ANTARA YANG BERTAQWA DAN YANG DURHAKA
Dalam Al Fushulul Ilmiyah, Habib Abdullah bin Alwi Al-Hadad menerangkan sebuah pasal ihwal manusia yang bertaqwa dan berdosa. Berikut kalam beliau.
Segala sesuatu akan menjadi baik apabila disertai takwa dan ihsan: Kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas dan sempurna. Disebutkan dalam hadits Nabi SAW, ”Ihsan ialah beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya. Dan jika yang demikian itu tidak mungkin, sadarilah bahwa Dia melihatmu”.
Hal ini berlaku atas semua ihwal yang bergantian pada diri manusia seperti dalam keadaan miskin dan kaya, sehat dan sakit, mulia dan hina, terlupakan dan diabaikan atau dikenal dan dipuja-puja, dan seterusnya. Demikian pula, segala sesuatu dari ihwal manusia akan menjadi buruk dan hambar apabila disertai perbuatan-perbuatan dosa dan kejahatan. Berikut beberapa penjelasan yang dapat direnungkan.
Pertama, seorang yang selalu bertakwa dan berihsan apabila ditimpa kemiskinan, hubungannya dengan Allah SWT menjadi semakin baik karena selalu diliputi oleh berbagai suasana yang mulia, seperti kerelaan, qana’ah, kesabaran, wara’, dan ketidakbergantungan kepada orang lain. Ia pun akan beroleh berbagai karunia Allah SWT, yang disebut luthf atau althaf ilahiyyah (Lutfh : Kelembutan dan kasih sayang. Yang dimaksud dengan Lutfh Illahi atau Althaf Illahiyah ialah kasih sayang Illahi yang menjaga seseorang dari terperosok dalam dosa-dosa, atau tertimpa berbagai bencana, atau merendam dampak bencana yang telah menimpa.”) seperti keridhaan, kedekatan kepada-Nya, pertolongan-Nya, dan peneguhan dari-Nya berupa ketabahan hati, kesabaran diri, ketahanan jiwa, dan sebagainya. Begitu juga dalam hubungannya dengan sesama manusia; ia selalu berhasil menyembunyikan penderitaannya dan tampak ceria di hadapan mereka. Dari mereka pun terdengar puji-pujian terhadapnya, dalam kemiskinannya, bahwasanya Allah SWT telah mengarahkannya ke jalan orang-orang yang baik dan tulus, yakni para wali-Nya (Orang yang benar-benar beriman dan bertakwa sehingga sangat akrab hubungan timbal baliknya dengan Allah SWT, selalu mendekatkan diri kepada-Nya sehingga Dia pun melimpahkan anugerah-anugerahnya secara lahir dan batin) serta orang-orang pilihan-Nya.
Namun, sekiranya kemiskinan seperti ini menimpa orang fajir (orang yang durhaka) yang bergelimang dalam dosa, niscaya ia menyebabkannya selalu dalam keadaan resah, cemas, dan marah. Melihat kekayaan orang lain, dalam dirinya timbul ketamakan dan perdambaan yang berlebih-lebihan untuk memperoleh seperti itu. Orang seperti ini niscaya memperoleh hukuman Allah SWT berupa kemurkaan, kebencian, dan pencegahan dari bantuan, kesabaran, dan pertolongan-Nya. Sementara itu, dalam hubungannya dengan sesama manusia, ia pasti akan dicemooh dan diperolok dengan kemiskinan dan penderitaannya. Lidah-lidah mereka tak henti-hentinya mengucapkan kata-kata celaan karena ia tidak becus dalam ikhtiar untuk dirinya dan kurang giat dalam upaya mendatangkan Iffah (mempertahankan kehormatan diri dari meminta-minta, pengekangan hawa nafsu, dan menjauh dari perbuatan rendah) dan kecukupan untuk dirinya, bahkan mereka akan menyatakan bahwa Allah SWT telah menghukumnya dengan kemiskinannya itu akibat keberagamaannya yang kurang kuat dan kebaikannya yang sedikit.
Kedua, selama manusia dalam keadaan bertakwa dan berihsan, lalu Allah SWT menganugerahkan kekayaan kepadanya dan meluaskan rezeki baginya, maka sifat-sifat yang meliputinya dalam hubungannya dengan Allah ialah bersyukur kepada-Nya dan sangat menghargai nikmat-Nya. Ia selalu menggunakan nikmat sebagai sarana ketaatan kepada-Nya, membelanjakan hartanya dalam berbagai bidang kebajikan, dan berbuat baik untuk siapa saja yang dekat maupun jauh. Ia pun akan beroleh perlakuan baik dari Allah, yakni keridhaan, kecintaan, dan pertolongan-Nya yang berupa tambahan kekayaan dan kelapangan rezeki. Demikian pula lidah-lidah manusia tak henti-hentinya mengucapkan puji-pujian kepadanya karena amal-amal kebaikan yang selalu diperbuatnya dan mereka selalu mendoakan baginya agar memperoleh tambahan kekayaan, kelapangan, dan sebagainya.
Namun, apabila ia tergolong ahli penyelewengan dan kejahatan, sedangkan ia memiliki harta dan kekayaan dunia, niscaya ia akan diliputi hasrat menumpuk-numpuk harta, menggenggamnya karena kebakhilan, kurangnya sifat wara’ dan kuatnya dorongan kerakusan dan sifat-sifat buruk lainnya. Dalam hubungannya dengan Allah SWT, ia akan beroleh kemurkaan dan kebencian-Nya. Lidah-lidah manusia pun tak henti-hentinya mengucapkan celaan terhadapnya disebabkan sedikitnya kebajikan yang bersumber padanya, kebiasaannya melanggar janji, tidak berpegang pada kejujuran, dan menolak memberikan santunan serta berbuat ihsan dan lain sebagainya.
Ketiga, apabila seorang ahli takwa dan ihsan diliputi kesehatan dan keselamatan, ia akan bersyukur kepada Allah SWT, bersungguh-sungguh dalam mencari keridhaan-Nya, dan menggunakan kesehatan dan kekuatannya itu dalam ketaatan kepada-Nya. Ia pun akan beroleh balasan dari Allah SWT berupa keridhaan dan kemuliaan. Demikian pula lidah-lidah manusia terus-menerus menunjukan pujian-pujian kepadanya atas amal-amal salehnya serta kesungguhannya dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Keempat, apabila orang seperti itu—yakni ahli takwa dan ihsan—menderita sakit, ia tetap ridha, sabar, pasrah terhadap kehendak Allah, hanya mengharapkan pertolongan dari-Nya, tidak resah dan tidak berkeluh kesah atau mengadukan halnya kepada siapa pun selain kepada Allah Taala. Allah SWT niscaya melimpahkan kepadanya ridha dan inayah-Nya, memberinya pertolongan dan kekuatan agar merasa tenang dan tenteram, dan lain sebagainya. Lidah-lidah manusia pun mengucapkan pujian dan kekaguman bahwa Allah mengirim penyakit ini kepadanya semata-mata untuk menjadi kaffarah (Suatu pembayaran atau perbuatan untuk menghapus kesalahan atau dosa. Penyakit yang diterima dengan sabar oleh seorang mukmin dapat menghapus dosa-dosanya dan menyucikannya kembali) dosa, penambah pahala, dan peninggi derajatnya.
Kelima, seseorang yang tergolong manusia durhaka dan buruk perilakunya apabila berada dalam keadaan sehat dan sentosa, ia akan bersikap angkuh, tak segan-segan melanggar hak orang lain, malas melaksanakan ketaatan kepada Tuhannya dan sering kali menggunakan kekuatan serta kekuasaannya dalam penyimpangan dan perbuatan maksiat. Allah SWT pasti murka kepadanya dan menjauhkannya dan rahmat-Nya. Demikian pula lidah-lidah manusia tak henti-hentinya mencelanya atas pelanggaran, keangkuhan, serta perbuatan-perbuatannya yang dibenci Allah SWT.
Keenam, apabila orang seperti ini (si durhaka) menderita sakit atau ditimpa bencana, ia akan bersikap marah, putus asa, resah, selalu menggerutu, tak mau menerima ketetapan Allah, serta selalu dikuasai oleh sifat-sifat yang buruk. Jika sudah demikian halnya, Allah SWT akan memperlakukannya dengan kebencian dan pengusiran dari rahmat-Nya. Masyarakat sekitar pun tak segan-segan menunjukkan celaan dan kecaman kepadanya dengan menyatakan bahwa Allah SWT. “menghukumnya dengan penyakit dan bencana disebabkan pembangkangannya, kezalimannya, serta banyaknya dosa dan kejahatan yang dilakukannya”.
Perhatikan hal-hal seperti itu dan jadikanlah sebagai pelajaran, baik dalam kejayaan atau kehinaan, ketika menjadi terkenal ataupun dilupakan orang, dalam kesempitan atau kemakmuran, dan seterusnya yang berkenaan dengan ihwal manusia yang bergantian. Anda akan mengetahui dan menyadari bahwa hanya takwa dan perbuatan ihsan saja yang akan memperindah ihwal manusia, dan dengan itu pula segala keadaannya akan menjadi baik dan lurus. Dan, bahwasanya perbuatan pelanggaran dan kejahatan akan membuat buruk dan tercelanya keadaan manusia serta mendatangkan cercaan dan kecaman orang lain di samping kemurkaan dan kebencian Allah. Perhatikan masalah ini dengan baik. Sebab, ia mengandung berbagai ilmu yang amat penting serta menyimpan solusi berbagai persoalan yang rumit. Sekiranya kami meneruskan pembahasan ini, niscaya ia akan menjadi panjang sekali. Dengan peringatan yang sedikit ini, kami berharap bisa mencukupi siapa saja yang mau menggunakan akalnya dengan kesadaran yang tinggi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.