KETERANGAN BATASAN HARAM MENYERUPAI “MEREKA”

 

TASY                    Dalam wacana fiqh Islam, istilah tasyabbuh (menyerupai/ meniru-niru) pada tradisi dan budaya orang-orang selain Islam, atau tradisi orang-orang fasiq adalah haram dengan beberapa ketentuan.

  • Pertama, tradisi tersebut tidak dikenal dalam syariat (masyrû’). 
  • Kedua, hal tersebut menjadi ciri khas non muslim ataupun orang fasiq. Sebagai contoh, kita haram memakai kalung salib atau model pakaian diskotek.
  • Ketiga, dilakukan saat tradisi tersebut masih kental menjadi identitas mereka. Contoh dari hal ini bisa kita lihat ketika bangsa Indonesia menghadapi penjajah, di mana ketika itu Kyai-kyai pesantren mengharamkan umat Islam memakai celana panjang. Namun ketika celana sudah tidak lagi menjadi identitas non muslim dan cenderung menjadi tradisi umum, umat Islam pun diperkenankan selama memenuhi standar berpakaian menurut syariat.
  • Keempat, dilakukan di kawasan mayoritas muslim seperti di Indonesia serta tidak dalam kondisi dharurat (terpaksa). Dan yang paling berbahaya adalah jika menyerupai tersebut bertujuan memuliakan agama non muslim atau minimal merasakan kecenderungan pada agama mereka, maka hukum haram akan berubah menjadi kufur alias murtad, naudzu billah min dzalik (Bughyah al-Mustarsyidin, h. 248, 283 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, juz. XII h. 6-7).

RAHASIA KENAPA DI HARAMKAN?

Imam Al-Munawi memberikan penjelasan bahwa diharamkannya umat Islam menyerupai atau meniru-niru tradisi non muslim adalah dari beberapa pertimbangan, di antaranya.

  • Pertama, menyerupai dan meniru secara psikologis akan membawa seseorang mengikuti setiap karakter dari mereka yang kita tiru.
  • Kedua, berbeda dalam identitas akan mempunyai nilai tersendiri, yakni memutus mata rantai kesesatan serta memperteguh loyalitas kepada sebuah keyakinan yang benar.
  • Ketiga, mencampur adukkan tradisi justru akan mengakibatkan kita akan kesulitan memilah antara kesesatan dan kebenaran ataupun antara orang-orang yang teguh pendirian agamanya dan mereka yang telah berpaling (Faydh al-Qadîr, juz.VI h. 243-244).