AGAMA AKAN HANCUR KALAU ORANG YANG BODOH BERDEBAT AL-QUR’AN

Bolehkah beragama tanpa mazhab? Jawab: tidak boleh.

Memang ada orang yang beragama terkesan tidak bermazhab, tapi sejatinya mereka bermazhab. Hanya saja mereka tidak mampu menjelaskan ke-bermazhaban-nya karena tidak pernah ngaji (belajar) secara serius soal rincian ilmiah cara beragama. Mereka shalat pakai mazhab, puasa pakai mazhab, haji pakai mazhab, dan seterusnya. Ketika ditanya ikut mazhab siapa, mereka tidak bisa menjawab. Inilah yang disebut sebagai orang awam dalam ilmu-ilmu agama.

Salahkah mereka? Tidak.

Selama menjalankan semua itu untuk diri sendiri, maka mereka tidak bersalah. Meski demikian, seharusnya setiap muslim tahu dari siapa (imam mazhab) dia mengambil ilmu urusan agamanya; mengikuti mazhab siapa. Muslim model ini adalah sebagian besar. Muslim model begini tidak boleh jadi seperti ustadz, kiai, ulama, atau tokoh agama. Karena, untuk menjadi tokoh agama yang dijadikan rujukan oleh masyakarat, orang harus mengerti soal bermazhab dalam beragama.

Tokoh agama harus dapat menjelaskan dengan rinci soal metodologi dan dasar-dasar bermazhab. Jika tidak, sebaiknya jadi pendengar saja, jangan ceramah. Mazhab dalam Islam dibangun berdasarkan akumulasi pemikiran dari generasi ke generasi. Dimulai dari guru utamanya, yaitu Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabi‘in, tabi‘it tabiin, ulama mazhab dan seterusnya, sampai generasi sekarang ini. Jadi, tidak bisa anda beragama kemudian mengaku guru anda adalah Nabi dan para sahabatnya secara langsung. Apalagi kemudian ceramah ke sana ke mari.

Para ulama sepakat akan pentingnya bermazhab dalam beragama. Sebagian mereka bahkan menganggap beragama tanpa bermazhab adalah kemungkaran. Dalam Kitab Aqdul Jayyid fi Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid, hal. 14, Syah Waliyullah ad-Dahlawi al-Hanafi (w. 1176 H.) menyatakan, “Ketahuilah bahwa bermazhab (pada salah satu dari empat mazhab) adalah kebaikan yang besar. Meninggalkan mazhab adalah kerusakan (mafsadah) yang fatal.”

Pernyataannya ini didasari oleh beberapa alasan:

1. Semua ulama sepakat bahwa untuk mengetahui syariat harus berpegang teguh pada pendapat generasi salaf (Nabi dan sahabat). Generasi tabi‘in berpegang teguh pada para sahabat. Generasi tabi‘it tabi‘in berpegang teguh pada para tabi‘in. Demikian seterusnya: setiap generasi (ulama) berpegang teguh pada generasi sebelumnya. Ini masuk akal karena syariat tidak dapat diketahui kecuali dengan jalan menukil (naql) dan berpikir menggali hukum (istinbath). Tradisi menukil (naql) tidak bisa dilakukan kecuali satu generasi (ulama) menukil dari generasi sebelumnya (ittishal). Dalam berpikir mencari keputusan hukum (istinbath), mereka tidak bisa mengabaikan mazhab-mazhab yang sudah ada sebelumya. Ilmu-ilmu seperti nahwu, sharf, dan lain-lain tidak akan dapat dipahami jika tidak memahaminya melalui ahlinya.

2. Rasulullah SAW bersabda, “Ikutilah golongan yang paling besar (as-sawād al-a‘zham).” Setelah aku mempelajari berbagai mazhab yang benar, saya menemukan bahwa empat mazhab adalah golongan yang paling besar. Mengikuti empat mazhab berarti mengikut golongan paling besar.

3. Karena zaman telah jauh dari masa awal Islam, maka banyak ulama palsu yang terlalu berani berfatwa tanpa didasari kemampuan menggali hukum dengan baik dan benar.

Banyak amanat keilmuan yang ditinggalkan oleh mereka, dan mereka berani mengutip pendapat generasi salaf tanpa dipikirkan. Mereka mengutipnya lebih didasari oleh hawa nafsu belaka. Ayat-ayat Al-Quran dan As-Sunnah langsung dirujuk. Sementara mereka tidak memiliki otoritas keilmuan untuk istinbath. Mereka terlalu jauh dibanding para ulama yang benar-benar memiliki otoritas keilmuan dan selalu berpegang teguh pada amanat ilmiah. Kenyataan ini persis dengan apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab, “Islam akan hancur oleh perdebatan orang-orang yang bodoh terhadap Al-Qur‘an.” Ibnu Mas‘ud AS juga berkata, “Jika kamu ingin mengikuti, ikutilah orang (ulama) terdahulu (yang memegang teguh amanah ilmu pengetahuan).”

Wallahu alam.

PENJELASAN SEMAKIN PANJANG JENGGOT MAKA SEMAKIN BODOH DAN AHLI HADITS TERNYATA MENGIKUTI MADZHAB

180_B.TIF

Semakin Panjang Jenggotnya Semakin Bodoh Otaknya

كلّما طالت اللحية، تكوسج العقل

“Saat jenggot panjang, otak jadi pendek.”

Kutipan “jenggot panjang, otak pendek” itu tertulis dalam salah satu kitab diwan Imam al-Syafii (ada beragam kitab diwan yang mengumpulkan kalimat hikmah Imam al-Syafii).

Namun, sumber primer kutipan itu adalah al-Wafi bi al-Wafayat (tepatnya di jilid kedua halaman ke-123), kitab-biografi 29 jilid yang ditulis lebih dari enam ratus tahun lalu oleh ulama-penulis Sunni bernama Shalahuddin al-Shafadi.

Dari al-Wafi bi al-Wafayat itulah diketahui kata-kata di atas dinisbahkan kepada Imam al-Syafii.

Disisipkan di bagian biografi Imam al-Syafii.

Apa maksud pernyataan itu?

Entahlah.

Di kitabitu tidak ada penjelasan maksud dan konteks yang menyertai kata-kata itu.

Kata-kata itu berdiri sendiri.

Shalahuddin al-Shafadi hanya mengutip begitu saja.

Hanya Imam Syafii sendiri yang tahu.

Kita hanya bisa menafsirkan.

Sekitar 250 tahun sebelum al-Shafadi, Imam al-Ghazali telah terlebih dahulu menukil kutipan serupa dalam kitab Ihya Ulumiddin pada bab Asrar al-Thaharah. Tepat di atas pasal al-Lihyah (Jenggot).

كلما طالت اللحية تشمر العقل

“Saat jenggot panjang, otak jadi berkurang.”

Kata-kata yang dikutip Imam al-Ghazali itu bermakna sama dengan kata-kata Imam Syafii.

Hanya berbeda di satu kata saja.تكوسج  dan تشمر.

Beda kata, maksudnya sama.

Bagusnya, Imam al-Ghazali mengutip nukilan itu dalam konteks tertentu.

Sehingga sedikit-banyak membantu memahami maksud ungkapan itu

Imam al-Ghazali mengutip kata-kata itu untuk konteks “ukuran panjang jenggot” bahwa “ukuran panjang jenggot sebaiknya sedang-sedang saja”, bahwa “jika Anda memelihara jenggot, sebaiknya dirawat”, bahwa “jenggot yang panjangnya keterlaluan bisa merusak penampilan, dan digunjing orang-orang”.

Imam Ghazali mengutip kata-kata Imam an-Nakha’i:

 “Aku heran kepada orang berakal yang jenggotnya panjang.

Kenapa dia tidak memotong jenggotnya; jangan biarkan terlalu panjang, namun juga jangan dipotong terlalu pendek.

Sedang-sedang saja dalam segala sesuatu itu bagus.”

(Panjang ideal jenggot adalah segenggaman.

Atau, yang penting proporsional dengan wajah).

Nah, setelah mengutip perkataan Imam Nakhai itu, Imam Ghazali melanjutkan dengan kutipan itu:

“Saat jenggot panjang, otak jadi berkurang.”

Jadi, apa makna “jenggot panjang, otak berkurang” dalam konteks kutipan Imam al-Ghazali?

Orang yang jenggotnya panjang, apalagi tidak terawat, tidak punya banyak kecerdasan dalam berpenampilan?

Orang yang jenggotnya panjang tidak punya banyak kecerdasan untuk tahu bahwa yang sedang-sedang saja itu lebih baik?

Atau seperti apa?

Atau, mungkin, secara filosofis, Anda menafsirkan sendiri kata kata-kata Imam al-Syafii atau kutipan yang dinukil Imam al-Ghazali di atas dengan melepaskannya dari konteks—biar mudah.

Misal, jenggot adalah tanda umur.

Semakin berumur, jenggot seseorang semakin cepat tumbuh atau semakin lebat.

Artinya, semakin berumur, seseorang semestinya bisa lebih bijaksana dan mengedepankan nurani—tanpa meninggalkan rasio.

Atau, “jenggot panjang, otak berkurang” artinya semakin tua, kemampuan otak seseorang semakin turun.

Menjadi tua, seseorang bisa jadi pikun. Sesuatu yang alamiah.

Atau, terserah Anda, seperti apa.

Atau, jika mau mendengar penjelasan (klarifikasi) Kiai Said Aqil soal jenggot dan otak, silakan cek di YouTube sana.

Cari aja.

Penjelasan filosofis Kiai Said bisa jadi alternatif untuk memahami maksud “jenggot panjang, otak pendek”.

Yang jelas, menurut saya, kata-kata Imam as-Syafii atau kutipan yang dinukil Imam al-Ghazali di atas (atau pernyataan Kiai Said) bukan ungkapan negatif untuk memojokkan kaum berjenggot.

Konon, Imam al-Syafii sendiri memiliki jenggot yang bagus dan terawat.

Masa, orang berjenggot mengucapkan kata-kata negatif perihal kejenggotannya?

Tapi, bagaimana menafsirkan kutipan sangat eksplisit yang dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam karyanya yang berjudul Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin (Kabar Tentang Orang-Orang Dungu dan Goblok) ini?

الحمق سماد اللحية فمن طالت لحيته كثر حمقه

“Goblok itu pupuk untuk jenggot.

Orang yang makin panjang jenggotnya berarti gobloknya makin banyak.”

Jenggot Spiritual

Bertebaran riwayat perintah Rasulullah agar para sahabat melebatkan jenggot (dan menipiskan kumis).

Di antara tebaran riwayat itu, anjuran untuk melebatkan jenggot dan menipiskan kumis merupakan “politik identitas” kala itu agar kaum muslim membedakan diri dari kaum Majusi yang identitas mereka dikenali dari wajah klimis tanpa jenggot.

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ

“Bedakan diri kalian dari kaum musyrik; lebatkan jenggot kalian dan potong kumis kalian [yang melebihi bibir]”

(HR: al-Bukhari).

“Kaum musyrik” dalam hadis di atas adalah kaum Majusi.

Hadis riwayat Muslim menegaskannya.

جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ

“Potong kumis kalian [yang melebihi bibir], panjangkan jenggot kalian; bedakan diri kalian dari kaum Majusi.”

Bagaimana dengan konteks zaman n̶o̶w̶ sekarang saat “politik identitas” dalam jenggot tersebut barangkali tidak lagi relevan?

Pola pikir seperti apa sehingga perkara jenggot tetap baik dilakukan meski konteks anjuran berjenggot tidak ada lagi?

(Maksudnya, tentu saja nganu sekali jika Anda memelihara jenggot dan memotong kumis dengan alasan biar tidak menyamai kaum Majusi.

Identitas kaum Majusi saja barangkali sudah tidak diketahui.

Kan jadi tambah nganu).

Maksudnya, bagaimana kita tahu bahwa memelihara jenggot itu bisa mendatangkan pahala?

Berjenggot menjadi baik dan bernilai spiritual bukan karena jenggot an sich, melainkan karena hal-hal di luar jenggot, yaitu saat jenggot membuat Anda selalu ingat Nabi, membuat Anda semakin cinta Nabi, membuat Anda ingin selalu meneladani Nabi.

Karena niat yang baik.

Namun, bahkan niat baik Anda ikut jejak Rasulullah dalam berjenggot bisa terkotori hingga jenggot Anda tak lagi bernilai secara spiritual.

Dalam “Ihya”, Imam al-Ghazali mengingatkan kita, ada sepuluh hal yang dibenci dalam berjenggot.

Di antara sepuluh itu, dua hal sangat dibenci dan sebaiknya dihindari bagi kaum berjenggot.

Pertama, berjenggot karena ingin pamer. Imam al-Ghazali menukil kutipan,

“Ada dua syirik yang bisa tumbuh dalam jenggot: merawatnya karena ingin pamer dan membiarkannya awut-awutan karena ingin dianggap zuhud.”

Kedua, saat jenggot bikin Anda sombong.

Saat Anda, misal, merasa jenggot menaikkan tingkat keislaman Anda, lalu memandang rendah keislaman orang lain karena tak berjenggot.

Anda merasa sangat islami karena berjenggot, orang lain dianggap tak islami karena tak berjenggot.

(Perihal kesombongan, tentu saja ia tak hanya jadi godaan orang berjenggot.

Orang tak berjenggot juga bisa terjangkiti kesombongan, semisal memandang orang-orang berjenggot dengan tatapan negatif.

Sombong memang keburukan yang bisa menempel di apa dan siapa saja).

Betapa sayang Imam al-Ghazali kepada orang-orang berjenggot.

Alih-alih berpahala, beliau tak ingin berjenggot menjadi sia-sia.

Lalu, bagaimana dengan nasib orang yang secara genetik hanya dapat berjenggot tujuh lembar yang jadi …..  jika dipanjangkan?

 

Bisakah kaum seperti itu mendapatkan pahala atas ketidakberjenggotannya?

Ya bisa saja.

 

⏳ ANTARA ULAMA FIQIH (DOKTER) dengan ULAMA HADITS (APOTEKER)

(Urgensi mengetahui tahun kelahiran mereka)

Kenapa para Imam Mazhab seperti Imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafii dan imam Ahmad, tidak menggunakan hadits shahih Bukhari dan shahih Muslim yang katanya merupakan 2 kitab hadits tershohih?

Untuk tahu jawabannya, kita mesti paham sejarah. Mesti paham biografi tokoh-tokoh tersebut.

?Imam Abu Hanifah lahir tahun 80 Hijriyah,

?Imam Malik lahir tahun 93 Hijriyah,

?Imam Syafii lahir tahun 150 Hijriyah dan

?Imam Ahmad lahir tahun 164 Hijriyah.

Sementara itu

?Imam Bukhori lahir tahun 196 H,

?Imam Muslim lahir tahun 202 H,

?Imam Abu Daud lahir tahun 202 H,

?Imam Nasai lahir tahun 215 H.

Artinya

Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi) sudah ada 116 tahun sebelum Imam Bukhori lahir,

dan

Imam Malik sudah11! ada 103 tahun sebelum Imam Bukhari lahir.

“Lalu ada pertanyaan, apakah hadits para Imam Mazhab lebih lemah dari Shohih Bukhari dan Shohih Muslim?”

Jawabannya, justru sebaliknya. Hadis-hadis para imam mazhab lebih kuat dari hadits-hadits para Imam Hadits, karena para imam mazhab hidup lebih awal daripada Imam-imam Hadits.

Rosululloh SAW bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku, kemudian kurun sesudahnya (sahabat), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in).” [HR. Al-Bukhori no. 2652 dan Muslim no. 2533 ]

? Jadi kalau ada manusia zaman sekarang yang mengklaim sebagai ahli hadits, lalu menghakimi bahwa pendapat Imam-iman Mazhab adalah salah dengan menggunakan alat ukur hadits-hadits Shohih Bukhori dan Shohih Muslim, maka boleh dibilang orang itu adalah TIDAK :

❌Paham ILMU FIQIH,

❌Paham Ajaran Islam.

Jadi, meskipun menurut hadits Shohih Bukhori misalnya, bahwa sholat Nabi begini dan begitu, berbeda dengan cara sholatnya Imam Mazhab.

“Sadarilah oleh kita bahwa, para Imam Mazhab itu, seperti Imam Malik melihat langsung cara sholat puluhan ribu anak-anak sahabat Nabi di Madinah. Anak-anak sahabat ini belajar langsung ke Sahabat Nabi yang jadi bapak mereka. Jadi lebih kuat ketimbang 2-3 hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori 100 tahun kemudian. Bahkan Imam Abu Hanifah bukan hanya melihat puluhan ribu anak-anak para sahabat melainkan beliau telah berjumpa dengan para sahabat Nabi s.a.w.”

Imam Bukhori dan Imam Muslim, meski termasuk pakar hadits PALING TOP, mereka tetap bermazhab. Mereka mengikuti mazhab Imam Syafi’ie.

Berikut ini di antara para Imam Hadits yang mengikuti Mazhab Syafi’ie:

Imam Bukhori,

Imam Muslim,

Imam Abu Daud,

Imam Nasa’i,

Imam Baihaqi,

Imam Turmudzi,

Imam Ibnu Majah,

Imam Tobari,

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani,

Imam Nawawi,

Imam as-Suyuti,

Imam Ibnu Katsir,

Imam adz-Dzahabi,

Imam al-Hakim.

Lalu ada yang bertanya, lho apa kita tidak boleh mengikuti hadits Shohih Bukhori, Shohih Muslim, dsb?

Ya tentu boleh, tetapi bukan sebagai landasan utama melainkan sebagai pelengkap.

“Jika ada hadits yang bertentangan dengan ajaran Imam Mazhab, maka yang kita pakai adalah ajaran Imam Mazhab. Bukan hadits tersebut”

Kenapa seperti itu?

Karena para Imam Hadits saja seperti itu.

95% imam hadist mengikuti Mazhab imam Syafi’ie.

Tidak pakai hadits mereka sendiri? Benar. Karena keilmuan mereka masih jauh di bawah para imam mazhab.

Cukup banyak orang awam yang tersesat karena mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu

?Menurut kelompok ini Imam Mazhab yang 4 itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahi seenaknya.

 

✔Itulah fitnah kaum akhir zaman terhadap ulama salaf yang asli.

Imam Mazhab itu sebenarnya lebih faham tentang hadist dibanding imam hadist sendiri. Apa buktinya? Tidak ada Imam hadist yang berijtihad sendiri. Mereka semua bermadzhab. Apa kita berani menyalahkan imam hadist karena mereka bermadzhab?

Atau

Beranikah kita mengatakan imam hadist telah berbuat kesalahan karena bermadzhab kepada orang yang tidak faham sumber hukum Al Quran dan Hadist?

Imam Ahmad berkata, untuk menjadi mujtahid, selain hafal Al Qur’an juga harus menguasai minimal 500.000 hadits. Sedangkan hadits Shohih yang dibukukan Imam Bukhori cuma 7000-an. Sementara Imam Muslim cuma 9000-an. Nah lohhh…???

Imam malik, hanafi, syafii, hambali itu selain hafal al quran beserta tafsir dan asbabun nuzulnya, juga hafal ratusan ribu bahkan jutaan hadist plus asbabul wurudnya, serta menguasai berbagai cabang ilmu.

Itulah kenapa imam hadist-pun bermadzhab, tidak ijtihad dengan hadistnya sendiri.

Lihatlah pengelabuan, penyesatan, dan pembodohan terstruktur, sistematis dan masif ini. Masihkah kita diam?

Ayo ngaji. Guruku adalah ulama pesantren, bukan mbah google ataupun artis ceramah tv, youtube, maupun medsos lainnya.