AKHLAQ DAN KETELADANAN
Pepatah klasik berikut ini sudah sangat populer di tengah masyarakat. Bahkan makna dibalik kata itu sekalipun. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Pepatah itu biasa dipakai untuk menunjukkan bahwa kelakuan anak tak jauh berbeda dari orangtuanya. Jika anaknya berhasil menjadi dokter karena orangtuanya seorang dokter maka hal itu tak mengherankan lagi. Atau sebaliknya jika bapaknya maling maka ketika anaknya tertangkap basah karena maling tentu orang tak akan heran juga.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya secara fakta memang begitu, lihat saja buah rambutan, dukuh, mangga, jambu, jeruk, bila jatuh selalu berada di bawah atau sekitar pohon. Peribahasa yang satu ini memang cocok jika dikaitkan bagi orang-orang yang sukses di zamannya. Namun pertanyaannya kemudian bagaimana bila ditemukan buah jatuh tenyata jauh dari pohon yang dimaksud, misalnya karena dibawa burung, kampret atau codot. Sebab logika seperti itu biasanya akan ditanyakan oleh anak-anak zaman sekarang. Artinya, peribahasa ini tidak bisa dijadikan patokan secara mutlak. Faktor gen (keturunan) sebenarnya bukan satu-satunya penyebab orang itu menjadi baik atau buruk. Bagaimana mungkin, bila berlaku mutlak, nasib anak-anak seorang koruptor, pelaku kriminal, perampok dan sebagainya, apakah juga harus menjadi seperti orang tuanya yang bertindak melanggar hukum dan menyeleweng tersebut.
Tentu saja tidak serta merta berlaku demikian, selain faktor gen itu masih ada faktor pendidikan dan ketauladanan yang mempengaruhi tabiat seseorang akan menjadi baik atau buruk nantinya. Pendidikan bagi anak yang baik adalah pendidikan yang dapat membentuk karakter seorang anak tidak saja pintar tapi juga memiliki sifat dan akhlak yang baik. Kesadaran dan keinginan seseorang untuk menghindar dari sifat-sifat yang buruk menuju kebaikan, harus dimulai dari diri sendiri yang kuat melalui proses pendidikan yang diterimanya.
Seperti halnya ketauladanan orangtua yang ditanamkan kepada anak-anaknya, seharusnya dengan memberikan contoh perangai dan perilaku yang baik dan mendidik. Bila tidak, anak-anak akan merasa kehilangan panutan sehingga hidupnya pun akan terombang-ambing tidak teratur dan terarah. Disinilah faktor ketauladanan orangtua ternyata memiliki arti penting bagi generasi penerusnya. Nah, berbuat baiklah sejak sekarang agar kelak mempunyai keturunan yang baik pula.
Pendidikan Akhlak
Pendidikan memang penting dalam kehidupan seseorang, tanpa proses pendidikan niscaya seseorang tidak akan memiliki pengetahuan yang komprehensip. Bahkan cita-cita tinggi seseorang tak akan bisa diraih tanpa melalui jenjang pendidikan yang memadai. Begitu pula, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu merespons tantangan zaman dan mampu memberikan solusi atas berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsanya.
Dewasa ini, bangsa Indonesia tengah menghadapi berbagai krisis dan persoalan yang cukup kompleks, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri sendiri. Fenomena ini patut diprihatini, betapa tidak sedikit anak-anak muda sebagai generasi penerus bangsa jadi korban dari friksi dampak globalisasi dan dekadensi moral yang terus menggerus arus kehidupan di negeri ini. Mampukah konsep pendidikan yang telah dijalankan saat ini dapat membendung berbagai kemerosotan yang terjadi? Jawaban atas pertanyaan kritis tersebut, perlu sebuah kajian evaluatif dan rekonstruktif tentang pendidikan yang diterapkan selama ini.
Meskipun sebenarnya dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, telah dinyatakan dengan jelas fungsi pendidikan iu. Yakni “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi yang ada pada peserta didik, disamping itu terdapat tujuan lain yakni agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Menyelisik undang-undang tersebut, jika difahami secara mendalam cukup memberikan ruang bagi terciptanya bangsa yang beradab, bermartabat dan bermoral tinggi tentunya. Namun pada kenyataannya justru masih banyak kelakuan dan tindakan yang bertentangan dengan moralitas dan martabat yang diidamkan. Jika demikian, lalu dimana letak kesalahannya? Lagi-lagi apakah karena sistemnya, methodik didaktiknya, praktek penerapannya, atau memang karakter anak didiknya?
Karena itu pendidikan akhlak sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan UU Sisdiknas tersebut, senantiasa perlu direvitalisasi dan diterapkan secara terintegrasi di tiap-tiap satuan pendidikan di semua tingakatan. Praktek pendidikan yang mengedepankan akhlakul karimah sepantasnya mendapat perhatian lebih oleh berbagai pihak baik pendidik dan pengajar, civitas akademik, termasuk orang tua serta masyarakat pada umumnya.
Pendidikan akhlak sangat dipengaruhi oleh perilaku orang yang mendidik, selain menyampaikan teori seorang guru harus mengajarkan sikap yang baik kepada muridnya. Terutama dalam menyampaikan ajaran agama harus dengan penerapannya, serta memberikan contoh baik dan tindakan nyata.
Dalam Al-Qur’an dapat ditemukan ayat yang mengindikasikan laku pendidikan, sebagaimana disebutkan: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka mendidik aku waktu kecil”. (Q.S. al-Isra: 24).
Pengertian ayat diatas terkandung maksud al-Tarbiyah yakni proses pengasuhan fase permulaan pertumbuhan manusia, karena anak sejak dilahirkan di dunia dalam keadaan tidak tahu apa-apa, tetapi ia sudah dibekali Allah SWT berupa potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan. Maka pendidikan anak sangat penting mengingat untuk kelangsungan perkembangannya menuju ke tahap selanjutnya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa pengertian akhlak secara etimologi dapat diartikan sebagai budi pekerti, watak dan tabiat. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun yang menurut lughot diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Sedangkan menurut al-Ghazali hakikat akhlak mencakup dua syarat. Pertama, perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan itu harus tumbuh dengan mudah tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh dan bujukan yang indah dan sebagainya.
Ketauladanan Nabi
Dasar pendidikan akhlak adalah al-Qur’an dan al-Hadits, sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Al-Qur’an sebagai dasar akhlak menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab : 21).
Syahdan ayat yang agung di atas, di setiap bulan Rabi’ul Awwal, biasanya menjadi ayat yang paling sering terdengar di corong-corong masjid. Tentu saja melalui mimbar-mimbar ceramah maulid. Para penceramah maulid juga tidak pernah lupa mengingatkan makna inti yang terkandung dalam ayat tersebut, bahwa kita sebagai ummat Muhammad wajib untuk menjadikan beliau sebagai panutan dan ikutan dalam mengamalkan agama.
Turunnya ayat di atas secara khusus ditafsirkan dengan peristiwa perang Khandaq yang sangat memberatkan kaum muslimin saat itu. Nabi dan para Sahabat benar-benar dalam keadaan susah dan lapar, sampai-sampai para Sahabat mengganjal perut dengan batu demi menahan perihnya rasa lapar. Mereka pun berkeluh kesah kepada Nabi. Nabi bahkan mengganjal perutnya dengan dua buah batu, namun justru paling gigih dan sabar. Sekali lagi ini adalah penafsiran yang bersifat khusus dari ayat tersebut, jika ditilik dari peristiwa yang melatar belakanginya. [lihat Tafsir al-Qurthubi: 14/138-139]
Masih banyak ucapan, perilaku dan kehidupan Rasulullah SAW yang dapat dijadikan contoh baik bagi umat Islam. Bahkan Nabi Muhammad SAW dilahirkan konon untuk membenahi kebobrokan akhlak umat manusia di bumi ini. Diantara keistemawaan Nabi Muhammad adalah kesabarannya, ketabahannya, keberaniannya, keadilannya, kejujurannya, kepatuhannya terhadap Allah, kemurahannya, kasih sayangnya, lemah lembutnya, dan sifat – sifat terpuji lainnya. Sebuah hadits menyebutkan yang artinya: Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah, maka ia menjawab : “Akhlak Rasulullah saw. adalah Al-Qur’an”. (HR. Ahmad).
Suri tauladan yang ada pada diri Nabi Muhammad SAW, kini sepantasnya digelorakan kembali mengingat akibat dampak globalisasi di berbagai bidang, anak-anak muda Islam telah dirasuki oleh faham dan pikiran sesat. Mereka lebih mengikuti jalan pikiran sesaat dan perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Generasi muda Islam dijejali dengan faham-faham yang salah melalui propaganda dan doktrin keagamaan Islam yang semu, sehingga muncul perangai egois serta radikal.
Selamat merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW 1439 H. Selamatkan umat Islam dari tabiat yang menyimpang. Jalankan terus dan abaikan teror bid’ah dari orang-orang yang anti-maulid. Semoga umat Islam senantiasa bisa menjadi panglima Uswatun Hasanah bagi keluarganya, masyarakat dan lingkungannya. Amin