KISAH BULAN SURO : YAHUDI YANG DERMAWAN DAN MUSLIM YANG PELIT

Suatu ketika seorang fakir puasa di hari Asyura bersama keluarganya. Namun apa mau dikata, mereka tidak punya makanan apapun untuk berbuka. Dengan penuh harapan Si Fakir keluar rumah untuk mencari rejeki demi buka puasa keluarganya.

Ia menuju di pasar hendak meminjam uang secukupnya kepada seorang muslim pemilik toko emas. Si Fakir berkata: “Tuanku, aku orang fakir, bisakah Anda meminjamiku uang sedirham untuk Ku gunakan membeli makanan berbuka keluargaku, dan sebagai balasannya aku akan mendoakanmu hari ini?” Namun si pemilik toko justru memalingkan wajahnya dan tidak memberinya pinjaman sedikitpun.

Bercucuranlah air mata Si Fakir mengalir di pipinya mengiringi hanti yang remuk pilu. Seketika itu, pemilik toko emas lainnya yang kebetulan seorang Yahudi melihatnya dan menaruh iba. Si Fakir pun mengadukan kisahnya barusan di toko sebelah. “Hari apa ini?” tanya Si Yahudi penuh selidik. “Hari Asyura” jawab Si Fakir sambil menerangkan keutamaan-keutamaannya. “Ambil ini 10 dirham dan belanjakan untuk keluargamu karena memuliakan hari ini”, sergah Si Yahudi. Gembiralah Si Fakir dan segera berbelanja dan pulang membawa makanan buka puasa bagi keluarganya.

Di malam harinya, Si Muslim pemilik toko emas bermimpi, hari kiamat telah tiba, sagat kehausan dan sedih. Setelah melihat ke sekelilingnya, ia mendapati istana yang terbangun dari mutiara putih sedangkan pintu-pintunya terbuat dari batu yakut merah. Ia segera berteriak dari luar: “Wahai pemilik istana, beri aku minum sedikit saja!” Lalu dijawab: “Ini sebenarnya istanamu kemarin hari. Setelah Kamu mengusir Si Fakir dengan hati perih, maka namamu dihapus dan dituliskan nama tetanggamu Si Yahudi yang menolong Si Fakir sebagai pemiliknya.”

Menyesal tiada guna, kekecewaan terus melanda. Pagi harinya Si Muslim Pelit mendatangi Si Yahudi Dermawan untuk membeli pahala 10 dirham yang diberikannya kepada Si Fakir kemarin hari, dengan harga 10 kali lipatnya, 100 dirham. Namun Si Yahudi bersikeras tidak akan menjualnya seraya menegaskan: “Demi Allah, aku tidak akan menjualnya, meskipun dibayar lebih dari 100 dirham, bahkan 100 dinar pun.” Si Muslim pun penasaran, siapa yang memberitahu rahasia hari Asyura ini kepada Si Yahudi, dan menanyakannya. “Yang memberitahu kepadaku adalah Allah, Tuhan yang berfirman pada apapun yang akan diciptakan ‘Kun Fayakun, jadi maka jadilah’, dan Aku telah bersaksi bahwa tiada Tuhan Selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, dan Aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”, terang Si Yahudi penuh haru mengiringi keislamnnya.

Demikian keberuntungan Si Yahudi yang bermodalkan khusnuzhan atas keutamaan hari Asyura’, yang tidak mengetahui keutamaannya. Karena memuliakannya ia mendapat anugerah besar dan diberi hidayah masuk Islam. Lalu bagaimana dengan orang muslim yang mengetahui dan mengakui keutamaannya namun justru mengabaikannya? (I’anah at-Thalibin, II/267-268).