KISAH NABI KHIDIR ALAIHIS SALAM BERTEMU AYAHNYA

ﺑﺪﺍﺋﻊ ﺍﻟﺰﻫﻮﺭ ﻓﻲ ﻭﻗﺎﺋﻊ ﺍﻟﺪﻫﻮﺭ ‏( ﺹ : 69

ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ : ﺟﻼﻝ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﺍﻟﺴﻴﻮﻃﻲ

ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺍﺳﺤﻖ ﺍﻥ ﺃﺑﺎ ﺍﻟﺨﻀﺮ ﻋﺎﻣﻴﻞ ﻃﻠﺐ ﻛﺎﺗﺒﺎ ﺟﻴﺪ ﺍﻟﺨﻂ ﻟﻴﻜﺘﺐ ﻟﻪ ﺍﻟﺼﺤﻒ ﺍﻟﺘﻰ ﺃﻧﺰﻟﺖ ﻋﻠﻰ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﻭﺷﻴﺚ ﻓﻘﺪﻡ ﻋﻠﻴﻪﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﺑﻨﻪ ﺍﻟﺨﻀﺮ ﻭﻫﻮ ﻻ ﻳﻌﺮﻓﻪ ﻓﻠﻤﺎ ﻋﺮﺿﻮﺍ ﺧﻄﻮﻃﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﺍﺳﺘﺤﺴﻦ ﺧﻂ ﻭﻟﺪﻩ ﺍﻟﺨﻀﺮ ﻓﻮﻗﻊ ﻓﻰ ﻗﻠﺒﻪ ﻣﺤﺒﺘﻪ ﻭﺍﺳﺘﺤﺴﻦ ﺷﻜﻠﻪ ﻭﻋﺒﺎﺭﺗﻪ ﻓﻰ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺛﻢ ﺍﻧﻪ ﺑﺤﺚ ﻋﻦ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﻧﺴﺒﻪ ﻓﺘﻨﺒﻴﻦ ﺃﻧﻪ ﺍﺑﻨﻪ ﻓﻘﺎﻡ ﺍﻟﻴﻪ ﻭﺍﻋﺘﻨﻘﻪ ﻭﺿﻤﻪ ﺍﻟﻰ ﺻﺪﺭﻩ ﺛﻢ ﺍﻧﻪ ﻧﺰﻝ ﻟﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﻭﻭﻻﻩ ﻋﻠﻰ ﺭﻋﻴﺘﻪ ﻋﻮﺿﺎ ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﺍﺳﺘﻤﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﻠﻚ ﺃﺑﻴﻪ ﻭﻫﻮ ﻳﻘﻀﻰ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﺎﻟﺤﻖ ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻓﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﻷﺳﺒﺎﺏ ﻳﻄﻮﻝ ﺷﺮﺣﻬﺎ ﻭﺍﺳﺘﻤﺮ ﺳﺎﺋﺤﺎ ﻓﻰ ﺍﻷﺭﺽ ﺍﻟﻰ ﺃﻥ ﻭﺟﺪ ﻋﻴﻦ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﻓﺸﺮﺏ ﻣﻨﻬﺎ ﻛﻤﺎ ﺳﻴﺠﺊ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﻮ ﺣﻰ ﺍﻟﻰ ﺃﻥ ﻳﺨﺮﺝ ﺍﻟﺪﺟﺎﻝ ﻭﻳﻘﺘﻠﻪ ﺛﻢ ﻳﺤﻴﻴﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﺤﻀﺮﺓ ﺍﻟﺪﺟﺎﻝ ﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﻳﻘﻄﻌﻪ ﻗﻄﻌﺎ ﻗﺎﻝ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺪﺭﻙ ﺯﻣﻦ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻫﺬﺍ ﻟﻢ ﻳﺼﺢ

ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ﻭﻃﺎﺋﻔﺔ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻨﻬﻢ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﺮﺑﻰ ﺍﻥ ﺍﻟﺨﻀﺮ ﻗﺪ ﻣﺎﺕ ﻗﺒﻞ ﺍﻧﻘﻀﺎﺀ ﺍﻟﻤﺎﺋﺔ ﻣﻦ ﻋﻤﺮﻩ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺍﻟﻰ ﺭﺃﺱ ﻣﺎﺋﺔ ﻋﺎﻡ ﻻ ﻳﺒﻘﻰ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺭﺽ ﻣﻤﻦ ﻫﻮ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺃﺣﺪ ﻳﻌﻨﻰ ﻣﻤﻦ ﻛﺎﻥ ﺣﻴﺎ ﺣﻴﻨﻘﺎﻝ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﻘﺎﻟﺔ ﻭﺍﻟﺼﻮﺍﺏ ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﺃﺑﻰ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻬﻮﺍﺗﻒ ﺑﺴﻨﺪ ﻳﺮﻓﻌﻪ ﺍﻟﻰ ﻋﻠﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻰ ﻃﺎﻟﺐ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﻟﻤﺎ ﻣﺎﺕ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﻤﻊ ﻫﺎﺗﻒ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻳﺎﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﻥ ﻓﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺧﻠﻔﺎ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻫﺎﻟﻚ ﻭﻋﻮﺿﺎ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻓﺎﺋﺖ ﻭﻋﺰﺍﺀ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻣﺼﻴﺒﺔ ﻓﻌﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻟﺼﺒﺮ ﻓﺎﺻﺒﺮﻭﺍ ﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﺴﻤﻌﻮﻥ ﺻﻮﺗﻪ ﻭﻻ ﻳﺮﻭﻥ ﺷﺨﺼﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻫﻮ ﺍﻟﺨﻀﺮ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻓﻬﻮ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺣﻴﺎﺗﻪ

Ibnu Ishaq berkata :

” Sesungguhnya raja Amil sedang mencari seorang sekretaris yang benar_benar pintar menulis agar bisa menulis shuhuf_shuhuf yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim dan Syits ‘Alaihumas Salaam .

Maka raja Amil menghadirkan sekelompok atau beberapa sekretaris termasuk Khodir , hanya saja Amil belum mengetahui kalau Khodir adalah putranya .

Ketika semua sekretaris menampakkan tulisannya masing_masing , maka sang raja menganggap tulisan anaknya lah yang paling bagus sehingga timbullah rasa senang dihatinya kepada Khodir , karena melihat tulisannya itu.Ia mnyukai bentuk_bentuk tulisan Khodir serta ibarat_ibarat susunan katanya .Dan ketika Khadir sudah terpilih maka bertanyalah Sang Raja mengenai nasab Khodir , sehingga pada akhirnya tahulah ia kalau Khodir adalah anaknya sendiri .”

Lantas berdirilah Sang Raja dengan serta merta memeluk erat Khodir didadanya . . .

Sang Raja turun dari singgasana dan menyerahkan Tahta kepemimpinan kepada Khodir untuk menggantikannya , dan akhirnya Khodir pun memimpin kerajaan Ayahnya , dia selalu memutuskan masalah dengan adil dan bijaksana .

Akan tetapi kemudian dia pergi dari kerajaannya karena beberapa sebab yang panjang lebar .

Ia menggembara disegala penjuru bumi sehingga ia menemukan air kehidupan [ ma’ul hayat ] , maka minumlah ia terhadap air kehidupan itu , sebagaimana keterangan yang akan datang.

Nabi khidir itu hidup sampai keluarnya dajjal , sampai dajjal membunuhnya , yang kemudian Allah menghidupkannya kembali dihadapan dajjal setelah dipotong_potong tubuhnya .

Berkata sebagian ulama’ bahwa :

” Nabi khidir tidak sampai berjumpa dengan zamannya Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam , akan tetapi keterangan ini juga tidak shohih .”

Imam Bukhori dan segolongan ahli hadits berkata , diantaranya Syekh Abu Bakar Al A’robi berkata bahwa :

” Nabi khidir telah meninggal sebelum berumur 100th .”

Karena ada sebuah sabda dari Baginda Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam :

” Pada kepala 100 tahun tidak ada seorangpun yang ada dibumi ini yang bisa bertahan .”

Maksudnya , kehidupan setelah terucapnya maqolah ini .

Dan keterangan yang benar adalah keterangan dari Abu Bakar Bin Abiddunya dalam kitab Al Hawatif dengan sanad marfu’ sampai kepada Sayyidina Ali Karromalloohu Wajhah :

“ Ketika Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam wafat maka terdengarlah Hatif { suara tanpa rupa } :

‘ Assalaamu’Alaikum Yaa Ahlal Bait , Sesungguhnya Allah itu punya pengganti pada setiap perkara_perkara yang hancur dan punya penggati juga terhadap sesuatu yang tertunda , dan akan mengganti dengan kebahagiaan pada setiap musibah , maka hendaklah kalian bersabar.’ “

Dan semua sahabat mendengar suara itu tapi mereka tidak bisa melihat bentuknya.

Maka para sahabat berkata :

” Itu adalah suaranya Nabi Khidir .”

Dan inilah salah satu bukti bahwa Nabi Khidir masih hidup .

WALLOHU A’LAM .

POLA PEMIKIRAN DALAM ISLAM BERUBAH-UBAH SESUAI ZAMAN

Kalau kita telusuri akar permasalahan dalam dunia Islam yang timbul pada masa sekarang, salah satu sebabnya adalah dikarenakan para ahli ilmu (ulama) mengikuti dan meneladani pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah.

Abul Abbas bin Abdul Halim bin Abdullah bin Muhammad Ibn Taimiyyah lahir dari lingkungan mazhab Hanbali. Ayahnya, Shihabuddin bin Abdul Halim, adalah seorang ulama Hanbali. Kakeknya, Majduddin bin Abdullah, juga adalah ulama besar Hanbali. Demikian pula dengan pamannya, Fakhruddin bin Abdul Salam. Dia sendiri tidak pernah mengklaim diri sebagai ulama Hanbali.

Ulama Ibnu Taimiyyah adalah ulama pelopor perubahan pemikiran atau pembaharuan agama (modernisasi agama) dalam rangka membasmi pemikiran-pemikiran taklid kepada Imam Mazhab yang empat. Sebagian besar tulisan atau kitab yang ditulisnya tidak merujuk kepada Imam Mazhab yang empat.

Beliau menggerakan cara mendalami ilmu agama lebih bersandarkan dengan muthola’ah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri bermazhab dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja

Pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah diikuti oleh “murid” atau pengikutnya yang tidak pernah bertemu muka karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun yakni ulama Muhammad bin Abdul Wahhab , ulama yang dikenal mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits

Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)

Selain itu ulama-ulama yang mengikuti pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah adalah ulama Jamaluddin Al-Afghani dan ulama Muhammad Abduh yang berkecimpung dalama pergerakan (harakah) atau perpolitikan yang membutuhkan kendaraan organisasi, kelompok atau jama’ah minal muslimin.

Berbeda dengan para pengikut ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang pada umumnya mengharamkan berorganisasi atau berkelompok atau berjama’ah minal muslimin dan memberikan sebutan sebagai hizbiyyah atau hizbiyyun

Pengharaman berorganisasi atau berkelompok atau berjama’ah minal muslimin pada hakikatnya dalam rangka menjaga kelanggengan kekuasaan kerajaan dinasti Saudi karena dikhawatirkan akan timbul pemimpin informal dari organisasi atau kelompok.

Selain itu , orang-orang yang mengikuti pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah adalah kaum liberal yakni mereka yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai semangat kebebasan mereka yang mereka katakan menyesuaikan dengan kemajuan zaman

Charles Cruzman mengemukakan teori tentang asal muasal kaum liberal dan fundamentalis yang berakar pada pemikiran yang sama. Keduanya berangkat dari kegelisahan untuk melakukan perubahan. Bedanya adalah bahwa jika kaum liberal melakukan perubahan dengan menatap ke depan sambil membawa masa lalu yang relevan, sementara kaum fundamentalis sepenuhnya kembali ke masa lalu.

Kaum fundamentalis adalah mereka kembali ke masa lalu tanpa mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Padahal pendapat ulama Ibnu Taimiyyah telah banyak menyelisihi pendapat para ulama terdahulu.

Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat.

Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy) berkata ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)

Begitupula dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 diterangkan sebagai berikut:

و منهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده و رشيد رضا , و يأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي , و أحمد بن تيمية و تلميذه ابن القيم و ابن عبد الهادى , فحرموا ما أجمع المسلمون على ندبه , و هو السفر لزيارة قبر رسول الله صلى الله عليه و سلم , و خالفو هم فيما ذكر و غيره , قال ابن تيميه فى فتاويه : و اذا سفر لاعتقاده أنها أي زيارة قبر النبي فلى الله عليه و سلم طاعة , كان ذلك محرما باجماع المسلمين , فصار التحريم من الأمر المقطوع به .

Sebagian lagi ada golongan yang mengikuti kepada pendapat Muhammad Abduh dan Rosyid Ridho. Mereka mengikuti kepada perbuatan bid’ah Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, Ahmad Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi. Golongan ini mengharamkan apa yang telah disepakati oleh mayoritas umat Islam untuk dilaksanakan sebagai sunnah Nabi, seperti berziarah ke makam Rasulullah. Mereka menolak semua hal yang telah disebutkan di atas dan hal-hal lainnya.

Ibnu Taimiyah dalam kitab “Fatawi”-nya berpendapat: Apabila seseorang melakukan ziarah ke makam Rasulullah, karena yakin bahwa ziarah itu perbuatan taat, ziarah yang dianggapnya menurut Ibnu Taimiyah adalah haram yang telah disepakati oleh kaum muslimin, maka ziarahnya adalah perbuatan yang haram secara pasti.

قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي فى رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الاعتقاد : و هذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا و خلفا , فكانوا وصمة و ثلمة فى المسلمين و عضوا فاسدا يجب قطعه حتى لا يعدى الباقى ف…هو كالمجذوم يجب الفرار منه , فانهم فريق يلعبون بدينهم , يذمون العلماء سلفا و خلفا , و يقولون : انهم غير معصومين فلا ينبغى تقليدهم , لا فرق فى ذلك بين الأحياء و الأموات , و يطعنون عليهم و يلقون الشبهات , و يذرونها فى عيون بصائر الضعفاء لتعمى أبصارهم عن عيوب هؤلاء , يقصدون بذلك القاء العداوة و البغضاء , بحلولهم الجو و يسعون فى الأرض فسادا , يقولون على الله الكذب و هم يعلمون , , يزعمون أنهم قائمون بالأمر بالمعروف و النهي عن المنكر , حاضون الناس على اتباع الشرع و اجتناب البدع , و الله يشهد انهم لكاذبون , قلت : و لعل وجهه أنهم من أهل البدع و الأهواء , قال القاضى عياض فى الشفاء : و كان معظم فسادهم على الدين , و قد يدخل فى أمور الدنيا بما يلقون بين المسلمين من العداوة الدينية التى تسرى لدنياهم , قال العلامة ملا على القارى فى شرحه : و قد حرم الله تعالى الخمر و الميسر لهذه العلة كما قال تعالى : انما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة و البغضاء فى الخمر و الميسر

Menurut Al-’Allamah Syeikh Muhammad Bahit Al-Hanafi Al-Muthi’i dalam kitabnya yang bernama “Tathirul Fu’adi min Danasil I’tiqod” (Mensucikan Hati Dari Keyakinan Yang Kotor), ia berpendapat: “Bahwa golongan ini merupakan cobaan besar bagi umat Islam yang salaf (tempo dulu) maupun yang kholaf (modern)”. Mereka adalah aib, pemecah belah umat, dan sebagai organ yang rusak yang harus dipotong, sehingga tidak menular ke organ lainnya. Ia bagaikan penyakit kusta yang harus dihindari. Mereka adalah golongan menjadikan agama sebagai permainan. Mereka mencaci maki ulama salaf dan ulama kholaf, mereka sambil berkata: Mereka semuanya tidak ma’shum (tidak terpelihara dari perbuatan dosa), maka tidak layak untuk mengikutinya dan tidak ada bedanya yang hidup dan yang mati.

Golongan tersebut mendiskreditkan ulama dan menciptakan persoalan-persoalan syubhat, kemudian menyebarkannya secara luas ke masyarakat awam supaya orang awam tidak mengerti terhadap kekuarangan yang ada pada golongan tersebut. Tujuan mereka… adalah menebar permusuhan dan kebencian. Mereka berkeliling di atas muka bumi untuk menciptakan kerusakan. Mereka berkata bohong tentang Allah, padahal mereka tahu tentang hal yang sebenarnya. Mereka berdalih sedang melakukan “amar ma’ruf nahyi munkar” (memerintah kebaikan dan mencegah kemunkaran). Mereka mengajak manusia mengikuti agama yang mereka jalankan dan menjauhkan bid’ah (menurut mereka). Padahal, Allah tahu bahwa mereka adalah para pendusta. Menurut pendapat saya, sangat mungkin mereka adalah para pelaku bid’ah yang selalu mengikuti hawa nafsu mereka.

Imam Qadhi ‘Iyadh berkata: Kehancuran terbesar dalam agama sampai urusan dunia adalah karena ulah perbuatan mereka dengan menimbulkan permusuhan antar umat Islam, yang menyebabkan mereka terperangkap dalam masalah urusan dunia.

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Hadithiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu:

“Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam hadits juga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang dzahir daripada hadits-hadits (khususnya mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits mutasyabihat dengan makna dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.” (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 202)

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab yang sama pada halaman 116, berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata

Ulama Ibnu Taimiyyah terjerumus kekufuran dalam i’tiqod yang mengakibatkan beliau diadili oleh para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat mazhab dan diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu Taimiyyah tidak menyebarluaskan kesalahapahamannya sehingga beliau wafat di penjara.

Pada hakikatnya cara mengangkat kembali pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah adalah bagian dari hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang sebagai kaum Zionis Yahudi

Protokol Zionis yang ketujuhbelas

…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan…..

Contoh hasutan “Padahal orang-orang yang bersandar kepada mazhab Asy’ari dan pengikut mazhab yang empat adalah bersandar kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum”

Imam Mazhab yang empat memang tidak maksum namun Imam Mazhab yang empat sejak dahulu kala sampai pada masa kini, telah diakui oleh jumhur ulama sebagai ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Disamping itu Imam Mazhab yang empat masih bertemu dengan Salafush Sholeh.

Jadi gerakan hasutannya adalah agar umat Islam seluruhnya berupaya menjadi imam mujtahid.

Padahal tidak mungkin orang awam (bukan ahli istidlal) akan sanggup menjadi Imam Mujtahid. Kalau orang awam (bukan ahli istidlal)  mencoba hendak menjadi mujtahid maka akan rusaklah agama, akan hancurlah agama dan akan porak porandalah hukum-hukum agama Islam yang suci. Ini masuk akal.

Dapatkah orang yang tidak pernah belajar hukum akan menjadi hakim yang baik dalam negara Hukum?

Sudah pasti tidak.

Manakala ada orang yang bukan ahli hukum mencoba menjadi hakim, maka hukum itu akan diinjak-injaknya dan ia akan menjalankan “Hukum Rimba”, yang berdasarkan siapa kuat siapa di atas.

Di dalam hukum Islam juga begitu. Setiap orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, yaitu orang-orang yang bertugas mengeluarkan hukum dari dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka orang itu harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami

a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).

b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti yang telah dikatakan tadi yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.

c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.

d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.

e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.

Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.

Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:

– Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;

– Imam Malik bin Anas;

– Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan

– Imam Ahmad bin Hanbal.

Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.

Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).

Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.

Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.

Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.

Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.

Contohnya, Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm ~rahimahullah mengatakan

“Rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab “ijtihad” adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat) dari berita-berita yang ada. Demikian pula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanananya.

Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum dari makna yang tersirat di balik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung di dalamnya.

Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi tadi menjaab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakakan”

Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.

Berikut  tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i :

Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (1/71), mengenai tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i. Merujuk kepada pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membagi mufti dalam madzhab menjadi beberapa kelompok:

1. Mufti Mustaqil

2. Mujtahid Madzhab

3. Ashab Al Wujuh

4. Mujtahid Fatwa

5. Mufti Muqallid

1. Mufti Mustaqil

Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq. Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab. Tentu dalam Madzhab As Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam As Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat beberapa ulama ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As Syafi’i. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)

Keistimewaan mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah kemampuannya menciptakan metode yang dianut madzhabnya.

2. Mujtahid Madzhab

Baca Juga

Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat) atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)

Contoh ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi, sebagaimana disebutkan Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)

Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya jauh dari masa Imam As Syafi’i mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)

Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaimana disebutkan Syeikh Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)

Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).

Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapat bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72).

Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits shahih yang bertantangan dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa jadi imam sengaja meninggalkan hadits walau ia shahih dikarenakan manshukh atau ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui kecuali yang bersangkutan telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan para pengikutnya, dan hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An Nawawi sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi)

Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisihi pendapat imamnya sendiri, dan hal ini tidaklah jadi persoalan, karena sudah sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai kaidah imam. Tak heran jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan pendapat Imam As Syafi’i seperti dalam masalah masa nifas, Imam As Syafi’i berpendapat bahwa maksimal masa nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)

3. Ashab Al Wujuh

Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)

Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyaskan masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat imam. Sehingga, orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak bertaklid kepada mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)

Contoh dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana disebutkan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53).

4. Mujtahid Fatwa

Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)

Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih.

Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutkan bahwa yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)

Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.

5. Mufti Muqallid

Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)

Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal 7)

Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia mengkiyaskannya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).

Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisihi ijma. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 9)

Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.

Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di atas termasuk mufti muntasib, dalam artian tetap menisbatkan diri dalam madzhab. Dan semuanya harus menguasai apa yang dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa sedangkan belum memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada hal yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)

Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu!

Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban menyesat-nyesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk mentarjih pendapat sesuai berdasarkan dalil yang ia pahami seakan-akan ia setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan menggugurkan pendapat mujtahid mustaqil dengan berargumen, idza shahah al hadits fahuwa madzhabi (jika suatu hadits shahih maka itulah madzhabku),  seakan-akan ia satu level dengan Imam Al Muzani! Padahal yang bersangkutan belum menghatamkan dan menguasai kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun dalam madzhab.

Mudah-mudahan kita terlindung dari hal-hal yang demikian. Dan tetap bersabar untuk terus mencari ilmu, hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai dimana ilmu yang mampu kita serap dan kita amalkan.

Dapat kita temukan mereka mengutip perkataan Imam Syafi’i ra seperti

إذا صح الحديث فهو مذهبي

“Jika suatu hadits shahih maka itulah madzhabku”

Dan juga :

إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت

” Jika kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallahu ‘alayhi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah itu dan tinggalkan perkataanku itu”

Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau.

Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.

Al-Imam Nawawi menyebutkan dalam Majmu’ Syarh Al Muhadzab , tidak bisa sembarang orang mengatakan demikian.

Al-Imam Nawawi menyebutkan beberapa syarat. “Sesungguhnya untuk hal ini, dibutuhkan seseorang yang memiliki tingkatan sebagai mujtahid dalam mazhab yang telah dijelaskan sebelumnya, dan dan ia harus berbaik sangka bahwa Imam Syafi’i belum sampai kepada hadits tersebut, atau belum mengetahui keshahihan hadits itu, dan ini hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang telah menela’ah semua kitab-kitab milik Imam Syafi’i dan kitab-kitab para sahabat yang mengambil darinya, dan syarat ini sulit, serta sedikit orang yang sampai pada tingkatan ini. Syarat ini kami sebutkan karena, Imam Syafi’i tidak mengamalkan dhahir hadits yang telah beliau ketahui, akan tetapi ada dalil lain yang mencacatkan hadits itu, atau yang menasakh hadits itu, atau yang mentakhish atau yang menta’wilkan hadits itu.

Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah

Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau masalah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“

Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA menuliskan :

Kerancuan Istilah Salaf

Istilah ‘salaf’ artinya adalah sesuatu yang lampau atau terdahulu. Terjemahan salaf dalam bahasa Indonesia bisa bermacam-macam, seperti lampau, kuno,konservatif, konvensional, ortodhox, klasik, antik, dan seterusnya.

Kalau kita lihat dari sisi ilmu hukum dan syariah, istilah salaf sebenarnya bukan nama yang baku untuk menamakan sebuah medote istimbath hukum. Istilah salaf hanya menunjukkan keterangan tentang sebuah kurun waktu di zaman yang sudah lampau.

Kira-kira perbandingannya begini, kalau kita ingin menyebut skala panjang suatu benda dalam ilmu ukur, maka kita setidaknya mengenal ada dua metode ataubesaran, yaitu centimeter dan inchi. Di Indonesia biasanya kita menggunakan besaran centimeter, sedangkan di Amerika sana biasa orang-orang menggunakan ukuran inchi. Nah, tiba-tiba ada orang menyebutkan bahwa panjangnya meja adalah 20 ‘masa lalu’.

Lho? Apa maksudnya ’20 masa lalu’ ?

Apakah istilah ‘masa lalu’ itu adalah sebuah besaran atau ukuran dalam mengukur panjang suatu benda? Jawabannya pasti tidak. Yang kita tahu hanya besaran 20 centimeter atau 20 inchi, tapi kalau ’20 masa lalu’, tidak ada seorang pun yang mengenal istilah itu.

Ya bisa saja sih segelintir orang menggunakan istilah besaran ‘masa lalu’sebagai besaran untuk mengukur panjang suatu benda, tetapi yang pasti besaran itu bukan besaran standar yang diakui dalam dunia ilmu ukur. Jadi kalau kita ketoko material bangunan, lalu kita bilang mau beli kayu triplek ukuran 20 ‘masalalu’, pasti penjaga tokonya bingung dan dahinya berkerut 10 lipatan.

Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf

Sementara kita memperbincangkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya malah di masasalaf, alias di masa lalu.

Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah RasulullahSAW wafat. Apalah seorang Abu Hanifah bukan orang salaf? Al-Imam Malik lahirtahun 93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi’i lahir tahun 150 hijriyah dan Al-ImamAhmad bin Hanbal lahir tahun 164 hijriyah. Apakah mereka bukan orang salaf?

Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali dia perlu belajar sejarah Islam terlebih dahulu. Sebab mazhab yang dibuangnya itu ternyata lahirnya di masa salaf. Justru keempat mazhab fiqih itulah the real salaf.

Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.

Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasukAl-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.

Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.

Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri

Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.

Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.

Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.

Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.

Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.

Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, La Mazhab Islami yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Gema Insani Press menjelaskan bahawasanya, “istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai salafi, tetapi istilah salaf itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal umat Islam“.

Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).

Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal saja tanpa memahami hadits yang dihafalnya. Pada hakikatnya, sebagian besar yang disampaikan oleh para perawi hadits adalah perkataan Rasulullah bukan hasil pemahaman atau ijtihad dan istinbat dari para perawi hadits.

Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan masa sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”

Hal yang perlu kita ingat bahwa kitab hadits dan apa yang disampaikan oleh ahli hadits pada hakikatnya sebatas meriwayatkan hadits bukan menjelaskan terhadap matan/redaksi hadits.

Begitupula kitab tafsir bil matsur yakni menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an, atau dengan as-Sunnah pada hakikatnya hanya sebatas meriwayatkan belum menjelaskan.

Termasuk kitab Al Umm, kitab yang disusun bersama murid Imam Syafi’i adalah kitab induk atau kitab sumber atau kumpulan “bahan mentah” serupa dengan kitab hadits hanya sebatas meriwayatkan belum termasuk penjelasan atau hasil ijitihad dan istinbat.

Kita dapat mengambil pelajaran dari Somalia bahwa kehancuran negara tersebut terjadi diakibatkan orang-orang yang memaksakan syariat Islam bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya masing masing sehingga timbul perselisihan di antara faksi.

Sebagaimana diketahui, setelah Syarif diangkat menjadi pemimpin Somalia pada Januari 2009 lalu, faksi pejuang Somalia terbagi menjadi dua, antara pendukung dan penentang.

Sebagian kelompok Mahakim Al Islami, yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Qadir Ali Umar, Harakah Al Ishlah (Ikhwan Al Muslimun), Harakah Tajammu’ Al Islami dan Jama’ah Ahlu Sunnah wa al Jama’ah adalah 4 faksi menyatakan dukungan kepada Syarif.

Sedangkan Harakah As Syabab Al Mujahidin serta Al Mahakim Al Islami wilayah Asmarah, Al Jabhah Al Islamiyah serta Mu’askar Anuli, yang bergabung dalam Hizb Al Islami.

Syeikh Syarif sebagai kepala pemerintahan transisi menegaskan, “Islam adalah dasar dalam setiap gerak pemerintah Somalia.” Akan tetapi Syeikh Syarif menolak pemikiran Syabab Mujahidin yang menurutnya masih jauh dari konsep Islam ideal

Rektor Universitas Al Ahgaff, Prof. Habib Abdullah Baharun mengatakan

Di negara Somalia, sampai kini, masih terjadi pertumpahan darah gara-gara ada sekte yang suka mengkafir-kafirkan (Jama’ah Takfir), ini yang saya takutkan kalau sampai terjadi di Indonesia . Oleh sebab itu ada baiknya kita juga mengaplikasikan apa yang pernah diucapkan oleh Habib Abu Bakar Al Adny, da’i sekaligus pemikir Islam asal kota Aden, dalam satu lawatannya di Univ. Al Ahgaff, beliau berkata bahwa da’wah, itu yang bermanfaat bagi umat bukan malah memecah belah umat. Menuduh kafir, pertikaian, perdebatan yang berlandaskan hawa nafsu itu adalah dakwah yang memicu perpecahan dan itu yang mesti kita tanggalkan kini.

Sahabat Abu Dzar pernah memanggil Bilal, “Hai si hitam.” Rasul pun mendengar dan berkata, “Hai, apakah orang putih itu lebih mulia dari mereka yang hitam. Tidak, tidak ada keutamaan dalam diri seseorang kecuali taqwa.” Lantas Abu Dzar sadar dan berkata pada Bilal, “Aku telah mengolokmu dan aku mengaku salah.” “Aku telah memaafkanmu,” kata Bilal. “Tidak, belum, ini wajahku kutaruh di tanah dan injaklah hingga keluar virus kesombongan dariku,” kata Abu Dzar. “Aku telah mengampunimu,” kata Bilal. “Tidak demi Allah hatiku takkan tenang hingga kau menaruh kaki di wajahku ini, hingga penyakit ini hilang,” kata Abu Dzar. Beginilah Rasul mendidik umat la ilaha illa Allah agar saling menghormati, toleran, tidak menyakiti dan sikap inilah yang mesti kita implementasikan ketika bertemu dengan sesama umat la ilaha Illa Allah, dari sekte apapun. Agar dakwah untuk mengajak umat kembali pada Allah terus langgeng dan tidak mandeg gara-gara disibukkan dengan saling jegal antar sekte.

Kitapun dapat belajar dari apa yang dialami oleh negara kita terhadap orang-orang yang memaksakan syariat Islam bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya masing masing.

Dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo, yang bermula dan berpusat di Jawa Barat, “tempat Negara Islam Indonesia diproklamasikan pada 7 Agustus 1949, gerakan ini kemudian menyebar ke bagian-bagian Jawa Tengah, ke Kalimantan Selatan, ke Sulawesi Selatan, dan ke Aceh.”

Berikut tulisan berjudul NU dan Pancasila karya Einar Martahan Sitompul

Kartosuwiryo adalah seorang bekas pengurus PSII dan pernah dekat dengan pendiri PSII Cokroaminoto.(70). Ia mempunyai latar belakang pendidikan Barat. “Jadi, ia bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.“

Pemberontakan Darul Islam ini bukan hanya membahayakan kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam di negara Republik Indonesia justru karena mengatasnamakan agama Islam. Apalagi karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia, maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam. Hal itu mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu “mengundang para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam).”

Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal. Antara lain oleh karena untuk daerah-daerah tertentu ummat Islam harus melakukan pilihan terhadap adanya “Kepala Negara” selain Presiden Soekarno. Misalnya S.M. Kartosuwiryo yang di daerah Jawa Barat menyebut dirinya sebagai Kepala Negara dari Negara Islam Indonesia. Juga oleh karena sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno harus mengangkat pegawai-pegawai yang menangani urusan-urusan yang langsung berkaitan dengan masalah—keagamaan seperti wakaf, waris, pernikahan dan lain-lain. Sedang dalam pandangan ulama di Indonesia urusan-urusan itu harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang diangkat oleh kekuasaan yang sah dilihat dari hukum Islam.

Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh K.H. Masjkur itu berlangsung di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954). Pertemuan — yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia itu memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati. Boland menerjemahkannya: “pemerintah yang sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasar Surah 4 ayat 59).”

Menarik untuk disimak penjelasan A. Yusuf Ali mengenai istilah ini dalam komentarnya tentang Surah 4: 59, Ulu-l-amr adalah orang-orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau penyelesaian urusan. Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima kekuasaan dari Dia. Karena Islam tidak mengenal perbedaan yang tajam antara urusan yang sakral dan sekuler, maka diharapkan pemerintahan-pemerintahan biasa akan melakokan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus menghormati dan mematuhi keluasaan itu; jika tidak demikian tidak akan ada ketertiban dan kepatuhan. Adalah sudah menjadi kenyataan di mana-mana terdapat pemisahan yang tajam antara hukum dan moral, antara urusan sekuler dan keagamaan, sebagaimana terjadi di berbagai negeri sekarang ini, Islam tetap mengharapkan kekuasaan sekuler dijalankan secara benar ….

Keputusan ini sangat penting bagi NU khususnya dan bagi umat Islam umumnya sebab yang dihadapi pemerintah adalah gerakan politik keislaman yang menentang pemerintahan yang sedang berkuasa. Gelar itu memberikan kemantapan atau kepastian bagi umat Islam untuk mematuhi tindakan pemerintah yang dipimpin Sukarno terhadap DI/TII. Keputusan itu makin diperlukan mengingat Masyumi tidak tegas, bahkan cenderung simpati terhadap gerakan DI/TII.

KOMITE HIJAZ DAN MISI MENYELAMATKAN MAKAM NABI MUHAMMAD SAW.

Komite Hijaz mungkin saat ini masih ada orang yang belum tahu tentangnya, yaitu sebuah komite yang sangat melegenda dalam sejarah NU. Coba bayangkan, ketika itu Indonesia belum merdeka dari penjajahan Belanda, dalam keadaan serba susah para Ulama Aswaja di Jawa masih sempat mencermati apa yang tengah terjadi di Hijaz (Arab saudi). Waktu itu di Hijaz sedang dalam masa-masa awal berdirinya kerajaan arab Saudi. Waktu itu betapa para Kiyai dan ulama Jawa gundah gulana mendengar kabar bahwa makam Rasulullah Saw akan diratakan dengan tanah atau dibongkar oleh penguasa Saudi yang ditopang penasehat Wahabi. Para ulama Jawa waktu itu berupaya keras mencari cara bagaimana mencegah pihak penguasa Hijaz agar tidak membongkar makam Nabi Muhammad saw. Sungguh ini pekerjaan berat, dalam keadaan serba sulit di masa penjajahan Belanda, dimana transportasi dan alat komunikasi yang terbatas, para kiyai harus berangkat ke Hijaz dalam missi penyelamatan makam Rasulullah saw.

Pada tahun 1924-1925 Arab Saudi baru saja berdiri, dipimpin oleh Ibnu Saud, Raja Najed yang ber-aliran Wahabi. Aliran ini sangat dominan di tanah Haram, sehingga aliran lain tidak diberi ruang dan gerak untuk mengerjakan mazhabnya. Semasa kepemimpinan Ibnu Saud, terjadi eksodus besar-besaran ulama dari seluruh dunia. Mereka kembali ke negara masing-masing, termasuk para pelajar Indonesia yang sedang mencari ilmu di tanah Hijaz.

Aliran Wahabi yang terkenal puritan, berupaya menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid’ah namun secara membabibuta dan melalui kekerasan. Maka beberapa tempat bersejarah, seperti rumah Nabi Muhammad SAW dan sahabat, termasuk makam Nabi Muhammad pun hendak dibongkar. Umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) merasa sangat perihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Hijaz.

Komite Hijaz ini merupakan sebuah kepanitiaan kecil yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Setelah berdiri, Komite Hijaz menemui Raja Ibnu Suud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan, seperti meminta Hijaz memberikan kebebasan kepada umat Islam di Arab untuk melakukan ibadah sesuai dengan madzhab yang mereka anut. Karena untuk mengirim utusan ini diperlukan adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Saud. Adapun lima permohonan yang disampaikan oleh Komite Hijaz  tersebut adalah:

1. memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang tasawuf, aqidah maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal kebenarannya.

2. memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut diwaqafkan untuk masjid seperti

tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Khaezuran dan lain-lainnya berdasarkan firman Allah “Hanyalah orang yang meramaikan Masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah” dan firman Nya “Dan siapa yang lebih aniaya dari pada orang yang menghalang-halangi orang lain untuk menyebut nama Allah dalam masjidnya dan berusaha untuk merobohkannya.”

3. memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji menganai tarif/ketentuan beaya yang harus diserahkan oleh jamaah haji kepada syaikh dan muthowwif dari mulai Jedah sampai pulang lagi ke Jedah.

Dengan demikian orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup buat pulang-perginya dan agar supaya mereka tidak dimintai lagi lebih dari ketentuan pemerintah.

4. memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.

5. Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) memohon balasan surat dari Yang Mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Yang Mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada kedua delegasi tersebut.

Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Komite Hijaz yang merupakan respons terhadap perkembangan dunia internasional ini menjadi faktor terpenting didirikannya organisasi NU. Berkat kegigihan para kiai yang tergabung dalam Komite Hijaz, aspirasi dari umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah diterima oleh raja Ibnu Saud. Makam Nabi Muhammad SAW yang akan dibongkar pun tidak jadi dihancurkan.

SURAT KEPADA RAJA NAJASY DAN AWAL TERJADINYA PERANG KHAIBAR

 Rasulullah ﷺ menulis surat kepada Najasyi, raja Habasyah yang menerima kaum muslimin yang mengungsi ke negerinya. Amir bin Umayyah adh Dhamri menyampaikan surat Rasulullah ﷺ yang berbunyi,

Bismillahirohmanirohim,

Dari Muhammad Rasulullah kepada Najasyi pemimpin Habasyah (Habsyi). Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk, amma ba’d.

Aku memuji bagi tuan kepada Allah yang tiada ilah selain Nya. Dialah penguasa yang Maha Suci, yang memberi kesejahteraan memberi perlindungan dan yang berkuasa.

Aku bersaksi bahwa Isa bin Maryam adalah roh Allah dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam yang perawan, baik, dan menjaga kehormatan diri lalu dia mengandung Isa dari roh-Nya dan tiupan-Nya sebagaimana Dia menciptakan Adam dengan tangan-Nya.

Aku menyeru kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya dan senantiasa mentaati-Nya, dan hendaklah tuan mengikuti aku, beriman kepada apa yang diberikan kepadaku. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah dan aku menyeru tuan dan pasukan tuan kepada Allah Azza wa Jalla. Aku sudah mengajak dan memberi nasihat maka terimalah nasihatku. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk.

Begitu Najasyi menerima surat Rasulullah ﷺ ia langsung mengangkat surat itu dan meletakkannya di depan matanya. Ia turun ke lantai dari singgasananya, lalu masuk Islam di hadapan Ja’far bin Abu Thalib yang masih berada di sana bersama para pengungsi Muslim.

Najasyi membalas surat Rasulullah ﷺ yang menyetujui bahwa Nabi Isa memang benar seorang utusan Allah yang lahir dari Maryam yang suci. Najasyi juga menyatakan bahwa ia memeluk Islam dan menyatakan sumpah setia kepada Rasulullah ﷺ.

Rasulullah ﷺ juga meminta Najasyi agar mengirim pulang Ja’far bin Abi Tholib ke Madinah.  Najasyi pun menyediakan dua perahu. Turut pula dalam rombongan itu Amir bin Umayyah sang pembawa surat.

Najasyi wafat pada bulan Rajab tahun ketujuh Hijriyah. Rasulullah ﷺ  bersedih hati atas kematiannya dan menyelenggarakan shalat ghaib. Rasulullah ﷺ pun mengirim surat yang sama isinya kepada pengganti Najasyi. Akan tetapi sejarah tidak mencatat apakah penggantinya juga memeluk Islam atau tidak.

Perang Khaibar

Setelah orang Quraisy setuju untuk berdamai, kini ada satu musuh yang tidak kalah berbahaya. Mereka adalah orang-orang Yahudi yang kini berkumpul di Khaibar, Kota Benteng yang sangat kuat.

Para penghuni Khaibar inilah yang dulu menghasut pasukan Quraisy untuk menyerang Madinah dalam Perang Khandaq.

Rasulullah ﷺ mengetahui bahwa jika dibiarkan mereka akan menempuh cara yang lebih berbahaya untuk membasmi kaum muslimin. Maka Rasulullah ﷺ pun menyiapkan pasukannya, namun beliau paham bahwa pertempuran yang mereka hadapi akan sangat berat.

Karena itu yang boleh bergabung hanya orang-orang yang benar-benar siap berjihad. Maka berkumpulah orang-orang yang gagah berani yang terdiri atas 1400 pasukan berjalan kaki dan 100 penunggang kuda.

Diam-diam Abdullah bin Ubay mengirim pesan kepada orang-orang Khaibar, “Muhammad hendak mendatangi kalian. Bersiap siagalah dan kalian tak perlu takut. Jumlah dan kekuatan kalian sangat banyak sementara kaum Muhammad hanya sedikit dengan persenjataan terbatas”.

Rasulullah ﷺ meminta dua petunjuk jalan. Keduanya menunjukkan empat jalan yang dapat ditempuh kaum muslimin agar kedatangan mereka tidak diketahui orang-orang Yahudi di Khaibar.

Jalan-jalan itu bernama Syasy (kacau), Hathib (sial), Huzn (kesedihan), Marhab (selamat datang). Maka Rasulullah ﷺ pun memilih melewati jalan Marhab.

Setelah shalat ashar Rasulullah ﷺ meminta bekal makanan. Karena hanya sedikit, beliau disuguhi tepung gandum yang tidak seberapa banyak. Rasulullah ﷺ kemudian mengolah tepung itu sehingga menjadi cukup buat beliau dan semua orang.

Seorang penyair bernama Amir bin Akwa melantunkan karyanya,

“Kalau bukan karena engkau ya Allah,

Kami tidak akan mendapatkan hidayah. Tidak pula sholat dan bersedekah.

Ampunilah dosa kami sebagai tebusan selagi kami tegar dalam ketakwaan,

Teguhkanlah pendirian kami dalam peperangan. Berikanlah kepada kami ketentraman hati.

Kami tidak ingin hidup jika musuh mengalahkan kami.

Mendengar syair itu Rasulullah ﷺ bersabda,

“Allah merahmatinya.”

Para sahabat hafal bahwa jika Rasulullah ﷺ memohon ampunan bagi seseorang, orang itu akan mati syahid demikianlah yang terjadi pada Amir bin al Akwa dalam pertempuran ini.

PEMBAGIAN (GHONIMAH) HARTA RAMPASAN PERANG SETELAH PERANG KHAIBAR

Rasulullah ﷺ ingin agar orang-orang Yahudi pergi dari Khaibar. Namun sebagian orang Yahudi itu berkata,

“Wahai Muhammad berilah kami kesempatan untuk tetap berada di tanah ini agar kami bisa mengolah dan menanganinya. Kami lebih berpengalaman daripada kalian.”

Rasulullah ﷺ pun berpendapat bahwa mereka benar. Beliau dan para sahabat tidak mempunyai cukup tenaga untuk mengolah tanah-tanah pertanian Khaibar  yang lebih luas. Karena itu Rasulullah ﷺ pun setuju untuk mengijinkan Yahudi mengolah tanah itu dan membagi hasil panen dengan kaum muslimin.

Tanah Khaibar berjumlah 36 kelompok. Setiap kelompok dibagi menjadi 100 bagian sehingga jumlah totalnya sebanyak 3.600 bagian. Rasulullah ﷺ dan kaum muslimin mendapat separuhnya. Beliau mendapat satu bagian  seperti halnya kaum muslimin yang lain. Sisanya dikhususkan untuk para wakil beliau dan urusan umum kaum muslimin. Orang-orang muslim yang ikut dalam perjalanan perjanjian Hudaibiyah mendapat masing-masing satu bagian-bagian, entah mereka itu ikut dalam perang Khaibar atau tidak. Alasannya berkat jasa mereka jugalah kaum Muslimin dapat menaklukkan Khaibar.

Setiap kuda yang ikut mendapat 2 bagian, penunggangnya mendapat 3 bagian, sedangkan pejalan kaki mendapat satu bagian.

Rampasan Khaibar ini begitu banyak sampai Ibnu Umar berkata,

“Sebelumnya kami tidak pernah merasa kenyang, sebelum kami bisa menaklukkan Khaibar.”

Aisyah pun berkata,

“Saat Khaibar ditaklukkan, kami bisa kenyang karena makan kurma”.

Setelah kembali ke Madinah kaum Muhajirin mengembalikan apa yang dulu pernah diberikan oleh kaum Anshor, yakni berupa pohon dan buah kurma, karena kini mereka telah memiliki banyak pohon dan buah kurma  di Khaibar.

Di Madinah Ja’far bin Abi Thalib dan rombongannya telah tiba dari Habasyah. Rasulullah ﷺ begitu gembira melihat Ja’far sehingga beliau ﷺ bersabda,

“Demi Allah aku tidak tahu, karena aku gembira dengan penaklukan Khaibar dan kedatangan Ja’far.”

Ja’far dan rombongannya pun masing-masing mendapatkan satu bagian tanah Khaibar.

Shafiyah

Di antara para tawanan terdapat Shafiyah binti Huyay. Ia adalah Putri Huyay bin Al Akhtab, pemimpin Bani Nadhir yang menghasut Quraisy untuk menyerang Madinah dalam Perang Khandaq.

Suaminya, Kinanah bin Abul Huqaiq, dibunuh akibat berkhianat kepada Rasulullah ﷺ karena menyembunyikan harta Bani Nadhir. Shafiyah binti Huyay diberikan kepada Dihyah bin Al Khalifah.

Namun, seorang sahabat merasa iba kepada putri bangsawan Yahudi itu. Ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata,

“Wahai Rasulullah, apakah engkau menyerahkan Shafiyah binti Huyai, putri pemimpin Quraidhah dan Bani Nadhir kepada Dihyah? Shafiyah hanya pantas dimiliki oleh engkau.”

Untuk menjaga kehormatan Shafiyah, Rasulullah ﷺ meminta Dihyah mengambil tawanan yang lain. Beliau menawarkan kepada Shafiyah agar masuk Islam. Shafiyah pun menerimanya. Setelah itu Shafiyah pun menerima pinangan Rasulullah ﷺ dengan kebebasannya sebagai mahar.

Di Ash Shaba’, dalam perjalanan pulang ke Madinah, Rasulullah ﷺ  menyelenggarakan walimah nikah. Ummu Sulaim merias  Shafiyah. Untuk makan,  dihidangkan kurma,  makanan dari tepung, dan keju. Rasulullah ﷺ  berada di sana selama tiga hari. Pada saat itu, beliau melihat memar-memar biru pada wajah Shafiyah, lalu beliau bertanya,

“Ada apa ini?”

“Wahai Rasulullah, sebelum engkau mendatangi kami, aku bermimpi melihat bulan seakan akan terlepas dari tempatnya dan jatuh ke bilikku. Aku menceritakan mimpi ini kepada suamiku dan aku tidak menyebut-nyebut dirimu sedikit pun, namun ia menempeleng wajahku.”

Rasulullah  ﷺ  tersenyum dan memberikan kata-kata menghibur,

“Rupanya engkau dianugerahi kerajaan yang ada di Madinah.”

Pada saat itu ada seorang wanita Yahudi bernama Zaenab binti Al Haris yang mencoba membunuh Rasulullah ﷺ dengan mengirimkan daging domba beracun.

Rasulullah ﷺ menggigit satu kunyahan,  tapi segera  memuntahkannya kembali sambil bersabda,

“Tulang ini mengabarkan kepadaku bahwa di dalam daging disusupi racun.”

“Apa yang membuatmu melakukan perbuatan itu?” tanya Rasulullah ﷺ kepada Zainab binti Al Haris.

“Aku berkata kepada diriku sendiri, Kalau memang Muhammad adalah seorang raja, maka ia pasti akan mati memakan daging itu. Tetapi jika ia seorang nabi, tentu Allah akan memberitahunya.”

Tadinya Rasulullah ﷺ akan melepaskan wanita itu, namun karena ada seorang sahabat bernama Bisyr bin Al Barra yang meninggal karena memakan daging tersebut maka Zaenab binti Al Harits pun diqishash.

PENAKLUKAN YAHUDI DALAM PERANG KHAIBAR

Orang-orang Yahudi Khaibar yang hendak berangkat ke kebun sangat terkejut melihat kedatangan Rasulullah ﷺ dan pasukannya pagi-pagi sekali.

“Itu Muhammad, demi Allah, Muhammad dan pasukannya!”

Rasulullah ﷺ bersabda,

“Allahu Akbar! Runtuhlah Khaibar! Allahu Akbar! Runtuhlah Khaibar!  Jika kita tiba di pelataran suatu kaum, maka amat buruklah bagi orang-orang yang layak mendapat peringatan!”

Setelah mendirikan markas, Rasulullah ﷺ mengajak seluruh pasukannya berdoa,

“Ya Allah, Rabb langit yang tujuh serta apa-apa yang dipayunginya.  Rabb bumi yang tujuh dan apa-apa yang dikandungnya, Rabb setan-setan dan apa yang disesatkannya. Sesungguhnya kami mohon kepada Mu kebaikan dusun ini, kebaikan penduduknya, dan  kebaikan apa pun yang ada di dalamnya.   Kami berlindung kepadaMu dari kejahatan dusun ini, kejahatan penduduknya, dan kejahatan apapun yang ada di dalamnya. Majulah Dengan nama Allah.”

Pada malam menjelang penyerbuan, Rasulullah ﷺ bersabda,

“Besok aku benar-benar akan menyerahkan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya juga dicintai Allah dan rasul-Nya.”

Para sahabat sangat berharap bahwa merekalah yang terpilih esok harinya. Rasulullah ﷺ memanggil Ali bin Abi Thalib, saat itu Ali sedang sakit mata namun Rasulullah ﷺ mengusap dan berdoa agar Allah ﷻ menyembuhkan mata menantunya itu. Mata Ali pun sembuh dan ia memimpin pasukan hebat yang terdiri atas rangkaian banteng-banteng yang kuat.

Pertempuran seru meletus berhari-hari. Pemimpin Yahudi khaibar maju sambil bersyair,

“Khaibar sudah mengenal, akulah Marhab, memanggul senjata tajam pahlawan berpengalaman.”

Amir bin Akwa  maju menghadapinya sambil bersyair,

“Khaibar sudah mengenal,  Akulah Amir, memanggul senjata tajam pahlawan petualang.”

Dalam duel seru, Marhab menebas tempurung Amir  sehingga ia gugur dan syahid.

Rasulullah ﷺ bersabda tentang Amir,

“Sesungguhnya dia memperoleh dua pahala, dia telah berusaha dan telah berjuang. Tidak banyak orang Arab yang berjalan seperti dia.”

Kini Ali bin Abi Thalib maju dan membalas syair Marhab dengan garang. Dalam duel Ali berhasil membunuh Marhab.

Perang khaibar terjadi pada bulan Muharram tahun ke tujuh Hijriyah. Sekitar 1500 pasukan nabi menghadapi 10.000 orang pasukan Khaibar, akan tetapi Rasulullah ﷺ berhasil mengalahkan lawan yang begitu besar itu. Kaum muslim kehilangan 18 jiwa sedangkan pihak musuh kehilangan 93 jiwa.

Kemenangan

Setelah itu satu persatu pemimpin Yahudi jatuh dalam pertempuran dahsyat. Benteng Naim takluk setelah Marhab terbunuh.  Benteng Ash Sha’ab bin Muadz direbut dengan cara dikepung selama tiga hari. Ketika itu persediaan makanan kaum muslimin sudah sangat tipis, hingga mereka kelaparan. Rasulullah ﷺ pun berdoa dan akhirnya pasukannya bangkit  sehingga berhasil menaklukkan benteng itu. Di dalamnya, banyak terdapat ternak-ternak gemuk untuk dimakan.

Benteng Az Zubair dikepung selama 3 hari. Namun mereka bisa bertahan karena mempunyai mata air sendiri. Rasulullah ﷺ memerintahkan serangan untuk merebut mata air. Setelah mata air dapat direbut, Benteng Az Zubair pun takluk.

Orang-orang Yahudi di benteng Ubay menantang duel satu lawan satu. Semua pahlawan Yahudi yang maju berduel berhasil ditaklukkan oleh para pahlawan Islam. Kemudian Abu Dujanah yang kepalanya diikat kain merah jika sudah bertekad mati, memimpin pasukan komando masuk dan menyusup ke dalam benteng. Setelah bertempur seru, benteng Ubay pun  takluk.

Benteng An Nizar adalah benteng yang sangat kuat karena letaknya tinggi dan susah diserang. Rasulullah ﷺ memerintahkan penggunaan manjaniq atau pelontar batu besar. Maka dinding-dinding benteng jebol dan pasukan muslim pun akhirnya membanjir masuk untuk menaklukkan musuh.

Ketiga benteng yang tersisa dikepung selama 14 hari. Beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa sempat terjadi pertempuran di benteng Al Qamush. Namun kedua benteng yang lain: Al Wathih dan As Sulalim menyerahkan diri lewat perundingan.

Orang Yahudi meminta mereka yang di benteng tidak dibunuh, anak-anak tidak ditawan dan mereka siap meninggalkan Khaibar dengan segenap keluarga, menyerahkan semua harta kekayaan Khaibar yang berupa tanah, emas, perak, kuda, keledai dan baju-baju perang.

Rasulullah ﷺ pun menyetujui hal itu seraya bersabda,

“Aku juga membebaskan kalian dengan perlindungan Allah dan rasulNya apabila kalian tidak menyembunyikan sesuatu pun dariku.”

Mereka setuju. Namun orang Yahudi memang licik.  Beberapa dari mereka ketahuan menyembunyikan harta di balik reruntuhan. Maka mereka pun dibunuh, karena melanggar perjanjian, sebagai pembalasan atas terbunuhnya beberapa sahabat atas tindakan mereka. Selesailah sudah penaklukan Khaibar. Allahu Akbar!

KITAB AL-BARZANJI : SALAH SATU BAROMETER KECINTAAN KEPADA NABI MUHAMMAD SAW.

Al-Barzanji atau Berzanji adalah suatu do’a-do’a, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang biasa dilantunkan dengan irama atau nada. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad saw yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga diangkat menjadi rasul. Didalamnya juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.

Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar. Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzanj. Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.

Kitab Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini termasuk salah satu kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya. Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.

Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’ besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah.

Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.

Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.

Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.

Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.

Historisitas Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan dengan momentum besar perihal peringatan maulid Nabi Muhammad saw untuk yang pertama kali. Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.

Kita mengenal itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual.

Adalah Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi -dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub- katakanlah dia setingkat Gubernur. Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.

Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.

Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata Khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 / 1184 M tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.

Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.

Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.

Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu riwayat Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis besar, paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah Nabi adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.

Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini ditandai dengan banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan Allah. Saat Nabi Muhammad dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan kepalanya mendongak ke arah langit, dalam riwayat yang lain dikisahkan Muhammad dilahirkan langsung bersujud, pada saat yang bersamaan itu pula istana Raja Kisrawiyah retak terguncang hingga empat belas berandanya terjatuh. Maka, Kerajaan Kisra pun porak poranda. Bahkan, dengan lahirnya Nabi Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.

Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku beliau sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.

Kisah lain yang juga bisa dijadikan teladan adalah pada suatu pengajian seorang sahabat datang terlambat, lalu ia tidak mendapati ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta kepada sahabat yang lain untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada satu pun yang mau. Di tengah kebingungannya, Rasulullah saw memanggil sahabat tersebut dan memintanya duduk di sampingnya.. Tidak hanya itu, Rasul kemudian melipat sorbannya lalu memberikannya pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Melihat keagungan akhlak Nabi Muhammad, sahabat tersebut dengan berlinangan air mata lalu menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk, tetapi justru mencium sorban Nabi Muhammad saw tersebut.

Bacaan shalawat dan pujian kepada Rasulullah bergema saat kita membacakan Barzanji di acara peringatan maulid Nabi Mauhammad saw, Ya Nabi salâm ‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya Habîb salâm ‘alaika, ShalawatulLâh ‘alaika… (Wahai Nabi salam untukmu, Wahai Rasul salam untukmu, Wahai Kekasih salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu…)

Kemudian, apa tujuan dari peringatan maulid Nabi dan bacaan shalawat serta pujian kepada Rasulullah? Dr. Sa’id Ramadlan Al-Bûthi menulis dalam Kitab Fiqh Al-Sîrah Al-Nabawiyyah: “Tujuannya tidak hanya untuk sekedar mengetahui perjalanan Nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar kita mau melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam yang paripurna dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”

Sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi saw dalam Islam (1991), , menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi. Pancaran kharisma Nabi Muhammad saw terpantul pula dalam sejumlah puisi, yang termasyhur: Seuntai gita untuk pribadi utama, yang didendangkan dari masa ke masa.

Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.

Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’. Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.

Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan” Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.

Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.

Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadist, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.

Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.

Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.

Di samping itu, telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.

Ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul Ulamail Hijaz, An-Nawawi Ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid al-Barzanji dan karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi Manaqib As-Sayyid Ja’far”.

Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya (Arab) dibacakan dalam berbagai macam lagu; rekby (dibaca perlahan), hejas (dibaca lebih keras dari rekby ), ras (lebih tinggi dari nadanya dengan irama yang beraneka ragam), husein (memebacanya dengan tekanan suara yang tenang), nakwan membaca dengan suara tinggi tapi nadanya sama dengan nada ras, dan masyry, yaitu dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan perasaan yang dalam

Di berbagai belahan Dunia Islam, syair Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memeringati hari kelahiran Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali di negeri kita, syair Barzanji didendangkan – biasanya, dalam bentuk standing ovation – dikala menyambut bayi yang baru lahir dan mencukur rambutnya.

Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji dilakukan di berbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada disana. Ada juga yang hanya membaca Barzanji dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’idhah hasanah dari para muballigh atau da’i.

Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal kalender hijriyah (Maulud). Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakda Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.

Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’idhah hasanah pada acara temanten dan mauludan.

Dalam ‘Madarirushu’ud Syarhul’ Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di hari kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”

KEINGINAN NABI MUSA AS UNTUK MENJADI UMATNYA NABI MUHAMMAD SAW.

Qatadah menjelaskan sehubungan dengan makna ayat:

أخذ الألواح

lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu. (Qs: Al-A’raf: 154)

Nabi Musa عليه السلام berkata; Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku lihat dalam luh-luh itu tertulis nama suatu umat yang merupakan sebaik-baiknya umat yang dikeluarkan untuk umat manusia, mereka memerintahkan (manusia) berbuat kebajikan dan melarang (manusia) berbuat kemungkaran, maka jadikanlah mereka itu sebagai umatku.

Allah ﷻ berfirman ;

تلك أمة أحمد

Itu adalah umat Ahmad (Nabi Muhammad ﷺ ).

Nabi Musa berkata; Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku lihat dalam luh-luh itu tertulis tentang umat, mereka adalah orang-orang yang terakhir, tetapi mereka adalah orang-orang yang terdahuIu.( Terakhir diciptakan, tetapi yang pertama masuk surga.)

Nabi Musa berkata; Ya Tuhanku, jadikanlah mereka sebagai umatku.

Allah ﷻ berfirman; Mereka adalah umat Ahmad .

Nabi Musa berkata; Wahai Tuhanku, dalam tulisan luh-luh itu aku menjumpai suatu umat yang kitab-kitab mereka ada di dada mereka, mereka membacanya dan menghafalnya. Padahal orang-orang sebelum mereka membaca kitabnya dengan melihatnya, hingga apabila kitab mereka diangkat, maka mereka tidak hafal sesuatu pun darinya dan tidak mengingatnya lagi. Dan sesungguhnya Allah telah memberikan kepada umat itu suatu kekuatan daya hafal yang belum pernah diberikan oleh Allah kepada umat manapun. Nabi Musa melanjutkan perkataannya; Ya Tuhanku, jadikanlah mereka sebagai umatku.

Allah ﷻ berfirman ; Mereka adalah umat Ahmad.

Nabi Musa berkata; Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melihat dalam luh-luh itu tertuliskan tentang suatu umat yang beriman kepada kitab-kitab terdahulu dan kitab yang terakhir, dan mereka memerangi kesesatan, hingga mereka memerangi si buta sebelah yang pendusta (Dajjal), maka jadikanlah mereka sebagai umatku.

Allah ﷻ berfirman; Mereka adalah umat Ahmad.

Nabi Musa berkata; Ya Tuhanku, aku menjumpai di dalam luh-luh itu tertuliskan suatu umat yang sedekah mereka dimakan oleh mereka sendiri, dimasukkan ke dalam perut mereka, tetapi mereka mendapat pahala dari sedekahnya. Sedangkan di kalangan umat-umat sebelum mereka, apabila ada suatu sedekah, Lalu sedekah itu diterima, maka Allah mengirimkan kepadanya api, kemudian api itu melahapnya. Jika sedekah itu ditolak, maka dimakan oleh hewan-hewan buas dan burung-burung pemangsa. Dan sesungguhnya Allah mengambil sedekah (zakat) dari kalangan hartawan mereka untuk kaum fakir miskin mereka. Musa melanjutkan perkataannya ;Ya Tuhanku, jadikanlah mereka sebagai umatku.

Allah ﷻ berfirman ; Mereka adalah umat Ahmad.

Nabi Musa berkata; Ya Tuhanku, sesungguhnya aku temui di dalam luh-luh itu tertuliskan suatu umat yang apabila seseorang dari mereka berniat akan melakukan suatu kebaikan, lalu ia tidak mengerjakannya, maka dicatatkan baginya pahala satu kebaikan. Jika dia mengerjakannya, maka dicatatkan baginya pahala sepuluh kebaikan yang semisal dengan kebaikannya sampai tujuh ratus kali lipat. Ya Tuhanku, jadikanlah mereka sebagai umatku.

Allah ﷻ berfirman ; Mereka adalah umat Ahmad.

Nabi Musa berkata; Ya Tuhanku, sesungguhnya aku lihat di dalam luh-luh itu tertuliskan perihal suatu umat, mereka adalah orang-orang memberi syafa’at dan diberi izin untuk memberikan syafa’at. Maka jadikanlah mereka sebagai umatku.

Allah ﷻ berfirman; Mereka adalah umat Ahmad.

Kemudian setelah itu Nabi Musa عليه السلام berdoa;

اللهم اجعلني من أمة أحمد

“Ya Allah, jadikanlah diriku termasuk umat Ahmad (Nabi Muhammad ﷺ )”

والله أعلم

Di Kutib dari Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-A’raf; 154

PARA WANITA SHOLIHAH DARI GENERASI AWAL ISLAM

Menurut keterangan Imam as Sya’roniy; orang-orang zaman dulu lebih mendahulukan Sayyidah ‘Abidah ini dari pada Sayyidah Robi’ah al ‘Adawiyyah tadi. Diantara manaqib beliau; selama hidupnya beliau hanya melulu menghadapkan diri/ber’ibadah di hadapan Alloh Swt. dan sabdanya: “Entah aku tak tahu pagi dan soreku (yang penting ‘ibadah)”. Beliau pernah mendengar perkataan: Tidak akan bisa mencapai pada semestinya taqwa sehingga yang disukai hanya ingin bisa mati/bertemu dengan Alloh. Seketika beliau terjatuh dan pingsan.

Selain Wali-wali utri yang telah tersebut di atas selain kaum putri dari para Sahabat dan orang kuno, gembong-gembong Wali putri yang ahli ma’rifat dan ngetop ber’ibadah yang juga terkenal masih banyak. Di dalam kitab-kitabyang menerangkan kami al faqir “Maftuh Basthul Birri” sempat menemukan ada 23 Nisa`illah minal Auliya’/ para Wali putri yang pada umumnya sama takut sekali kepada Alloh, sampai ada yang ahli menangis/banyak menangisnya, ada yang mudah pingsan/tak sadarkan diri. Diantaranya saja yaitu:

1. Sayyidah Majidah al Qurosyiyyah Ra. Diantara sabdanya : “Orang-orang yang tho’at tidak akan bisa masuk surga dan mendapat ridho Alloh kecuali jika mau memaksakan diri (memayahkan badannya) untuk beramal.

2. Istrinya Robah al Qoisiy Ra. Beliau ini semalam suntuknyahanya untuk menjalankan sholat saja sampai pagi. Setelah selesai sembahyang ‘Isyak beliau lalu menghias diri dan memakai harum-haruman kemudian bertanya kepada suaminya membutuhkan apa tidak. Kalau tidak kemudian berganti pakaian sholat dan terus menerus ber’ibadah. Setiap mendapat seperempat malam lalu membangunka suaminya dan diajak sholat malam. Suaminya tidak mau bangun, beliau berkata: “Terbujuk apa saja kamu, hanya selalu menentang dan semaunya sendiri. Demikian beliau melakukan pekerjaan membangunkan suaminya dalam setiap malamnya sampai terjadi 4 kali. Beliau mengambil bata merah merah dan berkata: “menurutku perkara dunia itu lebih ringan dan sepele dibannding ini (bata).

3. Sayyidah Manfusah bintuZaid Ra. ini ketika anaknya ada yang mati mendahului, lalu ketika dipegang dan dipangku beliau berkata: “Kamu mendahului akuadalah lebih bagus dan sabarku atas kamu adalah lebih uatama dari pada mengeluhku. Berpisah denganmu merana, akan tetapi mengharapkan pahalanya adalah betul-betul lebih bagus.

4. Sayyidah Fatimah al ‘Aina’ Ra. ini diantara karomahnya, setelah wafatnya ada yang berziarah di makamnya lalu menbaca surat al Kahfi, ada yang salah dalam bacaannya, kemudian beliau membetulkan dari dalam kuburan.

5. Sayyidah Umm Sathol Ra. diantara keramatnya, ular-ular banyak yang minum dari tangannya dan terbiasa tiduran di samping kepala beliau.

6. Sayyidah Nafisah bintul Hasan bin- bin- ‘Ali bin Abi Tholib Ra. beliau keturunan dari Sayyid asan bin ‘Ali. Lahirnya di Makkah tahun 145 H. besarnya di Madinah, selalu tekun ber’ibadah, bertapa, puasa dan sholat malam. Lalu mukim di Mesir tahun 208 H. sayyidah Nafisah ini brtul-betul memberkahi negara Mesir sejak itu sampai sekarang. Tatkala Imam Syafi’i Ra. pindah ke Mesir beliau sering sowan ke kanjeng nyai Nafisah ini dan sholat tarowih bersama beliau di masjidnya. Makam Sayyidah Nafisah ini sangat berwibawa, bercahaya dan mustajab/mujarab, diziarahi dari mana saja.

Pernah sang suami ingin memindahkan makamnya ke Madinah, orang Mesir semua tidak memperbolehkan. Lalu sang suami itu bermimpi ketemu kanjeng Nabi, beliau Nabi memberi dawuh: “Hai Abu Ishaq, kamu jangan mengganggu orang Mesir dengan keberadaan Nafisah itu. Karena dari berkahnya, rahmat Alloh selalu diturunkan kepada mereka.

Kanjeng Sayyidah Nafisah ini masyhur sekali kewaliannya dan banyak sekali kekeramatannya. Di kala hidupnya sering kali dibuat jurusan orang meratap kesusahandan sama berhasil. Termasuk orang Yahudi datang meratap dan berhasil, dan kemudian menyeberluaskan banyak sekali dari mereka yang masuk Islam di hadapannya.

Di dalam Kitab Jami’ul Karomatil Auliya’ : Ada perempuan mempunyai anak 4 perempuan semua. Yang dimakan berasal dari hasil memintal benang. Pada suatu hari sang ibu pergi untuk menjual pintalannya, tiba-tiba di tengah perjalanan pintalan yang digendongnya itu di sambar burung lalu dibawa terbang melayang dan menghilang. Lalu dia jatuh pingsan karena kehilangan penghasilannya itu, sampai dikerumuni orang banyak. Setelah sadar lalu diurus dan dipertanyakan perihalnya. Ringkasnya kemudian sang ibu itu ditunjukkan supaya sowan di hadapan kanjeng Sayyidah Nafisah itu supaya meminta berkah do’anya. Kemudian mau sowan dan menghaturkan kejadiannya dan meminta do’a. Lalu kenjeng Sayyidah Nafisah berdo’a. Setelah itu kanjeng nyai Nafisah berkata: “duduklah di sini dulu bu, yang tenang.. Alloh maha kuasa, jangan kwatir. Lalu sang ibu itu duduk menanti dan memikirkan anak-anaknya yatim di rumah nanti kelaparan bagaimana. Tidak lama kemudian datanglah orang banyak yang gagah-gagah perlu sowan menghadap kanjeng Nafisah dan berkata: “Kanjeng Sayyidah, kami semua ini kok mempunyai cerita yang lucu, begini. Kami semua ini adalah orang-orang yang berkelana sebagai pelaut dan sudah cukup lama dan Alhamdulillah ya selamat tidak ada apa-apa. Akan tetapi tadisetelah dekat dengan pantai sini perahu kami berlobang dan kemasukan air, kami berusaha menutupi akan tetapi tidak berhasil dan hampir saja tenggelam. Kemudian ada biurung datang menjatuhkan satu bingkisan isinya pintalan benang, lalu bisa kami pakai untuk menutup kebocoran perahu kami itu denganizin Alloh. Kami bersama menghadap ini perlu menghaturkan ini 500 dinar sebagai syukuran atas selamatnya kami semua. Lalu Sayyidah Nafisah menangis dan menghadap Tuhan dan berkata: Duh Gusti.. dst,,

Lalu nyai Nafisah berkata kepada sang ibu tadi: Bu, biasanya ibu kalau jualan pintalan laku berapa? = 20 dirham. Lalu 500 dirham tadi diberikan semuanya kepada sang ibu itu dan diterimanya dengan riang gembira, kemudian pulang ke rumah dan diceritakan semua kepada anak-anaknya. Kelanjutannya sang ibu ini memberhentikan pekerjaannya dan pergi menghadap sang nyai Sayyidah Nafisah. Setelah bertemu lalu bersalaman sambil mencucupi tangannya dan kemudian mencari berkah berkhidmad di hadapannya.

7. Sayyidah Fatimah bintul Mutsni Ra. kanjeng nyai Fatimah ini semua kebutuhannya cukup dengan menggunakan surat al Fatihah. Dan beliau sudah berumur 95 tahun kelihatan masih muda, cantik halus lembut bagaikan gadis berumur 14 tahun. Orang yang dianggap bisa melayani hanya beliau Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibnul ‘Arobiy. Kata Syaikh Muhyiddin dalam kitab Futuhal Makkiyyah ringkasnya begini: “Aku berbakti beberapa tahun sampai beliau berumur 95 tahun lebih. Beliau makannya hanya sedikit sekali dari makanan yang sudah terbuang di tempat sampah. Aku malu jika melihat wajahnya karena pipinya masih kelihatan merah, manis, halus dan cantik kalau orang menyangka umurnya masih 14 tahun. Beliau punya hal yang hebat dengan Gusti Alloh. Beliau berkata kepadaku: “Demi Alloh aku sendiri ya heran, Kekasihku Alloh kok mau memberi Fatihatul Kitab kepadaku, selalu melayani mencukupiku”. Berkata Syaikh Muhyiddin: “Aku masih dalam keadaan duduk, tiba-tiba ada seorang perempuan datang dan berkata kepadaku: Syaikh, suamiku berada di Syarisy sana jauh sekali, bagaimana caranya bisa kembali kesini lagi?. Permintaan orang perempuan ini lalu aku sampaikan kepada kanjeng nyai, kemdian beliau berkata: “Ya sudah, aku akan menyuruh dengan surat al Fatihah”. Maka beliau membaca surat Fatihah dan orang perempuan tadi juga ikut membaca. Tatkala surat Fatihah dibaca lalu terlihat ada bentuk bayangan kemudian beliau bilangi begini: “Berangkatlah ke Syarisy sana, suami perempuan ini datangkan kesini”. Kemudian setelah ada jangka waktu sekira sampai di sana, sang suaminya betul-betul datang. Maka setelah itu orang perempuan tadi lalu mengadakan upacara tasyakuran.

8. Sayyidah Fatimah bintul ‘Abbas Ra. ini wali putri yang komplit seperti orang laki-laki, ajli pertapa, ‘alim fiqh, ahli mengajar serta ahli pidato, ahli fatwa dan banyak jama’ah putrinya. Imam Ibnu Taimiyyah (gembong Wahabi) dan ‘Ulama’ lainnya sama heran dengan ilmunya, cerdasnya, khusu’nya dan menangisnya. Berkata Ibnu Taimiyyah: “Aku pernah mendngkol perasaanku/tidak enak hatiku lantaran dia naik mimbar berpidato, akan aku larang. Lalu malam berikutnya aku bermimpi bertemu Kanjeng Nabi dan beliau berkata: “Biarkan, itu perempuan sholihah”. Beliau wafatpada hari ‘Arofah di Kairo tahun 714 H.

9. Ruqoyyah al Mausholiyyah Ra. kanjeng Sayyidah ini amat sangat mahabbahnya kepada Alloh sampai beiau berkata: “Ilaahi wa Maulaaya, jika Tuan menyiksaku dengan segala siksaan, ini masih lebih ringan dari pada putusnya aku denganMu, dan jika Tuan memberi segala keni’matan di surga kepadaku, Oo.. Lezatnya cintaku denganMu masih lebih agung dan lebih lezat bagiku.

10. Sayyidah Roihanah al Majnuunah Ra. diantara Syi’ir beliau:

Artinya: Aku tidak butuh surga karna ni’matnya, akan tetapi aku butuh suraga karena ingin melihat Engkau ya Alloh.

11. Sayyidah Fahriyyah bintul ‘Utsman Ra. Beliau ini seorang putri yang paling tashowwuf pada zamannya, ahli puasa dan selalu tekun ber’ibadat. Beliau bertempat di Masjid Baitul Muqoddas selama 40 tahun lamanya bertempat di dekat pintu Baabul Harom semalaman sholat sampai pintu Masjid dibuka, lalu orang yang pertama kali masuk masjid dan paling terakhir keluarnya. Keramatnya banyak, di antaranya beliau ingin bisa mati di Makkah dan di makamkan di dekatnya Sayyidah Khodijah al Kubro, lalu terlaksana dikabulkan keinginannya, adapun wafat beliau pada tahun 753 H.

Min Jami’ wa Thobaqot wa Jumhuroh

YANG MERACIK KOPI PERTAMA KALI DALAM SEJARAH KEISLAMAN

Kopi memiliki ‘anekdot sakaguru’, yang sangat disukai oleh para pedagang. Alkisah, suatu hari Kaldi, seorang gembala muda Etiopia, sedang mengamati hewan-hewan ternaknya yang tiba-tiba menggelinjang setelah memakan buah-buahan berwarna merah semak. Karena penasaran, Kaldi pun ikut mencicipi buah beri itu, dan anehnya tubuh Kaldi langsung bereaksi: Dia menari memutar-mutar tubuhnya dengan riang.

Setelah kejadian itu, Kaldi lantas meminta nasihat kepada seorang imam, yang juga mencicipi buah itu. Sang Imam a) merasakan khasiatnya, bahwa mereka berdua terjaga (melek) dalam ibadah dan doa sepanjang malam sehingga menjadikannya ‘infus’ untuk dibagikan kepada jemaah majelis; atau b) melemparkannya ke dalam api dengan jijik hanya untuk membaui aromanya yang harum dan lezat dari buah itu, lalu mengangkatnya dari bara api, menggilingnya, menambahkan air panas dan minum minuman yang telah diracik tersebut.

Cerita Kaldi ini pertama kali muncul di Eropa pada 1671 Masehi sebagai bagian dari risalah kopi yang diterbitkan oleh Antonio Fausto Naironi, seorang Kristen Maronit dari Levant (kiwari Lebanon) yang beremigrasi ke Roma. Mungkin cerita ini berasal dari tradisi lisan di tanah kelahirannya. Tepat kapan, di mana, dan dalam bentuk apa manusia pertama kali mengonsumsi kopi tidak dapat ditetapkan secara sabit. Ada kabar burung tentang kacang hangus yang ditemukan di situs kuno, dan beberapa menyarankan jamu dan ramuan yang dijelaskan dalam kitab al-Qānūn fī aṭ–Ṭibb (Canon of Medicine) karya tabib dan filsuf sekaligus ulama asal Persia Ibn Sīnā (980-1037), juga masyhur sebagai Avicenna, berasal dari tanaman kopi.

Sudah pasti bahwa selama dua ratus tahun pertama keberadaan kopi yang tercatat, antara tahun 1450 dan 1650, kopi dikonsumsi hampir secara eksklusif oleh masyarakat muslim yang kebiasaannya meniagakan komoditas kopi yang berpusat di sekitar Laut Merah. Laut Merah merupakan dunia tempat versi modern minuman ini berevolusi, sekaligus fondasi matra warung kopi kiwari dipanggungkan.

Suku Oromo, menetap di wilayah Etiopia selatan, termasuk daerah Kaffa dan Buno di mana kopi Arabika asli tumbuh subur, menyiapkan berbagai bahan makanan dan minuman yang memanfaatkan berbagai unsur tanaman. Ini termasuk kuti, teh yang terbuat dari daun tanaman muda yang dipanggang ringan, hoja, menggabungkan kulit kering beri dengan susu sapi, dan bunna qalaa, di mana biji kopi kering dipanggang dengan mentega dan garam untuk menghasilkan makanan ringan yang menggiurkan, dikonsumsi dalam ekspedisi maritim, dan dimakan untuk meningkatkan energi.

Bunna adalah yang paling masyhur. Sekam kopi kering yang dijerang dalam air mendidih selama lima belas menit sebelum minuman itu disajikan. Hari ini, petani kopi sudah mulai menjual produk serupa bernama cascara, yang terdiri dari kulit ceri kering yang telah proses, diseduh sebagai teh buah. Awalnya, minuman ini dihidangkan dengan seluruh sisa ceri kering–kulit,  bubur kayu, dan batu.

Dinamakan qishr dalam bahasa Arab, ‘infus’ ini tampaknya telah melintasi tigapuluh dua kilometer (20 mil) selat Bab-el-Mandeb di ujung selatan Laut Merah selama pertengahan abad ke-15. Minuman ini lantas diadopsi oleh tarekat mistik sufi di Yaman untuk digunakan dalam zikir: Doa malam hari di mana para sufi berkonsentrasi hanya kepada Allah Swt., untuk mengesampingkan seluruh problematika duniawi. Ramuan yang menstimulasi yang disebut qahwa ini, disajikan ke dalam permulaan ritual, dipimpin oleh seorang mursyid tarekat dari sebuah kapal besar, dan diedarkan ketika kelompok tarekat itu mengumandangkan zikir, seperti, “La ilaha illallah, tiada Tuhan selain Allah.” Qahwa sangat penting karena tasawuf dipraktikkan oleh seorang muslim yang bekerja pada siang hari: Etimologi dari kata itu menyiratkan berkurangnya syahwat (mengantuk).

Qahwa awalnya disiapkan dengan kafta, daun tanaman khat. Daun ini memiliki sifat halusinogen yang meningkatkan rasa euforia, tetapi dengan menggunakan qishr akan membantu menjaga jamaah agar tetap terjaga. Invensi itu diduga diinisiasi oleh mufti sufi, Muhammed al-Dhabani, yang wafat pada 1470. Dia adalah tokoh sejarah pertama yang bisa kita kait-kelindankan dengan kopi. Sarjana Arab Abd al-Qadir al-Jaziri, yang manuskripnya berjudul Umdat al safwa fi hill al-qahwa, yang ditulis sekitar 1556, adalah sumber informasi utama tentang penyebaran kopi di dunia Islam, dan mennulis sebuah tulisan yang mengklaim bahwa al-Dhabani bepergian ke Etiopia,

Al-Dhabani menemukan orang-orang mengkonsumsi qahwa meskipun dia tidak mengetahui karakteristiknya. Setelah kembali ke Aden, dia jatuh sakit, dan mengingat [qahwa], dia meminumnya dan mendapat manfaat darinya. Dia menemukan bahwa di antara sifat-sifatnya adalah bahwa ia menghilangkan kelelahan dan kelesuan, dan membuat tubuhnya jadi lincah dan kuat. Oleh karena itu, ketika ia menjadi seorang sufi, ia dan sufi lainnya di Aden mulai menggunakan minuman yang diracik

Meskipun Ali ibn ‘Umar al-Shadhili dirayakan sebagai  ‘Bapak qahwa’ di Mocha, al-Jaziri mengatakan dalam catatannya, “Karena tidak ada kafta, jadi al-Dhabani berkata kepada jamaahnya… itu biji kopi… ia mempromosikan khasiatnya, ‘jadi cobalah qahwa yang dibuat darinya’. Mereka mencobanya, dan ternyata memang berfaedah, dengan sedikit biaya ataupun risiko,” terang al-Jaziri. Qahwa awalnya hanya merujuk pada ramuan spiritual, tapi kemudian menjadi istilah untuk kopi Arab yang disiapkan dengan kacang belaka, sedangkan qishr masih merujuk pada pasokan buah-buahan dan rempah-rempah kering.

Praktik sufistik inilah yang mentransmisikan khazanah kopi ke utara ke wilayah Arab, Hijaz, di pantai timur Laut Merah. Ini termasuk kota suci Mekah, Jeddah, dan Madinah. Kopi akhirnya tiba di Kairo, ibu kota kesultanan Mamluk yang berkuasa, sekitar 1500-an, tempat kopi itu pertama kali digunakan oleh para pelajar Yaman di Universitas Islam Al-Azhar. Kopi selanjutnya berdifusi di Timur Tengah karena diadopsi sebagai minuman sosial yang dikonsumsi di luar upacara keagamaan nan sakral. Praktik inilah yang menyebabkan momen pertama dan terkenal, tatkala kopi secara efektif ‘diadili’ oleh pengadilan Islam, di Mekah pada 1511.

Pada suatu patroli malam, Kh’air Beg, pasha (gubernur) kota Mamluk, menemukan sekelompok pria minum qahwa di pelataran masjid. Beg mengusir pria-pria itu dan, keesokan paginya, Beg mengadakan pertemuan dengan ulama fikih sekota untuk membahas berbagai pertanyaan seputar konsumsi kopi. Para ulama dengan cepat mengutuk pertemuan kopi darat (kopdar) itu, tetapi mereka tidak yakin, bahwa mengkonsumsi kopi bertentangan dengan ajaran Islam.

Argumen itu bergantung pada apakah minum kopi memicu keracunan, yang diterjemahkan sebagai keadaan di mana kontrol atas tubuh hilang. Beg lantas mendatangkan tiga dokter yang bersaksi, bahwa qahwa itulah penyebabnya, sehingga para ulama pun setuju. Beg menggunakan hasil pertemuan ini sebagai fatwa untuk melarang penjualan atau konsumsi kopi, secara publik atau pribadi, di seantero kota.

Mengapa? Kopi yang hampir tidak dikenali oleh Beg–telah dikonsumi secara terbuka untuk beberapa waktu. Kopi juga diperjual-belikan di banyak kedai, seperti kedai anggur, yang, secara teori, hanya melayani pelanggan non-muslim. Tampaknya tujuan Beg yang sebenarnya adalah untuk mendapatkan kontrol yang lebih besar atas kota. Para dokter yang bersaksi itupun terkenal karena penentangan mereka atas kopi, mungkin karena mereka takut bahwa bisnis kopi itu akan menjadi persaing bagi resep medis yang menjadi usaha mereka.

Haramnya mengkonsumsi kopi ini tidaklah berlangsung lama. Fatwa itu dikirim ke Kairo untuk diratifikasi. Ketika dikembalikan, larangan pertemuan publik untuk minum kopi ditegakkan, tetapi tidak pada konsumsi kopi itu sendiri. Tahun 1512, Beg dipecat, dan konsumsi kopi secara terbuka di jalan-jalan Mekah pun kembali. Tampaknya pihak berwenang Kairo setuju, bahwa tidak mungkin untuk berdebat tentang kopi bisa menyebabkan keracunan ketika, ‘seseorang minum kopi dengan nama Allah di bibirnya, dan tetap terjaga, sementara orang yang mencari suka cita dan lebih menyukai minuman keras itulah yang mengabaikan Allah, dan mabuk.’

Kalakian, kopi melanjutkan difusi di seluruh dunia Islam, dipromosikan oleh jemaah haji di Mekah. Penaklukan Turki Utsmaniyah atas Mesir pada 1516-17 memfasilitasi penyebaran kopi ke kekhalifahan Turki, mencapai Damaskus pada 1534 dan Istanbul pada 1554. Dua kedai kopi dibuka di ibu kota oleh warga Suriah, Hakam dan Sem, masing-masing berasal dari Damaskus dan Aleppo. Terletak di pusat kota, dekat pelabuhan, dan pasar sentral, kedai kopi ini menarik pelanggan kelas elite, termasuk penyair yang akan menyusun karya terbaru mereka, juga sesama penulis, pedagang yang juga terlibat dalam permainan, seperti dadu dan catur, dan pejabat Turki Utsmaniyah yang ngobrol dengan satu sama lainnya, sambil duduk di sofa dan karpet mewah. Begitulah keberhasilan Shem, ia dikisahkan kembali ke Aleppo tiga tahun kemudian, setelah mendapat untung 5.000 keping emas.

Akan tetapi, ada perbedaan warna yang mencolok antara kopi Arab dan kopi Turki. Kopi Arab (qahwa) disajikan (dan sedang) disajikan sebagai cairan cokelat muda yang semi-tembus cahaya. Kacang dipanggang setengah gosong sebelum didinginkan, ditumbuk, dan dicampur dengan rempah-rempah seperti jahe, kayu manis dan, terutama, kapulaga. Campuran itu dituangkan ke dalam panci tembaga, direbus dengan air selama sekitar lima belas menit, dan kemudian dituang ke dalam wadah penyajian yang lebih mungil, yang sering dipanaskan dengan cerat panjang. Tuan rumah menuangkan secangkir kecil, atau finjan, untuk setiap tamu.

Orang Turki, sebaliknya, meminum minuman gelap dan buram yang dilukiskan oleh penyair kiwari laksana ‘musuh tidur dan cinta’–cikal-bakal kopi Turki, atau kahve, kiwari. Kacang-kacangan dihitamkan dengan dipanggang dan kemudian ditumbuk menjadi bubuk. Kopi dituangkan dengan air di sebuah cezve (dikenal di luar Turki sebagai ibrik atau briki), panci terbuka lebar yang menyempit sebelum mencapai tepi yang lebih luas. Didihkan, dikeluarkan dari api, dan busa dari bagian atas cairannya disendok ke dalam gelas. Cairan itu lalu dapat didihkan kembali (setidaknya sekali, sering dua kali), dan air tambahan dituangkan ke dalam gelas, agar struktur busanya tetap konstan.

Praktik memanggang kacang itu digunakan oleh beberapa imam Istanbul untuk menyatakan, bahwa konsumsi kopi adalah haram karena karbonisasi biji berarti minuman dibuat dari zat mati (karena itu dilarang). Pada 1591 Bostanzade Mehmed Effendi, Sheik ul-Islam (otoritas agama tertinggi), mengeluarkan fatwa, secara definitif menyatakan bahwa minuman kopi tetap berasal dari sejenis sayuran, karena karbonisasi lengkap belum terjadi. Di antara para ulama, para syekh, dan wazir agung pun, tidak ada yang tidak meminumnya. Bahkan mencapai titik sedemikian rupa sehingga wazir agung membangun kedai kopi besar sebagai investasi, dan mulai menyewakannya dengan satu atau dua keping emas sehari.

Daya tarik kedai kopi terletak pada penyediaan ruang publik perdana yang sah untuk sosialisasi di kalangan lelaki muslim. Pada malam hari, umumnya masyarakat makan di rumah, jadi satu-satunya tempat terbuka identik dengan tongkrongannya mereka yang memiliki reputasi jelek (maksiat)–kedai-kedai anggur dan tempat-tempat penjualan boza, minuman ringan beralkohol yang dibuat dengan sereal yang difermentasi. kedai kopi- kedai kopi, yang diterangi oleh lampu-lampu besar yang tergantung di langit-langit, memberikan perlindungan pada malam-malam selama musim panas. Pada bulan suci Ramadan, banyak orang yang berbuka puasa dengan kopi setelah matahari terbenam. Pelanggan kedai kopi dapat duduk di luar di taman yang teduh dan wangi, mendengarkan pendongeng atau musisi dari kedai kopi yang, setidaknya di kedai kopi awal Hijaz, mungkin termasuk biduan perempuan, yang menghibur para tamu dengan lagu-lagu yang mereka dendangkan.

Munculnya kedai kopi menciptakan kemungkinan untuk bentuk-bentuk aktual interaksi sosial. Sebelumnya, orang-orang saling berkunjung dari rumah ke rumah untuk bersilaturahmi, dan tuan rumah pun biasanya menyediakan jamuan makan, mungkin disiapkan oleh pelayan, dan memajangkan budak (dan mungkin istri), yang semuanya menciptakan hierarki antara tuan rumah dan sang tamu. Sekarang orang bisa bertemu teman sebaya di kedai kopi, dan bertukar keramahtamahan dengan pijakan yang lebih setara, melalui cara sederhana untuk saling membeli secangkir kopi. Tata letak berbagai kedai kopi awal ini memfasilitasi atmosfer egaliter, ketika para pengunjung duduk sesuai dengan urutan kedatangan mereka, di bangku panjang atau bersandar di tiang yang berjejer di sepanjang dinding, bukan berdasarkan kasta mereka. Di samping kaum elite, format ini juga memungkinkan mereka yang memiliki cara lebih mudah untuk saling menghibur dan menunjukkan kedermawanan mereka.

Seorang pelancong yang mengunjungi Kairo pada 1599 bercerita, “Ketika para prajurit itu pergi… menjadikan kedai kopi dan mereka harus mendapatkan uang receh untuk koin emas, mereka pasti akan menghabiskan semuanya di sana. Mereka menganggap tidak pantas memasukkan uang receh ke dalam saku dan pulang. Dengan kata lain, hal ihwal ini adalah cara mereka menunjukkan kebesaran mereka kepada orang-orang biasa. Tetapi perlindungan besar mereka terdiri dari saling mentraktir secangkir kopi, membuat teman-teman mereka terkesan dengan satu cangkir berisi empat cangkir yang harganya satu orang.”

Begitu populernya kedai kopi di Istanbul sehingga diklaim bahwa pada 1564, sepuluh tahun setelah bisnis ini pertama dibuka, ada lebih dari lima puluh yang beroperasi; pada tahun 1595 jumlah ini diperkirakan mencapai enam ratus. Tampaknya angka ini melibatkan penggabungan beberapa kedai kopi dengan kedai minuman dan gerai boza, yang mungkin juga merepresentasikan realitas bisnis yang telah mengaburkan batas-batas antara aktivitas rakyat. Kedai kopi memungkinkan konsumsi zat-zat yang meragukan dan peluang untuk bermain dadu atau catur dan berjudi, sementara para perempuan belia dan ranum yang dipekerjakan sebagai pelayan dituduh biang kerok bagi pemuas hasrat para hidung belang, selain kafein kopi.

Tahun 1565, Sulaiman, sultan yang telah menyambut kedai kopi pertama ke Istanbul, mengeluarkan dekrit untuk menutup kedai minuman, penjual boza, dan kedai kopi Aleppo dan Damaskus, di mana orang-orang terus menghabiskan waktu mereka dengan menghibur dirinya sendiri, dan melakukan hal-hal maksiat, dan melarang pelbagai tindakan ‘yang mencegah mereka’ melaksanakan kewajiban syariat Islam. Keputusan lebih lanjut dan lebih parah dikeluarkan oleh penggantinya, Selim II (1566-74) dan Murad III (1574-95).

Perihal ini tampaknya memiliki dampak yang terbatas, paling tidak karena otoritas yang menegakkan dan anggota milisi fatwa biasanya adalah pelindung, dan bukan pemilik yang jarang, dari lembaga-lembaga ini. Kesuksesan binis kedai kopi mencerminkan perubahan dalam struktur sosial dan politik Kekhalifahan Turki. Model administrasi hierarkis yang tersentralisasi memberi jalan kepada masyarakat di mana kekuasaan terpecah-pecah, elitenya tercerai-berai, dan ideologi agama dan sekuler diperebutkan. Kedai kopi, tempat seseorang dapat berwicara langsung dengan siapa pun dan terlibat dalam percakapan terbuka, menjadi simbol budaya baru.

Kedai kopi diserang oleh kaum konservatif agama dan politikus justru karena konotasi progresif mereka. Sultan Murad IV, yang naik takhta pada 1623 tatkala masih di bawah umur, mengalami kesulitan besar membangun otoritasnya, dan melembagakan rezim yang sangat reaksioner lengkap dengan jaringan intel yang membuntuti kedai kopi-kedai kopi dan mendengarkan pelbagai gosip di sana.  Pada 1633, setelah kebakaran hebat yang membumihanguskan lima distrik di Istanbul, dan diduga penyebabnya adalah lelatu api rokok tembakau di sebuah kedai kopi, Murad menitahkan  penutupan semua kedai kopi seperti itu di kota. Titah itu kemudian dikirim ke kota-kota lain di bawah kekuasaan Turki, seperti kotamadya Eyüp,mewajibkan bahwa, dengan kedatangan titah ini, orang-orang dikirim untuk memusnahkan tungku kopi apa pun yang ada di zona yang anda kelola, dan bahwa mulai sekarang tidak ada seorang pun yang boleh membukanya. Mulai sekarang siapa pun yang membuka kedai kopi harus digantung di pintu depannya.

Meskipun penggunaan tembakau, diperkenalkan ke Turki pada pergantian abad ketujuh belas, tampaknya telah menjadi target utama, atau dalih, bagi Murad (dia terkenal telah menguntit kota itu dengan menyamar di malam hari, menyusun peraturan ringkas bagi pelanggar hukum), masalah bagi pemilik kedai kopi, seperti yang ditunjukkan oleh seorang pasha, adalah di kedai kopi, pemiliknya tidak menjual tembakau untuk memaksakan pelanggan kedainya, banyak dari mereka adalah prajurit, yang tidak merokok; para pengunjung itulah yang membawa tembakau sendiri di sakunya, ia mengeluarkannya dan merokok. Karena (perokok) memiliki hak istimewa dari pemegang kantor negara, pemilik kedai kopi dan penduduk kota lainnya tidak dapat melarangnya.

Larangan kedai kopi di Istanbul masih diberlakukan pada pertengahan 1650-an, meskipun di luar tembok kota, kedai kopi tetaplah banyak yang berjualan, seperti yang mungkin terus mereka lakukan di wilayah kekhalifahan tersebut selama periode ini. Pada kuartal terakhir abad ketujuh belas, kedai kopi-kedai kopi juga muncul kembali di Istanbul, dan para pelancong ke wilayah Turki berkomentar perihal sentralitas kedai kopi di lokasi-lokasi, termasuk pasar jalanan Kairo, rute karavan melalui Semenanjung Arab, dan taman-taman umum Istanbul.

Penyebaran kopi di seluruh dunia Islam menciptakan jaringan perdagangan jarak jauh nan kompleks yang menyatu di Kairo, dari mana kopi itu diteruskan ke seluruh Kekhalifahan Turki, dan akhirnya ke Eropa. Awalnya, kopi liar dari Etiopia ini dikeringkan dan dikirim dari Zeila (kini di Somalia utara di perbatasan dengan Djibouti). Di sini kopi akan ditambahkan ke kargo rempah-rempah yang berasal dari India dan Zanzibar dan Kepulauan Maluku, mengangkutnya ke Laut Merah dan diturunkan di pelabuhan melayani daerah-daerah di mana kopi telah diadopsi. Kargo kopi pertama yang disebutkan datang pada 1497, sebagai bagian dari pengiriman rempah-rempah pedagang dari Tur di ujung selatan semenanjung Sinai.

Etiopia tetap menjadi satu-satunya pemasok kopi sampai tahun 1540-an, tetapi kombinasi dari meningkatnya permintaan dan pasokan yang tidak dapat diandalkan karena konflik antara Kristen di utara kekaisaran Afrika dan muslim Afrika di selatan, menyebabkan kopi dibudidayakan di dataran tinggi pedalaman Yaman, antara dataran pantai Tihama dan ibu kota Sana’a. Benih-benih kopi itu berasal dari varietas kacang kecil yang ditemukan liar di Etiopia yang ditanam oleh petani, di samping tanaman subsisten di petak tanah milik keluarga mereka. Inilah kebun kopi pertama di dunia. Wilayah ini tetap menjadi satu-satunya pusat produksi kopi komersial selama hampir dua abad.  rumah-rumah semen bercat putih di desa-desa muncul di seluruh pegunungan, dikelilingi oleh perkebunan berdinding tembok batu yang diperkaya dengan tanah yang diairi oleh wadi setelah musim hujan. Pada 1700-an, daerah dataran tinggi ini mendukung populasi sekitar 1,5 juta orang.

Rantai ekonomi yang menghubungkan para produsen ini dengan konsumen akhir, seperti biasa, merupakan jaringan panjang dan terfragmentasi. Transportasi masih sangat sulit, dengan tidak lebih dari jalur bagal yang menghubungkan daerah pegunungan dengan pasar dataran rendah. Para petani akan membawa ceri kering mereka ke kota terdekat untuk menukarnya dengan barang-barang seperti kain dan garam. Kopi kemudian akan melewati berbagai makelar, sebelum berakhir di pasar grosir utama Bayt al-Faqih yang terletak di dataran pantai. Di sinilah kopi dibeli oleh pedagang dan disimpan di gudang, sebelum diangkut dengan kereta unta ke pelabuhan Al-Makha (atau dikenal sebagai Al-Mocha, Al-Mokka dan, ke Eropa, Mocha) dan Hudaydah untuk pengiriman. Sebagian besar pedagang ini adalah Banyan, anggota diaspora yang menyebar dari pelabuhan di Gujarat untuk mendominasi perdagangan di sekitar Samudera Hindia. Merekalah yang mengontrol jaringan ekonomi Yaman, sehingga memungkinkan mereka menjadi pemodal utama, dan pemrakarsa yang efektif, dari penanaman kopi.

Meskipun sifatnya terfragmentasi, perdagangan kopi menghasilkan pendapatan yang cukup besar, khususnya di antara para pemimpin tarekat Zaydi yang menuntutkan kesetiaan dari suku-suku pedalaman. Ini memudahkan perlawanan terhadap pemerintahan Turki Utsmaniah. Mereka dipaksa keluar dari Yaman tahun 1638 oleh dinasti Qasimi dari imam Zaydi, yang menyatukan negara untuk pertama kalinya dan mendapatkan kendali atas Zeila, sehingga memberi mereka monopoli yang efektif atas pasokan kopi dunia dari Yaman dan Etiopia. Kacang dari kedua tempat inilah yang kemudian dikenal dalam perdagangan sebagai ’Mocha’, karena ia diekspor berbarengan dari pelabuhan yang sama.

Keberhasilan pemberontakan Zaydi menyebabkan reorganisasi perdagangan Laut Merah. Kopi yang ditakdirkan untuk dikonsumsi di dalam kekhalifahan diangkut oleh perahu dhow dari Hudaydah ke Jedah. Kamar dagang didirikan sebagai usaha resmi oleh Turki, yang menggunakan pendapatan yang dihasilkan untuk membiayai tempat-tempat suci Islam. Kapal-kapal yang membawa sereal dari Suez dikembalikan dengan komoditas kopi untuk Kairo. Di sini para pedagang kota, yang telah mulai berdagang kopi secara teratur sejak 1560-an, akan mengirimkannya ke pusat-pusat kerajaan utama di Mediterania, seperti Salonika, Istanbul, dan Tunis. Setelah 1650-an, kopi dikirim ke Alexandria, tempat kopi itu diperoleh oleh para pedagang Marseille yang mengontrol akses ke pelabuhan-pelabuhan Eropa barat.

Sementara itu Mocha bertindak sebagai pelabuhan utama ke seluruh dunia yang mengonsumsi kopi–terutama tanah-tanah Islam di sekitar Teluk Persia, Laut Arab, dan Samudera Hindia. Sebagai hasilnya, Mocha juga menjadi perusahaan terkemuka untuk perdagangan India di seluruh Laut Merah. British East India Company (Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Britania) membuka sebuah depo di sana pada awal 1618 untuk mendapatkan saham dalam perdagangan, meneruskan pengiriman dari apa yang secara beragam digambarkan sebagai ‘cowa’,’cowhe’, ‘cowha’, ‘cohoo’, ‘couha’, dan kopi ke perusahaan (makelar kopi) di Persia dan Moghul India, lebih dari tigapuluh tahun sebelum kopi tersedia di Inggris. Meskipun perusahaan-perusahaan Eropa berhasil mengalihkan sebagian besar perdagangan rempah-rempah ke tangan mereka sendiri selama abad ketujuh belas, tatkala pertukaran antara Eropa dan Indocina meningkat, kopi sebagian besar tetap terkonsentrasi di dalam jaringan perdagangan muslim.

Bagian dari masalah bagi orang Eropa adalah kelanjutan dari ketidakpastian pasokan kopi. Struktur pertanian di dataran tinggi Yaman menyulitkan petani untuk merespons permintaan pasar. Jean de la Roque–seorang penulis, pelancong, dan putra pedagang yang memperkenalkan kopi ke Marseille–menulis laporan tentang dua ekspedisi perdagangan ke Mocha dari pelabuhan Breton St Malo, pada 1709 dan 1711. Dia menganggit, bahwa butuh enam bulan untuk mengisi kapal dengan angkutan kopi. Meskipun orang-orang Prancis menggunakan tengkulak Banyan, yang upayanya untuk memperoleh biji kopi atas nama mereka menaikkan harga di Bayt al-Faqih.

Para pedagang Belanda yang mereka temui juga mengaku membutuhkan waktu setahun untuk mendapatkan kargo dalam satu perjalanan. Pada 1720-an, pengiriman kopi Laut Merah telah mencapai 12.000–15.000 ton per tahun–efektifnya pasokan dunia. Kapasitas itu sebagian besar bersifat tetap, tidak berubah selama seratus tahun ke depan, meskipun tahun 1840 pengiriman kopi tidak lebih dari 3 persen dari produksi dunia. Mengingat hal ihwal ini, tidak mengherankan bahwa, ketika mereka semakin mengadopsi kopi sebagai minuman, orang Eropa berusaha untuk mendirikan pusat budidaya alternatif.

Setelah 1720-an, Belanda beralih ke Parahyangan (Jawa) dan Prancis ke Karibia, sehingga pembelian mereka dari Mocha dan Alexandria, masing-masing, merosot. Ini dikompensasi oleh peningkatan pembelian oleh Inggris dan Amerika. Pendapatan dari perdagangan kopi masih sedemikian rupa sehingga Muhammad Ali, penguasa ekspansionis Mesir, berusaha menaklukkan Yaman untuk mengendalikannya. Perihal ini menyebabkan Inggris merebut Aden pada 1839, melindungi pengaruhnya di wilayah tersebut, dan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas pada 1850. Tidak adanya bea cukai dan keberadaan dermaga air dan fasilitas pergudangan membuat Aden menyalip Mocha sebagai wilayah pelabuhan kopi utama. Saat ini, daerah pelabuhan Mocha menampung armada penangkap ikan kecil dan banyak reruntuhan, dan didekati melalui saluran berlumpur, yang diduga merupakan konsekuensi dari kapal-kapal Amerika abad ke-19 yang menggunakan pemberat mereka sebelum mengambil kopi di atas kapal.

Penyebab utama penurunan dalam ekonomi kopi Laut Merah adalah perubahan selera di antara konsumen muslim yang begitu banyak. Kini, komoditas teh dari India dan Iran pada awal abad ke-19 yang memiliki dampak paling dramatis, karena pasar-pasar tradisional Timur ini kehilangan kopi. Di Mesir, teh kemungkinan adalah minuman yang lebih populer, terbuat dari tanaman yang dibudidayakan di dalam negeri. Bagian dari program Kemal Ataturk untuk modernisasi/sekulerisasi Turki selama paruh pertama abad kedua puluh adalah mengubahnya menjadi negara peminum teh, menggantikan minuman yang dibuat dari produk lokal untuk impor yang mahal. Diperlukan kedatangan rantai kopi Barat untuk merangsang kebangkitan budaya kedai kopi Turki.

Sebaliknya, satu-satunya negara tempat ekonomi kopi berkembang selama dua abad terakhir adalah Etiopia. Selama abad kesembilan belas yang terakhir, Kaisar Menelik yang masyhur menggunakan pendapatan ekspor kopi untuk membeli senjata api, guna mengalahkan Italia di Adowa pada 1896, menjaga posisi Etiopia sebagai satu-satunya negara Afrika merdeka setelah pemisahan benua. Serta kopi ‘liar’ dari kerajaan Oromo barat daya, seperti Sidamo, Kaffa, dan Jimmah (mungkin diproduksi oleh para petani untuk memenuhi permintaan kerajaan sebagai upeti), perkebunan anyar didirikan di dekat wilayah timur Harar menggunakan kultivar Kopi Arabika yang telah berevolusi di daerah berkembang di seluruh dunia. Kacang yang lebih besar ini dikenal sebagai Mocha Longberry, untuk membedakan mereka dari ‘Mocha’ asli Yaman (dan Etiopia).

Dan, Orang Kristen Koptik di utara mulai menanam dan mengonsumsi kopi. Haile Selassie muda mengandalkan pendapatan kopi untuk memaksakan otoritasnya pada 1930-an. Namun dia, tidak dapat mencegah pendudukan Fasis Italia, yang warisan budayanya termasuk kedai kopi espresso dari Addis Ababa dan Asmara. Dan, Etiopia tetap menjadi salah satu dari sedikit negara berkembang yang juga mengonsumsi sebagian besar (sekitar 50 persen) dari hasil panennya sendiri.

Sekadar bacaan:

Armanios, Febe, & Boğaç Ergene. Halal Food: A History. Oxford University Press. 2018.

Ellis, Markman. The Coffee House: A Cultural History. Phoenix. 2005.

Fregulia, Jeanette M. A Rich and Tantalizing Brew: A History of How Coffee Connected the World. University of Arkansas Press. 2019.

McCook, Stuart George. Coffee is not Forever: A Global History of the Coffee Leaf Rust. Ohio University Press. 2019.

Morris, Jonathan. Coffee: A Global History. Reaktion Books. 2018.

Pendergrast, Mark. Uncommon Grounds: The History of Coffee and How It Transformed Our World.  (Revised Edition). Basic Books. 2019.