NILAI PEKERJAAN KITA DALAM KACAMATA SYARI’AT ISLAM

       K             Sesungguhnya, setiap tindakan manusia memiliki nilai, baik maupun buruk. Setiap manusia akan dimintai pertanggunganjawaban atasnya. Itulah nilai perbuatan manusia. Nilai itu tidak dimiliki oleh hewan maupun tumbuhan. Hanya tindakan manusia yang dinilai Tuhan.

Dalam pengertian ushuliy, hukum dipahami sebagai khithab Allah yang terkait dengan tindakan-tindakan orang mukallaf (af’alul mukallafin) baik berbentuk tuntutan atau pilihan (al Ibhaj bab Hukum). Frase tindakan-tindakan mukallaf, menunjukkan kepada kita bahwa hukum terkait dengan seluruh perbuatan manusia, dari yang paling remeh hingga yang paling revolusioner. Semua ada ketentuan hukumnya. Karena itu, dalam beberapa kitab fikih, disebutkan bahwa setiap orang wajib mengetahui terlebih dahulu hukum tindakan (pekerjaan) yang akan dikerjakannya, (Tanwir al Qulub bab Muamalah).

Kata lain dari perbuatan atau tindakan adalah pekerjaan. Setiap pekejaan kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan. Dengan demikian, kita harus berhati-hati dalam pekerjaan kita. Hati-hati dalam hal ini dapat berarti luas. Ada yang bersifat ke dalam, adapula yang bersifat ke luar. Bagian pertama terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhannya. Sedang yang kedua terkait dengan diri sendiri dan sesamanya. Yang terkait dengan Tuhan, biar menjadi urusan seseorang dengan Tuhannya. Kita hanya akan membicarakan tindakan manusia yang terkait dengan sesamanya.

Suatu ketika, Rasulullah SAW. berjalan-jalan di pasar. Dalam perjalanannya itu, Rasul SAW. melihat tumpukan bahan makanan. Beliau kemudian memasukkan tangannya ke dalam kantung makanan tersebut. Dari bagian bawah kantung makanan tersebut, tangan Rasulullah merasakan basah-basah. Padahal, bagian atasnya terlihat kering dan baik. Rasulullah SAW. kemudian bertanya kepada sang penjual. “Apakah ini?” Sang penjual menjawab, “Basah-basah tersebut dikarenakan air hujan.” Rasulullah berkata, “Mengapa barang yang basah tidak kau taruh di bagian atas, agar dapat dilihat calon pembeli?” Rasulullah SAW. melanjutkan, “Barang siapa menipu (seseorang dari golongan) kami, maka ia bukan bagian dari (golongan) kami.”

Setiap orang dibekali kemampuan membedakan dalam pekerjaannya, mana yang termasuk penipuan dan mana yang bukan. Sehingga kita tahu bahwa penipuan adalah perbuatan yang disengaja. Karena, jika penipuan itu dilakukan tidak sengaja, maka tidak dinamakan penipuan. Dengan demikian, seorang manusia telah dipercaya (oleh Tuhan) untuk menjaga diri ketika bekerja. Seterusnya, ketika seseorang melakukan penipuan, maka ia telah mengkhianati dan mendustai tiga hal sekaligus; agamanya, dirinya, dan orang-orang di sekitarnya.

Bekerja bukanlah suatu hal yang hina. Namun juga tidak seharusnya ia membuat kita hina. Abu Hasan As Syadzili (1257-1195 M./656-591 H.), sufi besar dari Tunisia mengatakan, “Barang siapa bekerja dan menjaga kewajiban-kewajiban Tuhannya, maka sempurnalah proses mujahadah-nya.” Sufi besar lain, Abu Abbas Al Mursi (1219-1287 M./ 616-686 H.) mengatakan, “Jagalah hukum kausalitas (sebab-akibat) dan hendaknya seseorang menjadikan koin transaksinya sebagai tasbih, kapaknya sebagai tasbih, mesin jahitnya sebagai tasbih, dan langkah perjalanan dagangnya juga sebagai tasbih.” (al Minah as Saniah)

Abu Mawahib as Sya’rani menjelaskan bahwa manusia yang bekerja memiliki segi-segi kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia yang hanya beribadah saja dalam hidupnya. Pertama, jerih payah usahanya akan dinikmatinya sendiri. Hal ini karena ia makan dari usahanya sendiri, bukan dari pemberian (sedekah) orang lain, yang konon dianggap sebagai sesuatu yang kotor, sehingga Nabi SAW. melarang keluarganya memakan barang sedekahan.

Kedua, tidak ada kesombongan dan merasa paling pintar dan berilmu atas orang lain. Dengan demikian, dalam hal ini ia akan melihat dirinya lebih rendah, dan orang lain lebih tinggi. Rendah hati sangat dianjurkan oleh Nabi. Ingat, rendah hati, bukan rendah diri.

Ketiga, keselamatan dari kerancuan berpikir tentang Tuhan, Utusan (Rasul), dan hukum-hukum-Nya. Ia akan menjadi manusia yang hidup hanya untuk mengabdi kepada-Nya, juga orang-orang diperintah Tuhan untuk menjaganya.

Keempat, pekerjaan seseorang yang telah menghidupi banyak makhluk Allah beserta kesulitan-kesulitannya, adalah sebagian dari pelebur dosa. Nabi SAW. pernah bersabda, “Sebagian dosa, ada yang tidak dapat dilebur kecuali oleh kesulitan-kesulitan dalam mencari nafkah.” (al Minah as Saniah)

Ali al Khawwas berkata, “Bagiku, manusia yang mencari makan dengan bekerja, walaupun dari pekerjaan yang makruh, seperti tukang bekam dan petugas kebersihan, jauh lebih baik daripada seorang ahli ibadah yang mencari makan dengan agamanya, dan mendapatkan makan dengan kesalehannya.” (al Minah as Saniah) Dengan demikian, sekecil apapun tindakan, perbuatan, dan pekerjaan kita, sangat bernilai bukan? Tentunya hal ini juga harus dibarengi dengah niat yang tulus dan ikhlas.