KDRT ATAU KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Kehidupan berumah tangga melalui pernikahan merupakan salah satu lembaran hidup yang akan dilalui oleh setiap manusia. Saat itulah kedewasaan suami istri sangat dituntut demi mencapai kesuksesan dalam menbina bahtera rumah tangga. Tak selamanya keharmonisan akan selalu menjadi warna yang menghiasi hari-hari yang dilalui oleh suami istri. Kadang konflik bgisa saja terjadi bahkan bisa berbuntut pada perceraian. Tergantung bagaimana suami istri itu bisa menyikapi dan mengedepankan akal sehat demi terjaganya keutuhan sebuah rumah tangga yang sakinah. Konflik yang terjadi didalam sebuah rumah tangga adalah sebagai sesuatu permasalahan yng cukup besar, karena setidak-tidaknya konflik antara suami istri yang dibiarkanberlarut-larut bisa memengaruhi kejiwaan anak-anak dan pertumbuhan emosional mereka. Kemelut yang melanda sebuah rumah tangga memang sudah menjadi suatu hal yang lumrah di masyarakat umum. Namun, islamdengan ajaranya tentu saja tidak bisa tinggal diam membiarakan fenomena tersebut terjadi di kalangan kaum muslimin.

Semua orang mendambakan ketenangan hidup, ketentraman jiwa, kebahagian lahir dan batin dalam hidup berumah tangga, semua orang berusaha mencarinya, meskipun tidak semuanya menrcapai apa yang menjadi tujuannya. Banyak permasalahan kehidupan dengan buermacam-macam sebab dan rintangan yang timbul ditambah kurangnya kontrol diri menyababkan seseorang yang mengalami persoalan dalam rumah tangga seperti kegelisahan, kecemasan, ketidakpuasan, seringkali berimbas timbulnya perilaku kekerasaan dalam rumah tangga.

Seperti laporan yang disampaikan Psikolog Elly Yuliandari, penyiksaan atau kekerasan domestik yang terjadi didalam lingkungan keluarga menduduki porsi terbesar dalam kasus penyiksaan yang menimpa anak-anak pada rentan umur 3-18 tahun. Sebanyak 80 persen kekerasan atau penyiksaan atu kekerasaan yang menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga mereka, 10 persen lingkungan pendidikan, dan sisanya dilakuakn oleh orang yang tiudak dikenal.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian

dalam rumah tangga (KDRT) adalah sikap atau sifat, perkataan dan perbuatan seseorang atau kelompok yang berupa ancaman, paksaan, penganiayaan dalam rumah tangga yang menyebabkan cidera fisik, maupun psikis bahkan dapat menyebabkan kematian. Menurut undang-undang nomor 23 tahun2004 menyebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseoirang terutama perempuanyang berakibat timbulnya koesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, dan atau penelantaraan rumah tewrmasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

           Adapun orang-orang yang termasuk dalam lingkup rumah tangga menurut undang-undang ini meliputi:

   Suami, istri dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri).

   Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud diatas karena adanya hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan).

   Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (ppekoerja,pembantu rumah tangga).

  1. Gejala dan Timbulnya kekerasan Dalam Rumah Tangga

Gejala timbulnya kekerasan dalam rumah tangga, antara lain:

   Frustasi (tekanan perasaan)

Frustasi adalah proses yang menyebabkan orang merasakan adanya hambatan terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhanya atau menyangka bahwa akan terjadi sesuatu hal yang menghalangi keinginannya. Apabila seseorang mampu menghadapi masalahnya tersebut, iia akan berusaha dengan cara lain tanpa mjengindahkan orang sekitarnya dan tanpa menimbulkan kekerasan. Frustasi atau tekanan perasaan merupakan tanggapan terhadap sesuatu yang dipengaruhi oleh rasa percaya diri dan lingkungan. Dimana rasa percaya diri timbul apabila setiap rintangan atau halangan dapat dihadapi dan diatasi dengan baik yang berdampak timbulnya rasa kebahagian dan rasa optimistis dalam menghadapi kehidupan keoptimisan dalam hidup dapat membentuk individu yang siap dan tenang dalam menghadapi masalah melalui menganalisis problem yang datang.

           Begitu juga sebaliknya, apabila seseorang gagal dalam menghadapi permasalahan hidupnya dapat membentuk prilaku kecil hati, tidak percaya diri dan psimis dalam menghadapi masalah, timbul bayangan-bayangan kesukaran dan kegagalan. Sehingga berdampak pada frustasi dan mengaplikasikannya dalam bentuk kekerasan.

   Konflik (pertentangan Batin)

Konflik (pertentangan batin) biasanya timbul apabila terdapat dua dorongan atau lebih oyang berlawanan atau bertentangan satu sama lain dan tidak mungkin dip[enuhi dalam waktu yang bersamaan.

           Dalam hal ini konflik batin dapat dibagi menjadi tiga macam:

   Pertentangan antara dua hal yang diinginkan, yaitu dua hal yang sama-sama diingini tetapi tiidak mungkin diambil keduanya.

   Pertentangan antara dua hal, yang satu diingini sedangkan yang kedua tidak diingini.

   Pertentangan antara dua hal yang sama-sama tidak diinginkan.

   Kecemasan

Kecemasan adalah manifestasi dari berbagi proses emosi yang bercampur baur, ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan dan pertentangan batin ( konflik).

           Selain beberapa hal diatas, dalam Undang-Undang no 23 Tahun 2004, dijelasakn bahwa pada praktiknya kekrasan dalam rumah tangga sulit diungkap, hal ini disebabkan beberapa hal:

   Kekerasan dalam rumah tangga yang dipahami sebagai suatu urusan privasi.

   Pada umumnya yang menjadi korban (istri/anak) adalah pihak yang lemah, yang sangat mempunyai ketergantungan khususnya dari segi ekonomi dengan pelaku.

   Kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat terhadap hak-hak hukum yang dimilikinya.

   Adanya stigma sosial dalam masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu kewajaran.

   Kekerasan atau Kriminalitas

Kekerasan terhadap wanita adalah bentuk kriminalitas (jarimah). Pengertian kriminalitas (jarimah) dalam Islam adalah tindakan melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam dan termasuk kategori kejahatan. Sementara kejahatan dalam Islam adalah perbuatan tercela (al-qobih) yang ditetapkan oleh hukum syara’, bukan yang lain. Sehingga apa yang dianggap sebagai tindakan kejahatan terhadap wanita harus distandarkan pada hukum syara’.

Disinilah kekeliruan mendasar dari kelompok Feminis, yang menganggap kejahatan diukur berdasarkan kepada gender (jenis kelamin) korban atau pelakunya, bukan pada hukum syara’. Mereka membela pelacur, karena dianggap sebagai korban. Sebaliknya mereka menuduh poligami sebagai bentuk kekerasan terhadap wanita, dengan anggapan wanita telah menjadi korbannya.

Padahal, kejahatan bukanlah perkara gender (jenis kelamin). Pasalnya, kejahatan bisa menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Pelakunya juga bisa laki-laki dan bisa pula perempuan. Dengan demikian Islam pun menjatuhkan sanksi tanpa melihat apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat apakah pelakunya laki-laki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia melanggar hukum Allah SWT atau tidak.

Kekerasan juga bukan disebabkan sistem patriarki atau karena adanya subordinasi kaum perempuan, karena laki-laki maupun perempuan mempunyai peluang yang sama sebagai korban. Kalaupun data yang tersedia lebih banyak menyebutkan wanita sebagai korban, itu semata-mata karena data laki-laki sebagai korban kekerasan tidak tersedia. Dengan begitu kekerasan tidak ada kaitannya dengan penyetaraan hak laki-laki atau perempuan. Gagasan anti-KDRT dengan mengatasnamakan pembelaan terhadap hak-hak wanita pada akhirnya justru bias gender.

Lebih dari itu, kekerasan atau kejahatan sendiri dipicu oleh dua hal:

  1. faktor individu. Tidak adanya ketakwaan pada individu-individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi suami-istri dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental adalah pemicu bagi seseorang untuk melanggar hukum syara’, termasuk melakukan tindakan KDRT.
  2. faktor sistemik. Kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik. Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai ruhiyah dan menafikkan perlindungan atas eksistensi manusia. Tak lain dan tak bukan ialah sistem kapitalisme-sekular yang memisahkan agama dan kehidupan.

Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan. Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.

Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan, pelaku perzinaan yang malah dibiarkan, dll. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku dan seks bebas, telah menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks disertai kekerasan.

Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan pendidikan, sehingga kapitalisasai pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja. Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat rendah.

Untuk persoalan sistemik ini, dibutuhkan penerapan hukum yang menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami, pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang tegas dan menyeluruh.

Perlu pula diingat, kejahatan bukan sesuatu yang fitri (ada dengan sendirinya) pada diri manusia. Kejahatan bukan pula profesi yang diusahakan oleh manusia, juga bukan penyakit yang menimpa manusia. Tapi kejahatan adalah setiap hal yang melanggar peraturan Allah SWT, siapapun pelakunya, baik laki-laki maupun wanita.

  1. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

  1. Kekerasan Fisik

   Kekerasan Fisik Berat yaitu, berupa perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka cacat. Dimana dalam hal ini mencakup hal pengrusakan, pemukulan, pembantaian, yang menimbulkan kerusakan yang membekas, memar, luka robek bahkan putus anggota badan, dan penganiayaan berat seperti menendang; memukul, menyundut; melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan:

   Cedera berat

   Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari

   Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati

   Kehilangan salah satu panca indera.

   Menderita sakit lumpuh.

   Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih

   Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan

   Kematian korban.

   Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan:

   Cedera ringan

   Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat

   Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.

  1. Kekerasan Psikis

   Kekerasan Psikis, yaitu berupa perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya atau penjderitaan psikis berat pada seseorang. Hal ini mjencakup dalam bentuk menghina, memlfitnah, mencaci maki, pencemaran nama baik, membohongi, mempermalukan, melampaui batas yang menimbulkan rasa tidak nyaman, malu, ketakutan, hilang rasa percaya dir, maupun tekanan perasaan. yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:

   Gangguan stres pasca trauma.

   Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya

   Bunuh diri

   Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.

   Gangguan fungsi tubuh berat

   Depresi berat atau destruksi diri

   Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini:

   Ketakutan dan perasaan terteror

   Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual

   Fobia atau depresi temporer

   Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak

   Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)

   Kekerasan seksual, yaitu setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain debngan tujuan komersial atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual ini meliputi:

   Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.

   Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.

   Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.

   Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.

   Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.

   Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.

   Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.

   Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.

  1. Kekerasan Seksual

  1. Keterlantaran Rumah Tangga

Keterlantaran rumah tangga yaitu, seseorang yang menelantarkan orang lain dalam rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persekutuan atu perjanjian ia wajib memberikan kehidupan perawatan, atau pemeliharaan terhadap orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban dibawah kendali orang tersebut. Penelantaran rumah tangga juga dapat berbentuk tidak memenuhi kebutuhan lahir dan batin terhadap pasangan tidak memberi kebutuhan materi dan kasih sayang, tidak memberikan perlindungan (rasa aman) terhadap anggota keluarga.

  1. Kekerasan Ekonomi

   Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:

   Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.

   Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.

   Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.

   Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

  1. Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga

   Ketiadaan Kufu (kesetaraan) dalam sepasang Suami Istri

   Perbedaan Tingkat Usia (Beda Umur)

   Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara

   Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-laki harus kuat, berani serta tanpa ampun

   KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri

   Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan

Kesalahan dalam memilih pasangan

  1. Dampaknya Terhadap Anak

Penyiksaan dan kekrasan yang menimpah anak-anak dalam lingkungan keluarga dapat memberi dampak yang negatif terhadap anak baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik, kekrasan atau penyiksaan terhadap anak akan mengakibatkan luka fisik, cacat permanen, pertumbuhan jasmani yang tidaknormal dan sebagainya. Anak- anak yang ditelantarkan (0dari segi kebutuhan hidupnya) akan mengalami perkembangan jasmani yang tiudak baik, kesehatanya terganggu, pendidikanya terabaikan.

           Secara psikis penyiksaan dan kekerasan yang menimpa anak-anak dal rumah tangga kdapat mengakibatkan ganguan penyesuaian terhadap lingkungan dan kelainan prilaku. Anak-anak yang menjadi korban penganiayaan, dalam priode perkembangan yang sangat peka ini, dapat mempunyai konsekuensi serius bagi perkembangan mereka ketika dewasa dan dapat mempengaruhi keseimbangan emosi.

Disamping itu, dapat menyebabkan anak-anak bherjalan tanpa konsep karena tidak pernah memperoleh mekanisme interaksi dari orang tuanya.

           Penyiksaan dan kekrasan emosional (psikis), yang berbentuk menghina, memfitnah, mencaci maki, pencemaran nama baik, membohongi, mempermalukan, ancaman dan sebagainya, mengakibatkan anak menjadi rendah diri (tidak percaya diri), pemalu, masa bodoh, juga dapat mamicu perilaku destruktif. Dalam kenyataanya, orang tua yang menyiksa, dahulu adalah korban penyiksaan juga, sama seperti anak-anak yang disiksa mereka.

           Kekerasan seksual, teruutama pemerkosaan yang menimpah seorang anak meninggalkan bekas luka yang mendalam baik psikis maupun fisik. Pada banyak kasus trauma psikologis akibat pemerkosaan biasanya membekas,hingga si anak dewasa. Anak-anak korban kekeraasan seksual akan belajar menekan atu malah mengosongkan perasaan yang selama ini dimiliki. Keadaan ini akan semakin merugikan, karena hal itu akan terus berlanjut dan mempengaruhin anak pada masa dewasa. Bentuk-bentuk pelarian diri dari persoalan antara lain tampak dalam sikap sinis, menarik diri menjadi orang yang super waspada dan cendrung unituk berbuat kekacauan.

Anak yang menjadi korban kekrasan seksual, akan semakin terkungkung apabila anggota keluarga si korban beranggapan kejadian seperti itu dianggap aib yang harus ditutupi. Demikian pula penolakan masyarakat tidak akan membantuh proses penyembuhan psikologi si korban.

  1. Sanksi Pelaku kekerasan

Kekerasan terjadi baik di lingkungan keluarga maupun di luar rumah tangga. Dan semua bentuk kriminalitas, baik di lingkup domestik maupun publik akan mendapatkan sanksi sesuai jenis kriminalitasnya, baik pelakunya laki-laki maupun perempuan. Semisal bagi orang yang menuduh wanita berzina tanpa bukti, pelakunya dihukum oleh Islam. Perkara ini termasuk dalam hukum qodzaf, dimana pelakunya bisa dihukum 80 kali cambukan.(Q.san- Nûr [24]: 4).

”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.(Q.s an- Nûr [24]: 4).

Pelacuran merupakan tindakan kriminalitas, dimana wanita yang melakukannya akan diberikan sanksi hukum, demikian juga lelakinya yang pezina. Islam tidak memandang apakah korban atau pelakunya laki-laki atau perempuan. Pelacuran, bagaimanapun tetap perbuatan tercela, tidak perduli laki-laki atau perempuan.

Sebaliknya, poligami bukanlah bentuk kekerasan terhadap wanita karena tidak dilarang oleh syariat Islam. Tapi menyakiti wanita dengan memukulnya sampai terluka, adalah merupakan kekerasan terhadap wanita, baik dia monogami atau poligami. Karena memukul wanita sampai dirinya terluka adalah perbuatan melanggar aturan Allah SWT.

Berdasarkan syariat Islam ada beberapa bentuk kekerasan atau kejahatan yang menimpa wanita dimana pelakunya harus diberikan sanksi yang tegas. Namun sekali lagi perlu ditegaskan kejahatan ini bisa saja menimpa laki-laki, pelakunya juga bisa laki-laki atau perempuan. Berikut ini beberapa perilaku jarimah dan sanksinya menurut Islam terhadap pelaku:

  1. Qadzaf, yakni melempar tuduhan. Misalnya menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80 kali cambukan. Hal ini berdasarkan firman Alah SWT: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah 80 kali.” (Qs. an-Nûr [24]: 4-5).

4.“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”

5.“Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

  1. Membunuh, yakni ‘menghilangkan’ nyawa seseorang. Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya adalah qishos (hukuman mati). Firman Allah SWT: “Diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Qs. al-Baqarah [2]: 179).

“ Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”(Qs. al-Baqarah [2]: 179).

  1. Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi. Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada duburnya.” Sanksi hukumnya adalah ta’zir, berupa hukuman yang diserahkan bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama terjadi.

  1. Penyerangan terhadap anggota tubuh. Sanksi hukumnya adalah kewajiban membayar diyat (100 ekor unta), tergantung organ tubuh yang disakiti. Penyerang terhadap lidah dikenakan sanksi 100 ekor unta, 1 biji mata 1/2 diyat (50 ekor unta), satu kaki 1/2 diyat, luka yang sampai selaput batok kepala 1/3 diyat, luka dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan mematahkannya 15 ekor unta, setiap jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, luka sampai ke tulang hingga kelihatan 5 ekor unta.

  1. Perbuatan-perbuatan cabul seperti berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Kalau wanita itu adalah orang yang berada dalam kendalinya, seperti pembantu rumah tangga, maka diberikan sanksi yang maksimal

  1. Penghinaan. Jika ada dua orang saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang faktanya, maka keduanya akan dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun.

  1. Jarimah Dan Ta’dib

Dalam konteks rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan memang seringkali terjadi, baik yang menimpa istri, anak-anak, pembantu rumah tangga, kerabat ataupun suami. Misal ada suami yang memukuli istri dengan berbagai sebab, ibu yang memukul anaknya karena tidak menuruti perintah orang tua, atau pembantu rumah tangga yang dianiaya majikan karena tidak beres menyelesaikan tugasnya. Semua bentuk kekerasan dalam rumah tangga itu pada dasarnya harus dikenai sanksi karena merupakan bentuk kriminalitas (jarimah).

Perlu digarisbawahi bahwa dalam konteks rumah tangga, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah Swt. Hal ini sesuai firman Allah Swt yang artinya: “Wahai orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Qs. at-Tahrim[66]: 6). Dalam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa jadi terpaksa dilakukan dengan “pukulan”. Nah, “pukulan” dalam konteks pendidikan atau ta’dib ini dibolehkan dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas.

Kaidah itu antara lain: pukulan yang diberikan bukan pukulan yang menyakitkan, apalagi sampai mematikan; pukulan hanya diberikan jika tidak ada cara lain (atau semua cara sudah ditempuh) untuk memberi hukuman/pengertian; tidak baleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh memukul lebih dari tiga kali pukulan (kecuali sangat terpaksa dan tidak melebihi sepuluh kali pukulan); tidak boleh memukul anak di bawah usia 10 tahun; jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya, dan lain-lain.

Dengan demikian jika ada seorang ayah yang memukul anaknya (dengan tidak menyakitkan) karena si anak sudah berusia 10 tahun lebih namun belum mengerjakan shalat, tidak bisa dikatakan ayah tersebut telah menganiaya anaknya. Toh sekali lagi, pukulan yang dilakukan bukanlah pukulan yang menyakitkan, namun dalam rangka mendidik.

Demikian pula istri yang tidak taat kepada suami atau nusyuz, misal tidak mau melayani suami padahal tidak ada uzur (sakit atau haid), maka tidak bisa disalahkan jika suami memperingatkannya dengan “pukulan” yang tidak menyakitkan. Atau istri yang melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga karena disibukkan berbagai urusan di luar rumah, maka bila suami melarangnya ke luar rumah bukan berarti bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini bukan berarti suami telah menganiaya istri melainkan justru untuk mendidik istri agar taat pada syariat.

Semua itu dikarenakan istri wajib taat kepada suami selama suami tidak melanggar syara’. Rasulullah Saw menyatakan: “Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” [HR. Ahmad]

Namun di sisi lain, selain kewajiban taat pada suami, wanita boleh menuntut hak-haknya seperti nafkah, kasih sayang, perlakuan yang baik dan sebagainya. Seperti firman Allah SWT: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Qs. al-Baqarah [2]: 228).

  1. Upaya Pemenuhan Hak-hak Korban KDRT

Upaya-upaya dalam pemenuhan hak-hak korban KDRT harus diakui kehadiran UU PKDRT membuka jalan bagi terungkapnya kasus KDRT dan upaya perlindungan hak-hak korban. Dimana, awalnya KDRT dianggap sebagai wilayah privat yang tidak seorang pun diluar lingkungan rumah tangga dapat memasukinya. Lebih kurang empat tahun sejak pengesahannya pada tahun 2004, dalam perjalanannya UU ini masih ada beberapa pasal yang tidak menguntungkan bagi perempuan korban kekerasan. PP No. 4 tahun 2006 tentang Pemulihan merupakan peraturan pelaksana dari UU ini, yang diharapkan mempermudah proses implementasi UU sebagaimana yang tertera dalam mandat UU ini.

Selain itu, walaupun UU ini dimaksudkan memberikan efek jera bagi pelaku KDRT, ancaman hukuman yang tidak mencantumkan hukuman minimal dan hanya hukuman maksimal sehingga berupa ancaman hukuman alternatif kurungan atau denda terasa terlalu ringan bila dibandingkan dengan dampak yang diterima korban, bahkan lebih menguntungkan bila menggunakan ketentuan hukum sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Apalagi jika korban mengalami cacat fisik, psikis, atau bahkan korban meninggal. Sebagai UU yang memfokuskan pada proses penanganan hukum pidana dan penghukuman dari korban, untuk itu, perlu upaya strategis diluar diri korban guna mendukung dan memberikan perlindungan bagi korban dalam rangka mengungkapkan kasus KDRT yang menimpanya.

  1. Relasi Suami-Istri dalam Rumah Tangga

Kehidupan rumah tangga adalah dalam konteks menegakkan syariat Islam, menuju ridho Allah Swt. Suami dan istri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman:

“ Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “(Qs. at-Taubah [9]: 71).

Sejalan dengan itu dibutuhkan relasi yang jelas antara suami dan istri, dan tidak bisa disamaratakan tugas dan wewenangnya. Suami berhak menuntut hak-haknya, seperti dilayani istri dengan baik. Sebaliknya, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan nafkah yang layak dan memperlakukan mereka dengan cara yang makruf.

Allah SWT berfirman dalam Qs. an-Nisâ’ [4]: 19:

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 19).

Nash ini merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli isteri-isteri mereka secara ma’ruf. Menurut ath-Thabari, ma’ruf adalah menunaikan hak-hak mereka. Beberapa mufassir menyatakan bahwa ma’ruf adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; memperbagus ucapan dan perbuatan. Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri isterinya, selain zina dan nusyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan. Jika masing-masing, baik suami maupun istri menyadari perannya dan melaksanakan hak dan kewajiban sesuai syariat Islam, niscaya tidak dibutuhkan kekerasan dalam menyelaraskan perjalanan biduk rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terhindarkan karena biduk rumah tangga dibangun dengan pondasi syariat Islam, dikemudikan dengan kasih sayang dan diarahkan oleh peta iman.

BAB III

PENUTUP

           Kesimpulan

           Dampak kekerasan baikPenyiksaan fisik, psikis, dan seksual telah mengakibatkan kekurangan tenaga yang aman berat, pada anak. Spirit anak hilang oleh orang tua yang tidak tahu bagaimana cara membantu anak tumbuh, dan mengembangkan dengan cara-cara yang sehat. Kekerasan itu sendiri di picu oleh 2 faktor yakni: faktor individual dan faktor sistemik dan berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi di kalangan masyarakat seperti: kekerasan fisik,batin,seksual dan lain-lain.

Kekerasan yang terjadi baik di lingkungan keluarga maupun di luar rumah tangga. Dan semua bentuk kriminalitas, baik di lingkup domestik maupun publik akan mendapatkan sanksi sesuai jenis kriminalitasnya, baik pelakunya laki-laki maupun perempuan. Semisal bagi orang yang menuduh wanita berzina tanpa bukti, pelakunya dihukum oleh Islam. Oleh sebab itu dengan banyaknya kasus kekerasan dikalangan masyarakat banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dengan adanya hukum yang mengatur pelaku kekerasan diharapkan untuk mengurangi kasus kekerasan di kalangan masyarakat karena kasus kekerasan tidak hanya berdampak kepada istri atau anak pada saat terjadinya kekersan tersebut tetapi akan terus berlanjut hingga anak tersebut tumbuh dewasa dan tidak berdampak hanya pada fisik akan tetapi psikologi anak tersebut akan terganggu.