MEMBID’AHKAN TASAWUF DALAM BERAGAMA

Berbagai pertanyaan, yang pada hakikatnya gugatan, terhadap dunia shufi dan tasawuf hingga kini masih terus berlangsung, dan agaknya tidak akan berhenti. Di antara pertanyaan yang seringkali diarahkan terhadap tasawuf adalah: “Bukankah dalam ajaran al-Quran, hadits-hadits dan sirah Rasul Jsendiri, terdapat sekian banyak macam pendidikan dan aneka ragam ibadah yang dapat menyucikan jiwa, membersihkan hati, memperbaiki akhlak, mengantarkan hamba kepada Tuhan dan memberi rasa kesejukan (uns) bersama Tuhan, lalu mengapa masih membutuhkan ilmu tasawuf, bukankah dengan demikian tasawuf adalah sisipan (bid’ah) terhadap Islam dan bukan termasuk bagian dari Islam?” Demikian gugatan yang tidak jarang kita dengar dari sementara kalangan.

Sebenarnya apabila gugatan di atas ini dibenarkan, maka gugatan yang sama haruslah diarahkan terhadap seluruh bidang studi ilmu keislaman termasuk ilmu al-Quran, ilmu hadits, ilmu fiqih dan lain-lain. Bukankah pada masa Rasulullah dan masa sahabat belum pernah dikenal istilah nasikh, mansukh, muhkam, mutasyabih dan lain-lain yang menjadi istilah dalam ilmu tafsir al-Quran. Belum pernah pula dikenal istilah qiyas, istihsan, mu’aradhah, munaqadhah, thardu, syarath, sabab, ‘illat dan lain-lain yang menjadi istilah dalam ilmu fiqih. Belum pernah pula dikenal istilah jarh, ta’dil, ahad, mutawatir, masyhur, shahih, hasan, dha’if, gharib dan lain-lain yang menjadi istilah dalam ilmu hadits. Belum pernah pula dikenal jenjang pendidikan tingkat dasar, tingkat menengah, tingkat atas dan perguruan tinggi, berikut gelar-gelar kesarjanaan seperti lc., magister dan doctor. Belum pernah dikenal pula ujian dengan pengajuan paper, skripsi, tesis dan disertasi. Apakah dengan demikian semua ini harus ditolak dan kita anggap sebagai bid’ah dhalalah? Pertanyaan ini kita jawab dengan tegas, bahwa semuanya bukan termasuk bid’ah dhalalah, termasuk pula ilmu tasawuf.

Dalam menanggapi gugatan bahwa tasawuf itu sisipan terhadap Islam, kiranya di sini perlu dikemukakan pandangan beberapa pakar tasawuf. Misalnya, Abdul Wahid Yahya – filosof dan shufi kontemporer – yang berpandangan bahwa tasawuf adalah bagian yang esensial dari agama Islam. Menurutnya, agama Islam akan berkurang tanpa kehadiran tasawuf. Agama akan berkurang dari aspeknya yang luhur, yaitu aspek yang berperan sentral dan fundamental. Karenanya termasuk asumsi murahan, pandangan yang mengatakan bahwa tasawuf bersumber dari ajaran yang asing dari Islam, seperti filsafat Yunani, India, Parsi dan Masehi. Pandangan ini akan berlawanan dengan istilah-istilah teknis keilmuan dalam dunia tasawuf yang kesemuanya berkaitan erat dengan bahasa Arab.

Louis Massignon berkata: “Nicholson (1868-1945 M) – orientalis dari Inggris -telah menjelaskan, bahwa pemberian keputusan bahwa tasawuf itu sisipan terhadap Islam tidaklah dapat diterima. Sebab sejak lahirnya Islam sendiri, kita dapati pandangan-pandangan yang menjadi ciri khas kalangan shufi Muslim, telah tumbuh di tengah-tengah masyarakat Islam sendiri, dari celah-celah rutinitas kaum Muslimin membaca al-Quran dan hadits, dan mempelajari al-Quran dan hadits. Mereka juga terpengaruh oleh sebagian peristiwa yang menimpa mereka dan kejadian-kejadian yang dialami individu mereka.”[1]

Imam Abu al-Muzhaffar Syahfur bin Thahir al-Asfarayini (w. 471 H/1078 M), ketika memaparkan keistimewaan Ahlussunnah Wal-Jama’ah dibandingkan dengan sekte-sekte lain seperti Khawarij, Rafidhah dan Qadariyah, memberikan penjelasan:

“Ilmu tasawuf dan isyarat serta hakikat-hakikat dan hal-hal yang mendetail yang dimiliki oleh Ahlussunnah Wal-Jama’ah, tidak dimiliki sedikit pun oleh kalangan Ahlulbid’ah. Kalangan Ahlulbid’ah terhalang dari menerima faedah tasawuf seperti ketenangan, halawah, sakinah, dan thuma’ninah.

Abu Abdirrahman al-Sulami telah menyebutkan di antara guru-guru kaum shufi hampir seribu orang. Ia telah menghimpun isyarat-isyarat dan hadits-hadits mereka. Secara umum di kalangan mereka tidak ditemukan seorang yang dinisbahkan terhadap bagian dari kelompok Qadariyah, Rafidhah dan Khawarij.”[2]

[1] Abdul Halim Mahmud, Qadhiyyat al-Tashawwuf, hal. 262.

[2] Abu al-Muzhaffar al-Asfarayini, al-Tabshir fi al-Din, hal. 117.