KH. SAIFUDDIN ZUHRI DAN KECINTAAN KE NEGARA PALESTINA

Sebagai sesama umat Islam, Nahdlatul Ulama memiliki kecintaan yang sangat tinggi pada bangsa Arab Palestina. Bahkan, jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka, NU telah memberikan dukungan penuh terhadap kemerdekaan Palestina dari kungkungan zionis Israel yang dibantu oleh para sekutunya itu.

Kecintaan NU pada Palestina tersebut, tidak hanya secara institusi. Tapi juga menyublim kepada para pengurus dan warga Nahdliyin secara keseluruhan. Salah satu tokoh NU yang memiliki kecintaan yang cukup mendalam terhadap Palestina adalah KH Saifuddin Zuhri.

Bentuk kecintaan Kiai Saifudin dengan Palestina dituangkan dalam bentuk buku yang berjudul Palestina dari Zaman ke Zaman. Buku ini berisi tentang perjuangan rakyat Palestina dalam upaya mencapai kemerdekaan dan kegigihannya dalam melawan pasukan Zionis. Dengan buku tersebut, Kiai Saifuddin ingin menggugah solidaritas para pembacanya akan perjuangan bangsa Palestina.

Penulisan buku tersebut, berawal dari kunjungan Mohammad Abdul Mun’im selaku Konsul Jendral Mesir untuk India ke Solo, pada Maret 1947. Kedatangannya guna menyampaikan kabar dari Liga Arab kepada Presiden Soekarno. Pesan tersebut, berupa pengakuan negara-negara Arab, seperti Palestina dan Mesir atas kemerdekaan bangsa Indonesia. Tentu saja, pengakuan bangsa Arab tersebut, merupakan kabar gembira bagi kemerdekaan Indonesia yang memang membutuhkan pengakuan dunia Internasional sebagai prasyaratnya.

Keberanian Mohammad Abdul Mun’im tersebut, menginspirasi Kiai Saifuddin untuk membalas kebaikan bangsa Arab. Salah satu upaya untuk membalas kebaikan itu, adalah dengan menuliskan buku tentang perjuangan salah satu bangsa Arab yang juga masih berada dalam kungkungan penjajahan, yakni Palestina.

Di tengah berkecamuknya Agresi Militer Belanda itu, Kiai Saifuddin tekun mempelajari sejarah perjuangan bangsa Arab. “Aku mulai mempelajari lebih tekun tentang perjuangan bangsa-bangsa Arab menghadapi kaum imperialisme Inggris dan Prancis, juga tentang cita-cita Palestina merdeka menghadapi kaum Zionisme,” tulis Kiai Saifuddin dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren.

Saat itu, Kiai Saifuddin bukanlah seorang yang hidup tenang di bilik-bilik perpustakaan untuk menyelesaikan proses penulisan bukunya itu. Ia adalah seorang pimpinan Partai Masyumi sekaligus seorang komandan Hizbullah. Dimana ia memiliki tanggung jawab untuk berkeliling di daerah-daerah di seputar Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk memberikan komando sekaligus menyampaikan informasi-informasi penting kebijakan partai maupun kebijakan Nahdlatul Ulama. Lebih-lebih saat itu, Kiai Saifuddin juga diminta menjadi salah satu pejabat di Kementerian Agama oleh KH Masjkur yang saat itu menjabat menjadi menteri.

Kesibukan yang demikian penat serta ancaman dan tekanan dari pihak penjajah yang bisa mengancam nyawa kapanpun, Kiai Saifuddin berhasil menyelesaikan bukunya tersebut. Sekitar Desember, 1947, ia berhasil menyelesaikan naskah buku Palestina dari Zaman ke Zaman tersebut.

Buku itu, terdiri dari 84 halaman. Diterbitkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang saat itu, telah berpindah kantor dari Surabaya ke Pasuruan karena desakan Belanda. Percetakannya sendiri adalah “Persatuan” dari Yogyakarta, atas sponsor dari Pemimpin Perpustakaan Islam di Yogyakarta, Haji Abubakar.

Sedangakan kata pengantar buku tersebut, ditulis oleh Ismail Banda, MA. Ia adalah seorang diplomat muda yang menjadi duta besar Indonesia untuk Afganistan. Ia juga seorang mantan pemimpin pergerakan mahasiswa Indonesia di Cairo, Mesir.

Dalam buku itu, Kiai Saifuddin menguraikan sejarah panjang Palestina yang telah terbentang jauh sejak 13 Abad lamanya. Dimulai dari masa kekhalifahan Umar bin Khattab, kemudian masa perang Salib, hingga pada akhir perang dunia pertama. Dimana Turki yang mengusai Palestina takluk kepada Inggris dan menyerahkannya ke negara Ratu Elizabeth tersebut.

Di bawah kekuasaan Inggris itulah, Palestina mulai dihuni oleh sekolompok orang Yahudi yang tergabung dalam gerakan Zionisme. Dalam sebuah pengumuman yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Sir Arthur James Balfour pada 2 Nopember 1917, dimulailah praktik Zionisme di Palestina. Sebuah negara nasional Yahudi (Jewish National State) dinyatakan berdiri. Dikemudian hari, pengumuman tersebut, dikenal sebagai Balfour Declaration.

Dalam buku tersebut, juga ditulis respon bangsa Indonesia terhadap Zionisme di Palestina. Seperti halnya respon NU dengan pekan rajabiyah-nya. Dimana NU mengutuk keras penguasaan Palestina oleh Zionis Yahudi.

Namun, buku yang ditulis penuh ketegangan itu, berakhir dengan nestapa. Buku itu tak sempat beredar. Sebelum tahap akhir di percetakan selesai, Agresi Militer Belanda pada 19 Desember 1948 yang meluluhlantakkan Yogyakarta, turut menghancurkan buku yang hampir selesai itu.

Sampai saat ini, buku tersebut, tak lagi ada. Hanya berupa ikhtisar yang kembali ditulis oleh Kiai Saifuddin dalam buku Berangkat dari Pesantren. Itu pun ikhtisar yang tak seberapa banyak. Meski demikian, ada satu kutipan hadist yang ditulis oleh Kiai Saifuddin dalam buku tersebut, yang amat berkesan. Hadist yang memang harus dipegang teguh oleh umat Islam dimanapun dalam konteks membela kebenaran, seperti halnya kebenaran rakyat Arab atas tanah airnya, Palestina.

“Segolongan daripada umatku akan terus menerus berjuang mempertahankan kebenaran, mereka akan mengalahkan musuh-musuh dan lawan-lawannya, sehingga golongan yang terakhir daripada mereka akan mengalahkan Dajjal.” (HR. Abu Dawud)