AL QUR’AN ITU DI TURUNKAN LAFADZ BESERTA MAKNANYA

 MUSSSSSSS                   Al-Qur’an itu diturunkan, baik lafadnya dan juga maknanya (lafdzan wa ma’nan) dari Allah swt. Oleh karena dari Allah swt, maka lafadznya al-Qur’an itu adalah suci. Ada yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu diturunkan hanya maknanya saja. Kita sebagai Muslim yang baik harus mempercayai bahwa al-Qur’an itu turun baik lafadz dan maknanya. Kenapa kita harus mengatakan bahwa al-Qur’an itu tidak turun hanya maknanya saja? Karena kalau kita mengatakan bahwa al-Qur’an itu diturunkan hanya maknanya saja, maka ada implikasi yang luar biasa, salah satunya potensi terjadinya reduksi informasi dan distorsi. Sebagaimana diketahui bahwa komunikasi yang baik itu biasanya harus berada pada satu level. Kalau misalanya kita mau komunikasi kepada anak kita, maka tidak mungkin kita akan menceritakan hal-hal yang rumit-rumit, oleh karena itu kita harus sesuaikan dengan levelnya.

Digambarkan bahwaAllah swt adalah dzat yang mutlak, sedangkan manusia untuk dapat menjangku manusia amat sangatlah tidak mungkin. Manusia itu memiliki keterbatasan-keterbatasan. Kalau al-Qur’an itu diturunkan maknanya saja, lalu ada yang disuruh menterjemahkan ke dalam bahasa Arab, pasti akan mengalami reduksi. Komunikasi kepada satu level saja, terkadang bisa mengalami reduksi. Tapi, kalau kemudian ada bentuk teksnya (lafadznya), maka akan lebih jelas. Ini lho apa yang disampaikan oleh Allah swt. Makanya ada beberapa orang yang cenderung (maaf, berfikir agak liberal )mempercayai al-Qur’an itu diturunkan maknanya saja.

Kalau kita menyampaikan sesuatu dengan lisan saja, maka kemungkinan akan bisa pasti akan ada berbeda dengan kita menyampaikan dengan teks yang langsung kita tanda tangani misalnya. Dengan memahami al-Quran turun hanya maknanya saja, maka al-qur’an dapat buyar mengalami banyak distorsi. Inilah mengapa al-Quran diturunkan juga lafadznya supaya tidak ada “reduksi” informasi. Jadi yang turun kepada nabi Muhmmad adalah persis apa yang disampaikan oleh Allah swt. Ini teks-nya lagsung dari Allah swt, atau dalam bahasa ilmu al-Qur’an disebut al mutaabbad bitilawatihi yakni satu-satunya teks wahyu yang suci dimana membacanya adalah berdimensi ibadah. Dan karena kesucian wahyu dari lafadznya inilah perlunya ilmu tajwid.

Kalau yang turun itu maknanya, maka ilmu tajwid tidak penting. Karena ini dari Allah swt ilmu tajdwid menjadi sangat penting. Kalau tidak ada ilmu ini, maka orang akan membaca al-Qur’an sembarangan. Oleh karena itu, karena saking (begitu) cintanya kepada al-Qur’an kadang tidak perlu tahu maknanya al-Qur’an karena yang penting adalah tahu bahwa al-Qur’an adalah surat dari Allah swt. Paham atau tidak paham yang penting kita harus tahu bahwa al-Qur’an ini datang dari Allah swt. Makanya kadang ada orang menangis membaca al-Qur’an mesti tidak tahu maknanya karena ia tahu ini surat suci yang datang dari Allah swt. Ini merupakan pengumuman penting dari Allah swt. Karena itulah mengapa al-Qur’an itu turun juga dengan lafadznya.

Mengapa al-Qur’an itu harus turun melalui malaikat Jibril? Al-Qur’an pasti turun melalui malaikat Jibril, tidak ada satupun ayat al-Quran turun tanpa perantara malaikat Jibril. Hal ini dikarenakan dalam ilmu tauhid, tidak mungkin Allah swt mengeluarkan suaranya. Allah swt menciptakan suara , tapi tidak kemudian Allah swt itu memiliki mulut dan pendengaran sebagaimana mahluknya. Untuk bisa keluar melalui malaikat Jibril. Jadi malaikat jibrillah yang mengeluarkan lafadznya serta ada jaminan tidak tidak akan kemana-mana (bocor) dalam mengeluarkan lafadznya.

Susunan al-Qur’an berdasarakan keserasian antar ayat

Al-Qur’an disusun memang tidak sesuai dengan turunnya ayat. Kalau dalam perspektif ilmu al-Qur’an disebutkan bahwa al-Qur’an turun berdasarkan kejadian saat itu (ala khasabil al-waqaai’). Kejadianya saat perang, maka turun ayat perang, sedang damai maka turun ayat damai. Namun demikian begitu al-Qur’an akan dibukukan, maka ia disusun berdasarakan keserasian satu ayat satu dengan ayat yang lain (al khasabil munasabah). Itulah mengapa surat al Fatekhah, surat al-Baqoroh diletakkan pada surat yang pertama karena pertimbangan keserasian ayat ini. Surat al-Fatehah dianggap sebagai pembuka dan dalam perspektif tafsir semua kandungan al-Qur’an ada di dalam surat al-Fatehah, ada ibadahnya, ada muammalahnya, dan seterusnya. Jadi itulah mengapa al-Qur’an diletakkan pertama. Lebih detail kita dapat membaca buku atau bertanya bertanya langsung kepada Prof. Quraish Shihab karena disertasinya beliau berbicara mengenai munasabat ayat ini.

Jadi al-Qur’an turun sesuai dengan keadaan masyarakat atau perilaku masyarakat serta kondisi apa yang kemudian menuntut turunnya ayat. Akan tetapi kemudian disusun ulang berdasarakan keserasian antara ayat satu dengan lainnya. Ilmu untuk mempelajari keserasian antara ayat satu dengan lainnya dalam ulumul al-Qur’an disebut sebagai ilmu munasabat. Contohnya adalah surat al-Ikhlas dan surat an Nash yang turun di Mekkah, akan tetapi justeru ditelakkan di belakang. Bisa dibayangkan baru membaca surat al-Baqarah yang panjang lalu membaca surat yang pendek-pendek. Dan itu perintah, bukan dari para sahabat akan tetapi dari nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah riwayat disampaikan, setiap kali turun ayat Nabi Muhammad memerintahkan Zaid bin Tsabit (dikenal sebagai sekertaris) untuk menulis ayat al-Qur’an yang baru turun tersebut. Letakkan ayat ini pada bagian ini dan seterusnya.

Argument yang memahami al-Qur’an turun maknanya saja

Apa argument dan alasan bagi mereka yang cenderung berpendapat bahwa al-Qur’an itu turun hanya maknanya saja? Dalam salah satu surat al-Qur’an disebutkan “Nazalat bihi ruhul amin ala qalbika litakuna minal mundzirin”. Al-Qur’an turun dibawa oleh malaikat Jibril kepada nabi Muhammad, ala qalbika, yaitu hati kamu Muhammad. Kalau sesuatu itu turun kepada hati, kira-kira bersifat makna atau kata-kata? Tentu saja bukan kata, tapi makna. Oleh karena itu, dari ayat inilah, maka orang dapat saja menyimpulan bahwa al-Qur’an itu turun hanya maknanya saja karena lewat hati. Akan tetapi memahami al-Qur’an itu haruslah komprehensif, tidak bisa sepotong-sepotong ayat saja, kita harus melihat penjelasan pada ayat al-Qur’an yang lainnya. Yaitu laa tuharrik bihi lisanaka lita’jala bih..Inna jam’ahu wa qur’anah. Kata Malaikat jibril, Hai Muhammad kalau kamu sedang mendapatkan wahyu mulut kamu jangan bergerak-gerak (takut kelupaan). Kata malaikat jibril saya akan kasih kamu wahyu nanti “pokoknya beres”, ndak bakal lupa. Kenapa bibir nabi Muhammad bergerak-gerak, karena takut tidak hafal mengikuti kata-kata yang sedang masuk. Masak orang sedang diturunkan wahyu di hatinya terus mulutnya bergerak, kan tidak konsentrasi. Kalau kamu dapat wahyu, maka tenang dulu saja. Merespon kekahawatiran nabi Muhammad tersebut, Allah menjanjikan akan mengumpulkannya “ Inna jama’ahu.. dan di ayat yang lain disebutkan. Sanuqriuka fala tansa.. Pertanyanya adalah apa yang dibaca? Tentu saja lafadz.

Kenapa harus ada qalbika? Sekali lagi kalau ada dua orang di alam yang berbeda maka tentu saja tidak bisa bertemu. Manusia itu berada di alam dhohir, satunya adalah alam ghaib. Oleh karena itu, ada dua kemungkinan manusianya ke alam sana atau yang dari alam ghaib menuju ke alam kita. Lalu bagaimana caranya biar ketemu dengan Nabi Muhammad?

Pertama kali Nabi Muhammad mendapatkan wahyu, Malaikat Jibril yang mendatangi nabi Muhammad di gua Hiro’, saat itu digambarkan bagaimana jism malaikat jibril yang memenuhi goa karena malaikatnya yang turun sebagaimana dijelaskan di salah satu hadith Imam Bukhari. Tapi, di kemudian hari justeru nabi Muhammad yang pergi ke alam-nya malaikat Jibril (yang ghaib ini). Ini kan sesungguhnya masalah level peningkatan spiritual saja. Artinya ndak mungkin nabi Muhammad belum apa-apa langsung melakukan perjalanan ke alam ghaib ini. Jadi pertama malaikat Jibril yang turun, karena lama-lama nabi Muhammad sudah kuat maka nabi Muhammad yang datang ke Malaikat Jibril.

Dalam riwayat yang sama oleh Bukhari Muslim, disebutkan bahwa nabi Muhammad ketika mendapatkan wahyu itu langsung “gembrobyos” (berkeringat banyak). Kaki saya, kata Ibnu Mas’ud seperti mau patah tertindih sangkeng begitu beratnya mendapatkan wahyu melalui malaikat Jibril ini. Tapi, kalau dilihat malaikat jibrilnya ndak ada, jadi ketika itu nabi Muhammad seketika itu tidak sadar. Inilah kalau ditangan para orientalis yang tidak suka dengan Islam, Nabi Muhammad dianggap sedang penyakit ayanen. Mereka tidak paham dan mengimani bahwa nabi Muhammad sedang menerima wahtu. Orang ayanan setelahnya tambah gila, tapai kalau dapat wahyu maka akan bertambah alim.

Pada saat nabi Muhammad sedang gembrobos, kira-kira ruhnya kemana? Kalau fisiknya Nabi Muhammad tetap saja berada di tempat. Inilah yang kemudian dijawab “Nazalat bihi ruhul amin ala qalbika litakuna minal mundzirin”. Oleh karena itu disebut ala qabika, karena Nabi Muhammadlah yang pergi menghadap Malaikat ruhnya, sehingga disebut ala qalbika. Ini sekali lagi bukan berarti tidak ada lafadznya, akan tetapi alamnya saja yang berbeda sehingga perlu medium yang bernama hati.

Teks sama tapi kenapa penafsirannya berbeda?

Dalam studi ulumul qur’an itu memang ada perbedaan penafsiran. Pada zaman Nabi Muhammad saja ada perbedaan dalam menterjemahkan teks dan perintah Nabi Muhammad SAW, apalagi sekarang ini. Contohnya adalah peristiwa tayamum, nabi mengatakan kalau kamu tidak mendapatkan air maka tayamum saja. Para sahabat itu kan, Imanya sangat tinggi, atau lebih dulu imannya dari pada ilmunya, oleh karena itu karena belum tahu bagaimana caranya bertayamum, langsung saja guling-guling di padang pasir. Lalu ditanyai oleh Nabi Muhammad SAW, kamu sedang apa? Saya sedang junub ya Rasuluallah. Lalu, Rasualuallah tersenyum, bukan begitu caranya. Untung saat itu ada Rasuluallah, kalau tidak bias menjadi rujukan atau tafsiran cara guling-guling seperti itu sekarang ini.

Memang al-Qur’an itu sendiri, kata Ali, khamalatul aujah, yakni memiliki beberapa wajah. Sehingga dalam ilmu tafsir dikatakan, orang tidak dapat dikatakan sebagai ahli tafsir kalau belum mengetahu berbagai wajah atau makna al-Qur’an. Kalau tahu asal terjemahan saja itu mah bukan mufassir, ya namanya penerjemah. Jadi mufassirin itu dapat mengetahui, ini ayat dapat bermakna lebih dari satu macam.

Contohnya adalah ayat aulaamastumu nisa’. Kata Imam Abu Hanifah, wudhu itu tidak batal dengan bersentuhan perempuan. Akan batal jika laamastumu nisa’ itu diartikan sebagai mengumpuli (bersetubuh), jadi kalau sekedar salaman ya tidak apa-apa. Kata Imam syafii lamasa, itu memegang, bahkan syafiiyah yang lain lebih ketat yaitu menyentuh atau kesenggol saja sudah batal.

Kata nabi Muhammad, Ikhtilafu ummati rakhmati, tentu cara mensikapi perbedaan itu harus dengan yang baik. Nabi Muhmmad selesai dari perang Khandaq, ada kelompok Yahudi yang khianat yaitu bani Khaibar, kata nabi” Selesai perang ini kita langsung ke Khaibar (membuat perhitungan di sana), jangan sampai ada yang shalat Ashar sampai tiba di Khaibar”. Yang namanya rombongan, ada yang jalannya pelan-pelan dan ada pula yang berjalan cepat, lalu belum sampai di Khaibar sudah mau masuk waktu maghrib. Maka ada dua pendapat; ada yang penting mengikuti perintah nabi Muhammad, qodho shalat ndak apa-apa. Dan ada pula yang kemudian shalat Asar di tengah perjalanan, karena memahami perintah nabi dengan penterjemahan yang berbeda. Sampai akhirnya keduanya datang kepada nabi Muhammad, “ya nabi kami ini khilaf dan menceritakan perbedaan pendapat yang terjadi”. Lalu nabi tersenyum-senyumn saja. Ada yang kemudian memakai qiyas dan ada model sahabat kelompok pertama yang imannya lebih duluan.. Jadi nabi itu ketawa saja, tidak marah.

Imam malik berkaidah “Kullu yukkhodu wa yuroddu illa nabi Muhammad SAW”. Artinya segala sesuatu bisa diterima (diambil) atau ditolak kecuali dari nabi Muhammad SAW. Ibnu Abbas itu menghalalkan nikah Mut’ah, wa idzas tamta’tum ila ajalin.. Tapi, Ibn Abbas sendirian tidak banyak yang mengikutinya. Tapi, apa dengan demikian Ibn Abbas itu dijuluki Muslim liberal, ya tidak. Karena kita tahu bahwa Ibn Abbas itu dijuluki para sahabat sebagai tarajummah al-Qur’an, ahli dalam menafsiri al-qur’an., itu pun memiliki pendapat yang nyeleneh. Itulah, manusia akan selalu ada perbedaannya. Jadi jika ada berpendapat yang berbeda tinggal kita teliti saja, bisa mengambil atau menolaknya tentu melalui pertimbangan ilmu yang matang.