HUKUM SHOLAT TASBIH DAN HUKUM PELAKSANAANYA DENGAN BERJAMAAH
Menjalankan Shalat Tasbih/Tasabih (صَلاَةُ التَّسْبِيْحِ/ صَلاَةُ التَّسَابِيْحِ) hukumnya Sunnah/Mustahabb/Mandub (dianjurkan) dan dilakukan sebanyak empat rokaat, minimal sekali seumur hidup, atau sekali dalam setahun, atau sekali dalam sebulan, atau sekali dalam sepekan, atau setiap hari. Bisa dilakukan diwaktu apapun yang dikehendaki (selain waktu-waktu yang dilarang), di rumah maupun di masjid, sendirian maupun berjamaah.
Tatacaranya, pada Rokaat pertama, setelah membaca Al-Fatihah dan Surat jangan langsung Rukuk tetapi dalam keadaan berdiri sebelum rukuk terlebih dahulu membaca lafadz;
Subhanallah Walhamdulilllah Wala Ilaha Illallah Wallahuakbar
(سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَ إلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ)
sebanyak lima belas kali. Setelah itu Ruku dan membaca lafadz tersebut sebanyak sepuluh kali. Kemudian I’tidal dan membaca lafadz itu sebanyak sepuluh kali. Kemudian sujud dan membaca lafadz tersebut sebanyak sepuluh kali,. Kemudian duduk diantara dua sujud dan membaca lafadz tersebut sebanyak sepuluh kali, kemudian sujud lagi dan membaca lafadz itu sebanyak sepuluh kali, kemudian sebelum bangkit berdiri duduk sebentar sambil membaca lafadz yang telah disebutkan sebanyak sepuluh kali. Dari sini genaplah membaca lafadz Subhanallah Walhamdulilllah Wala Ilaha Illallah Wallahuakbar sebanyak tujuh puluh lima kali dalam satu rokaat. Setelah itu bangkit untuk melakukan rokaat yang kedua dan melakukan seperti yang dilakukan pada rokaat pertama. Demikian seterusnya sampai rokaat yang keempat, sehingga total lafadz yang dibaca adalah tigaratus kali dalam empat rokaaat.
Dalil yang menunjukkan sunnahnya Shalat Tasbih, waktu pelaksanaan sekaligus tatacaranya adalah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud berikut;
سنن أبى داود (4/ 59)
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرِ بْنِ الْحَكَمِ النَّيْسَابُورِيُّ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلَا أُعْطِيكَ أَلَا أَمْنَحُكَ أَلَا أَحْبُوكَ أَلَا أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ سِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Bisyr bin Hakam An Naisabury telah menceritakan kepada kami Musa bin Abdul Aziz telah menceritakan kepada kami Al Hakam bin Aban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abbas bin Abdul Mutthalib: “Wahai Abbas, wahai pamanku, sukakah paman, aku beri, aku karuniai, aku beri hadiah istimewa, aku ajari sepuluh macam kebaikan yang dapat menghapus sepuluh macam dosa? Jika paman mengerjakan hal itu, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa paman, baik yang awal dan yang akhir, baik yang telah lalu atau yang akan datang, yang di sengaja ataupun tidak, yang kecil maupun yang besar, yang samar-samar maupun yang terang-terangan. Sepuluh macam kebaikan itu ialah; “Paman mengerjakan shalat empat raka’at, dan setiap raka’at membaca AL Fatihah dan surat, apabila selesai membaca itu, dalam raka’at pertama dan masih berdiri, bacalah; “Subhanallah wal hamdulillah walaa ilaaha illallah wallahu akbar (Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada ilah selain Allah dan Allah Maha besar) ” sebanyak lima belas kali, lalu ruku’, dan dalam ruku’ membaca bacaan seperti itu sebanyak sepuluh kali, kemudian mengangkat kepala dari ruku’ (i’tidal) juga membaca seperti itu sebanyak sepuluh kali, lalu sujud juga membaca sepuluh kali, setelah itu mengangkat kepala dari sujud (duduk di antara dua sujud) juga membaca sepuluh kali, lalu sujud juga membaca sepuluh kali, kemudian mengangkat kepala dan membaca sepuluh kali, jadi jumlahnya ada tujuh puluh lama kali dalam setiap raka’at, dan lakukanlah dalam empat raka’at. jika paman sanggup mengerjakannya sekali dalam sehari, kerjakanlah. Jika tidak mampu, kerjakanlah setiap jum’at, jika tidak mampu, kerjakanlah setiap bulan, jika tidak mampu, kerjakanlah setiap tahun sekali. Dan jika masih tidak mampu, kerjakanlah sekali dalam seumur hidup.” (H.R.Abu Dawud)
Abdurrahman bin Bisyr bin Al-Hakam An-Naisabury yang menjadi salah satu perawi hadis diatas adalah perawi yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim, sehingga status ketsiqohannya (kredibilitasnya) tidak diragukan lagi. Al-Hakam bin Aban juga dipakai Bukhari dalam Juz Al-Qiro’ah Kholfa Al-Imam. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah juga memakainya dalam Sunan mereka. Ad-Dzahabi menilainya Tsiqoh, Shohibu As-Sunnah (kredibel, ahli hadis). Yusuf bin Ya’qub ketika ditanya Ibnu ‘Uyainah tentang Al-Hakam bin Aban beliau menjawab “Dzaka Sayyiduna” (itulah pemuka kami). Ibnu Hajar menilainya sebagai orang yang jujur dan ahli ibadah namun memiliki sejumlah Auham (cacat hafalan). ‘Ikrimah termasuk perawi yang di pakai Bukhari dan diantara murid menonjol Ibnu Abbas sehingga kredibilitasnya bisa dipercaya. Ibnu ‘Abbas adalah seorang Shahabat Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan semua Shahabat dihukumi adil tanpa perlu diselidiki kredibilitasnya.
Adapun Musa bin Abdul Aziz yang dinilai Majhul (tidak dikenal) oleh sebagian ulama sampai-sampai hadis ini dinilai sebagai hadis Maudhu’ (palsu), maka statemen ini terlalu berlebihan dan Ibnu Hajar telah memberikan sanggahan yang cukup bagus dalam Kitabnya Ma’rifatu Al-Khishol Al-Mukaffiroh Li Ad-Dzunub (معرفة الخصال المكفرة للذنوب). Menurut Ibnu Hajar, Majhul menurut salaah seorang Imam tidak bermakna Majhul bagi Imam yang lain karena pada kasus Musa bin Abdul Aziz ini Imam An-Nasai dan Ibnu Ma’in telah mentsiqohkannya (menilainya sebagai perawi yang kredibel). Bukhari telah memakai Musa bin Abdul Aziz dalam kitabnya yaitu Al-Qiro’ah Kholfa Al-Imam dan Al-Adab Al-Mufrod. Ibnu Al-Mulaqqin mensifatinya sebagai Ahadu Al-‘Ubbad (salah seorang ahli Ibadah). Az-Zarkasyi juga menegaskan kesalahan yang berpendapat bahwa hadis ini Maudhu’ karena faktor Musa bin Abdul ‘Aziz.
Memang benar Musa bin Abdul Aziz memiliki tingkat kedhabitan (ketelitian) dibawah perawi-perawi yang hafalannya kuat sehingga disifati sebagian Ahli hadis dengan istilah “Sayyiul Hifdhi” (buruk hafalannya) dan “Lahu Auham” (memiliki sejumlah cacat hafalan), namun hal ini belum cukup menjadi alasan untuk menolak Musa bin Abdul ‘Aziz. An-Nasai dan Ibnu Ma’in yang dikenal cukup ketat dalam menilai perawi telah menegaskan bahwa Musa bin Abdul Aziz termasuk perawi Tsiqoh yang bisa dipercaya. Ibnu Hajar sendiri karena faktor kedhabitan Musa bin Abdul Aziz yang berada dibawah perawi-perawi Tsiqoh dan Tafarrud (bersendirian)nya beliau dalam riwayat ini, awalnya menilai hadis tentang shalat Tasbih adalah riwayat lemah, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitabnya At-Talkhish Al-Habir. Namun setelah beliau menemukan banyak Syawahid dan Tawabi’ (riwayat-riwayat penguat) terhadap hadis Shalat Tasbih ini, maka beliau berbalik menguatkannya sebagaimana tampak dalam kitabnya Ma’rifatu Al-Khishol Al-Mukaffiroh Li Ad-Dzunub. Ringkasnya, Ibnu Hajar menilainya sebagai hadis Hasan dengan ditemukannya banyak Syawahid dan Tawabi’ setelah pernah menilainya sebagai hadis Dhoif.
Selain riwayat dari jalur Ibnu Abbas dalam hadis ini, ada pula riwayat lain dari jalur Anas bin Malik, Abdullah bin Umar,Abdullah bin ‘Amr, Al-‘Abbas, Ja’far bin Abi Thalib, Al-Anshori, dan Abu Rofi’. Namun semua riwayat dari jalur-jalur ini tidak ada yang selamat dari kritikan sanad, sehingga riwayat yang dipandang paling baik kondisinya adalah riwayat Ibnu Abbas ini.
Adapun riwayat bahwa Imam Ahmad menyatakan bahwa beliau tidak menemukan satu hadis shahihpun tentang shalat Tasbih, maka Ibnu Hajar telah menjawabnya. Menurut Ibnu Hajar, tidak ditemukannya hadis Shahih tidak bermakna semua riwayat Dhoif, karena masih mungkin ada yang Hasan. Lagipula, ada riwayat yang mengesankan Imam Ahmad telah mengubah pendapatnya yakni ketika beliau diberitahu bahwa Al-Mustamirr bin Ar-Royyan meriwayatkan hadis tentang Shalat Tasbih, beliau berkomentar “Huwa Syaikhun Tsiqoh” (beliau adalah Syekh yang kredibel). Sebuah komentar yang seakan-akan mencerminkan ketakjuban terhadap adanya riwayat tentang Shalat Tasbih yang diriwayatkan perawi Tsiqoh.
Adapun informasi bahwa sebagian ahli hadis meragukan keshahihan hadis ini dengan statemen “in Shohha Al-khobar” (jika riwayat ini shahih), maka hal ini tidak menunjukkan bahwa hadis tentang shalat Tasbih ini Dhoif, tetapi hanya menunjukkan diperlukannya lagi penelitian lebih mendalam untuk menentukan statusnya. Ibnu Hajar, telah selesai melakukannya dan hasil penelitian beliau, hadis tentang shalat Tasbih telah mencapai derajat Hasan.
Sejumlah ulama pakar hadis tercatat memandang hadis Shalat Tasbih termasuk riwayat yang bisa diterima sebagai Hujjah. Diantara mereka adalah; Abu Bakr Al-Ajurri, Abdurrahim Al-Mishri, Al-Bulqini, Al-‘Ala-i, Az-Zarkasyi, Ibnu Mandah. Al-Khathib, As-Sam’ani, Abu Musa Al-Madini, Abu Al-Hasan bin Al-Mufaddhol, Al-Mundziri, Ibnu As-Sholah, As-Subki, Ad-Dailami, Ibnu As-Sakan dan Ibnu Al-Mulaqqin. Al-Albani menyatakan dengan tegas bahwa hadis riwayat Abu dawud ini adalah hadis Shahih. Abu Dawud, Muslim bin Al-Hajjaj, dan an-Nawawi mungkin juga ditafsiri termasuk menerima meskipun statemen mereka masih memungkinkan ditafsiri lain.
Sejumlah ulama juga diketahui secara khusus mengarang kitab tersendiri yang membahas Shalat Tasbih diantara mereka adalah; Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi dalam kitabnya “At-Tarjih li Haditsi Sholati At-Tasabih” (الترجيح لحديث صلاة التسابيح), Abu Musa Al-Ashbahani dalam kitabnya “Tash-hihu Sholati At-Tasbih Min Al-Hujaj Al-Wadhihah Wa Al-Kalam Al-Fashih ” (تصحيح صلاة التسبيح من الحجج الواضحة والكلام الفصيح), As-Suyuthi dalam kitabnya “Tash-hihu Haditsi Sholati At-Tasbih ” (تصحيح حديث صلاة التسبيح), Ibnu Thulun dalam kitabnya “At-Tausyih Li Bayani Sholati At-Tasbih (التوشيح لبيان صلاة التسبيح), Al-Ghumari dalam kitabnya “At-Tarjih Li Qouli Man Shoh-haha Sholata At-Tasbih ” (الترجيح لقول من صحح صلاة التسبيح), As-Saqqof dalam kitabnya “Al-Qoulu Al-Jami’ An-Najih Fi Ahkami Sholati At-Tasbih ” (القول الجامع النجيح في أحكام صلاة التسبيح), syaikh Jasim dalam kitabnya ” At-Tanqih Lima Ja-a Fi Sholati At-Tasbih” (التنقيح لما جاء في صلاة التسبيح), Muhammad Ahmad Syah-hatah dalam kitabnya “Daqo-iq At-Taudhih Bibayani Ahwali Ruwati Sholati At-Tasbih” (دقائق التوضيح ببيان أحوال رواة صلاة التسابيح) yang diringkas menjadi “At-Tashrih Bidho’fi Ahaditsi Sholati At-Tasbih” (التصريح بضعف أحاديث صلاة التسابيح), dan Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya “At-Tausyih Li Bayani Sholati At-Tasbih” (التوشيح لبيان صلاة التسبيح). Termasuk pula Ad-Daruquthni, Al-Khothib Al-Baghdadi, As-Sam’ani, As-Subki, dan Al-Barzanji.
Atas dasar ini Shalat Tasbih dengan segenap tata cara yang diterangkan dalam Nash hukumnya Sunnah karena didasarkan pada Nash yang bisa diterima sebagai Hujjah. Ibnu Al-Mulaqqin menukil riwayat dalam kitabnya Al-Badru Al-Munir bahwa Ibnu Abbas dan Abdullah bin Al-Mubarok termasuk yang membiasakan mengamalkan shalat ini.
Shalat Tasbih berjama’ah
Berikut pendapat ulama mengenai hukum shalat Tasbih berjama’ah, yaitu :
1.Berkata al-Kurdy r.m. di dalam Fatawa:
“Shalat Tasbih tidak termasuk shalat yang disunat berjama’ah. Menurut mazhab Syafi’i, shalat sunat yang disyari’at berjama’ah maka disunatkan berjama’ah dan diberikan pahala karenanya dan yang tidak disyari’atkan jama’ah maka tidak disunatkan berjama’ah dan tidak mendapatkan pahala jama’ah karena tidak disyari’atkan berjama’ah tetapi pahala shalat sunat tetap ada dan tidak gugur sesuatupun. Jama’ah tersebut juga tidak makruh. Karena tidak didapati dalam mazhab syafi’i shalat sunat yang makruh berjama’ah sebagaimana yang telah ditetapkan, bahkan apabila diniatkan berjama’ah tersebut untuk mengajarkan orang awam maka itu termasuk cahaya atas cahaya”.
Selanjutnya beliau menjelaskan apabila dikuatirkan dengan melaksanakan shalat tasbih berjama’ah muncul i,tiqad orang awam bahwa shalat tasbih disunatkan berjama’ah, ketika itu tidak jauh, maka dibenarkan pengingkarannya, bahkan wajib atas pihak yang berwenang. 1
2.Berkata al-Imam Abdullah bin Husen baafaqiih dan Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madny :
“Dimubahkan berjama’ah pada umpama shalat Witir dan Tasbih, maka tidak dimakruhkan dan dan tidak ada pahala pada demikian. Namun apabila diniatkan mengajar orang yang shalat dan menggemarkan mereka, maka baginya berpahala” 2
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa shalat tasbih tidak termasuk shalat sunat berjama’ah. Namun demikian pelaksanaan shalat tasbih dengan cara berjama’ah untuk mengajarkan atau menggemarkan orang awam melaksanakan shalat tasbih dapat dibenarkan. Tindakan yang sama dengan ini, dapat juga dilihat pada tindakan Sayidina Abbas r.a yang menjiharkan fatihah pada shalat jenazah, padahal shalat jenazah termasuk shalat yang tidak sunnah menjiharkannya. Tindakan Saiyidina Abbas tersebut adalah untuk memberitahu kepada orang awam bahwa membaca fatihah adalah termasuk sunnah, sebagaimana tersebut dalam riwayat berikut :
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَى جَنَازَةٍ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ قَالَ لِيَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ
Artinya : Dari Thalhah bin Abdullah bin Auf, beliau berkata : “Aku shalat jenazah dibelakang Ibnu Abbas r.a. Beliau membaca fatihah kitab. Kemudian berkata : “Supaya mereka mengetahui sesungguhnya bacaan tersebut adalah sunnah”. (H.R. Bukhari)3
Yang dimaksud dengan membaca fatihah tersebut adalah dengan menjiharkannya, karena disebutkan “membaca fatihah”, gunanya untuk memberitahukan bahwa membaca fatihah adalah sunnah. Kalau tidak dibaca dengan jihar, tentunya perkataan “supaya mereka mengetahui” tidak bermakna. Memaknai membaca fatihah pada hadits di atas dengan cara jihar juga disebut oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitab Fathul Barri4. Dua hadits riwayat Hakim di bawah ini menjadi penguat dalam memaknai membaca fatihah pada hadits di atas dengan membaca secara jihar, yaitu :
1.Syarruhubail berkata :
حضرت عبد الله بن عباس صلى بنا على جنازة بالأبواء وكبر ثم قرأ بأم القرآن رافعا صوته بها ثم صلى على النبي صلى الله عليه وسلم ثم قال : اللهم عبدك وابن عبدك وابن أمتك يشهد أن لا إله إلا أنت وحدك لا شريك لك ويشهد أن محمدا عبدك ورسولك أصبح فقيرا إلى رحمتك وأصبحت غنيا عن عذابه يخلى من الدنيا وأهلها إن كان زاكيا فزكه وإن كان مخطئا فاغفر له اللهم لا تحرمنا أجره ولا تضلنا بعده ثم كبر ثلاث تكبيرات ثن انصرف فقال : أيها الناس إني لم أقرأ عليها إلا لتعلموا أنها السنة
Artinya : Aku hadir bersama Abdullah bin Abbas melakukan shalat atas jenazah dengan kami di Abuwa’. Beliau bertakbir kemudian membaca ummul qur’an dengan mengangkat suaranya dan kemudian bershalawat kepada Nabi SAW. Kemudian beliau mengatakan : “Allahumma ‘abdaka wa ibnu ‘abdika wa ibnu ummatika yasyhadu anlaa ilaha illa anta wahdaka laa syarika laka wa yasyhadu anna muhammadan ‘abduka warasuluka ashbaha faqiran ila rahmatika wa ashbahtu ghaniyan ‘an ‘azabihi yakhli minaddunya wa ahlihi in kana zakiyan fa zakkihi wa inkana mukhthi-an faghfir lahu. Allahumma la tahrimna ajrahu wa la tazhlilna ba’dahu. Kemudian melakukan takbir tiga kali lalu beliau berpaling dan berkata : “Hai manusia !. Seseungguhnya aku tidak membaca ummul qur’an kecuali supaya kalian mengetahui sesungguhnya ummul qur’an itu adalah sunnah.” H.R.Hakim)5
2. Sa’id bin Abi Sa’id berkata :
صلى بنا ابن عباس على جنازة فجهر بالحمد لله ثم قال : إنما جهرت لتعلموا أنها سنة هذا حديث صحيح على شرط مسلم
Artinya : Kami melakukan shalat jenazah bersama Ibnu Abbas. Beliau membaca alhamdulillah secara jihar. Kemudian beliau berkata : “hanya saja aku menjiharkannya adalah supaya kalian mengetahui sesungguhnya hal itu adalah sunnah. Berkata Hakim : “Ini adalah hadits shahih atas syarat Muslim”. (H.R. Hakim) 6
Umar juga pernah menjihar doa iftitah shalat beliau karena ingin mengajarkannya kepada manusia sebagaimana disebut dalam hadits di bawah ini :
عن عبدة أن عمر بن الخطاب كان يجهر بهؤلاء الكلمات يقول : سبحانك اللهم وبحمدك تبارك اسمك وتعالى جدك ولا إله غيرك
Artinya : Dari ‘Abdah, sesungguhnya Umar bin Khatab menjihar kalimat-kalimat itu dengan mengatakan : “Subhanakallahumma wa bihamdika tabaaraka ismuka wa ta’ala jadduka wa la ilaha ghairaka” (H.R. Muslim) 7
DAFTAR PUSTAKA
1.Sayyed ‘Alwi bin Ahmad as-Saqaf, al-Fawaidul Makkiyah, dicetak dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, Usaha keluarga, Semarang, Hal. 176
2.Sayyed Abdurrahman bin Muhammad A’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.67
3.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 89, No. Hadits : 1335
4.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 204
5.Hakim, al-Mustadrak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 512, No. Hadits : 1329
6.Hakim, al-Mustadrak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 510, No. Hadits : 1323
7.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 299, No. Hadits : 399
WALLOHU A’LAM BIS SHOWAB