RUMAHKU ADALAH SURGAKU DI DUNIA

images 2                     DALAM KEHIDPAN BERUMAH TANGGA, Masyarakat jawa pada umumnya memposisikan isteri layaknya pembantu. Di jawa khususnya,isteri seakan berkeharusan menjalankan segala pekerjaan rumah tangga sejak fajar menyingsing hingga matahari kembali keperaduanya. Memasak,mencuci,menyapu,mengurus anak dan segala hal yang ada di rumah harus di selesaikan tanpa mengharap upah dan imbalan. Bahkan saat malam mulai menyapa dengan selimut gelapnya, seorang isteripun harus siap melayani suami yang berarti harus mengesampingkan rasa lelahnya…

Terkadang hati berbisik, ingin menolak dan berontak, namun kebijakan seorang wanita lebih bisa menyadari bahwa ini adalah kodrat,kewajiban dan kenyataan hidup yang harus di jalani “apa adanya” tanpa mengharap”ada apanya”.

1. Dalam hazanah fiqh, sebenarnya kewajiban siapakah pekerjaan rumah tangga seperti memasak,mencuci,menyapu dan yang lainya?

2. Jika semua pekerjaan itu bukan kewajiban isteri, haruskah suami memberitahukan padanya mengenai hal itu?

3. Bolehkah isteri meminta upah atas semua pekerjaan rumah tangga yang di lakukanya itu?

Rumah tangga ibarat bahtera yangberlayar mengarungi samudera kehidupan.sehingga harus siap menghadapi ombak dan badai yang menghadang, suami dan isteri bagai nahkoda yang harus selalu memiliki kesamaan persepsi dalam menentukan arah laju bahteranya. Perbedaan pandangan antara keduanya dapat mengundang gulungan ombak yang besar yang siap memecah,mengguncang dan menenggelamkan bahtera keduanya.

Pada prinsipnya, kewajiban pokok dalam berumah tangga bagi suami adalah mencukupi kehidupan hidup isteri dan anak, kebutuhan yang di maksud yaitu berupa sandang,pangan maupun papan. Selain itu suami juga berkeharusan menyediakan pembantu bagi sang isteri jika ia adalah seorang wanita yang punya status sosial yang tinggi dan saat hidup di rumah orang tuanya biasa di layani.

Sedangkan kewajiban isteri kepada suaminya adalah menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada suami untuk melayaninya. Bukan sekedar melampiaskan nafsu yang membuncah tetapi lebih kepada mewujudkan maksud dan tujuan dari pernikahan yang tak lain adalah mendapatkan keturunan sebagai generasi yang menjaga berkibarnya bendera islam di cakrawala.

Penyerahan isteri kepada suami, secara konseptual dapat di nilai sebagai imbal balik dari nafkah yang ia terima. Terbukti, seorang isteri tidak lagi berhak mendapat nafkah apabila ia tidak lagi konsisten menyerahkan dirinya kepada suami atau yang di sebut dengan Nusyuz. Ketaatan isteri kepada suami yang berimbang dengan perhatian dan kasih sayang suami kepadanya merupakan elemen penting dalam memperbaharui simpul tali pernikahan hingga menjadi semakin erat.

                    Rosululloh Saw. Bersabda :

لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْتَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya”.(HR.Ahmad).

Menurut ulama madzhab Syafi’i, tidak ada kewajiban atas isteri memberi pelayanan yang seumpama mencuci,menyapu dan yang lainya. Bahkan di perbolehkan bagi isteri meminta upah atas pelayanan yang telah di berikan kepada sang belahan jiwa.

Di sebutkan dalam firman Alloh Swt.:

فَإِنْ أَرْضَعْنَا لَكُمْ فَأَتُوْهُنَّ أُ جُوْرَهُنَّ

Kemudian jika mereka menyusukan anak anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya”. (Ath Tholaq 6).

Menurut pendapat ulama Hanafiyah, seorang wanita wajib melayani suami dalam keseharianya. Pendapat ini berdasar atas kebijakan Rosululloh Saw.dalam membagi pekerjaan antara sayyidina Ali dan dewi Fathimah Rodliallohu ‘anhuma. Yang mana pekerjaan dewi fathimah adalah yang ada di dalam rumah dan shohabat Ali adalah yang di luar rumah.

Berbeda dengan madzhab Maliki, yang cenderung memahami kebijakan Rosululloh di atas degan kesimpulan bahwa Isteri berkewajiban melayani suaminya  dalam pekerjaan pekerjaan yang umumnya di lakukan oleh kaum isteri. Dalam pendapat ini,kebudayaan dan tradisi masyarakat berperan sebagai penentu kewajiban kewajiban seorang isteri. Dalam kultur masyarakat jawa misalnya memasak,mencuci,dan menyapu adalah pekerjaan para kaum isteri.

Berdasar pada pernyataan madzhab Syafi’i, konsekwensi berikutnya adalah wajibnya sang suami memberitahukan kepada sang isteri  bahwa semua pekerjaan tersebut sebenarnya bukanlah kewajiban sang isteri tetapi sang suami.

Pemberitahuan ini bermaksud agar isteri tidak beranggapan bahwa semua pekerjaan itu adalah kewajibanya dan telah menjadi kodratnya.sebab, dengan anggapan itu sang isteri mungkin akan merasa terbebani atau terpaksa melakukan hal hal yang di luar tanggung jawabnya,padahal sang isteri boleh meminta upah atas pekerjaan rumah tangganya.

Dalam pada itu sang isteri tidak boleh atau tidak berhak untuk meminta upah atas pekerjaan rumah tangga yang telah di laukan selama sang isteri belum mengetahui hukum ini. Di karenakan sang isteri telah melakukanya secara suka rela tanpa mengharap imbal upah. Sang isteri juga di nilai ceroboh jika selama itu tidak mau bertanya mengenai hukum yang sebenarnya.

Hal ini berbeda dengan orang yang di sewa untuk melakukan suatu pekerjaan. Jika ternyata transaksi sewa yang di lakukan tidak sah sebab faktor tertentu, maka sang pekerja berhak mendapatkan upah satandar(ujroh mitsil).di karenakan si pekerja melakukan pekerjaan tersebut bukan atas dasar suka rela tetapi dengan mengharap imbal upah.

Kesimpulanya :

1. Memasak, menyapu mencuci dan pekerjaan pekerjaan rumah tangga yang lain menurut madzhab Syafi’i bukan merupakan kewajiban isteri.

Berbeda dengan madzhab madzhab yang lain.

2. Suami wajib memberi penjelasan kepada isteri bahwa pekerjaan pekerjaan tersebut tidak wajib bagi isteri. Hal ini di maksudkan agar isteri tidak menyangka bahwa pekerjaan rumah tangga adalah kewajiban isteri.

3. Isteri tidak berhak mendapat upah dari pekerjaan rumah tangga yang telah di lakukanya saat isteri belum mengetahui hukum tentang ini.

Referensi :

Nihayatul muhtaj juz 7 hal. 190

Mausu’ah fiqhiyyah juz 19 hal. 44

Mughnil muhtaj juz 5 hal. 161

Syarah mukhtshor kholil juz 4 hal. 186

I’anatut tholibin juz 3 hal.101