BAHWA ORANG TUA NABI ADALAH TERGOLONG AHLI SURGA

Sebagian Ibarah dan keterangan di ambil dari Ulama yang di idolakan ( ‘di klaim’) seperti Ibnu taimiyyah dan murid beliau Ibnul Qoyyim) dan ulama papan atas salafi wahabi seperti syeikh Ibnu Utsaimin. HAL INI di maksudkan agar orang yang berkeyakinan bahwa ortu Nabi saw masuk neraka tahu dan merubah keyakinanya yang salah tersebut.

Sebagaimana di ketahui bersama bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad SAW seda pada zaman fatroh.
Simak hadits berikut:

باب فيمن لم تبلغه الدعوة ممن مات في فترة وغير ذلك

عن الأسود بن سريع أن نبي الله – صلى الله عليه وسلم – قال : ” أربعة يحتجون يوم القيامة : رجل أصم لا يسمع شيئا ، ورجل أحمق ، ورجل هرم ، ورجل مات في فترة ، فأما الأصم فيقول : لقد جاء الإسلام وما أسمع شيئا ، وأما الأحمق فيقول : يا رب لقد جاء الإسلام والصبيان يخذفوني بالبعر ، وأما الهرم فيقول : يا رب لقد جاء الإسلام وما أعقل شيئا ، وأما الذي مات في فترة فيقول : ما أتاني لك رسول فيأخذ مواثيقهم ليطيعنه ، فيرسل عليهم أن ادخلوا النار ، فوالذي نفسي بيده لو دخلوها كانت عليهم بردا وسلاما “

“Ada empat golongan pada hari kiamat yang akan mengajukan hujjah :
(1) Orang tuli yang tidak dapat mendengar,
(2) orang idiot,
(3) orang yang tua renta lagi pikun, dan
(4) orang yang meninggal pada jaman fatrah.
Orang yang tuli akan berkata : ‘Wahai Rabbku, Islam datang namun aku tidak mendengar sesuatupun tentangnya’.
Orang idiot berkata : ‘Islam datang, namun anak-anak melempariku dengan kotoran hewan’.
Orang yang tua lagi pikun berkata : ‘Sungguh Islam telah datang, namun aku tidak mengerti/paham’.
Dan orang yang mati di jaman fatrah berkata : ‘Wahai Rabbku, Rasul-Mu tidak mendatangiku’. Lalu diambillah perjanjian terhadap mereka untuk diuji. Kemudian akan diutus seorang utusan (Rasul) kepada mereka untuk memasuki api. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya mereka ke dalam api itu niscaya mereka akan merasakan dingin dan selamat (dari adzab)”

Sumber :

  • Majma’ al Zawaid
  • Ahkamu Ahlu al Dzimmah – Ibn Qoyyim al Jauziyah

MESTINYA DENGAN HADITS TERSEBUT SUDAH JELAS !!!

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وهذا بخلاف ما كان يقوله بعض الناس كأبي إسحاق الإسفراييني ومن اتبعه يقولون لا نكفر إلا من يكفر فإن الكفر ليس حقا لهم بل هو حق لله وليس للإنسان أن يكذب على من يكذب عليه ولا يفعل الفاحشة بأهل من فعل الفاحشة بأهله بل ولو استكرهه رجل على اللواطة لم يكن له أن يستكرهه على ذلك ولو قتله بتجريع خمر أو تلوط به لم يجز قتله بمثل ذلك لأن هذا حرام لحق الله تعالى ولو سب النصارى نبينا لم يكن لنا أن نسبح المسيح والرافضة إذا كفروا أبا بكر وعمر فليس لنا أن نكفر عليا

“Hal ini bertentangan dengan pekataan sebagian orang seperti Abu Ishaq Al-Isfirayiiniy serta orang yang mengikuti pendapatnya, mereka mengatakan : Kami tidak mengkafirkan kecuali orang-orang mengkafirkan (kami). (Perkataan ini salah), karena takfir itu bukanlah hak mereka tapi hak Allah. Seseorang tidak boleh berdusta kepada orang yang pernah berdusta atas namanya. Tidak boleh pula ia berbuat keji (zina) dengan istri seseorang yang pernah menzinahi istrinya. Bahkan kalau ada orang yang memaksanya untuk melakukan liwath (homo sex), tidak boleh baginya untuk membalas dengan memaksanya untuk melakukan perbuatan yang sama, karena hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak Allah. Seandainya orang Nashrani mencela Nabi kita, kita tidak boleh mencela Al-Masih (‘Isa ‘alaihis-salaam). Demikian pula seandainya orang-orang Rafidlah mengkafirkan Abu Bakar dan ‘Umar, tidak boleh bagi kita untuk mengkafirkan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum ajma’iin” [Minhajus-Sunnah, 5/244 – Muassasah Qurthubah, Cet. 1 Th. 1406].

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata dalam Qashidah Nuniyyah-nya :

الكفر حق الله ثم رسوله *** بالنص يثبت لا بقول فلان
من كان رب العالمين وعبده *** قد كفراه فذاك ذو الكفران

“Kekafiran itu adalah hak Allah dan Rasul-Nya — dengan nash yang tetap bukan dengan perkataan si Fulan

Barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya —- telah mengkafirkannya maka dialah orang kafir”.

[Qashidah Nuniyyah, hal. 277; Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 2/1417, Kairo].

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pentolan ulama wahabi saja berkata :

الحكم بالتكفير والتفسيق ليس إلينا بل هو إلى الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم، فهو من الأحكام الشرعية التي مردها إلى الكتاب والسنة، فيجب التثبت فيه غاية التثبت، فلا يكفر ولا يفسق إلا من دل الكتاب والسنة على كفره أو فسقه

“Menghukumi kafir atau fasiq bukanlah hak kita, namun ia merupakan hak Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia merupakan hukum-hukum syari’ah yang harus dikembalikan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, wajib untuk menelitinya dengan seksama. Tidak boleh mengkafirkan atau memfasikkan kecuali orang-orang yang memang telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang kekafirannya atau kefasikannya” [Al-Qawaaidul-Mutslaa, hal. 87].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وليس لأحد أن يكفر أحدًا من المسلمين ـ وإن أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة، وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة‏.‏

“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin walau ia bersalah dan keliru sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa – Ibnu Taimiyyah, 12/466].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

فالتكفير يختلف بحسب اختلاف حال الشخص، فليس كل مخطئ ولا مبتدع، ولا جاهل ولا ضال، يكون كافرًا، بل ولا فاسقًا، بل ولا عاصيا

“Pengkafiran itu berbeda sesuai dengan keadaan individunya. Maka, tidak setiap orang yang bersalah, mubtadi’, jaahil, ataupun sesat otomatis menjadi kafir. Bahkan bisa jadi bukan seorang yang fasik dan bukan pula seorang yang durhaka” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/180]

Penutup, simak hadits Nabi SAW :

عن ابن عمر؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : “إذا كفر الرجل أخاه فقد باء بها أحدهما”

Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka hal itu akan kembali pada salah satu dari keduanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari].

Wallahu a’lam