PERMASALAHAN YANG HARUS DI FAHAMI TENTANG IQOMAH SHOLAT

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan saat Melakukan Iqamah

Jika azan dijadikan sebagai tanda masuk waktu shalat, maka iqamah adalah tanda bahwa shalat akan segera dilakukan. Memang antara azan dan iqamah memiliki fungsi yang cukup vital sebagai tanda pelaksanaan shalat. Namun jika dibandingkan, iqamah lebih vital daripada azan. Bahkan dalam tulisan sebelumnya, dijelaskan bahwa Iqamah bisa dilakukan tanpa azan.

Oleh karena itu, mengingat iqamah adalah salah satu komponen vital sebelum melakukan shalat, perlu kiranya kita mengetahui hal-hal penting dalam iqamah.

Musthafa Dib dan Musthafa al-Bugha menyebutkan beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam iqamah.

Pertama, jumlah pelafalan kalimat-kalimat iqamah berbeda dengan azan.

Jika kalimat azan diucapkan dua kali-dua kali, maka kalimat iqamah cukup dibaca satu kali-satu kali, kecuali lafal “Qad qâmatis-shalâh.” Hal ini disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim.

أمر بلال أن يشفع الأذان، ويوتر الإقامة، إلا الإقامة – أي لفظ قد قامت الصلاة – فإنها تكرر مرتين

Artinya, “Bilal diperintahkan untuk menggenapkan azan (dibaca dua kali-dua kali) dan mengganjilkan iqamah (dibaca satu kali-satu kali), kecuali lafal “qad qâmatis shalâh.” Karena lafal tersebut dibaca berulang dua kali.” (Musthafa Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ala Mazhabi Imam as-Syafii, [Damaskus: Dar as-Syuruq, 1992 M], j.1, h. 119.)

Kedua, tidak terlalu panjang (lama) saat mengumandangkan iqamah.

Dalam azan, memang dianjurkan untuk panjang dan lama karena menunggu jamaah datang, tapi dalam iqamah dianjurkan dan lebih etis dibaca cepat.

والإسراع في الإقامة، …  لأن الإقامة للحاضرين، فكان الإسراع فيها أنسب.

Artinya, “mempercepat bacaan iqamah. Karena iqamah untuk orang-orang yang sudah hadir di tempat. Maka dari itu, mempercepat bacaan iqamah lebih etis.” (lihat: Musthafa Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ala Mazhabi Imam as-Syafii, [Damaskus: Dar as-Syuruq, 1992 M], j.1, h. 119.)

Ketiga, syarat-syarat sah iqamah sama seperti syarat sah yang terdapat dalam azan.

Dan syarat tersebut juga harus dipenuhi sebagaimana keharusan memenuhi syarat tersebut ketika azan, yaitu: Islam, tamyiz, berurutan, masuk waktu shalat dan beberapa syarat yang lain.

Keempat, sunnah-sunnah iqamah juga sama seperti sunnah-sunnah azan.

Akan tetapi dalam iqamah disunnahkan untuk dilakukan oleh orang yang melakukan azan. Juga disunnahkan bagi orang yang mendengar iqamah untuk membaca doa berikut:

أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا

Artinya, “semoga Allah menegakkan dan mengekalkan.” (lihat: Musthafa Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ala Mazhabi Imam as-Syafii, [Damaskus: Dar as-Syuruq, 1992 M], j.1, h. 119.)

Iqamah tanpa Azan Hanya Dianjurkan dalam Tiga Kondisi Ini

Ketika Rasul ﷺ melakukan haji dan mabit (menetap) di Muzdalifah, Rasulullah melakukan shalat jamak dengan satu azan dan dua iqamah. Artinya, Rasul memerintahkan sahabat untuk melakukan azan di awal shalat jama’ tersebut dan memerintahkan sahabat melakukan iqamah di setiap awal shalat.

Hal ini terekam dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dalam Sahih-nya.

جمع بين المغريب والعشاء بمزدلفة بأذان واحد وإقامتين

Artinya, “Rasulullah ﷺ menjamak shalat maghrib dan isya di Muzdalifah dengan satu azan dan dua iqamah.” (HR. Muslim)

Hadits tersebut jelas menunjukkan kebolehan melakukan iqamah tanpa diiringi azan terlebih dahulu di shalat jamak, tepatnya di shalat jamak yang kedua. Tapi, jika shalat yang dilakukan bukan shalat jamak, yakni shalat hadir, apakah diperbolehkan melakukan iqamah tanpa azan terlebih dahulu?

Menjawab hal ini, beberapa ulama mengajukan pendapat terkait dengan kebolehan melakukan iqamah saja tanpa didahului dengan azan. Namun, hal ini tidak berlaku umum. Ada beberapa kondisi tertentu yang memperbolehkan seorang muqim (orang yang mengumandangkan iqamah) melakukan iqamah tanpa didahului dengan azan.

Pertama, ketika menjamak shalat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits di atas. Yakni, melakukan azan di awal shalat jamak dan iqamah sebelum melakukan kedua shalat yang dijamak.

Kedua, ketika mengqadha beberapa shalat. Misalnya, kita terlewat dua shalat, yakni shalat subuh dan dhuhur karena tertidur, maka saat menqadha-nya kita melakukan azan dan iqmah di shalat yang pertama, dan iqamah saja tanpa azan di shalat yang kedua.

Hal ini juga berlaku jika shalat yang diqadha lebih dari dua shalat. Dasar dari pendapat ini adalah diqiyaskan dengan hadits shalat jamak yang dilakukan oleh Rasul ﷺ di Muzdalifah, sebagaimana disebutkan dalam al-Fiqh al-Manhaji ala Mazhabi Imam as-Syafii:

من كان عليه فوائت وأراد أن يقضيها أذَّن للأولى فقط، وأقام لكل صلاة، ودليل ذلك أن الني ﷺ: “جمع بين المغرب والعشاء بمزدلفة بأذان واحد وإقامتين

Artinya, “Siapa yang memiliki kewajiban mengqadha shalat yang terlewat, maka ia melakukan azan di shalat yang pertama saja, dan melakukan iqamah di setiap shalat. Dasar dari hal ini adalah bahwa Rasulullah ﷺ menjamak shalat maghrib dan isya di Muzdalifah dengan satu azan dan dua iqamah.” (lihat: Musthafa Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ala Mazhabi Imam as-Syafii, [Damaskus: Dar as-Syuruq, 1992 M], j.1, h. 119.)

Ketiga, jika semua orang sudah berkumpul dan tidak ada niatan lagi untuk memanggil para jamaah. Misalnya, sebelum masuk waktu shalat, sudah ada acara terlebih dahulu di masjid, ketika sudah masuk waktu shalat, semua orang yang hadir sudah siap melakukan shalat, maka cukup melakukan iqamah saja, tanpa azan.

Hal ini didasarkan pada perilaku Rasul ﷺ dan para sahabat ketika perang Khandaq yang terekam dalam sebuah hadits riwayat Abu Said al-Khudri:

قال: حبسنا يوم الخندق عن الصلاة، حتى كان بعد المغرب … . فدعا رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بلالا، فأمره، فأقام صلاة الظهر فصلاها، ثم أقام العصر فصلاها، ثم أقام المغرب فصلاها، ثم أقام العشاء فصلاها

Artinya, “Abu Said al-Khudri berkata, “Ketika kita terhalang untuk melakukan shalat pada saat perang Khandaq, hingga tiba saatnya waktu Maghrib… kemudian Rasulullah ﷺ memanggil Bilal dan memerintahkanya, Bilal pun melakukan iqamah untuk shalat dhuhur dan Rasul melakukan shalat dhuhur, kemudian Bilal melakukan iqamah untuk shalat ashar dan Rasul melakukan shalat ashar, lalu Bilal melakukan iqamah untuk shalat maghrib dan Rasul pun melakukan shalat maghrib, setelah itu, Bilal melakukan iqamah untuk shalat Isya  dan Rasul pun melakukan shalat isya.” (lihat Yahya al-Imrani al-Yamani, al-Bayan fi Mazhab Imam as-Syafii, [Jeddah: Dar al-Minhaj, 2000], j. 2, h. 60.)

Hadits ini bisa dilacak dalam beberapa kitab hadits muktabar, seperti Sahih Ibn Hibban, Sahih Ibn Huzaimah, Musnad Ahmad dan beberapa kitab hadits lain.

Dari hadits tersebut Imam as-Syafii dalam kaul jadid-nya berpendapat bahwa tidak disunnahkan azan, sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam al-Auzai dan Abu Ishaq dengan berlandaskan (mengqiyaskan) hadits tersebut, walaupun konteks hadits tersebut adalah shalat qadha’ karena terlewat saat perang.

Namun Abu Ishaq berpendapat, walaupun konteks pelaksanaan iqamah tersebut terjadi pada saat shalat qadha dan shalat jamak (sebagaimana dijelaskan dalam hadits pertama) tapi berlaku juga untuk shalat hadir (shalat yang dilakukan sesuai waktunya, bukan jamak dan bukan qadha).

قال أبو إسحاق: ولا فرق على هذا القول بين الفائتة، والحاضرة في وقتها، إذا صلى في موضع يرجو اجتماع الناس لها. . أذن وأقام، وإن لم يرج اجتماعًا. . أقام ولم يؤذن

Artinya, “Abu Ishaq berpendapat, “Untuk pendapat ini, tidak ada perbedaan antara shalat yang terlewat ataupun shalat tepat waktu (shalat hadir). Jika seseorang melakukan shalat di tempat yang diharapkan menusia bisa berkumpul untuk berjamaah, maka (disunnahkan) azan dan iqamah. Namun jika tidak mengharapkan berkumpulnya manusia, maka cukup iqamah saja, tanpa azan.” (lihat Yahya al-Imrani al-Yamani, al-Bayan fi Mazhab Imam as-Syafii, [Jeddah: Dar al-Minhaj, 2000], j. 2, h. 60-61.)

Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya hakikat pelaksanaan azan adalah untuk memanggil dan mengumpulkan orang untuk melakukan shalat, jika orang atau jamaahnya sudah berkumpul dan siap melaksanakan shalat, maka cukup melakukan iqamah saja.

Mendengar Iqamah saat Melaksanakan Shalat Sunnah

Iqamah merupakan penanda dekatnya pelaksanaan shalat yang dilaksanakan setelah mengumandangkan azan. Meski iqamah ini tidak hanya disunnahkan pada shalat jamaah saja (tapi juga dianjurkan dalam shalat sendirian), namun realitasnya masyarakat lebih menjadikan iqamah sebagai ikon dari shalat jamaah, terlebih shalat jamaah yang dilaksanakan di masjid dan mushalla.

Permasalahan terjadi ketika salah satu jamaah masjid atau mushalla sedang melaksanakan shalat sunnah rawatib atau tahiyyatul masjid, namun di pertengahan shalat sunnahnya, tiba-tiba iqamah berkumandang, dalam keadaan demikian apakah yang harus dilakukan oleh jamaah ini?

Dalam menjawab persoalan diatas, patut dipahami terlebih dahulu bahwa dikumandangkannya seruan iqamah, merupakan penanda larangan melaksanakan shalat lain selain shalat fardhu, hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadits:

إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ

Artinya, “Ketika iqamah sudah berkumandang, maka tidak ada shalat lain (yang dilakukan) kecuali shalat fardhu,” (HR Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadits di atas para ulama’ memberikan vonis hukum makruh bagi orang yang tetap melaksanakan shalat sunnah ketika iqamah sudah dikumandangkan, atau ketika waktu pelaksanaan iqamah hampir dilaksanakan.

Namun ketika iqamah berkumandang ketika ia sedang melaksanakan shalat sunnah, para ulama’ memberikan berbagai perincian hukum dalam menyikapi masalah demikian.

Ketika ia yakin bahwa dengan menyempurnakan shalat sunnah ia tidak akan tertinggal dari shalat jamaah, maka ia dianjurkan untuk terus menyelesaikan shalat sunnah sampai selesai dengan sedikit mempercepat agar bisa segera merapat pada shalat jamaah.

Sedangkan ketika ia khawatir akan tertinggal dari shalat jamaah ketika merampungkan shalat sunnahnya, dikarenakan bacaan imam yang terlalu cepat misalnya, maka ia dianjurkan untuk memutus shalatnya seketika itu juga, agar bisa melaksanakan shalat jamaah.

Memutus shalat dalam keadaan demikian hanya dianjurkan ketika sudah tidak bisa diharapkan lagi adanya pelaksanaan shalat jamaah yang lain. Namun ketika masih diharapkan adanya pelaksanaan jamaah yang lain, maka ia dianjurkan untuk terus menyelesaikan shalat sunnahnya sampai selesai, meskipun tertinggal jamaah  yang baru saja diiqamahi, setelah itu ia melaksanakan shalat jamaah pada gelombang selanjutnya.

Perincian ini dijelaskan dalam Kitab Fathul Mu’in:

وكره ابتداء نفل بعد شروع المقيم في الإقامة ولو بغير إذن الإمام فإن كان فيه أتمه إن لم يخش بإتمامه فوت جماعة وإلا قطعه ندبا ودخل فيها ما لم يرج جماعة أخرى

Artinya, “Dimakruhkan melaksanakan shalat Sunnah setelah seseorang telah mengumandangkan iqamah, meskipun tanpa seizin imam. Jika saat iqamah dikumandangkan seseorang terlanjur sedang melaksanakan shalat Sunnah maka ia (disunnahkan) untuk tetap menyempurnakan shalatnya ketika memang tidak dikhawatirkan kehilangan (tidak terkejar) shalat jamaah. Jika ia khawatir kehilangan shalat jamaah maka ia disunnahkan untuk memutus sholat sunnahnya dan langsung melaksanakan shalat jamaah jika memang tidak bisa diharapkan lagi adanya pelaksanaan shalat jamaah yang lain” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, juz II, halaman 15).

Umumnya yang terjadi di masyarakat, ketika iqamah sudah dikumandangkan, sedangkan ia masih melaksanakan shalat sunnah, menyelesaikan shalat sunnah ini tidak sampai menyebabkan tertinggal dari shalat jamaah, mengingat umumnya shalat sunnah adalah dua rakaat. Dengan begitu ia dianjurkan untuk merampungkan shalat sunnahnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hal yang harus dilakukan oleh orang yang sedang melaksanakan shalat sunnah saat iqamah pertanda pelaksanaan shalat jamaah sudah dikumandangkan adalah menyelesaikan shalat sunnah sampai dengan salam.

Seseorang tetap boleh untuk memutus shalat sunnah, mengingat hukum memutus shalat sunnah adalah diperbolehkan terlebih ketika ia menduga kuat akan tertinggal dan tidak mendapati shalat jamaah. Dalam keadaan ini, memutus shalat sunnah adalah hal yang dianjurkan.

Wallahu a’lam.