LAKUKANLAH CARA CARA INI AGAR BISA MENDAPATKAN ILMU
Adab terhadap Guru
Di dalam sebuah riwayat terdapat ungkapan berikut, “Pelajarilah ilmu dan pelajarilah untuk kepentingan ilmu itu, ketenangan dan kewibawaan, dan bertawadhu’lah kepada orang yang engkau belajar darinya.” Imam An-Nawawi mengatakan, “Semestinya seorang murid itu bersikap tawadhu’ kepada gurunya dan beradab terhadapnya sekalipun ia (gurunya) lebih muda usianya, lebih sedikit terkenalnya, lebih rendah nasabnya, dan lebih sedikit kebaikannya. Dengan sikap tawadhu’nya ia akan memahami ilmu.”
Pengertian tersebut juga tergambar dalam sebuah syair, yang artinya:
Ilmu itu memusuhi pemuda yang tinggi hati
Sebagaimana banjir memusuhi tempat yang tinggi
Seberapa banyak ilmu yang akan didapat seseorang dari gurunya diantaranya tergantung sejauh mana adabnya terhadap sang guru. Tokoh ulama Hadhramaut, Imam Ali bin Hasan Al-Attas, mengatakan, “Sesungguhnya yang diperoleh dari ilmu, pemahaman, dan cahaya, yakni terungkapnya hijab, adalah menurut ukuran adab terhadap guru. Sebagaimana ukurannya yang ada pada dirimu, demikian pula ukuran itu disisi Allah tanpa diragukan lagi.”
Ia juga mencontohkan bagaimana dimasa lalu anak anak, meskipun anak khalifah atau raja, dididik untuk menghormati dan melayani gurunya. “Al-Amin dan Al-Ma’mun, dua orang putra Harun Ar-Rasyid, saling berlomba untuk meraih sandal guru mereka, Al-Kisa’i, agar dapat memakaikan sandal itu kepada gurunya.
Maka berkatalah guru mereka kepada mereka pada saat itu, ‘Masing masing memegang satu’.
Ya, guru memang harus dilayani dan dihormati, karena ia bagaikan orangtua kita. Di dalam hadits dikatakan, “Ayahmu itu ada tiga: Ayah yang melahirkanmu (melalui ibumu), ayah yang menikahkanmu dengan putrinya (mertua), dan ayah yang mengajarimu, dan dialah yang paling utama.” Demikian keterangan dari kitab al-‘Athiyyah al-Haniyyah.
Mengenai hal itu, ada orang yang mengatakan, “Aku dahulukan guruku dibandingkan bakti kepada ayahku. Sekalipun aku mendapatkan kebaikan dan kasih sayang dari ayahku. Yang ini adalah pendidik jiwaku, dan jiwa itu adalah permata. Dan yang itu pendidik tubuhku dan ia bagaikan kerang baginya”.
Al-Imam Sya’rani mengatakan, “Telah sampai kepada kami ucapan dari Syaikh Bahauddin as-Subki, ‘Ketika aku sedang menaiki kendaraan bersama ayahku, yakni Syaikhul Islam Taqiyyuddin as-Subki, di suatu jalan di negeri Syam, tiba tiba ia mendengar seseorang dari kaum petani Syam mengatakan: Aku pernah bertanya kepada Al-Faqih Muhyiddin An-Nawawi tentang masalah ini dan itu.
Maka turunlah ayahku dari kudanya dan mengatakan: Demi Allah, aku tidak akan mengendarai tunggangan sedangkan mata melihat Muhyiddin berjalan!
Kemudian ia memintanya untuk mengendarai kuda, sedangkan beliau sendiri berjalan sampai memasuki negeri Syam’.”
Kemudian Asy-Sya’rani mengatakan, “Begitulah, wahai saudaraku, para ulama berlaku terhadap guru guru mereka meskipun ia tidak menjumpainya karena datang beberapa tahun setelah kematiannya.”
Betapa besarnya penghormatan dan kecintaan para tokoh ulama dahulu terhadap para gurunya dapat kita simak dari ucapan Abu Hanifah berikut ini, “Sejak Hammad (yakni gurunya) wafat, aku tidak pernah melakukan sholat melainkan aku mintakan ampunan untuk nya beserta kedua orang tuaku, dan sesungguhnya aku selalu memohonkan ampunan untuk orang yang aku belajar darinya suatu ilmu atau orang yang aku ajari ilmu,”
Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, juga sangat mencintai gurunya itu, “Sesungguhnya aku mendoakan Abu Hanifah sebelum mendoakan ayahku, dan aku pernah mendengar Abu Hanifah mengatakan, ‘Sesungguhnya aku mendoakan Hammad bersama kedua orang tuaku’.” Demikian disebutkan dalam kitab Tahdzib al-Asma’, karya Imam Nawawi.
Apa yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i berikut ini mungkin akan membuat kita tercengang, “Aku senantiasa membuka kertas kitab di hadapan Malik dengan lembut agar ia tidak mendengarnya, karena hormat kepada beliau.” Bahkan Ar-Rabi’, sahabat asy-Syafi’i sekaligus muridnya, mengatakan, “Aku tidak berani minum air sedangkan Asy-Syafi’i melihatku, karena menghormatinya.”
Banyak lagi kisah yang mungkin akan membuat kita terheran heran dengan penghormatan mereka kepada para gurunya. Al-Imam Asy-Sya’rani mengatakan, “Telah sampai keterangan kepada kami mengenai Imam An-Nawawi bahwa suatu hari ia dipanggil oleh gurunya, Al-Kamal Al-Irbili, untuk makan bersamanya.
Maka ia mengatakan, “Wahai Tuanku, maafkan aku. Aku tidak dapat memenuhinya, karena aku mempunyai uzur syar’i. Dan ia pun meninggalkannya.
Kemudian seorang kawannya bertanya kepadanya, ‘Uzur apa itu?’
Ia menjawab, ‘Aku takut bila guruku lebih dahulu memandang suatu suapan tetapi aku yang memakannya sedangkan aku tidak menyadarinya.’
Apabila ia keluar untuk belajar dengan membaca kitab kepada gurunya, ia lebih dahulu bersedekah di jalan yang ia lakukan dengan niat untuk gurunya dan mengucapkan doa, “Ya Allah, tutupilah dariku aib guruku agar mataku tidak melihat kekurangannya dan agar tidak ada seorang pun yang menyampaikan kepadaku.” Perhatikanlah, sebegitu jauhnya perhatian dan kecintaan mereka kepada guru.
Diriwayatkan, Amirul Mu’minin, Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Diantara hak gurumu terhadapmu adalah engkau mengucapkan salam kepada orang secara umum dan mengucapkannya secara khusus kepadanya, engkau duduk didepannya, jangan menunjuk dengan tanganmu disisinya, dan jangan memberi isyarat dengan matamu, jangan pula engkau mengatakan, ‘Fulan mengatakan yang berbeda dengan yang Tuan katakan’, jangan mengghibah seseorang di hadapannya, jangan bermusyawarah dengan temanmu di majelisnya, jangan memegang bajunya apabila ia bangun, jangan mendesaknya apabila ia tampak sedang malas, dan jangan pula berpaling darinya.” Demikian disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam kitabnya, At-Tibyan fi Adabi Hamalah al-Qur’an.
Abu bakar bin Ayyasy mengatakan, “Ketika saudara Sufyan ats-Tsauri wafat, orang orang berkumpul menemuinya untuk berta’ziyah, lalu datanglah Abu Hanifah. Maka bangkitlah Sufyan kearahnya, memeluknya, mendudukkan di tempatnya, dan ia duduk dihadapannya.
Ketika orang orang telah bubar, para sahabat Sufyan mengatakan, ‘Kami melihatmu melakukan sesuatu yang mengherankan.’
Sufyan menjawab, ‘Orang ini adalah orang yang memiliki kedudukan dalam ilmu. Seandainya aku tidak bangun karena ilmunya, aku tetap akan bangun karena usianya. Sendainya aku tidak bangun karena usianya, aku tetap akan bangun karena kefaqihannya. Dan seandainya aku tidak bangun karena kefaqihannya, aku akan tetap bangun karena sifat wara’nya.”
Habib Ahmad bin Umar al-Hinduan mengatakan, “Yang membuat orang orang tidak mendapatkan ilmu hanyalah karena sedikinya penghormatan mereka terhadap orang orang yang berilmu,”
Dua belas Syarat
Syaikh Zakariya dalam kitabnya, al-Lu’lu’ an-Nazhim fi Rawum at-Ta’allum wa at-Ta’lim, mengatakan, “Syarat syarat mempelajari ilmu dan mengajarkannya ada dua belas (12) :
Pertama, mempelajarinya dengan maksud sebagaimana ilmu itu dibuat.
Kedua, mencari ilmu yang dapat diterima oleh tabi’atnya, karena tidak setiap orang layak untuk mempelajari berbagai ilmu, dan tidak semua yang layak mempelajarinya, layak untuk semuanya, melainkan setiap orang hanya dimudahkan untuk sesuatu yang ia diciptakan (ditakdirkan) untuk itu.
Ketiga, mengetahui tujuan ilmu itu agar yakin dengan perkaranya.
Keempat, menguasai ilmu itu dari awal sampai akhir.
Kelima, mencari kitab kitab yang baik yang mencakup semua disiplin.
Keenam, membaca kepada seorang guru yang dapat memberikan bimbingan dan seorang terpercaya yang dapat memberikan nasihat, dan tidak berkeras kepala dengan dirinya dan kecerdasannya.
Ketujuh, bermudzakarah dengan teman temannya untuk mencari pertahqiqan, bukan untuk mencari kemenangan, melainkan untuk menolong memberikan manfaat dan mengambil manfaat.
Kedelapan, apabila telah mengetahui ilmu itu, jangan menyia nyiakannya dengan mengabaikannya, dan jangan pula mencegahnya dari orang yang patut mendapatkannya, berdasarkan hadits, “Barang siapa mengetahui suatu ilmu yang bermanfaat lalu ia menyembunyikannya, niscaya Allah pada hari Kiyamat memasangkan kendali pada dirinya denga kendali dari neraka.” Tapi jangan pula memberikannya kepada orang yang tak layak menerimanya, sebagaimana yang terdapat dalam perkataan para nabi, “Janganlah kalian ikatkan permata pada leher babi.” Artinya, janganlah kalian berikan ilmu kepada orang yang tak layak menerimanya. Dan hendaknya mencatat apa yang dapat disimpulkan.
Kesembilan, jangan meyakini dalam suatu ilmu bahwa telah mendapatkan darinya dalam ukuran yang tidak dapat bertambah lagi, karena itu suatu kekurangan.
Kesepuluh, mengetahui bahwa setiap ilmu itu ada batasnya, maka janganlah melampauinya dan jangan pula kurang darinya.
Kesebelas, janganlah memasukkan suatu ilmu pada ilmu yang lain, baik dalam belajar maupun dalam diskusi, karena hal itu dapat membingungkan pemikiran.
Kedua belas, setiap murid dan guru hendaknya memperhatikan hak yang lainnya, terutama pihak pertama (murid), karena gurunya bagaikan ayahnya bahkan lebih agung, karena ayahnya telah mengeluarkan dia ke negeri fana (dunia) sedangkan gurunya menunjukkannya ke negeri yang kekal. Demikian dikutip dari kitab Mathlab al-Iqazh fi Ghurar al-Alfazh, karya al-Allamah ‘Abdullah bin Husain Bilfaqih.
Yang Wajib dan Tak Wajib
Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengatakan, “Aku mendengar Asy-Syafi’i mengatakan, ‘Penuntut ilmu butuh tiga perkara: Usia yang panjang, harta dan kecerdasan.’” Hal itu juga ia katakan dalam sebuah syair:
saudaraku…
kau tak akan mendapat ilmu
kecuali dengan enam perkara
Aku akan memberitahukan engkau
dengan penjelasan yang terperinci
Kecerdasan, kemauan, kesungguhan, biaya
juga petunjuk guru dan masa yang lama
Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi mengatakan, “Bagi orang yang ingin mendapatkan manfaat dengan ilmu untuk dirinya saja tanpa memperhatikan apakah ilmu itu bermanfaat untuk orang lain atau tidak, hendaklah ia mengutamakan ilmu yang lebih berpengaruh terhadap hatinya dan lebih dapat melembutkannya. Dan hendaklah ia mengikatnya dengan menulis, mengulang ulangi dan semacamnya, yang dapat membuatnya bertambah kukuh. Karena, hal itu lebih bermanfaat bagi dirinya dibandingkan banyak ilmu yang tidak membuatnya mendapatkan pengaruh, kelembutan, dan kekhusyu’an. Demikian pula dalam semua perbuatan, keadaan, dan sebagainya, hendaklah seseorang mencari yang paling layak untuknya meskipun tidak layak dan tidak sesuai bagi orang lain. Ini bagi orang yang menginginkan mendapatkan manfaat untuk dirinya saja.
Adapun orang yang menginginkan dapat memberikan manfaat kepada orang lain dengan ilmunya, hendaklah ia menjadi seperti seorang dokter yang memperhatikan penyakit, sebab sebabnya, materinya, dan memberikan kepada orang yang sakit itu obat yang sesuai dengan penyakitnya. Mungkin saja ada orang yang datang kepadanya yang memiliki penyakit yang sama, lalu ia memberikannya obat yang lain, tidak seperti obat yang diberikannya kepada orang yang sebelumnya (meskipun penyakitnya sama), karena ia tahu bahwa sebab yang menyebabkan penyakitnya berbeda dengan sebab yang menyebabkan penyakit orang lain.
Demikian pula dengan ilmu ilmu, ia berikan kepada setiap orang yang patut menerimanya dan tidak mengukur orang dengan ukuran yang sesuai bagi dirinya. Ini juga berlaku pada orang yang ingin membuat karangan dan semacamnya.” Demikian dikutip oleh Al-Imam Muhammad bin Zain bin Semith dalam kitab Qurrah al-‘Ain wa Jila’ ar-Rayn.
Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad mengatakan, “Hendaklah seseorang menguasai suatu disiplin ilmu sampai ia dinisbahkan dengan ilmu itu dan dikenal dengannya.”
Sayyidina Ali mengatakan, “Barang siapa banyak dalam sesuatu, ia akan dikenal dengannya.” Dan hendaklah ia mengambil sekadarnya dalam setiap ilmu yang lainnya dan menguasainya secara global, sehingga, apabila ditanya tentang sesuatu, ia memiliki pengetahuan tentang itu dan tidak jahil (bodoh).
Karena itu, Imam As-Suyuti mengarang kitab An-Nuqayah (kitab yang mengulas intisari empat belas ilmu) dan mensyarahkannya. Dan apabila menghafal (menguasai sesuatu ilmu), ia menguasai semua ilmu yang berhubungan dengannya.
“Jika engkau memiliki ilmu tersebut sekadarnya, dalam ilmu ilmu yang berkaitan dengannya juga cukup menguasai sekadarnya, dan lebih baik bagimu menguasai sepuluh masalah dengan sebaik baiknya daripada membaca sebuah kitab dengan sempurna tetapi tidak menguasainya.” Demikian yang dikatakan Imam Abdullah Al-Haddad.
Ia juga mengatakan, “Ilmu ushul itu ada dua. Pertama, ilmu ushuluddin, seperti masalah masalah aqidah. Seseorang harus mengabil ilmu ini sesuai dengan kebutuhannya, seperti aqidah yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali. Kedua, ilmu ushul fiqih. Ilmu ini sulit dan tidak mudah dipahami, ia tidak wajib bagi setiap orang. Maka semestinya seseorang mengambil dari kedua ilmu ushul tadi sesuai dengan kebutuhannya yang mendesak. Kemudian ia mengambil kitab kitab yang dapat melembutkan hatinya, menggemarkannya kepada akhirat, dan membuatnya zuhud di dunia.
Kemudian ia beribadah dan bersungguh sungguh dalam melakukannya, dan banyak membaca al-Quran dengan kesungguhan. Apabila tidak memungkinkannya melakukan itu di sebagian waktu, hendaklah banyak berzikir dan melazimkannya dalam setiap keadaannya, karena umur itu singkat dan orang yang menganggur menyia nyiakan sebagian besarnya. Dan hendaklah puncak perhatian dan muthala’ahnya adalah pada masalah masalah yang penting dari hal hal tersebut tadi. Jadi, ia melakukan muthala’ah hal hal yang penting dan menghafal hal hal yang penting. Jika ia ingin melakukan muthala’ah mengenai yang lain, ia dapat melakukan nya kadang kadang saja.” Demikian dikutip dari kitab Tatsbit al-Fuad.
Al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi mengatakan, “Hendaknya seorang penuntut jalan akhirat senantiasa mencari cari manfaat dimanapun berada, baik kepada orang yang ahli maupun bukan ahli, mau mengambil dari setiap orang bagaimana pun ia, baik ia orang alim maupun orang awam. Karena, terkadang akhlaq yang bagus ia dapati pada sebagian orang awam dan tidak ia dapati pada yang lainnya dan juga tidak pada dirinya. Diantara keadaan seorang yang benar adalah mengambil dari teman bergaulnya segala yang baik yang ia lihat terdapat padanya baik, ucapan maupun perbuatan, dan meninggalkan apa yang buruk darinya. Apabila ia mengambil manfaat yang ia dapatkan padanya, janganlah ia mengambil kerusakan dan penyimpangan yang ada pada orang itu.” Demikian dari kitab Qurrah al-‘Ain.
Ia juga mengatakan, “Pemahaman itu bagi yang memilikinya merupakan nikmat yang sangat besar, tetapi mereka terkadang tidak merasakannya sebagai nikmat, karena mereka memandang hal itu bisa diperoleh dari membaca kitab, misalnya. Dan orang yang melakukan muthala’ah kitab kitab hendaknya memohon pertolongan kepada Allah agar memudahkan pemahaman baginya dan dapat membayangkannya sehingga ia dapat memperoleh apa yang dituntut dan Allah membukakan baginya pemahaman dalam agama.” Demikian keterangan dari kitab Qurrah al-‘Ain.
Al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Attas mengatakan, “Ada dua perkara yang baik untuk diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu: Pertama, ia tidak masuk pada sesuatu dari ilmu ilmu dan amal amalnya melainkan dengan niat yang baik. Kedua, ia memperhatikan buah dari hasilnya. Apabila tidak memperhatikan ini, ia tidak mendapatkan manfaat.”
Ia juga mengatakan, “Apabila seorang penuntut ilmu membaca suatu kaidah dan ia ingin menghafalnya tetapi tidak ada padanya tinta dan tidak ada pula pena, hendaklah ia menulisnya dengan jarinya pada tangannya atau pada lengannya.”
Diriwayatkan, suatu ketika Imam Syafi’i sempai di Madinah dan duduk di halaqah Imam Malik. Ketika itu Imam Malik sedang mendiktekan kitab Al-Muwathta’ kepada orang orang yang ada disana. Imam Malik mendiktekan 18 hadits sedangkan Imam Syafi’i berada dibarisan belakang. Imam Malik menatapnya dengan pandangannya ketika Imam Syafi’i menulis dengan jarinya pada punggung tangannya.
Ketika jama’ah majelis telah bubar, Imam Malik memanggilnya dengan bertanya kepadanya tentang negerinya dan nasabnya.
Maka Imam Syafi’i pun memberitahukannya.
Lalu Imam Malik berkata kepadanya, “Aku melihatmu memain mainkan tanganmu di punggung telapak tanganmu.”
Imam Syafi’i menjawab, “Tidak, melainkan apabila Tuan mendiktekan sebuah hadits, saya menulisnya diatas punggung tangan saya. Jika tuan mau, saya akan ulangi apa yang tuan diktekan kepada kami.”
Imam Malik berkata, “Bacakanlah.”
Maka Imam Syafi’i pun mendiktekan 18 hadits yang semula didiktekan oleh imam Malik.
Melihat itu, Imam Malik pun mendekatkannya kepada dirinya.