INILAH KESALAHAN KESALAHAN DALAM PEMBAGIAN WARIS

Meskipun mayoritas penduduk negeri ini memeluk agama Islam, dan meskipun Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia, namun bukan berarti hukum waris dijalankan dengan benar oleh umat Islam.

Dalam kenyataannya, hukum waris yang menjadi salah satu ciri khas agama ini justru banyak ditinggalkan oleh pemeluk agama Islam sendiri. Persis dengan sabda Nabi SAW bahwa ilmu waris itu akan dilupakan orang, dan termasuk yang pertama kali akan dicabut dari umat beliau SAW.

تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ العِلْمِ وَإِنَّهُ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ مَا يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي

Pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena ia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan ia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku”. (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

Kalau pun masih ada sisa-sisa dari umat Islam yang menjalankannya, sayangnya hukum waris dijalankan dengan cara-cara yang sebenarnya sudah tidak sejalan lagi sebagaimana yang seharusnya. Disana sini kita menemukan begitu banyak penyimpangan hukum waris dilakukan oleh mayoritas umat Islam.

Suka atau tidak suka, memang demikian itulah kenyataannya. Syariat Islam runtuh bukan karena dirusak oleh musuh-musuh Allah SWT, tetapi runtuh dengan sendirinya akibat keawaman dan kebodohan umat Islam sendiri terhadap ilmu syariah dalam agamanya.

Di antara begitu banyak kekeliruan dalam memandang hukum waris di dalam syariat Islam antara lain :

  1. Menyamakan Bagian Anak Laki-laki dan Perempuan

Menyamakan bagian antara anak laki-laki dengan bagian buat anak perempuan adalah masalah yang klasik dan paling sering terjadi di tengah masyarakat yang mengaku agamis dan islamis.

Padahal ketentuan bahwa bagian untuk anak perempuan itu separuh dari bagian anak laki-laki bukan sekedar karangan atau ciptaan manusia, melainkan sebuah ketetapan yang langsung Allah SWT turunkan dari langit kepada kita.

Kalau mau protes dan keberatan, silahkan langsung ajukan kepada Allah SWT. Kalau di masa pensyariatan dulu, bisa saja keberatan itu direspon langsung oleh Allah, sehingga hukumnya diubah atau minimal diringankan.

Tetapi kita sekarang ini hidup di luar era pensyariatan, maka semua yang sudah ditetapkan itu adalah ketetapan yang tidak bisa diprotes lagi. Protes berarti menentang hukum-Nya. Dan untuk itu Allah SWT sudah menegaskan ketentuan-Nya yang sudah baku tidak boleh diubah-ubah :

يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa’ : 11)

Saayngnya meski ayat ini sering dibaca berulang-ulang, namun dalam pelaksanannya cenderung hampir semua keluarga menjalankan cara-cara yang bertentangan dengan aturan syariah Islam ini.

Alasnnya bisa bermacam-macam. Bisa saja karena memang tidak tahu adanya aturan tersebut, lantaran selama ini lebih terdidik dengan sistem waris versi Belanda atau adat. Jadi selama ini memang sama sekali tidak pernah tahu menahu urusan pembagian waris.

Namun alasannya kadang bisa juga bukan karena tidak tahu, tetapi menganggap enteng urusan seperti ini. Dikiranya melanggar ketentuan syariah dalam masalah ini tidak mengapa, karena memang selama ini agama yang dijalankannya hanya sebatas masalah ritual dan syiar-syiar belaka.

Kalau urusan shalat, puasa, haji, perayaan hari-hari besar agama, serta hal-hal yang secara umum berbau agama, mungkin tidak pernah lepas dan selalu diupayakan. Tetapi giliran membagi warisnya dilakukan dengan cara yang menyimpang, tidak sadar kalau hal itu pada hakikatnya termasuk perbuatan menentang hukum-hukum Allah SWT, dan ancaman hukumannya bukan hal yang main-main.

Dan kenyataannya, tidak sedikit orang-orang yang setiap tahun bolak-balik pergi haji sekeluarga, tetapi tidak benar cara membagi harta warisan, karena mungkin dianggap urusan waris tidak ada kaitannya dengan agama yang dianutnya.

  1. Membagi Waris Ketika Masih Hidup

Kasus seorang yang masih hidup sudah diributkan hartanya untuk dibagi-bagi sebagai warisan, sudah cukup sering kita dengar. Kadang yang meributkannya adalah sang pemilik harta itu sendiri, tetapi tidak jarang yang meributkannya adalah para calon ahli waris.

Padahal secara syariah, tidak ada pembagian harta warisan selama pemilik harta itu masih hidup. Sebab salah satu syarat dalam pembagian waris adalah matinya pewaris.

Kalau pewarisnya masih hidup, maka tidak ada urusan dengan pembagian waris. Yang bisa dilakukan hanyalah hibah atau wasiat, tetapi bukan bagi waris.

Hibah : Hibah adalah pemberian harta kepada siapa saja yang dikehendaki, tanpa ada ketentuan siapa yang boleh dan tidak boleh untuk menerimanya.

Jadi bisa saja yang diberi hibah itu calon ahli waris atau bukan ahli waris. Dan tidak ada pembatasan jumlah maksimal dalam kasus hibah harta. Berapa pun harta yang mau diberikan, maka si pemilik harta berhak memberikan kepada orang yang dikehendakinya. Asalkan pemilik harta itu masih hidup dan sama sekali belum ada tanda-tanda menjelang kematian.

Wasiat : Sedangkan wasiat, hanya dilakukan ketika seseorang telah merasa hampir mendekati kematiannya. Dimana orang yang boleh diberi wasiat itu tidak boleh sekalian menjadi calo ahli waris. Jadi hanya boleh mereka yang bukan ahli waris saja. Dan untuk wasiat, ada pembatasan jumlah maksimal yang boleh diberikan, yaitu hanya 1/3 dari jumlah total harta. Sisanya yang 2/3 adalah hak para calon ahli waris.

Kesalahan yang sering terjadi, si pemilik harta sejak masih hidup sudah membagi-bagi harta kepada calon ahli warisnya, dengan menyebut sebagai pembagian warisan. Bahkan yang lebih fatal lagi, ahli waris yang haram menerima wasiat pun diberi wasiat.

Sebuah keawaman yang akut dan merata, tetapi sayangnya dibiarkan saja. Tidak ada satu pun orang yang merasa ikut bertanggung-jawab. Naudzubillah min zalik.

  1. Harta Bersama Suami Istri

Kasus harta bersama milik suami istri adalah warisan dari sistem hukum barat (baca:Belanda). Tetapi akibat perang pemikiran yang panjang, bahkan bangsa kita sangat lekat dengan sistem kepemilikan harta seperti ini, yang kita kenal dengan istilah harta gono-gini.

Dengan adanya sistem harta milik bersama atau gono-gini, maka pelaksanaan pembagian warisan menjadi rancu, karena misalnya begitu seorang suami meninggal dunia, harta tidak bisa dibagi waris. Mengapa?

Karena mempertimbangkan bahwa harta yang mau dibagi waris itu ternyata masih harta milik bersama antara suami dan istri. Dan karena istri saat itu masih hidup, biasanya pembagian waris ditunda-tunda, karena harus menunggu dulu istrinya meninggal juga.

Inilah kekeliruan fatal yang selama ini didiamkan saja, bahkan oleh mereka yang mengerti hukum Islam. Padahal kalau kita menggunakan sistem yang berlaku di dalam syariah Islam, sebenarnya kita tidak mengenal istilah harta bersama atau harta gono-gini.

Di dalam syariat Islam, ketika sepasang suami istri menikah, harta mereka tidak perlu dijadikan satu dan tiba-tiba menjadi harta milik bersama. Cara seperti itu adalah asli merupakan hukum buatan orang-orang kafir Eropa yang terbawa-bawa kepada kehidupan kita.

Di dalam sistem syariah Islam, prinsipnya bahwa semua harta suami tetap selalu menjadi harta suami. Dan bahwa semua harta istri juga akan tetap selalu harta milik istri sepenuhnya.

Namun sebagian dari harta suami, memang ada yang menjadi hak istri, tetapi harus lewat akad yang jelas, misalnya lewat pemberian mahar, atau nafkah yang memang hukumnya wajib, atau lewat hibah, atau hadiah. Tanpa penyerahan yang menggunakan akad yang pasti, harta suami tidak secara otomatis jadi harta istri.

Memang kalau istrinya cuma satu, masih bisa dinalar. Tetapi bayangkan bila seorang suami punya dua atau tiga istri sekaligus, siapa dari istri itu yang secara otomatis menjadi pemilik harta suami? Tentu akan jadi rancu kan?

Nah, oleh karena itulah, harta istri dari suami harus diberikan lewat akad pemberian, bukan terjadi secara otomatis.

  1. Harta Almarhum Dikuasai Istri

Salah satu kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh umat Islam di negeri ini adalah bahwa ketika suami meninggal dunia, istrinya otomatis menjadi penguasa tunggal atas harta milik suaminya itu. Apalagi bila anak-anak masih kecil-kecil, boleh dibilang harta suami sudah pasti jadi milik istri seluruhnya.

Padahal hak istri atas harta suaminya hanya 1/8 atau ¼ saja. Bila suami punya anak misalnya, maka istri hanya berhak mendapat 1/8 dari total harta milik suaminya. Sisanya yang 7/8 bagian menjadi hak anak-anaknya yang kini sudah menjadi anak yatim.

Dasarnya adalah firman Allah SWT :

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ

Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-Nisa’ : 12)

Kalau pun anak-anak almarhum masih kecil-kecil, bukan berarti anak kecil tidak boleh menerima warisan. Mereka tetap berhak atas harta warisan dari ayahnya. Namun istri boleh menyimpan dan memelihara harta dari anak-anaknya itu, untuk suatu hari harus diserahkan harta itu kepada mereka.

Kalau pun harus terpakai harta itu demi kepentingan anak-anak, maka istri harus secara amanat membelanjakannya dan tidak membuang-buang harta itu, apalagi menguasainya untuk kepentingan diri sendiri.

Dan apabila si janda ini menikah lagi dengan laki-laki lain, ada anggapan di tengah masyarakat bahwa si laki-laki yang menikahi janda kaya menjadi orang yang paling beruntung.

Kenapa?

Karena seolah-olah si suami baru ini merasa mendapat hak dan bagian dari harta peninggalan almarhum. Padahal seharusnya tak secuil pun harta almarhum yang tiba-tiba berubah menjadi haknya. Harta itu milik anak-anak almarhum dan istrinya saja, sedangkan suami baru bukan pihak yang berhak atas harta almarhum.

Demikian juga yang terjadi bila istri yang meninggal dunia, maka suami seolah-olah menjadi pewaris tunggal, dan mengangkat diri dirinya sebagai satu-satunya orang yang berhak atas seluruh harta peninggalan istrinya. Maka dia merasa bebas untuk kawin lagi dan memberikan seluruh harta milik almarhumah istrinya kepada istri barunya.

Padahal seharusnya, suami hanya mendapat 1/4 bagian saja dari harta istrinya. Bagian lainnya yang 3/4 bukan miliknya tetapi milik ahli waris yang lain.

  1. Bagi Waris Menunggu Salah Satu Pasangan Meninggal Dunia

Dengan alasan untuk menghormati ibu yang telah hidup sendiri karena ditinggal mati oleh ayah yang menjadi suaminya, seringkali pembagian waris tidak dilaksanakan.

Tindakan ini kalau didasarkan pada kesalahan sebelumnya, yaitu bahwa harta milik seorang suami secara otomatis dan pasti menjadi harta milik istrinya juga.

Pandangan ini jelas tidak sejalan dengan hukum Islam yang memandang bahwa tiap orang punya hak atas harta masing-masing. Dan meskipun seorang laki-laki punya istri, harta miliknya tidak secara otomatis menjadi harta istrinya. Dan demikian juga berlaku sebaliknya, harta milik istri tidak secara otomatis menjadi harta suami.

Maka kalau ada salah satu yang meninggal, harta harus segera dibagi waris, tanpa harus menunggu pasangannya meninggal terlebih dahulu.

Keharusan segera membagi warisan itu dikecualikan, misalnya bila ada pertimbangan yang bersifat teknis semata, bukan karena harus menunggu kematian. Misalnya karena ada pertimbangan karena harta itu sulit untuk dijual, jadi untuk sementara dibiarkan saja dulu. Kalau demikian tentu bisa dimaklumi bila sedikit tertunda.

Namun begitulah yang terjadi di tengah masyarakat kita, umumnya pembagian harta warisan tidak segera dilaksanakan secepatnya, alasannya semata-mata karena masih menghormati ibu mereka.

Dan yang lebih parah, para ibu yang posisinya sebagai istri almarhum pun tidak lebih baik cara berpikirnya. Biasanya karena kurang ilmu dan ikut-ikutan kebiasaan yang ada di tengah masyarakatnya, juga merasa tersinggung kalau ketika masih hidup, harta peninggalan suami sudah dibagi-bagi kepada putera puteri almarhum.

  1. Bukan Ahli Waris Tetapi Merasa Paling Berhak

Di antara bentuk kekeliruan dalam pembagian waris yang sering terjadi adalah diberikannya harta peninggalan almarhum kepada orang yang bukan ahli waris, dengan mengatas-namakan pembagian waris.

Di antara mereka yang sebenarnya tidak berhak atas harta warisan namun seringkali ikut diberikan harta waris ada beberapa jenis :

  1. Tidak Terdaftar Dalam Sturuktur Ahli Waris

Orang yang tidak termasuk di dalam daftar ahli waris tapi sering menuntut agar mendapat bagian waris antara lain mereka yang hubungannya pakai istilah angkat, tiri dan mantan.

   Jalur Keluarga Berstatus Angkat

Yang dimaksud dengan keluarga yang menggunakan istilah ‘angkat’ antara lain adalah anak angkat, ayah angkat, ibu angkat, saudara angkat, paman angkat, bibi angkat dan seterusnya.

Pengangkatan saudara atau anak tidak dikenal di dalam syariat Islam.

   Jalur Kelurga Berstatus Tiri

Selain jalur keluar yang berstatus angkat, yang bukan termasuk ahli waris adalah jalur keluarga yang berstatus tiri. Misalnya anak tiri, ibu tiri, ayah tiri, saudara tiri lain ayah lain ibu, dan seterusnya.

   Jalur Keluarga Berstatus Mantan

Selain itu yang juga bukan termasuk ahli waris adalah jalur keluarga yang berstatus mantan. seperti mantan suami atau mantan istri.

   Memang Bukan Ahli Waris

Selain itu yang bukan termasuk ahli waris adalah menantu, mertua dan sebagian keponakan, saudara ipar, cucu dari jalur anak perempua, sebagian paman.

  1. Terdaftar Dalam Ahli WAris Tetapi Terhijab dan Terlarang

Tidak semua orang yang termasuk di dalam daftar ahli waris pasti mendapatkan jatah bagian dari harta warisan. Mereka yang terhijab oleh keberadaan ahli waris yang lain yang lebih dekat, tentu juga tidak mendapat harta warisan.

Dari 22 pihak ahli waris yang terdaftar, hanya 6 pihak saja yang pasti tidak akan pernah terhijab, yaitu anak laki-laki, anak perempuan, suami, istri, ayah dan ibu. Selebihnya, masih sangat besar kemungkinan terhijab dan gugur haknya.

Mereka yang sudah termasuk di dalam daftar ahli waris dan tidak terhijab, tetapi pada dirinya ada mawani’ (pencegah), seperti yang sudah Penulis sebutkan di awal. Di antara pencegah seorang ahli waris dari menerima harta waris adalah perbedaan agama, pembunuhan dan perbudakan.

  1. Bagi Waris Berdasarkan Kesepakatan

Kesalahan yang paling fatal dalam pembagian harta waris adalah pembagian berdasarkan kesepakatan dengan sesama ahli waris, tanpa mengindahkan ketentuan yang ada di dalam Al-Quran, As-Sunnah dan juga apa yang telah ditetapkan syariah Islam.

Alasan yang biasanya digunakan adalah asalkan para pihak sama-sama ridha dan tidak menuntut apa-apa. Sehingga dianggap sudah tidak perlu lagi dibagi berdasarkan ketentuan syariah.

Perumpamaan keharaman tindakan ini ibarat laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri sepakat dan rela sama rela untuk melakukan hubungan badan di luar nikah, alias berzina. Meski sama-sama suka dan tidak merasa dirugikan, tetapi bukan berarti berzina itu dibolehkan. Sebab di luar mereka, ada Allah SWT yang telah menetapkan keharaman berzina.

Demikian juga dengan pembagian harta waris yang melanggar ketentuan Allah SWT. Para ahli waris mungkin secara suka rela membaginya, namun di sisi lain mereka telah sepakat untuk meninggalkan ketentuan Allah SWT.

Maka yang seharusnya dilakukan, sebelumnya harus dibagi sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Bahwa setelah itu masing-masing pihak ingin menghadiahkan sebagian jatahnya atau seluruhnya buat saudaranya, itu terserah mereka masing-masing.

Dalam hal ini ada ancaman yang serius dari Allah SWT bagi keluarga yang tidak menggunakan hukum mawaris dalam pembagian harta peninggalan almarhum.

وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa’ : 14)

Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api neraka.

Sayangnya, tidak ada pihak yang berhak untuk mencegah cara-cara jahiliyah ini, baik dari pihak para ulama apalagi dari pihak pemerintah, baik ulama atau pun pemerintah, keduanya hanya menjadi penonton pasif belaka. Sayang sekali mereka seringkali tidak pernah merasa berkewajiban untuk meluruskan umat dari berbagai penyimpang yang dilakukan.

Dan dalam banyak kasuk, kedua belah pihak lebih sering menyerahkan urusan ini kepada rapat dan kesepakatan keluarga. Yang penting semua sama-sama ikhlas dan menerima, masalah dianggap selesai. Apakah Allah SWT menerima atau tidak, sama sekali tidak ada yang peduli.

  1. Bagi Waris Menggunakan Aturan Adat

Salah satu bentuk kekeliruan yang amat fatal adalah membagi waris dengan tata cara adat yang bertentangan dengan hukum mawaris.

Turunnya ayat-ayat tentang waris ini di masa Rasulullah SAW justru untuk menggantikan tata cara pembagian waris secara adat. Di antara adat yang bertentangan dengan hukum mawaris di masa Rasulullah SAW antara lain :

   Anak perempuan tidak mendapatkan harta warisan. Ketika syariat tentang mawaris ini turun, anak perempuan ditetapkan mendapat bagian dari warisan.

   Anak laki-laki yang belum mampu memanggul senjata juga tidak mendapat harta warisan. Sehingga anak-anak kecil, bila ayah mereka meninggal dunia, sudah dipastikan tidak akan mendapat warisan. Yang dapat warisan hanya khusus anak-anak laki-laki yang sudah dewasa, dan ukurannya adalah kemampuan dalam berperang dan memanggul senjata. Ketika syariat Islam turun, semua anak baik besar maupun masih kecil, pasti mendapat harta warisan.

   Anak angkat atau anak adopsi menerima warisan kalau menggunakan hukum jahiliyah di masa sebelum turunnya syariat Islam. Dengan semakin sempurnanya syariat Islam, anak angkat bukan hanya tidak mendapat harta warisan, tetapi hukum mengangkat anak itu sendiri pun dibatalkan dan dilarang.

   Anak Mewarisi Ibu Tirinya. Bila seorang ayah yang punya banyak istri meninggal dunia, maka anak laki-laki pertama berhak mewarisi para mantan istri ayahnya, alias ibu tiri mereka. Dengan turunnya syariat Islam, ibu tiri menjadi haram untuk dinikahi, apalagi diwariskan kepada anak tiri.

Dan masih banyak lagi contoh-contoh hukum waris adat jahiliyah yang bisa kita sebutkan. Semua itu kemudian dihapus dan terlarang untuk dijalankan oleh umat Islam.

Di negeri kita, tiap suku punya ketentuan hukum waris yang mereka pelihara sejak zaman nenek moyang. Terkadang ketentuan-ketentuannya sejalan dengan hukum mawaris, namun seringkali justru bertentangan 180 derajat.

Maka bila memang ketentuan hukum adat bertentangan dengan hukum mawaris yang datang dari Allah SWT, hukum adat itu harus ditinggalkan, karena hukumnya haram untuk dijalankan.

  1. Menunda Bagi Waris Sampai Para Ahli Waris Meninggal

Contohnya adalah seorang kakek yang ketika wafat meninggalkan harta berupa sebidang tanah. Tanah itu dibiarkan saja tidak dibagi waris, sampai salah satu atau beberapa ahli waris pun meninggal dunia. Padahal seharusnya tanah itu segera dibagi waris, agar para ahli waris yang berhak memilikinya bisa segera menikmatinya.

Entah bagaimana dan entah karena alasan apa, ternyata bertahun-tahun dibiarkan saja tanah itu tanpa kejelasan siapa pemiliknya. Lalu lahirlah anak-anak dari ahli waris, yang sebenarnya bukan ahli waris langsung dari sang kakek.

Di level mereka inilah kemudian muncul pertentangan atau perebutan atas tanah warisan dari kakek. Tiap-tiap cucu merasa sebagai ahli waris, sehingga masing-masing mengklaim sebagai pihak yang berhak atas tanah tersebut.

Sayangnya, generasi yang seharusnya menjadi ahli waris langsung justru sudah banyak yang wafat.

  1. Ahli Waris Pengganti

Istilah ahli waris pengganti yang dimaksud adalah bila seorang anak yang seharusnya menjadi ahli waris, meninggal lebih dulu sebelum ayahnya yang menjadi pewaris wafat.

Dalam syariat Islam, yang namanya bagi waris itu hanya terbatas memindahkan harta warisan dari pewaris yang wafat kepada ahli waris yang syaratnya adalah orang yang masih hidup.

Meski seorang anak biasanya jadi ahli waris dari ayahnya, tetapi kalau si anak ini meninggal duluan, maka statusnya bukan ahli waris dari ayahnya. Yang terjadi malah sebaliknya, justru ayahnya itulah yang menjadi ahli waris dari anaknya yang meninggal. Kalau si anak ini punya harta, maka ayahnya adalah salah satu dari ahli waris.

Sayangnya, justru di dalam Kompilasi Hukum Islam, ketentuan syariah ini, entah dengan alasan apa yang kita tidak paham, malah dilanggar. Posisi si anak yang meninggal duluan ini kemudian digantikan olah anaknya lagi, yang tidak lain adalah cucu dari almarhum.

Ketentuan ini jelas-jelas melanggar hukum syariah, karena cucu yang dikatakan menggantikan posisi ayahnya itu sebenarnya terhijab (mahjub) dengan adanya ahli waris yang lain, yaitu pamannya, atau kalau dari sisi si kakek disebut anak-anak kakek yang lain.

Konon alasan adanya kedudukan pengganti ahli waris ini didasarkan pada niat baik, agar anak-anak almarhum calon ahli waris yang meninggal duluan itu tetap bisa mendapatkan bagian dari harta yang diwariskan kakek.

Sayangnya, solusi yang digunakan tidak benar, karena malah mengubah hukum waris itu sendiri. Prinsipnya, tujuan yang baik tidak boleh dijalankan dengan cara yang tidak baik.

Yang seharusnya dilakukan adalah bukan mengubah hukum waris, tetapi gunakan cara lain yang masih dibenarkan dalam syariat Islam. Salah satunya adalah syariat wasiyat atau hibah.

  1. Wasiat

Ketika sang kakek pemilik harta mengetahui salah satu anaknya ada yang wafat dan meninggalkan anak, dimana anak itu tidak lain adalah cucunya juga, maka si kakek boleh saja berwasiat. Isinya bila nanti dirinya berpulang ke rahmatullah, sebagian dari hartanya itu diwasiatkan agar diberikan kepada cucunya.

Sebab cucu itu sudah dipastikan tidak akan mendapat harta warisan dari sang kakek. Maka wasiat dari kakek bisa berlaku agar si cucu tetap mendapatkan bagian dari harta.

Cara inilah yang dilakukan oleh Pemerintah Mesir dan Suriah, ketika menghadapi masalah seperti ini. Pemerintah berinisiatif untuk mewajibkan sang kakek membuat wasiat. Istilahnya adalah wasiyah wajibah. Jadi wasiat itu bukan semata-mata inisiatif si kakek, tetapi negara mewajibkan kepada kakek untuk mewasiatkan harta kepada si cucu.

Cara ini 100% sesuai dengan syariah, dan tujuan untuk memberikan keadilan kepada cucu juga tercapai.

  1. Hibah

Selain dengan jalan wasiat, bisa saja si kakek langsung memberi harta kepada si cucu on the spot, tanpa harus menunggu dirinya meninggal dunia.

Ketika tahu salah satu anaknya wafat dan meninggalkan anak yang juga menjadi cucunya, si kakek langsung ke bank mencairkan uang. Lalu uang itu langsung diserahkan kepada si cucu, nilainya terserah saja. Dan boleh saja bila nilainya kurang lebih sama dengan yang nantinya bakalan diterima oleh anak atau cucu lainnya.

Tindakan seperti ini baik sekali dilakukan, karena sejak dini sudah diantisipasi urusan keadilan harta.

Apa Yang Bisa Kita Lakukan?

Semua fenomena ini berangkat dari semakin asingnya umat Islam terhadap ilmu syariah, khususnya ilmu mawaris yang telah diajarkan oleh Nabi SAW.

Maka kuncinya adalah bagaimana kita kembali menggalakkan pengajaran dan sosialisasi ilmu mawaris ini ke tengah-tengah umat dengan tindakan yang nyata.

Kita sebenarnya punya banyak majelis ilmu. Bahkan setiap masjid punya pengajian yang rutin dilaksanakan. Tidak ada salahnya kalau kita mulai dari menyisipkan pengajian di berbagai majelis taklim dengan materi yang terkait dengan maslah mawaris.

Syukur nanti kalau bisa lebih disosialisasikan secara masif dan nasional. Entah lewat kurikulum resmi di sekolah, atau pun juga lewat berbagai terobosan yang bisa dilakukan oleh para ustadz, da’i dan juga para penceramah. Setelah tentunya mereka juga mendapatkan kuliah khusus dalam masalah seperti ini.

Dan tidak ada salahnya kalau hukum-hukum waris ini disosialisasikan lewat berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Tentu semua semata-mata hanya mengharap ridha Allah SWT.

Wallahu a’lam bishshawab