KISAH SEJATI DALAM QURBAN DAN IDUL ADHA

SI NENEK PENJUAL SAPU LIDI
Suatu siang yang panas di tempat penjualan kambing kurban, waktu itu seorang akhwat minta ditemeni beli kambing untuk aqiqah putrinya… setelah pilih-pilih kambing, Saya liat kambing yang paling bagus ‘n gemuk, temen Saya nawar harganya, ehh … ternyata terlalu mahal untuk ukuran kantong temen tsb Tiba-tiba datang seorang nenek tua, kira-kira berusia 70 tahunan, ternyata dia mau beli kambing juga. dan milih kambing yang Saya pilih. Iseng-iseng tanya, “buat apa kambingnya nek? si nenek bilang kalau dia beli kambing buat kurban. trus Saya tanya lagi,” kok belinya sendiri emangnya nggak ada anak, atau saudara nenek yang mau nganterin untuk beli kambing.???” ehhh, ternyata si nenek udah lama hidup sebatang kara, ‘n untuk ngidupin kebutuhan sehari-hari dia jualan sapu lidi yang dibuatnya sendiri dari pelepah daun kelapa dan daun pisang. Iseng-iseng Saya tanya ,”subhanallah yach nek, nenek masih sanggup berkorban.” Si nenek pun tersenyum ‘n ini satu hal yang nggak bisa Saya lupain , ternyata si nenek bukan saat itu saja berkorban tapi sudah beberapa tahun ia berkorban.
Saudaraku, ternyata beliau menabung setiap hari seribu rupiah, hasil menjual sapu lidi dan daun-daun pisang. trus dia bilang, “neng, gusti Allah sudah demikian sayang sama nenek, tiap hari Dia memberi nenek nikmat-nikmat yang hanya dapat nenek hargai dengan seribu rupiah sehari, neng kalau Dia memberi rezeki lebih, sebenarnya nenek ingin pergi haji, tapi neng tahu sendiri ongkos ke sana berapa dan fisik nenek udah nggak memungkinkan …Nenek tahu gusti Allah Maha kaya dan nggak perlu dengan uang seribu yang nenek korbani tiap hari, tapi hanya ini yang bisa nenek korbankan untuk membalas setiap nikmatNya… Saudaraku,
Saya jadi malu pada diri sendiri, ternyata seorang nenek mau bersusah payah berkorban tiap tahun untuk membalas berjuta nikmat yang telah dilimpahkanNYa tiap hari, sedang Saya yang telah di beri rezeki lebih terkadang masih merasa sayang, bila harus membeli kambing untuk berkorban…Walaupun peristiwa ini sudah terjadi 5 tahun yang lalu tapi kalau idul adha tiba Saya selalu teringat sama si nenek… dia masih hidup nggak yach…???

IBU TUKANG CUCI KELILING

Seorang pedagang hewan qurban berkisah tentang pengalamannya: Seorang ibu datang memperhatikan dagangan saya. Dilihat dari penampilannya sepertinya tidak akan mampu membeli. Namun tetap saya coba hampiri dan menawarkan kepadanya, “Silakan bu…”, lantas ibu itu menunjuk salah satu kambing termurah sambil bertanya, “kalau yang itu berapa Pak?”
“Yang itu 700 ribu bu,” jawab saya. “Harga pasnya berapa?”, Tanya kembali si Ibu. “600 deh, harga segitu untung saya kecil, tapi biarlah. “Tapi, uang saya hanya 500 ribu, boleh pak?”, pintanya. Waduh, saya bingung, karena itu harga modalnya, akhirnya saya berembug dengan teman sampai akhirnya diputuskan diberikan saja dengan harga itu kepada ibu tersebut.
Sayapun mengantar hewan qurban tersebut sampai ke rumahnya, begitu tiba di rumahnya, “Astaghfirullah…, Allahu Akbar…, terasa menggigil seluruh badan karena melihat keadaan rumah ibu itu.
Rupanya ibu itu hanya tinggal bertiga, dengan ibunya dan puteranya dirumah gubug berlantai tanah tersebut. Saya tidak melihat tempat tidur kasur, kursi ruang tamu, apalagi perabot mewah atau barang-barang elektronik,. Yang terlihat hanya dipan kayu beralaskan tikar dan bantal lusuh.
Di atas dipan, tertidur seorang nenek tua kurus. “Mak, bangun mak, nih lihat saya bawa apa?”, kata ibu itu pada nenek yang sedang rebahan sampai akhirnya terbangun. “Mak, saya sudah belikan emak kambing buat qurban, nanti kita antar ke Masjid ya mak…”, kata ibu itu dengan penuh kegembiraan.
Si nenek sangat terkaget meski nampak bahagia, sambil mengelus-elus kambing, nenek itu berucap, “Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga kalau emak mau berqurban.”
“Nih Pak, uangnya, maaf ya kalau saya nawarnya kemurahan, karena saya hanya tukang cuci di kampung sini, saya sengaja mengumpulkan uang untuk beli kambing yang akan diniatkan buat qurban atas nama ibu saya…”, kata ibu itu.
Kaki ini bergetar, dada terasa sesak, sambil menahan tetes air mata, saya berdoa, “Ya Allah…, ampuni dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan hamba-Mu yang pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan Imannya begitu luar biasa.”
“Pak, ini ongkos kendaraannya…”, panggil ibu itu, “sudah bu, biar ongkos kendaraanya saya yang bayar”, kata saya.
Saya cepat pergi sebelum ibu itu tahu kalau mata ini sudah basah karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mempertemukan dengan hambaNya yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya.
Untuk mulia ternyata tidak perlu harta berlimpah, jabatan tinggi apalagi kekuasaan, kita bisa belajar keikhlasan dari ibu itu untuk menggapai kemuliaan hidup. Berapa banyak diantara kita yang diberi kecukupan penghasilan, namun masih saja ada kengganan untuk berkurban, padahal bisa jadi harga handphone, jam tangan, tas, ataupun aksesoris yang menempel di tubuh kita harganya jauh lebih mahal dibandingkan seekor hewan qurban. Namun selalu kita sembunyi dibalik kata tidak mampu atau tidak dianggarkan.

SI NENEK PENJUAL SAPU LIDI 2

Saya memiliki seorang kawan yang bekerja disebuah perusahaan besar di Indonesia. Ia baru 3 atau 4 tahun bekerja. Dan tahun ini (1999) adalah tahun pertama ia merencanakan untuk berqurban, setelah tahun sebelumnya merasa belum cukup mampu untuk berqurban.
Mendekati hari raya Idul Adha, kawan saya tersebut menjadwalkan mencari hewan untuk qurban. Ia mencoba untuk survey ke beberapa tempat, agar mendapatkan hewan qurban terbaik dengan dana yang dimilikinya.
Sesampai di sebuah tempat penjual hewan Qurban terakhir, ia melihat banyak sekali para pembeli yang sedang memilih hewan- hewan Qurban. Kawan sayapun ikut serta melihat satu persatu hewan qurban sambil bertanya harga dari masing-masing kelompok.
Akhirnya perhatian tertumpu pasa seekor domba yang tidak terlalu kurus, juga tida terlalu gemuk. Kawan saya memang mencari domba yang tidak terlalu besar, agar sesuai dengan budget yang dimilikinya. Setelah bertanya kepada penjual, berapa harga domba tersebut, maka tawar menawar pun terjadi. Kawan saya masih berharap mendapatkan harga lebih murah lagi dari yang ditawarkan penjual hewan qurban tersebut. Karena belum ada kata sepakat, kawan saya selanjutnya mengalihkan perhatian kepada domba yang lain, dengan harapan penjual mau menurunkan harganya.
Setelah agak lama berpura-pura melihat domba yang lain, akhirnya kawan saya kembali lagi ke domba yang menarik perhatiannya. Dan kembali ia bertanya kepada penjual, “Bagaimana pak bisa dengan harga segitu?” Penjual domba menjawab: “Belum bisa kang”, dengan logat sunda yang kental. Mendapat jawaban demikian, akhirnya kawan saya itu bersiap-siap pergi dari tempat tersebut. Ia menuju tempat motornya diparkir, mengenakan jaket dan helm-nya lambat-lambat. Harapannya sang penjual mau menurunkan harganya.
Ketika kawan saya sedang bersiap-siap untuk pergi, datang seorang nenek renta, dengan guratan-guratan wajah yang menunjukkan kehidupannya yang susah. Kawan saya agak memalingkan wajah ketika nenek itu melintas dihadapannya, karena kawan saya menduga kalau nenek itu adalah pengemis yang akan meminta-minta sedekah.
Dengan jalan yang sudah agak susah, dan suara yang parau, nenek itu bertanya-tanya mencari penjual hewan qurban, dan akhirnya bisa bertemu dengan penjual hewan qurban. Sambil berpura-pura persiapan untuk pergi belum selesai, kawan saya mencuri-curi dengar apa yang dibicarakan nenek itu dengan penjual hewan qurban itu.
“Ada apa nek?” tanya penjual hewan qurban. Si nenek menjawab: “Mana domba yang paling bagus mang?” “Ada disitu nek”, jawab penjual hewan qurban sambil menuntun tangan si nenek ke tempat domba yang besar, dengan bulu yang tebal dan tanduk melingkar bagus. Kawan saya bahkan tidak sempat mampir ke kandang domba itu, karena menduga pasti harganya mahal. Si nenek bertanya lagi: “Berapa harganya mang?” Penjual hewan qurban menjawab dengan datar: “Enam ratus ribu rupiah nek”.
Si nenek lalu mencari tempat duduk. Tanpa melakukan tawar menawar, ia mengeluarkan kantong plastik hitam, dan dari dalamnya dikeluarkan uang Rp. 1.000 yang digulung dan diikat dengan karet. Ia menghitung satu persatu, lalu menyerahkan kepada penjual hewan qurban enam ratus lembar seribu rupiahan lusuh. Sementara penjual hewan qurban sedang mengeluarkan domba tersebut dari kandangnya.
Melihat hal tersebut, kawan saya melepaskan lagi helm yang sudah dikenakannya, dan berjalan mendekati nenek tua itu. Lalu ia bertanya: “Beli domba untuk siapa nek?” sambil penasaran dan ingin tahu. Si nenek menjawab tanpa ekspresi: “Untuk nenek”. Kawan saya terkaget luar biasa. Ada rasa kagum dan malu bercampur baur. Lalu kawan saya bertanya lagi: “Nenek bekerja apa, bisa membeli domba yang paling bagus?” Si nenek menjawab: “Nenek menjual sapu nak. Setiap hari bisa untung lima ribu, yang dua ribu rupiah disimpan untuk beli hewan qurban. Alhamdulillah tiga tahun terakhir nenek bisa qurban”.
Kawan saya tercenung mendengar kata-kata si nenek. Ia benar-benar malu kepada dirinya luar biasa. Bahkan dengan gaji yang lebih dari 10 kali lipat dari hasil jual sapu nenek ini, ia masih berusaha mencari domba yang tidak terlalu besar.

SI NENEK PEMULUNG

Siapa yang menyangka seorang nenek bekerja sebagai pemulung yang sudah berumur 65 tahun mampu berkurban dua ekor kambing dengan harga masing-masing 1 juta dan 2 juta, bahkan kambingnya menjadi kambing terbesar diantara 27 kambing yang dikurbankan di Masjid Al Ittihad, sebuah Masjid megah yang terletak di kawasan elite Tebet Mas, Jaksel.
Nenek tua itu bernama Nek Yati yang tinggal bersama suaminya di sebuah gubuk triplek kecil di tempat sampah Tebet, Jakarta Selatan. Dia sudah lama tinggal disana. Niatnya untuk berkurban terbersit 3 tahun lalu ketika tiap tahun harus antre mendapatkan daging kurban dari mesjid.
Nenek ini kemudian bertekad untuk berkurban, masa seumur hidup tidak bisa berkurban. Keinginannya ini sering mendapat cemooh:” “Pada ketawa, bilang sudah pemulung, sudah tua, nggembel ngapain qurban,” cerita nenek Yati. Namun tekadnya sangat kuat.
Akhirnya setelah menabung selama 3 tahun nek Yati akhirnya mampu berkurban. Padahal penghasilannya bersama suami hanya Rp. 25 ribu/hari kadang sering kurang dari itu. Setiap hari Nek Yati mengelilingi kawasan Tebet hingga Bukit Duri, yang lebih kurang 10 km. Walau sering kena asam urat dan susah berjalan Nek Yati tetap bekerja, dia tak mau jadi pengemis. “Biar ngesot saya harus kerja, saya tak mau jadi pengemis” Katanya.
Akhirnya berkat usaha yang ikhlas dan niat yang tulus nek Yati mampu mengujudkan impiannya. Dan siapa disangka pula berkat keikhlasan dan ketulusannya itu Allah SWT membalasnya melalui Mensos Salim Segaf Al Djufri yang mendengar tentang kisah Nek Yati ini.
Begitu mendengar kisah Nek Yati, Salim Segaf langsung memerintahkan stafnya untuk menelusuri keberadaan Nek Yati. Ketika berjumpa dengan Nek Yati dengan terbata-bata karena haru Salim Segaf menyampaikan bahwa Mak Yati adalah simbol perbaikan sosial. Di saat kondisinya yang sulit, dia masih bisa membantu masyarakat lain lewat kurban.
Mensos pun memberi ‘hadiah’ berupa modal usaha ekonomi produksi sebesar Rp 5 juta. Mak Yati bisa menggunakan uang tersebut untuk awal membuat usaha baru, tidak lagi menjadi pemulung yang sudah beliau lakoni selama 40 tahun di Jakarta ini.
Tidak hanya itu, Salim Segaf juga menawarkan Nek Yati kemudahan untuk kembali ke kampungnya di Pasuruan, Jawa Timur. “beliau juga sudah cukup tua, dan kerjanya bisa membahayakan juga ” Kata Mensos. Bila bersedia akan difasilitasi dan dibantu dicarikan pekerjaan atau usaha