PENTINGNYA MENJAGA ADAB BERBICARA DALAM BERMEDIA

  fff             Media sosial saat ini tak ubahnya seperti senjata tajam. Ia dapat digunakan untuk agenda kebaikan, seperti menyambung silaturahim dan berbagi ilmu pengetahuan, dan dapat pula diarahkan untuk menusuk dan membinasakan nyawa orang. Memang pada saat update status tidak ada darah yang tertumpah seperti halnya menusuk pedang ke perut orang. Tetapi coba perhatikan, tidak jarang status ujaran kebencian yang mengundang provokasi, konflik, bahkan bertumpahan darah.

Maka dari itu, sejak dulu Islam menekankan pentingnya menjaga lisan. Andaikan dulu sudah ada media sosial, kemungkinan besar Nabi juga meminta umatnya agar pandai menggunakan media sosial. Gunakanlah untuk sesuatu yang bermanfaat dan jangan gunakan untuk pertikaian.

Dulu, sahabat Abu Musa al-‘Asy’ari pernah bertanya kepada Rasul: Wahai Rasul siapakah muslim terbaik? Rasul menjawab, “Muslim yang mampu menjaga orang lain dari ucapan dan perbuatannnya” (Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah disebutkan, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam (jika tidak mampu berkata baik)” (Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Kedua hadits ini menunjukan betapa pentingnya menjaga lisan bagi Rasulullah. Bahkan standar kebaikan, keutamaan, dan kesempurnaan Iman diukur berdasarkan sejauh mana ia mampu menjaga lisannya. Dalam konteks bermedia sosial, tentu kualitas iman dan islam seorang muslim dapat dilihat dari bagaimana cara mereka menggunakan media: apakah untuk kebaikan atau keburukan.

Status di media sosial, tentu seperti halnya kita bertutur kata sehari-hari. Mungkin pengaruh status yang kita ketik lebih besar ketimbang berbicara langsung. Karena pada saat bicara langsung pendengarnya sangat terbatas, sementara di media sosial siapapun dan dari belahan dunia manapun bisa membacanya.

Terkait pentingnya menjaga lisan, Imam al-Nawawi dalam al-Azkar mengingatkan:

اعلم أنه لكل مكلف أن يحفظ لسنانه عن جميع الكلام إلا كلاما تظهر المصلحة فيه، ومتى استوى الكلام وتركه فى المصلحة، فالسنة الإمساك عنه، لأنه قد ينجر الكلام المباح إلى حرام أو مكروه، بل هذا كثير أو غالب في العادة

Hendaklah setiap orang menjaga lisannya pada pembicaraan apapun, kecuali bila dipastikan ada kemaslahatannya. Namun jika bimbang, antara meninggalkan dan mengucapkannya sama-sama ada maslahahnya, disunnahkan tetap diam (tidak berkata apapun). Sebab terkadang perkataan biasa bisa berimplikasi pada keharaman dan makruh. Bahkan hal seperti ini banyak terjadi.”

Masih dalam kitab al-Azkar, Imam al-Nawawi mengutip pernyataan Imam al-Syafi’i terkait pentingnya menjaga kata:

إذا أراد الكلام فعليه أن يفكر قبل كلامه، فإن ظهرت المصلحة تكلم، وإن شك لم يتكلم حتى تظهر

Apabila kalian hendak bicara, berpikirlah sebelumnya. Jika ada kemaslahatan pada ucapan tersebut, bicaralah. Andaikan kalian ragu, lebih baik tidak bicara sampai ditemukan kemaslahatannya”.

Setidaknya ada 11 etika bagi seorang muslim di dalam menggeluti aktifitas di media sosial, yaitu:

  1. Dalam menjalani aktifitas sosial media, hendaknya dia memiliki motivasi ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berkeyakinan penuh bahwa penyebaran informasi, baik dalam bentuk tulisan, gambar, dan suara memiliki tanggung jawab dunia dan akhirat.
  2. Dalam bersosial media, hendaknya seorang muslim memiliki motivasi dakwah, yaitu misi memindahkan kondisi masyarakat dari situasi tidak baik menuju situasi baik, dalam semua sektor kehidupan, baik bidang agama, ekonomi, sosial, politik, keamanan, dan lainnya.
  3. Dalam mencapai tujuannya, hendaknya seorang muslim yang menggeluti dunia media sosial memiliki cita-cita untuk meraih maslahat dan menghindari mafsadat. Maslahat yang dicita-citakan itu adalah segala sesuatu yang bertujuan untuk mewujudkan maqashid syari’ah atau tujuan-tujuan syariat dalam semua peraturannya, dalam hal ini untuk memelihara lima hal pokok (kulliyat khams), yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedang mafsadat yang harus dihindari itu adalah hal-hal yang mencederai maqashid syari’ah tersebut.
  4. Dalam menggeluti dunia informasi di media sosial, hendaknya seorang muslim menguji kebenaran suatu informasi yang dia terima (tatsabbut, tabayyun). Dia meneliti kredibilitas dan kompetensi sumber berita, serta secara proporsional dan bertanggung jawab menyikapi berbagai jenis informasi sebagai kejadian biasa, atau; kejadian mengandung unsur kriminalitas atau berhubungan dengan hak orang lain, atau; berita yang menyangkut kepentingan umum, seperti keamanan negara.
  5. Dalam mengolah dan menyajikan informasi, hendaknya seorang muslim menentukan sudut pandang atau angle tulisan yang dipenuhi misi amar ma’ruf nahyi munkar, yaitu mengarahkan masyarakat untuk turut membenarkan perilaku baik dan melarang perilaku salah, sehingga terbentuk opini umum (public opinion) yang positif dan baik.
  6. Dalam aktifitas media sosial, hendaknya seorang muslim membekalinya dengan kejujuran, menyempurnakan kejujuran itu dengan akurasi, objektif dalam menjelaskan kejadian, mematuhi aturan dan etika umum, baik regulasi tentang ITE maupun UU apapun yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  7. Dalam menjalani tahapan proses pembuatan atau penyebaran informasi, hendaknya seorang muslim berkomitmen menjauhi berbagai larangan agama, seperti mengolok-olok agama, Allah, para Nabi, malaikat, termasuk melakukan plagiasi atau pecemaran nama baik pihak lain.
  8. Dalam penyajian tulisan di media sosial, hendaknya seorang muslim mengedepankan asas praduga tak bersalah dan menghindari tulisan gunjingan atau ghibah, tulisan mengandung tuduhan zina (qadzaf), dan pembeberan rahasia orang, kelompok, atau negara. Hal-hal ini dalam Islam menjadi diperbolehkan (kondisi kecuali), sesuai dengan syarat, cara dan tujuan tertentu, yang bermuara pada misi amar ma’ruf nahyi munkar, bukan untuk tujuan dan kepentingan lain.
  9. Dalam tujuan pembuatan dan penyampaian informasi, hendaknya seorang muslim memperjuangkan peningkatan taraf pendidikan dan pengetahuan masyarakat. Maka seorang muslim dilarang menyebarkan informasi yang berisi unsur amoral dan kejahatan, serta secara cermat memperhatikan aturan fikih Islam mengenai berita kriminal dan berita seksualiti, atau pornografi.
  10. Dalam memahami kebebasan menyebarkan informasi, seorang muslim meyakini bahwa agama Islam memberi hak kepada umatnya untuk mengekspos setiap peristiwa, demi memperjuangkan kehormatan dan kebaikan mereka, bukan untuk menyebarkan, apalagi untuk membela kebatilan dan kemunkaran. Batasan kebebasan tersebut bertujuan untuk menghormati hak dan kebebasan pihak lain.
  11. Dalam menjalankan misi dan idealismenya ini, hendaknya seorang muslim memperjuangkan prinsip pembuatan dan penyebaran informasi, yaitu kebenaran dan kemanfaatan berita. Berita terbukti benar belum menjadi alasan bagi seorang muslim untuk menyajikannya. Dia harus dapat memastikan, apakah berita itu bermanfaat dan menjadi kebutuhan masyarakat (what people need, not what people want).

Jadi, pikirlah sebelum bicara atau melontarkan kata di media sosial. Timbang baik buruknya terlebih dahulu. Terkadang tidak semua pengetahuan dan informasi yang kita miliki mesti dipublikasikan. Adakalanya, informasi bagus tidak perlu disebarluaskan bila akan menganggu dan merusak ketenangan orang lain. Mari kita budayakan bermedia sosial yang sehat dan produktif.

Wallahu a’lam.