KETIKA DAKWAH BERDAMPINGAN SEIRING DENGAN BUDAYA MASYARAKAT

Ketika orang-orang musyrik mendapatkan seruan dan nasehat agar mengikuti al-Qur’an yang telah diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW, mereka sertamerta menolak. Mereka juga bersikeras tidak mau meninggalkan kesesatan dan moral yang buruk.Mereka berdalih apa yang dilakukan hanyalah menjalankan kepercayaan dan tradisi turun temurun warisan nenek moyang.

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah! Mereka menjawab: (tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak pula mendapatkan petunjuk?”(QS. al-Baqarah: 170)

Begitulah sejarah dakwah padaumat terdahulu. Ketika diajak beranjak dari kepercayaan yang salah tentang Sang Pencipta, mereka menolak dengan alasan bahwa keyakinan itu sama seperti nenek moyang. Seperti umat Nabi Ibrahim AS yang ketika dilarang dari menyembah berhala dan agar menyembah Allah, mereka menjawab:“(Bukan karena itu) tetapi kami telah mendapati nenek moyang kami berbuat demikian”(QS.As-Syu’ara’:74).

Hal serupa dilakukan bangsa Mesir yang ketika diserukan oleh Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS supaya meninggalkan tradisi paganisme maka justru menuduh kepada kekasih Allah SWT itu. “Mereka mengatakan; Apakah kamu datang kepada kami hanya untuk memalingkan kami dari apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami,dan lalu kalian berdua akan memperoleh kekuasaan di muka bumi, dan (sungguh) kami tidak akan pernah beriman kepada kalian berdua”(QS. Yunus:78)

Para da’i juga pasti akan menemui tradisi maupun budaya yang salah dan berlawanan dengan prinsip-prinsip Islam. Ketika dakwah disampaikan supaya tradisi atau budaya salah tersebut ditinggalkan, niscaya mereka menolaknya. Bahkan sembari menyampaikan alasan yang sama sekali tidak menggunakan nalar dan akal sehat. Biasanya mereka berujar, tradisi ini sudah turun temurun dan itu baik sehingga tidak perlu dipermasalahkan.

Allah azza wajalla telah berfirman:

وَإِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً قَالُوْا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللهُ أَمَرَنَا بِهَا…

“Dan ketika melakukan perbuatan yang buruk maka mereka mengatakan: Kami telah mendapati nenek moyang kami menetapinya (yang berarti) Allah juga memerintahkannya kepada kami…”(QS al-A’raf:28)

Dakwah sering kali tidak bisa menghindari kondisi ditolak oleh kepercayaan yang sudah menjadi tradisi. Pemikiran dan budaya yang sudah berurat berakar yang diwarisi dari nenek moyang, membuat obyek dakwah bersikap tertutup. Mereka tidak mau menerima kepercayaan baru. Sebaliknya, mereka berlaku kolot dan emoh menerima masukan serta penjelasan sesuai syariat Islam. Akibatnya, mereka bersikap fanatik dan tidak sudi menerima hal baru yang berbeda dengan tradisi mereka.

Para da’i adalah pewaris para nabi alaihimussalaam. Dakwah adalah menjalankan aktifitas dan tugas sebagaimana arahan nabi. Maka para da’i harus terus belajar memiliki rasa optimisme tinggi dan kesabaran bahwa tradisi yang menolak dakwah, suatu saat dan dengan cara yang tepat dan bijaksana pasti akan bisa dikalahkan. Syaikh Abdurrahman Hasan Habannakah al-Maidani dalam Ghazwun fi as–shamim hal 147-148 menyebutkan cara-cara dakwah merubah tradisi yang ringkasan dan kesimpulannya adalah sebagaimana berikut:

“Dan termasuk halangan yang merintangi dakwah adalah tradisi dan budaya dimana hal demikian ini dimaklumi sangat susah membebaskan jiwa-jiwa yang telah terkungkung di dalamnya. Karena itulah diperlukan metode-metode yang bijaksana dan efektif.”

Syaikh Abdurrahman Hasan menyebutkan beberapa hal penting tersebut, antara lain menggunakan cara-cara yang bisa membuat obyek dakwah percaya bahwa apa yang didakwahkan kepadanya adalah lebih baik, lebih banyak menguntungkan dan lebih menentramkan jiwanya di dunia dan akhirat dari pada tradisi dan budaya dalam lingkungannya atau ia mewarisi dari nenek moyangnya.

Metode lainnya adalah menggunakan cara-cara tidak langsung. Dalam hal ini adalah memberikan teladan yang baik. Hal ini bisa terjadi jika seorang da’i berada dekat dengan obyek dakwah, hidup dan berinteraksi bersama mereka dan tidak mengambil jarak. Pada akhirnya tanpa sadar obyek dakwah telah mengambil pelajaran dan arahan secara langsung. Tanpa mereka merasa bahwa pelajaran dan arahan tersebut didapatkan oleh mereka dari seorang guru, penasehat atau orang yang memerintah dan melarang.

Agar dakwah bisa efektif juga dengan berusaha menyenangkan hati obyek dakwah melalui sarana-sarana yang diperbolehkan oleh syariat Islam. Hal tersebut bisa menjadi pelipur atau pengganti dari kesenangan dan hobi obyek dakwah sebelumnya. Selanjutnya juga tak henti berusaha mendesak dan menggeser tradisi dan budaya lama dengan tradisi dan budaya baru yang selaras dengan dakwah.

Dengan demikian, lambat laun obyek dakwah menjadi akrab dan menyenangi tradisi dan budaya baru tersebut. Sekali lagi hal ini terjadi apabila da’i dan obyek dakwah memiliki hubungan dekat pertemanan dan kebersamaan. Pada gilirannya, da’i mengambil langkah untuk memindahkan atau menjauhkan obyek dakwah dari lingkungan mereka semula menuju lingkungan dan suasana lain. Sehingga kemudian mereka melupakan secara total tradisi dan budaya lama yang bertentangan dengan syariat Islam tersebut.