RETRIBUSI PENGATURAN JALAN RUSAK

jln rusak

                                Tingginya curah hujan di wilayah indonesia berdampak negatif pada sektor transportasi. Di beberapa kota besar,genangan air di jalan raya menjadi penyebab macetnya arus transportasi. Lebih dari itu, tanah longsor dan ambruknya dan ambruknya jembatan terjadi di wilayah tanah air. Ironisnya, kondisi semacam ini seringkali di manfaatkan oleh beberapa oknum warga setempat sebagai kesempatan mencari uang. Tanpa izin dari pemerintah setempat,mereka memberikan jasa pengaturan lalu lintas untuk menghindarkan para pengguna jalan dari kemacetan dan di sertai pemungutan biaya retribusi jalan tentunya. Tak ayal, karena kurangnya profesionalisme,menyebabkan tindakan yang mereka lakukan justru mengganggu para pengguna jalan.

Bagaimana pandangan fiqh tentang permasalahan yang seperti di atas?

Secara konsep syari’at,jalan merupakan fasilitas umum, bukan golongan tertentu. Setiap pengguna jalan harus menjaga hak hak pengguna jalan yang lain agar tidak menimbulkan bahaya atau gangguan bagi pengguna yang lain.

Rosululloh Saw. Bersabda :

قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيْقِ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْروْفِ وَالنَّهيُ عَنِ الْمُنْكَرِ

Para shohabat bertanya kepada Rosululloh Saw.”apakah hak(yang harus di penuhi dalam penggunaan)jalan itu wahai Rosululloh”?. Rosululloh menjawab : menjaga pandangan, menghilangkan mara bahaya, menjawab salam, amar ma’ruf dan nahi munkar”.(HR. Bukhori dan Muslim).

Mengatur ketertiban jalan merupakan salah satu dari sebagian tugas pemerintah. Namun demikian, menurut salah satu versi ulama. Wewenang pemerintah dalam hal ini hanya sebatas menjaga jalan agar tidak melampaui batas kewajaran. Pemeintah tidak berhak memberikan prioritas kepemilikan khusus pada individu masyarakat. Akan tetapi jika pemerintah tidak melakukan tindakan atas terjadinya hal hal yang merugikan pengguna jalan, maka di perbolehkan bagi masyarakat  untuk melakukan penanganan dalam rangka menghilangkan ke madlorotan sebagaimana dalam hadits di atas.

Dalam menggunakan fasilitas umum, islam menerapkan sistem “siapa cepat dia dapat”.

Sesuai dengan hadits Nabi Saw.:

مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَم يُسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ لَهُ

Barang siapa yang mendahului atas apa yang belum di kerjakan seorang muslim,maka ialah yang berhak atasnya”.(HR. Abu Dawud).

Membantu pengguna jalan dalam menikmati perjalananya agar tidak terganggu memang merupakan suatu tindakan terpuji. Namun, suatu permasalahan akan timbul ketika terjadi penarikan uang seperti yang lazim terjadi di masyarakat nusantara ini. Apabila penarikan retribusi tersebut sebagai upah dari jerih payah mereka, maka hukumnya haram. yang demikian ini jika tidak terdapat transaksi secara syar’i atau dugaan kuat kerelaan para pengguna jalan yang memberikan.

Namun, apabila retribusi jalan tersebut hanya merupakan sekedar sumbangan, maka menurut pendapat muqobilul ashoh hukumnya adalah makruh, dengan catatan: tidak ada paksaan, tidak menyakiti dan tidak membuat penerima uang menjadi hina.

Menurut versi al ashoh, meminta minta adalah haram, jika pelaku masih mampu untuk bekerja, sedangkan bagi orang orang yang sudah tidak mampu bekerja maka di perbolehkan meminta minta.

Kesimpulan :

Pada dasarnya mengatur ketertiban jalan raya adalah wewenang pemerintah. Namun, bila terdapat kemungkaran atau penggunaan yang mengakibatkan kerugian, maka masyarakat boleh menanganinya dengan catatan :

1. Tidak adanya penangan dari pemerintah

2. Di lakukan untuk menghilangkan kemadlorotan,dan tidak mengganggu para pengguna jalan

Sedangkan ketentuan hukum penarikan uang retribusi adalah sebagai berikut :

1. Jika penarikan tersebut sebagai upah dari jerih payah mereka dalam mengatur lalu lintas, maka hukum memintanya dalah haram. sebab, penarikan tersebut tidak di sertai dengan transaksi yang sah. Kecuali ada dugaan kuat keridloan dari pemberi

2. Jika penarikan tersebut atas nama sumbangan, maka hukumnya makruh menurut muqobilul ashoh dengan kriteria :

Tidak ada unsur pemakasaan,

Tidak menyakiti

Tidak membuat peminta menjadi hina

Referensi :

Fiqhul islamy juz 6 hal.457 dan  466-467

Ahkam sulthoniyah hal.237

Hasyiyah al Jamal juz 3 hal. 628

Jawahirul Bukhori hal. 168

jalan rusak