang pagi kita bangun, bolehkah kita melakukan shalat tahajjud? Jika hal itu boleh apakah kita masih disunatkan melakukan shalat witir lagi?

Mengenai masalah ini, para fuqaha’ memahami bahwa kata perintah ﺍﺟﻌﻠﻮﺍ dalam hadits Nabi di atas adalah perintah sunat, bukan perintah wajib.

Maka pengertiannya : shalat witir itu sebaiknya dilakukan pada akhir shalat malam. Bagi mereka yang biasa melakukan shalat tahajjud, shalat witirnya diakhirkan setelah tahajjud. Andai kata mereka sesudah melakukan shalat witir kemudian tidur dan nanti bangun malam kemudian melakukan shalat tahajjud, yang demikian itu juga boleh, yang penting mareka tidak melakkukan shalat witir lagi.

Ketentuan hukum seperti tersebut telah difatwakan oleh Syaikh Ibrahim Al-Bajuri dalam kitabnya Hasyiyah Al-Bajuri juz I hal. 132 :

ﻭَﺍﻟْﻮَﺍﺣِﺪَﺓُ ﻫِﻲَ ﺃَﻗَﻞُّ ﺍﻟْﻮِﺗْﺮِ …. ﻭَﻭَﻗْﺘُﻪُ ﺑَﻴْﻦَ ﺻَﻼَﺓِ ﺍﻟْﻌِﺸَﺎﺀِ ﻭَﻃُﻠُﻮْﻉِ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ …. ﻭَﻳُﺴَﻦُّ ﺟَﻌْﻠُﻪُ ﺁﺧِﺮَ ﺻَﻼَﺓِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ، ﻟِﺨَﺒَﺮِ ﺍﻟﺼَّﺤِﻴْﺤَﻴْﻦِ : ﺍِﺟْﻌَﻠُﻮْﺍ ﺁﺧِﺮَ ﺻَﻼَﺗِﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻭِﺗْﺮًﺍ . ﻓَﺈِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﺗَﻬَﺠُّﺪٌ ﺃَﺧَّﺮَ ﺍﻟْﻮِﺗْﺮَ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻬَﺠَّﺪَ، ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﻭْﺗَﺮَ ﺛُﻢَّ ﺗَﻬَﺠَّﺪَ ﻟَﻢْ ﻳُﻨْﺪَﺏْ ﻟَﻪُ ﺇِﻋَﺎﺩَﺗُﻪُ، ﺑَﻞْ ﻻَ ﻳَﺼِﺢُّ، ﻟَﺨَﺒَﺮِ : ﻻَ ﻭِﺗْﺮَﺍﻥِ ﻓِﻲْ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ . ﺍﻫـ

Artinya :

“Shalat witir itu minimal satu rakaat, waktunya antara waktu shalat Isya’ sampai terbit fajar. Disunatkan melaksanakan shalat witir pada akhir shalat malam. Dalilnya hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim : Lakukanlah shalatmu yang paling akhir di waktu malam itu berupa shalat witir. Apabila seseorang biasa bertahajjud, maka witirnya diakhirkan setelah tahajjud dan andai kata dia melakukan witir lebih dulu kemudian baru melakukan shalat tahajjud, maka dia tidak disunatkan mengulang shalat witir, bahkan tidak sah jika diulang. Dalilnya hadits nabi : tidak ada pelaksanaan shalat witir dua kali pada satu malam”.

Demikian fatwa syaikh Ibrahim Al-Bajuri. Tidak berbeda dengan fatwa tersebut syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Abd. Rahman Ad-Dimasyqi As-Syafi’i dalam kitabnya “Rahmatul Ummah” hal. 55 juga menulis sebagai berikut :

ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺃَﻭْﺗَﺮَ ﺛُﻢَّ ﺗَﻬَﺠَّﺪَ ﻟَﻢْ ﻳُﻌِﺪْﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﺍْﻷَﺻَﺢِّ ﻣِﻦْ ﻣَﺬْﻫَﺐِ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ ﻭَﻣَﺬْﻫَﺐِ ﺃَﺑِﻲْ ﺣَﻨِﻴْﻔَﺔَ

Artinya :

“Apabila seseorang sudah melakukan shalat witir kemudian dia bertahajjud, maka witirnya tidak usah diulang. Demikian menurut pendapat yang paliang shahih dalam madzhab Imam Syafi’i dan madzhab Imam Abi Hanifah”.

Juga disebutkan dalam hadits:

ﻋِﻨْﺪَ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﻣِﻦْ ﻃَﺮِﻳﻖِ ﺃَﺑِﻲ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺃَﻧَّﻪُ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻮِﺗْﺮِ ﻭَﻫُﻮَ ﺟَﺎﻟِﺲٌ ﻭَﻗَﺪْ ﺫَﻫَﺐَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺑَﻌْﺾُ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻭَﺟَﻌَﻠُﻮﺍ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮَ ﻓِﻲ ﻗَﻮْﻟِﻪِ : ﺍﺟْﻌَﻠُﻮﺍ ﺁﺧِﺮَ ﺻَﻠَﺎﺗِﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻭِﺗْﺮًﺍ ﻣُﺨْﺘَﺼًّﺎ ﺑِﻤَﻦْ ﺃَﻭْﺗَﺮَ ﺁﺧِﺮَ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻭَﺃَﺟَﺎﺏَ ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﻘُﻞْ ﺑِﺬَﻟِﻚَ ﺑِﺄَﻥَّ ﺍﻟﺮَّﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﺍﻟْﻤَﺬْﻛُﻮﺭَﺗَﻴْﻦِ ﻫُﻤَﺎ ﺭَﻛْﻌَﺘَﺎ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ ﻭَﺣَﻤَﻠَﻪُ ﺍﻟﻨَّﻮَﻭِﻱُّ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧَّﻪُ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻌَﻠَﻪُ ﻟِﺒَﻴَﺎﻥِ ﺟَﻮَﺍﺯِ ﺍﻟﺘَّﻨَﻔُّﻞِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻮِﺗْﺮِ ﻭَﺟَﻮَﺍﺯِ ﺍﻟﺘَّﻨَﻔُّﻞِ ﺟَﺎﻟِﺴًﺎ

Hadits Imam Malik dari Abi Salamah, dari Aisyah: Rasulullah pernah shalat 2 rakaat sesudah shalat witir, dia mengerjakannya sambil duduk. Sebagian pakar ada yang berpendapat, dan mereka menjadikan persoalan ini dalam kaitannya hadits: Tutuplah akhir shalat sunnahmu di malam hari dengan shalat witir, terutama bagi anda yang suka witir di akhir malam. Imam an-Nawawi memberi komentar bahwa nabi telah mengerjakannya, dan itu tentu saja menunjukkan diperbolehkannya shalat sunnah sesudah witir sekaligus memperkenankan menjalankan shalat sunnah sambil duduk. (Lihat Fath. Al-Bari Syarh al-Bukhari, Juz III, hal. 33)

Dalam kitab Nail al-Authar, Juz III, hal. 54 diterangkan:

“Mengenai hadits riwayat Abu Bakar dan Umar hadir dari ragam jalur, sampai keterangan: Bila tambahan ini dipandang shahih, yakni tentang apa yang dipaparkan Khaththaby, maka patut juga dijadikan alasan terhadap pendapat diperbolehkannya shalat sunnah sesudah witir.”

Dalam kitab Nihayat al-Zain, hal. 102 diterangkan:

“Disunnahkan bagi seorang yang mengerjakan shalat malam/Tahajjud, hendaknya shalat witir dijalankan yang paling akhir. Hal ini bila memang yang bersangkuta yakin bisa bangun tengah malam. Dan jika tidak yakin, sebaiknya menyegerakannya, artinya shalat witir dijalankan sesudah shalat fardlu (Isya’). Apabila orang itu telah mengerjakan shalat witir di awal malam (setelah isya’), lalu ia bangun di akhir malam, baginya tidak perlu menjalankan shalat witir karena ada hadits: Tidak ada dua witir dalam satu malam.”

Qunut Didalam Shalat Witir Pada Pertengahan Akhir Ramadhan

Qunut merupakan do’a yang dilakukan didalam shalat pada tempat tertentu ketika berdiri. Qunut, selain disunnahkan dilakukan pada setiap shalat shubuh dan ketika terjadi mushibah yang menimpa umat Islam (qunut nazilah), juga disunnahkan dikerjakan pada shalat witir di pertengahan terakhir bulan Ramadhan.

Imam Al-Baihaqi didalam kitabnya Ma’rifatus Sunani wal Atsar dan As-Sunanul Kubro pada “Bab Man Qaala Laa Yaqnut fil Witri Illaa Fin Nishfil Akhiri Min Ramadhan (Bab komentar Orang-orang yang tidak berqunut kecuali pada pertengahan terakhir bulan Ramadhan) menyebutkan beberapa riwayat, diantaranya Imam Al-Syafi’i rahimahullah berkata :

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ : ﻭﻳﻘﻨﺘﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺗﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻵﺧﺮ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻛﺎﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ، ﻭﻣﻌﺎﺫ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ

“Mereka berqunut didalam shalat witir pada pertengahan akhir bulan Ramadhan, seperti itulah yang dilakukan oleh Ibnu ‘Umar dan Mu’adz Al-Qari”

ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ، ‏« ﺃﻥ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺗﺮ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ

“Dari Nafi’ : Bahwa Ibnu ‘Umat tidak berqunut didalam shalat witir, kecuali pada pertengahan dari bulan Ramadhan (pertengahan akhir, penj)”

ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ‏« ﺟﻤﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺃﺑﻲ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ، ﻓﻜﺎﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﻟﻬﻢ ﻋﺸﺮﻳﻦ ﻟﻴﻠﺔ ﻭﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﺑﻬﻢ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻟﺒﺎﻗﻲ ‏» . ﻓﺈﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻌﺸﺮ ﺍﻷﻭﺍﺧﺮ ﺗﺨﻠﻒ ﻓﺼﻠﻰ ﻓﻲ ﺑﻴﺘﻪ، ﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ : ﺃﺑﻖ ﺃﺑﻲ

“Sesungguhnya Umar bin Khaththab mengumpulkan jama’ah shalat tarawih pada Ubay bin Ka’ab, mereka shalat selama 20 malam, dan mereka tidak berqunut kecuali pada pertengahan terakhir bulan Ramadhan. Ketika masuk pada 10 akhir Ubay memisahkan diri dan shalat dirumahnya, maka mereka mengira dengan mengatakan : Ubay telah bosan”.

ﻋَﻦْ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻫُﻮَ ﺍﺑْﻦُ ﺳِﻴﺮِﻳﻦَ، ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ ” ﺃَﻥَّ ﺃُﺑَﻲَّ ﺑْﻦَ ﻛَﻌْﺐٍ ﺃَﻣَّﻬُﻢْ، ﻳَﻌْﻨِﻲ ﻓِﻲ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻳَﻘْﻨُﺖُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨِّﺼْﻒِ ﺍﻟْﺄَﺧِﻴﺮِ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ

“Dari Muhammad bin Sirin, dari sebagian sahabatnya, bahwa Ubay bin Ka’ab mengimami mereka, yakni pada bulan Ramadhan, ia berqunut pada pertengahan terakhir bulan Ramadhan”

ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺤَﺎﺭِﺙِ، ﻋَﻦْ ﻋَﻠِﻲٍّ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ” ﺃَﻧَّﻪُ ” ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻘْﻨُﺖُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨِّﺼْﻒِ ﺍﻟْﺄَﺧِﻴﺮِ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ

“Dari Al-Harits, dari ‘Ali radliyallahu ‘anh, bahwa ia berqunut pada pertengahan terakhir dari bulan Ramadhan”

ﻋﻦ ﺳَﻠَﺎﻡ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺍﺑْﻦَ ﻣِﺴْﻜِﻴﻦٍ، ﻗَﺎﻝَ : ” ﻛَﺎﻥَ ﺍﺑْﻦُ ﺳِﻴﺮِﻳﻦَ ﻳَﻜْﺮَﻩُ ﺍﻟْﻘُﻨُﻮﺕَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻮِﺗْﺮِ ﺇِﻟَّﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨِّﺼْﻒِ ﺍﻟْﺄَﻭَﺍﺧِﺮِ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ

“Ibnu Miskin berkata : Ibnu Sirin tidak menyukai qunut didalam shalat witir, kecuali pada pertengahan akhir shalat bulan Ramadhan

ﻋﻦ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓ ﻗَﺎﻝَ : ” ﺍﻟْﻘُﻨُﻮﺕُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨِّﺼْﻒِ ﺍﻟْﺄَﻭَﺍﺧِﺮِ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ

“Dari Qatadah : qunut dilakukan pada pertengahan akhir bulan Ramadhan”

Imam An-Nawawi rahimahullah didalam kitabnya Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab menjelaskan dengan panjang lebar dan adil sebagai berikut,

“Madzhab bahwa sunnah melakukan qunut pada raka’at terakhir shalat witir pada pertengahan terakhir bulan Ramadhan adalah pendapat masyhur didalam madzhab Syafi’iyah dan Imam Al-Syafi’i telah menyatakan hal tersebut; Pada satu pendapat disebutkan bahwa disunnahkan pada seluruh bulan Ramadhan dan itu madzhab Imam Malik, dan satu pendapat pula dikatakan bahwa disunnahkan didalam shalat witir sepanjang tahun dan pendapat ini juga ada pada 4 ulama besar kami yakni Abdullah Az-Zubairiy, Abul Walid Al-Nasaiburiy, Abul Fadll bin ‘Abdan dan Abu Manshur bin Mahran, pendapat yang ini dikuatkan didalam dalil hadits Al-Hasan bin ‘Ali radliyallahu ‘anhuma yang telah berlalu penjelasannya pada masalah qunut, akan tetapi yang masyhur didalam madzhab Syafi’iyah adalah pendapat yang sebelumnya yakni bahwa disunnahkan berqunut pada pertengahan akhir bulan Ramadhan, inilah yang dipegang oleh jumhur ulama Syafi’iyah. Bahkan Imam Al-Rafi’I berkata ; dhohir perkataan Imam Al-Syafi’I rahimahullah adalah makruh berqunut pada selain pertengahan akhir dibulan Ramadhan, sehingga seandainya meninggalkannya maka disunnahkan sujud sahwi, namun jika langsung berqunut seketika itu maka tidak disunnahkan sujud syahwi.

Al-Ruyani menghikayatkan sebuah pendapat bahha berqunut sepanjang tahun (dalam shalat witir) tidak makruh dan tidak perlu sujud sahwi bila meninggalkannya pada selain pertengahan akhir bulan Ramadhan, ia mengatakan, inilah yang hasan, dan inilah pendapat yang dipilih oleh para masyayikh Thabaristan”.

Menurut Imam Al-‘Imraniy, seorang ulama Syafi’i, didalam kitabnya Al-Bayan, mengatakan bahwa dalil qunut didalam shalat witir pada pertengahan akhir bulan Ramadhan adalah berdasarkan ijma para sahabat,

“Dalil kami adalah ijma’ sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi), bahwa Khalifah ‘Umar bin Khaththab mengumpulkan jama’ah tarawih untuk bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab, mereka shalat tarawih selama 20 malam, dan tidak berqunut kecuali pada pertengahan terakhir (kedua) Ramadhan, kemudina ia shalat sendirian di rumahnya, maka dikatakan : “Ubay telah bosan”. Kejadian ini dengan dihadiri (disaksikan) oleh para sahabat, dan tidak ada satu pun sahabat yang mengingkarinya”.

Imam Ahmad Al-Mahamiliy didalam Al-Lubab berkomentar mengenai qunut didalam shalat witir tersebut,

“Tidak ada qunut didalam shalat witir, kecuali ada pertengahan terakhir bulan Ramadhan, adapuan pada shalat Shubuh, berqunut selamanya, apabila Imam berqunut maka orang yang mengikutinya meng-amin-kannya”.

Imam Al-Qaffal Al-Faquriy didalam Hilyatul ‘Ulama’ fiy Ma’rifati Madzahibil Fuqaha’

“Sunnah melakukan qunut pada pertengahan terakhir bulan Ramadhan didalam shalat witir, ini juga pendapat yang dipegang oleh Imam Malik, namun riwayat yang lain darinya menyatakan tidak disunnahkan pada bulan Ramadhan.

Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat disunnahkan qunut didalam shalat witir sepanjang tahun, ini juga qaul Abdullah Az-Zubairy dari ulama kami, namun posisinya setelah ruku’. Dari ulama kami juga ada yang menyatakan bahwa tempatnya qunut pada shalat witir adalah sebelum ruku’ berbeda dengan shalat shubuh. Akan tetapi yang dipegang didalam madzhab Syafi’i adalah yang pertama”

Terkait tempat dilakukan qunut pada shalat witir, menurut Imam An-Nawawi adalah dilakukan setelah ruku’ berdasarkan pendapat yang masyhur dan shahih, serta tanpa melakukan takbir.

Dan lafadznya pun sebagaimana qunut pada shalat shubuh yakni

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻫﺪﻧﻲ ﻓﻲ ﻣﻦ ﻫﺪﻳﺖ ﻭﻋﺎﻓﻨﻲ ﻓﻲ ﻣﻦ ﻋﺎﻓﻴﺖ، ﻭﺗﻮﻟﻨﻲ ﻓﻲ ﻣﻦ ﺗَﻮَﻟَّﻴْﺖَ، ﻭﺑَﺎﺭِﻙْ ﻟِﻲ ﻓﻲ ﻣﺎ ﺃَﻋْﻄَﻴْﺖَ، ﻭَﻗِﻨﻲ ﺷَﺮَّ ﻣﺎ ﻗَﻀَﻴْﺖَ، ﻓﺈﻧَّﻚَ ﺗَﻘْﻀِﻲ ﻭَﻻ ﻳُﻘْﻀَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻚَ، ﻭَﺇِﻧَّﻪُ ﻻ ﻳَﺬِﻝُّ ﻣَﻦْ ﻭَﺍﻟَﻴْﺖَ ﻭﻻ ﻳﻌﺰ ﻣﻦ ﻋﺎﺩﻳﺖ ﺗَﺒَﺎﺭَﻛْﺖَ ﺭَﺑَّﻨﺎ ﻭَﺗَﻌﺎﻟَﻴْﺖَ

Redaksi ini berdasarkan hadits hasan, dan Imam Al-Turdmizi berkata “kami tidak mengetahui redaksi qunut yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang lebih bagus dari ini”. Lafadz “wa laa Ya’izzu Man ‘Adaiyt” merupakan kombinasi yang berdasarkan riwayat yang lain. Dianjurkan pula mengiringi qunut diatas dengan shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam karena hukumnya sunnah.

Atau boleh juga sebagaimana qunut Sayyidina ‘Umar bin Khaththab berikut ini,

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇﻧَّﺎ ﻧَﺴْﺘَﻌِﻴﻨُﻚَ، ﻭَﻧَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ، ﻭَﻻَ ﻧَﻜْﻔُﺮُﻙَ، ﻭَﻧُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﻚَ، ﻭَﻧَﺨْﻠَﻊُ ﻣَﻦْ ﻳَﻔْﺠُﺮُﻙَ؛ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇﻳَّﺎﻙَ ﻧﻌﺒﺪُ، ﻭﻟَﻚَ ﻧُﺼﻠﻲ ﻭَﻧَﺴْﺠُﺪ، ﻭَﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻧَﺴْﻌَﻰ ﻭَﻧﺤْﻔِﺪُ، ﻧَﺮْﺟُﻮ ﺭَﺣْﻤَﺘَﻚَ ﻭَﻧَﺨْﺸَﻰ ﻋَﺬَﺍﺑَﻚَ، ﺇﻥَّ ﻋَﺬَﺍﺑَﻚَ ﺍﻟْﺠِﺪَّ ﺑﺎﻟﻜُﻔَّﺎﺭِ ﻣُﻠْﺤِﻖٌ . ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻋَﺬّﺏِ ﺍﻟﻜَﻔَﺮَﺓَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺼُﺪُّﻭﻥَ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﻴﻠِﻚَ، ﻭﻳُﻜَﺬِّﺑُﻮﻥَ ﺭُﺳُﻠَﻚَ، ﻭَﻳُﻘﺎﺗِﻠُﻮﻥَ ﺃﻭْﻟِﻴَﺎﺀَﻙَ . ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟﻠْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭﺍﻟﻤﺆﻣﻨﺎﺕ ﻭﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﺍﻟﻤُﺴْﻠِﻤﺎﺕِ، ﻭﺃﺻْﻠِﺢ ﺫَﺍﺕَ ﺑَﻴْﻨِﻬِﻢْ، ﻭﺃَﻟِّﻒْ ﺑَﻴْﻦَ ﻗُﻠُﻮﺑِﻬِﻢْ، ﻭَﺍﺟْﻌَﻞْ ﻓِﻲ ﻗُﻠُﻮﺑِﻬِﻢ ﺍﻹِﻳﻤَﺎﻥَ ﻭَﺍﻟﺤِﻜْﻤَﺔَ، ﻭَﺛَﺒِّﺘْﻬُﻢْ ﻋﻠﻰ ﻣِﻠَّﺔِ ﺭﺳﻮﻟِﻚ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻭَﺃَﻭْﺯِﻋْﻬُﻢْ ﺃﻥْ ﻳُﻮﻓُﻮﺍ ﺑِﻌَﻬْﺪِﻙَ ﺍﻟَّﺬﻱ ﻋﺎﻫَﺪْﺗَﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﺍﻧْﺼُﺮْﻫُﻢْ ﻋﻠﻰ ﻋَﺪُّﻭَﻙَ ﻭَﻋَﺪُﻭِّﻫِﻢْ، ﺇِﻟﻪَ ﺍﻟﺤَﻖّ، ﻭَﺍﺟْﻌَﻠْﻨﺎ ﻣﻨﻬﻢ

Bahkan boleh dengan do’a apa saja bila tidak hafal redaksi do’a qunut diatas, dan itu sudah hasil sebagai qunut. Hal ini, menurut Imam Nawawi adalah pendapat yang mukhtar (yang dipilih dalam madzhab Syafi’iyah). Dianjurkan juga bersamaan antara imam dan makmum dalam mengucapkan pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa didalam qunut, karena tidak ada “amin” pada rentan waktu tersebut sehingga mengucapkan bersamaan itu lebih utama.

Disunnahkan juga mengangkat kedua tangan ketika berqunut tanpa mengusap muka, menurut pendapat yang lebih shahih, namun tidak apa-apa bila mengusap muka, tapi sebagian ulama ada yang memakruhkan mengusap muka ketika qunut.

Qunut dianjurkan di-jahrkan (dinyaringkan) apabila shalat witir secara berjama’ah dan makmum meng-amin-kannya, sedangkan apabila sendirian maka dianjurkan di-lirihkan (sir), hal ini berdasarkan pendapat shahih yang dipilih dan banyak dipegang oleh mayoritas ulama.

USTADZ YANG DI GAJI APAKAH MASIH MENDAPATKAN PAHALA

Apakah guru agama yang mengajar dengan sistem digaji misal per minggu Rp 2 juta, masih mendapatkan pahala ?

YA, Masih mendapatkan pahala, jika memang ketika mereka mengharapkan gaji dengan niat untuk memenuhi nafkah keluarga, sama dengan pekerjaan yang lain. Hal ini berdasarkan apa yang difatwakan oleh “ MAJMA’ AL Fiqh al Islami ; “ jika tidak mengambil upah niscaya mereka tidak akan mempunyai sumber untuk menghidupi kehidupan mereka…”.

Imam Ibn Hajar dalam Kitab Hasyiyah Manasik “al Idlah” halaman 40, cetakan Daar al hadits Beirut mengatakan:

… أَمَّا لَوْ قَصَدَهَا لِكِفَايَةِ عِيَالِهِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يَحْصُلَ لَهُ الثَّوَابُ

Artinya: Adapun jika bertujuan untuk mencukupi keluarganya, maka seyogyanya dia mendapatkan pahala.

Adapun kegiatan mengajarnya, itu tergantung baitsnya (الباعث) motifnya / pendorongnya, kalau seumpama meskipun tidak digaji ia tetap mengajar maka dari sini baitsnya adalah keihklasan mengajar, atau lebih dominan baitsnya mengajar meskipun ia juga berharap gaji tersebut, itu tetap mendapat pahala mengajar. Wallohu a’lam.

Referensi :

 Ihya’ Ulumiddin :

ﻭﺃﻣﺎ اﻟﺜﺎﻧﻲ ﻓﻬﻮ ﺃﻥ ﻳﺠﺘﻤﻊ ﺑﺎﻋﺜﺎﻥ ﻛﻞ ﻭاﺣﺪ ﻣﺴﺘﻘﻞ ﺑﺎﻹﻧﻬﺎﺽ ﻟﻮ اﻧﻔﺮﺩ

ﻭﻣﺜﺎﻟﻪ ﻣﻦ اﻟﻤﺤﺴﻮﺱ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﺎﻭﻥ ﺭﺟﻼﻥ ﻋﻠﻰ ﺣﻤﻞ ﺷﻲء ﺑﻤﻘﺪاﺭ ﻣﻦ اﻟﻘﻮﺓ ﻛﺎﻥ ﻛﺎﻓﻴﺎً ﻓﻲ اﻟﺤﻤﻞ ﻟﻮ اﻧﻔﺮﺩ ﻭﻣﺜﺎﻟﻪ ﻓﻲ ﻏﺮﺿﻨﺎ ﺃﻥ ﻳﺴﺄﻟﻪ ﻗﺮﻳﺒﻪ اﻟﻔﻘﻴﺮ ﺣﺎﺟﺔ

ﻓﻴﻘﻀﻴﻬﺎ ﻟﻔﻘﺮﻩ ﻭﻗﺮاﺑﺘﻪ ﻭﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻟﻮﻻ ﻓﻘﺮﻩ ﻟﻜﺎﻥ ﻳﻘﻀﻴﻬﺎ ﺑﻤﺠﺮﺩ اﻟﻘﺮاﺑﺔ ﻭﺃﻧﻪ ﻟﻮﻻ ﻗﺮاﺑﺘﻪ ﻟﻜﺎﻥ ﻳﻘﻀﻴﻬﺎ ﺑﻤﺠﺮﺩ اﻟﻘﺮاﺑﺔ ﻭﺃﻧﻪ ﻟﻮﻻ ﻗﺮاﺑﺘﻪ ﻟﻜﺎﻥ ﻳﻘﻀﻴﻬﺎ ﺑﻤﺠﺮﺩ اﻟﻔﻘﺮ ﻭﻋﻠﻢ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﺑﺄﻧﻪ ﻳﺤﻀﺮﻩ ﻗﺮﻳﺐ ﻏﻨﻲ ﻓﻴﺮﻏﺐ ﻓﻲ ﻗﻀﺎء ﺣﺎﺟﺘﻪ ﻭﻓﻘﻴﺮ ﺃﺟﻨﺒﻲ ﻓﻴﺮﻏﺐ ﺃﻳﻀﺎً ﻓﻴﻪ

ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻣﻦ ﺃﻣﺮﻩ اﻟﻄﺒﻴﺐ ﺑﺘﺮﻙ اﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﺩﺧﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﻓﺼﺎﻡ ﻭﻫﻮ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﻟﻜﺎﻥ ﻳﺘﺮﻙ اﻟﻄﻌﺎﻡ ﺣﻤﻴﺔ ﻭﻟﻮﻻ اﻟﺤﻤﻴﺔ ﻟﻜﺎﻥ ﻳﺘﺮﻛﻪ ﻷﺟﻞ ﺃﻧﻪ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﻭﻗﺪ اﺟﺘﻤﻌﺎ ﺟﻤﻴﻌﺎً ﻓﺄﻗﺪﻡ ﻋﻠﻰ اﻟﻔﻌﻞ

FAROIDL : PENGKLASIFIKASIAN AHLI WARIS MENJADI EMPAT KELOMPOK

Adapun ahli waris ada empat kelompok, sebagaimana berikut.

1) Kelompok yang hanya mendapatkan bagian pasti (furudh). Kelompok ini ada tujuh orang, yaitu suami, istri, ibu, nenek dari ibu, nenek dari ayah, saudara seibu, dan saudari seibu. Ringkasnya mereka adalah ibu dan kedua anaknya, kakek nenek, dan suami istri.

2) Kelompok yang hanya mendapatkan sisa (ashabah). Kelompok ini ada dua belas orang, yaitu ashabah bin nafsi selain ayah dan kakek, tuan yang telah memerdekakan dan tuan perempuan yang memerdekakan.

3) Kelompok yang kadangkala mendapatkan bagian pasti dan kadang pula sisa bahkan kadangkala secara bersamaan. Kelompok ini ada dua orang yaitu ayah dan kakek yang menerima sisa. Keduanya mendapatkan warisan seperenam jika bersamaan dengan anak laki atau cucu dari anak laki-laki. Mereka menerima sisa ketika mayat tidak meninggalkan keturunan. Dan mereka mendapatkan bagian pasti dan sisa apabila bersama ahli waris perempuan.

4. Kelompok yang kadang mendapatkan bagian pasti dan juga mendapatkan sisa, namun keduanya tidak bisa didapatkan secara bersama pada waktu yang sama. Mereka ada empat orang, yaitu anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, saudari kandung, dan saudari seayah. Kelompok ini akan mendapatkan bagian pasti bila tidak ada ahli waris yang mengakibatkannya mendapatkan sisa.

■ Klasifikasi Hak Waris Laki-Laki dan Perempuan

a. Hak Waris Ayah

Ayah mendapatkan seperenam bila bersama anak laki atau cucu lelaki dari anak laki-laki. Bila tidak terdapat cucu lelaki dari anak laki-laki, ayah mendapatkan ashabah. Lebih jelasnya sebagaimana berikut.

1) Ayah mendapatkan seperenam sebagai bagian pastinya dan memperoleh seperenam ketika ada keturunan laki-laki yang mendapatkan warisan seperti anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, walau ke bawah. Allah SWT berfirman, “ Untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan jika dia (yang meninggal) mempunyai anak ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 11).

2) Ayah mendapatkan ashabah saja dan memperoleh semua harta peninggalan jika tidak ada ahli waris sama sekali, laki-laki atau perempuan. Misalnya seseorang meninggal dunia dan ahli warisnya hanyalah ayah. Ayah dalam hal ini menjadi ashabah bin nafsi. Ayah mendapatkan sisa setelah harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang mendapatkan bagian pasti, contoh seseorang wafat meninggalkan ayah dan istri. Maka, istri mendapatkan seperempat dan ayah mendapatkan sisa tirkah.

3) Ayah mendapatkan seperenam dan sekaligus mendapatkan ashabah ketika bersama keturunan yang berhak mendapatkan warisan dari kalangan perempuan, baik anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki walau ke bawah. Misalnya, seseorang wafat meninggalkan ayah dan anak perempuan maka anak perempuan itu mendapatkan seperdua, ayah seperenam dan sisa.

b. Hak Waris Kakek

Kakek yang mendapatkan ashabah adalah kakek yang jalur nasabnya sampai kepada mayat tidak melalui perempuan. Jika jalur nasab kakek kepada mayat melalui jalur perempuan maka tidak mendapatkan warisan. Kakek itu seperti ayah, ketika tidak ada ayah dan tidak terdapat saudara atau saudari kandung.

Apabila kakek tidak bersama dengan beberapa saudara atau saudari, dia mendapatkan seperenam jika bersama dengan anak laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. Kakek mendapatkan warisan melalui jalur ashabah bila tidak ada anak laki-laki atau cucu laki dari anak laki-laki.

• Kakek dan Para Saudara

Jika kakek bersama beberapa saudara dan saudari kandung atau seayah, maka kadangkala kakek mendapatkan bagian pasti dan kadang mendapatkan ashabah. Penjelasannya sebagai berikut.

1) Jika tidak ada ahli waris yang mendapatkan bagian pasti selain kakek dan para saudara dan saudari, maka mereka mendapatkan sama rata. Ahli waris perempuan mendapatkan sisa kalau memang harta warisan itu tidak berkurang dari sepertiga dari seluruh harta yang ada. Namun, bila kurang yang dari itu, kakek hanya mendapatkan sepertiga dan sisanya diberikan kepada para saudara dan saudari dengan acuan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan.

Contoh: (1) kakek bersama satu saudari atau lebih. (2) kakek bersama satu saudara atau lebih, dan satu saudari atau lebih. Maka dalam hal ini, harta warisan dibagikan dengan sama rata (muqasamah) dengan acuan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan.

2) Apabila kakek bersama ahli waris yang mendapatkan bagian pasti atau bersama ahli waris berjumlah lebih dari satu, maka ahli waris itu diberikan haknya yaitu mendapatkan bagian pasti dan sisanya diberikan kepada kakek setelah pembagian untuk ahli waris lainnya selesai.

Adapun cara penyelesaian permasalahan ini dengan menggunakan tiga cara; muqasamah (dibagi rata), sepertiga sisa, dan atau mendapatkan seperenam dari seluruh tirkah.

Contohnya sebagai berikut.

• Suami, kakek, dan saudara. Maka cara pembagian dengan menggunakan muqasamah adalah yang terbaik. Asal masalahnya adalah dua dan tashihul masalahnya empat dengan perincian sebagai berikut. Suami mendapatkan seperdua, kakek apabila menggunakan muqasamah mendapatkan seperempat, dan itu lebih sempurna daripada mendapatkan seperenam dari semua harta dan sepertiga dari sisa tirkah.

• Dua anak perempuan, dua saudara, dan kakek. Seperenam lebih baik bagi kakek karena asal masalahnya adalah enam. Seperenam dari enam asal masalah lebih baik baginya. Dengan demikian kakek mendapatkan satu, dua anak perempuan mendapatkan empat, dan dua saudara mendapatkan satu. Dari bilangan seperdua menjadi terpecah, maka bilangan dua dikalikan dengan asal masalah hasilnya dua belas. Dengan demikian kakek mendapatkan seperenam, yaitu dua dan itu lebih baik baginya daripada muqasamah karena seperenam merupakan pengganti dari satu sepertiga, dan begitu juga sepertiga dari sisa.

• Istri, tiga saudara, dan kakek. Mendapatkan sepertiga sisa dari harta warisan lebih baginya.

• Dua anak perempuan, ibu, kakek, dan tiga saudara atau lebih. Maka penyelesaiannya adalah sebagai berikut. Dua anak perempuan mendapatkan sepertiga, ibu seperenam, kakek seperenam, dan para saudara tidak mendapatkan bagian.

Apabila para saudara kandung dan saudara seayah berkumpul, maka penyelesaiannya adalah ketika diselesaikan dengan muqasamah para saudara kandung mengambil bagian kakek dan saudara seayah. Contoh kakek, saudara kandung dan saudara seayah. Maka pembagiannya adalah kakek mendapatkan sepertiga, saudara kandung mendapatkan dua p e rtiga; sepertiga dengan cara muqasamah dan sepertiga lainnya didapatkan dari bagian saudara seayah karena bagiannya terhalangi oleh saudara kandung, maka haknya dikembalikan kepada mereka.

Namun, jika saudari kandung itu sendirian, dia mendapatkan seperdua. Sisanya diberikan kepada saudara seayah. Dan bila tidak terdapat saudara seayah maka saudari kandung mendapatkan sepertiga yang diambil dari bagian kakek. Apabila ada saudara seayah maka bagian kakek dikembalikan kepadanya. Asal masalah adalah lima dengan menghitung jumlah bilangan kepala (‘adadi ar-ru’us ).

Tashihul masalahnya menjadi sepuluh. Maka, saudari itu mendapat dua p e rtiga dari bagian muqasamah, saudara mendapatkan empat tapi yang diberikan hanya tiga, dan saudara seayah mendapatkan bagian satu saja.

Saudari kandung atau seayah ketika tidak ada saudara dan bersama dengan kakek tidak boleh diberikan bagian pasti terkecuali dalam masalah akdariyah , yaitu suami, ibu, kakek, dan saudari kandung. Maka, suami mendapatkan seperdua, ibu mendapatkan sepertiga, dan kakek mendapatkan seperenam. Harta warisan menjadi habis terbagi, padahal dalam pewarisan itu, tidak ada ahli waris yang menghalangi saudari kandung. Solusinya adalah dengan meninggikan (‘aul) asal masalah agar saudari kandung terpenuhi haknya. Asal masalah yang pada mulanya enam menjadi sembilan, dinaikkan tiga. Maka, suami mendapatkan tiga, ibu dua, dan sisanya untuk saudari dan kakek dengan ketentuan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan. Sisa tersebut dipecah menjadi tiga dan dikalikan dengan sembilan sehingga tashihul masalahnya duapuluh tujuh.

c. Hak Waris Nenek

Nenek adalah ibunya ibu atau ibu dari ibunya ibu dan begitu seterusnya, ibunya ayah atau ibu dari ibunya ayah dan begitu seterusnya, atau ibu dari ayahnya ibu dan begitu seterusnya mendapatkan seperenam harta warisan. Jika ada dua nenek dengan derajat yang sama maka mereka mendapatkan seperenam. Misalnya, ibunya ayah dan ibunya ibu atau ibu dari ibunya ayah dan ibu dari ayahnya ayah.

Bila salah satu dari mereka lebih dekat dengan orang yang mewariskannya, dan kedekatan itu dari jalur ibu, maka dia bisa menggugurkan bagian nenek yang jauh. Semisal ibunya ibu dengan ibu dari ibunya ayah. Apabila kedekatan itu dari jalur ayah, maka dia tidak bisa menggugurkan bagian nenek lainnya, bahkan keduanya mendapatkan seperenam dengan dibagi rata. Misalnya ibunya ayah dengan ibu dari ibunya ibu. Sedangkan ¡bu dari ayahnya ibu tidak mendapatkan hak waris karena mereka termasuk dzawill arham yaitu orang-orang yang tidak mempunyai hak waris.

d. Hak Waris Suami

Suami mendapatkan bagian pasti, yaitu seperdua bila tidak terdapat anak atau cucu dari anak laki-laki. Suami mendapatkan seperempat bila bersama salah satu dari dua ahli waris tersebut. Allah SWT berfirman, “ Bagian kalian (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istri kalian) itu mempunyai anak, maka kalian mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 12).

e. Hak Waris Istri

Istri mendapatkan bagian pasti seperempat bila suami tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki atau keturunan yang mempunyai hak waris. Dia mendapatkan seperdelapan bila ada salah satu dari ahli waris tersebut. Allah SWT berfirman, “ Para istri memperoleh seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kalian buat atau (dan setelah dibayar) utang-utang kalian ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 12).

f. Hak Waris Ibu

Ibu mendapatkan bagian pasti, yaitu sepertiga kalau memang tidak terdapat anak atau cucu dari anak laki-laki, perempuan atau laki-laki, dan tidak ada dua saudara dan saudari kandung, seayah atau seibu dan tidak dalam masalah umariyah atau ghura’ , yaitu ahli waris terdiri dari suami kedua orang tua, atau istri dan kedua orang tua. Allah SWT berfirman, “ Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga,” (QS. an-Nisá’ [4]-11). Ibu mendapatkan bagian pasti seperenam bila ternyata terdapat anak atau cucu dari anak laki-laki, dua saudara, atau dua saudari. Allah SWT berfirman, “ Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam,” (QS. an-Nisá’ [4]: 11).

Ibu mendapatkan sepertiga sisa dari pembagian suami istri yang disebut dalam masalah gharawain , yaitu komposisi ahli waris sebagai berikut: ibu, ayah, dan suami; atau istri, ibu, dan ayah. Maka untuk komposisi yang pertama, suami mendapatkan seperdua, yaitu tiga dari enam. Ayah mendapatkan sisa (ashabah).

Sedangkan ibu mendapatkan sepertiga sisa yang diperoleh dari sisa suami, yaitu satu bagian dari asal masalah (enam).

Adapun penyelesaian komposisi yang kedua adalah sebagai berikut. Istri mendapatkan seperempat dari asal masalah (dua belas) karena tidak ada ahli waris lainnya seperti anak, ayah mendapatkan sisa dari dua belas yaitu enam, ibu mendapatkan sepertiga sisa dari ayah, dan istri tiga bagian.

g. Hak Waris Anak Perempuan

Hak waris anak perempuan semata wayang adalah seperdua. Allah SWT berfirman, “ Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah(harta yang ditinggalkan) ,” (QS.an-.Nisá’[4]: 11). Dia mendapatkan dua p e rtiga apabila mereka berjumlah dua atau lebih. Allah SWT berfirman, “ Jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan ,” (QS. an-Nisá’ [4]: 11).

Terkadang anak perempuan mendapatkan sisa karena ahli waris lainnya (ashabah bi ghairiha ) yaitu anak laki-laki. Maka, anak laki-laki memperoleh dua kali lipat bagian anak perempuan. Allah SWT berfirman, “ Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepada kalian tentang (pembagian warisan untuk) anak-anak kalian, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan ,” (QS. an-Nisá’ [4]: 11).

h. Hak Waris Cucu Perempuan dari Anak Laki-laki

Cucu perempuan, satu atau lebih memperoleh seperenam apabila bersama anak perempuan orang yang meninggal sebagai penyempurna dari dua p e rtiga. Hal ini mengacu pada keputusan Ibnu Mas’ud ra. Namun, bila cucu perempuan bersama dengan dua anak perempuan atau lebih, maka cucu perempuan tidak memperoleh sama sekali atau hak warisnya gugur. Ketika cucu perempuan lebih dari satu dan tidak ada anak perempuan, mereka memperoleh dua pe rtiga. Misalnya dalam komposisi berikut ini, ayah dan dua cucu perempuan, maka ayah memperoleh sisa sedangkan mereka memperoleh dua pertiga.

Terkadang cucu perempuan juga mendapatkan sisa bila bersama ahli waris yang mengakibatkan dia memperoleh sisa, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki (muashib bi ghairiha ) dengan ketentuan bahwa cucu laki-laki memperoleh dua kali lipat bagian yang diperoleh cucu perempuan.

Dan mereka mendapatkan seperdua ketika sendirian dan tidak terdapat anak perempuan lainnya atau anak laki-laki, dan juga tidak terdapat ayah. Misalnya ayah, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan ibu. Maka, cucu perempuan itu mendapatkan seperdua, ibu mendapatkan seperenam, dan sisanya diperuntukkan ayah sebagai ahli waris ashabah dan bagian pasti. Hak waris cucu perempuan dari anak laki-laki terhalangi dengan adanya anak laki-laki, atau dua anak perempuan terkecuali ada ahli waris yang menyebabkan cucu perempuan itu mendapatkan sisa, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki atau ke bawah yang mempunyai hak waris.

i. Hak Waris Saudari Kandung

Saudari memperoleh seperdua dengan syarat tidak ada ahli waris yang sederajat dengannya atau tidak ada ahli waris yang membuat dia memperoleh sisa, yaitu saudara sendiri atau saudara kandung. Firman Allah SWT, “ Jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudari, maka bagiannya (saudarinya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya,” (QS. an-Nisa’ [4]: 176). Saudari mendapatkan dua p e rtiga apabila berjumlah dua atau lebih serta tidak terdapat saudara kandung. Allah SWT berfirman, “ Tetapi jika saudari itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 176). Saudari memperoleh sisa (ashabah) apabila bersama dengan saudara kandung (muashib bi ghairiha ) dengan acuan bahwa hak saudara kandung dua kali lipat dari bagian yang diperoleh saudari. Dan saudari juga memperoleh sisa (ashabah) sebab bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki (muashib ‘ala ghairiha ).

Ini bersandarkan pada kaidah fiqhiyah: jadikanlah anak perempuan sebagai penyebab saudari kandung memperoleh sisa. Dalam Nail al-Authar dijelaskan bahwa ini adalah keputusan Ibnu Mas’ud dalam masalah ahli waris dengan komposisi sebagai berikut. Anak perempuan memperoleh seperdua, cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh seperenam sebagai penyempurna dari dua p e rtiga, dan sisanya diberikan kepada saudari. Hadits ini diriwayatkan oleh ulama hadits kecuali Muslim.

Saudari tidak mempunyai hak waris apabila terdapat keturunan laki-laki yang menerima waris, yaitu anak, cucu walau ke bawah, dan bila bersama ayah. Begitulah keputusan yang disepakati oleh para ulama.

j. Hak Waris Saudari Seayah

Saudari seayah memperoleh seperdua dengan syarat sebagai berikut.

(1) Tidak ada saudari lainnya.

(2) Tidak ada ahli waris yang mengakibatkan dia mendapatkan sisa, yaitu saudara seayah.

(3) Tidak ada saudari kandung. Hal ini mengacu pada pembagian waris yang diterima oleh saudari kandung ketika sendirian.

Saudari, dua atau lebih mendapatkan dua pe rtiga ketika tidak terdapat saudara seayah, atau beberapa saudari yang sekandung. Saudari seayah, dua atau lebih memperoleh seperenam apabila ada saudari kandung karena menyempurnakan bagian dua p e rtiga. Saudari seayah memperoleh sisa (ashabah) apabila bersama saudara seayah. Dia juga mendapat ashabah apabila bersama anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan keduanya bersamaan, baik satu orang atau lebih.

k. Hak Waris Saudara, Laki-Laki atau Perempuan yang Seibu (Auladul Umm )

Mereka mendapatkan seperenam ketika mayat tidak meninggalkan anak atau orang tua. Allah SWT berfirman, “ Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara (seibu) atau seorang saudari (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 12)

Mereka mendapatkan sepertiga apabila berjumlah dua atau lebih ketika mayat tidak meninggalkan anak atau orang tua. Allah SWT berfirman, “ Tetapi jika saudara-saudari seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 12). Mereka tidak mempunyai hak waris apabila bersama keturunan yang menerima waris (anak, dan cucu dari anak laki-laki, walau ke bawah) dan terdapat pula orang tua yang menerima waris (ayah dan kakek yang mendapatkan hak waris sisa). Karena mereka semua termasuk kelompok kalalah . Begitulah pendapat yang disepakati oleh ulama. Allah SWT berfirman, “ Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudari ,’” (QS. an-Nisa’ [4]: 176). Saudara yang dimaksud adalah saudara seibu.