MAJLIS DZIKIR DAN DZIKIR JAHR ATAU DENGAN SUARA KERAS
Pada zaman sekarang kumpulan dzikir sangat kita butuhkan karena manusia telah dibisingkan oleh hal keduniaan saja sehingga sedikit sekali untuk meng ingat pada Allah dan Rasul-Nya dan kurang bersilator Rohmi ! Sebelum kami mengutip dalil-dalil dan wejangan ulama pakar yang berkaitan dengan majlis dzikir marilah kita baca berikut ini Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada tahun 2001 dan 2002 yang diarsiteki oleh Saiful Mujani, berikut petikan wawancara Burhanuddin dengan Saiful Mujani, direktur Freedom Institute yang baru menyelesaikan doktoralnya di Univer- sitas Ohio State, Amerika pada 10 Juni 2003.
Dengan adanya kutipan dalil-dalil dibab ini dan wawancara antara Burhanuddin dan Saiful Mujani ini insya Allah pembaca bisa menilai sendiri serta mengambil kesimpulan tentang manfaat kumpulan (halaqat) dzikir umpama Istighothah, Tahlilan, Yasinan dan lain lain untuk masyarakat dan ruginya orang yang tidak mau kumpul berdzikir bersama masyarakat.
“Temuan orang-orang seperti Alexis Tocqueville di Amerika yang termuat dalam bukunya yang terkenal, Democracy in America. Tocqueville mendeskripsikan tentang seorang yang religius (beragama) dan aktif dalam kegiatan keagamaan serta menjadi demokratis sekaligus mempunyai sumbangan bagi perkembangan demokrasi. Nah, urgensi agama dalam hubungannya dengan demokrasi akan terlihat bila agama diterjemahkan dalam kelompok-kelompok sosial yang menjadi kekuatan kolektif, membentuk jaring sosial, dan seterusnya. Agama tidak hanya menjadi kekuatan perorangan. Karena itu, urgensi agama di Amerika Serikat, dalam konteks Tocqueville, adalah ketika ia diterjemahkan dalam lingkup gereja, organisasi-organisasi keagama an, atau civil society. Misalnya, mereka yang rajin berpuasa sunnah sendiri atau bertahajud pada gelap malam sendirian. Ibadah-ibadah tersebut, sekalipun penting dan pokok dalam agama, kalau ditarik lebih lanjut dalam kehidupan sosial-politik yang lebih luas, hal tersebut tidaklah terlalu bermakna (dalam hubungan antara manusia). Untuk bisa suksesnya konteks demokrasi, maka dimensi-dimensi ritual yang beraspek kolektivitas yang lebih diperlukan dalam konteks demo- krasi. Misalnya, sholat berjama’ah. Dalam Islampun, pahala sholat ber- jama‘ah lebih banyak ketimbang munfarid (sholat sendirian).”
Dalam tradisi NU, kita mengenal praktik yasinan, manakiban, tahlilan, tujuh harian bagi orang yang meninggal, haul, dan lain-lain. Praktik-praktik itu, dalam temuan dua penelitian saya secara nasional pada 2001 dan 2002, mempunyai efek ganda. Biasanya, orang yang aktif dalam kegiatan tersebut akan aktif juga dalam organisasi-organisasi “sekuler”. Misalnya, orang yang aktif di NU cenderung aktif juga di organisasi karang taruna, PKK, dan klub-klub olahraga serta seni budaya. Dengan begitu, dalam diri mereka ada semacam peran-peran dan status sosial yang lebih kompleks. Itulah yang menjadikan seorang yang religius tersebut menjadi positif untuk konteks demokrasi. Sebab, basis sosial semacam itulah yang sesungguhnya dibutuhkan oleh demokrasi kalau kita melihatnya dari sisi masyarakat.
Pertanyaan: Berarti, kita mempunyai modal sosial demokrasi yang banyak lahir dari rahim sosio-religio budaya kita sendiri?
Jawaban: Memang.
Yang menjadi fokus perhatian saya adalah ritual-ritual kolektif itu. Dalam ritual yasinan, tahlilan, manakiban dan lain-lain, terdapat dimensi transe dental, yakni niat ibadah pada Allah. Hanya, implikasi ritual tersebut juga banyak kita temukan. Dalam ritual yasinan, kita kan tidak hanya membaca yasin, tapi juga bersilaturahmi, bertemu orang lain, dan saling menyapa. Itulah yang dalam konteks demokrasi disebut sebagai civic engagement (keterlibatan masyarakat).
Sekiranya, modal sosial dalam tradisi kita tersebut yang mendorong orang untuk hidup secara kolektif dan terlibat secara sosial dimusnahkan karena dianggap bid’ah bahkan kasus-kasus tertentu diklaim musyrik, tindakan itu tidak akan mendukung kearah demokrasi. Sayang jika gerakan tarekat yang beraspek kolektivitas yang besar dihilangkan semata-mata karena dianggap bid’ah.
Coba lihat, kehidupan keagamaan di Arab Saudi (zaman sekarang) begitu kering. Disitulah akar fundamentalisme dan konservatisme Islam yang sangat anti demokrasi berkembang. Apa penyebabnya? Mereka melihat ke hidupan ini begitu simpel. Mereka tidak membawa ummat Islam dalam kehidupan yang sangat kaya dan heterogen secara sosial-budaya. Artinya, jika umat Islam makin terlibat dalam kehidupan sosial, dia makin terhindar dari benih-benih fundamentalisme. Karena itu, kita bisa menyaksikan orang-orang sufi termasuk yang cukup toleran. Hal itu disebabkan ada dimensi sosial yang mereka rasakan, lihat, dan alami sendiri. Dengan begitu, mereka tahu bahwa hidup bukan hanya hitam-putih atau untuk ibadah yang bersifat personal (perorangan) saja “. Demikianlah wawancara antara Burhanuddin dengan Saiful Mujani.
Dalil-dalil dzikir termasuk dalil dzikir secara jahar (agak keras)
Sebenarnya pada bab ziarah kubur, kami sudah menerangkan mengenai manfaat Tahlilan dan bacaannya, Talqin dan lain-lain, marilah kita sekarang meneliti dalil-dalil mengenai berkumpulnya orang-orang untuk berdzikir pada Allah swt.. Termasuk dalam kategori dzikir juga ialah pembacaan Tahlilan, Talqin, Istighothah, peringatan-peringatan keagamaan (maulud, isra’ mi’raj Nabi saw) dan sebagainya. Didalam majlis-majlis tersebut selalu dibaca ayat Al-Qur’an, tasbih, tahlil, takbir dan sholawat pada Rasulallah saw. Juga dengan adanya dalil-dalil ini membantah golongan Pengingkar yang melarang kumpulan dzikir !!
Apa makna/arti Dzikir yang selalu disebut-sebut dalam ayat al Qur’an dan hadits? Menurut pendapat para ulama yang dimaksud Dzikir ialah ‘mengingat pada Allah swt.. Makna ini mencakup segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia untuk mengingat pada Allah swt. dan Rasul-Nya, misalnya sholat, bertasbih, bertahlil, bertakbir, majlis ilmu, memuji Allah dan Rasul-Nya, menyebutkan sifat-sifat kebesaran-Nya,sifat-sifat keindahan-Nya, sifat-sifat kesempurnaan yang telah dimiliki-Nya, membaca riwayat para utusan Allah dan sebagainya. Tidak lain semuanya ini untuk lebih mendekatkan diri kita pada Allah swt sehingga kita mencintai dan dicintai Allah swt. dan Rasul-Nya.
Firman-firman Allah swt. dalam surat Al-Ahzab 41-42 agar kita banyak berdzikir sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman! Berdzikirlah kamu pada Allah sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah pada-Nya diwaktu pagi mau pun petang!”.
Dalam surat Al-Baqarah :152 Allah berfirman:
فَاذْكُرُونِي أذْكُرْكُمْ ………..
“Berdzikirlah (Ingatlah) kamu pada-Ku, niscaya Aku akan ingat pula padamu! ” (Al–Baqarah :152)
اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنوُبِهِم
“…Yakni orang-orang dzikir pada Allah baik diwaktu berdiri, ketika duduk dan diwaktu berbaring”. (Ali Imran :191)
وَالذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ مَغْفِرَة وَأجْرًا عَظِيْمٌا
“Dan terhadap orang-orang yang banyak dzikir pada Allah, baik laki-laki maupun wanita, Allah menyediakan keampunan dan pahala besar”. (Al-Ahzab :35)
الَّذِيْنَ آمَنُوا وَ تَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِألآ بِذِكْرِ الله تَطْمَئِنُّ الـقُلُوبُ.
“Yaitu orang-orang yang beriman, dan hati mereka aman tenteram dengan dzikir pada Allah. Ingatlah dengan dzikir pada Allah itu, maka hatipun akan merasa aman dan tenteram”. (Ar-Ro’d : 28)
Dalam hadits qudsi, dari Abu Hurairah, Rasulallah saw. bersabda : Allah swt.berfirman :
اَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْـدِي بِي, وَاَنَا مَعَهُ حِيْنَ يَذْكـرُنِي, فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي
وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلاَءٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلاَءٍ خَيْرٍ مِنْهُ وَإنِ اقْتَرَبَ اِلَيَّ شِبْرًا اتَقَرَّبْتُ إلَيْهِ ذِرَاعًا
وَإنِ اقْتَرَبَ إلَيَّ ذِرَاعًا اتَقـَرَّبْتُ إلَيْهِ بَاعًـا وَإنْ أتَانِيْ يَمْشِيأتَيْتُهُ هَرْوَلَة.
Aku ini menurut prasangka hambaKu, dan Aku menyertainya, dimana saja ia berdzikir pada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan ingat pula padanya dalam hati-Ku, jika ia mengingat-Ku didepan umum, maka Aku akan mengingatnya pula didepan khalayak yang lebih baik. Dan seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sehasta, jika ia mendekat pada-Ku sehasta, Aku akan mendekat- kan diri-Ku padanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari”. (HR. Bukhori Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Baihaqi).
Allamah Al-Jazari dalam kitabnya Miftaahul Hishnil Hashin berkata : ‘Hadits diatas ini terdapat dalil tentang bolehnya berdzikir dengan jahar/agak keras’. Imam Suyuthi juga berkata: ‘Dzikir dihadapan orang orang tentulah dzikir dengan jahar, maka hadits itulah yang menjadi dalil atas bolehnya’
Hadits qudsi dari Mu’az bin Anas secara marfu’: Allah swt.berfirman:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: لاَ يَذْكُرُنِي اَحَدٌ فِى نفْسِهِ اِلاَّ ذَكّرْتُهُ فِي مَلاٍ مِنْ مَلاَئِكَتِي وَلاَيَذْكُرُنِي فِي مَلاٍ اِلاَّ ذَكَرْتُهُ فِي المَلاِ الاَعْلَي
“Tidaklah seseorang berdzikir pada-Ku dalam hatinya kecuali Aku pun akan berdzikir untuknya dihadapan para malaikat-Ku. Dan tidak juga seseorang berdzikir pada-Ku dihadapan orang-orang kecuali Akupun akan berdzikir untuknya ditempat yang tertinggi’ “. (HR. Thabrani).
At-Targib wat-Tarhib 3/202 dan Majma’uz Zawaid 10/78. Al Mundziri berkata: ‘Isnad hadits diatas ini baik/hasan. Sama seperti pengambilan dalil yang dikemukakan tadi bahwa berdzikir dihadapan orang-orang maksudnya ialah berdzikir secara jahar ’ !
Hadits dari Abu Hurairah sebagai berikut:
سَبَقَ المُفَرِّقُونَ, قاَلُوْا: وَمَا المُفَرِّدُونَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ الذَّاكِرُونَ اللهَ كَثِيْرًاوَالذَّاكِرَاتِ (رواه المسلم)
“Telah majulah orang-orang istimewa! Tanya mereka ‘Siapakah orang-orang istimewa?’ Ujar Nabi saw. ‘Mereka ialah orang-orang yang berdzikir baik laki-laki maupun wanita’ ”. (HR. Muslim).
Hadits dari Abu Musa Al-Asy’ary ra sabda Rasulallah saw.:
‘Perumpamaan orang-orang yang dzikir pada Allah dengan yang tidak, adalah seperti orang yang hidup dengan yang mati!” (HR.Bukhori).
Dalam riwayat Muslim: “Perumpamaan perbedaan antara rumah yang dipergunakan dzikir kepada Allah didalamnya dengan rumah yang tidak ada dzikrullah didalamnya, bagaikan perbedaan antara hidup dengan mati”.
Hadits dari Abu Sa’id Khudri dan Abu Hurairah ra. bahwa mereka mendengar sendiri dari Nabi saw. bersabda :
لاَ يَقْـعُدُ قَوْمٌ يَذْكُـرُنَ اللهَ تَعَالَى إلاَّ حَفَّتْـهُمُ المَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمةُ, وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.
“Tidak satu kaum (kelompok) pun yang duduk dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan dikelilingi Malaikat, akan diliputi oleh rahmat, akan beroleh ketenangan, dan akan disebut-sebut oleh Allah pada siapa-siapa yang berada disisi-Nya”. (HR.Muslim, Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi).
Hadits dari Mu’awiyah :
خَرَجَ رَسُولُ الله (صَ) عَلَى حَلَقَةِ مِنْ أصْحَابِهِ فَقَالَ: مَا اَجْلََسَكُم ؟
قَالُوْا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإسْلاَمِِ وَمَنَّ
بِهِ عَلَيْنَا قَالَ: اللهُ مَا أجْلَسـَكُمْ إلاَّ ذَالِك ؟ قَالُوْا وَاللهُ مَا اَجْلَسَنَا
اِلاَّ ذَاكَ. قَالَ : اَمَا إنِّي لَمْ أسْتَخْلِفكُم تُهْمَةُ لـَكُمْ, وَلَكِنَّهُ أتَانِي
جِبْرِيْلُ فَأخْـبَرَنِي أنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبـَاهِي بِكُمُ المَلآئِكَةَ.
“Nabi saw. pergi mendapatkan satu lingkaran dari sahabat-sahabatnya, tanyanya; ‘Mengapa kamu duduk disini?’ Ujar mereka: ‘Maksud kami duduk disini adalah untuk dzikir pada Allah Ta’ala dan memuji-Nya atas petunjuk dan kurnia yang telah diberikan-Nya pada kami dengan menganut agama Islam’. Sabda Nabi saw.; ‘Demi Allah tak salah sekali ! Kalian duduk hanyalah karena itu. Mereka berkata; Demi Allah kami duduk karena itu. Dan saya, saya tidaklah minta kalian bersumpah karena menaruh curiga pada kalian, tetapi sebetulnya Jibril telah datang dan menyampaikan bahwa Allah swt. telah membanggakan kalian terhadap Malaikat’ “. (HR.Muslim)
Diterima dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw. bersabda :
إذَا مَرَرْتُم بِرِيَاضِ الجَنَّة فَارْتَعُوْا, قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الجَنَّة يَا رَسُولُ الله ؟
قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ فَإنَّ لِلَّهِ تَعَالَى سَيَّرَاتٍ مِنَ المَلآئِكَةَ يَطْلُبُونَ حِلَـقَ الذِّكْرِ فَإذَا أتَوْا عَلَيْهِمْ حَفُّوبِهِمْ.
“Jika kamu lewat di taman-taman surga, hendaklah kamu ikut ber- cengkerama! Tanya mereka; ‘Apakah itu taman-taman surga ya Rasulallah’? Ujar Nabi saw.; ‘Ialah lingkaran-lingkaran dzikir karena Allah swt. mempunyai rombongan pengelana dari Malaikat yang mencari-cari lingkaran dzikir. Maka jika ketemu dengannya mereka akan duduk mengelilinginya”.
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw.bersabda :
عَنْ أبِيْ هُرَيْرَة(ر) قَالَ: رَسُولُ الل.صَ. : إنَّ اللهَ مَلآئِكَةً يَطًوفُونَ فِي الطُُّرُقِ يَلتَمِسُونَ أهْلِ الذّكْرِ, فَإذَا وَجَدُوا قـَوْمًا
يَذْكُرُونَ اللهَ تَناَدَوْا : هَلُمُّـوْا إلَى حَاجَتِكُمْ, فَيَحُفّـُونَهُمْ بِأجْنِحَتِهِمْ إلَى السَّمَاءِ, فَإذَا تَفَرَّقُوْا عَرَجُوْا وَصَعِدُوْا اِلَى السَّمَاءِ
فَيَسْألُهُمْ رَبُّـهُم ( وَهُوَ أعْلَمُ بِهِمْ ) مِنْ اَيْنَ جِئْتُمْ ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عَبَيْدٍ فِي الاَرْضِ يُسَبِّحُوْنَكَ وَيُكَبِّرُوْنَكَ
وَيُهَلِّلُوْنَكَ. فَيَقُوْلُ : هَلْ رَأوْنِي؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : لَوْ رَأوْنِي؟ فَيَقوُلُوْنَ : لَوْ رَأوْكَ كَانُوْا اَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً, وَ اَشَدَّ لَكَ
تَمْجِيْدًاوَاَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيْحًا, فَيَقُوْلُ : فَمَا يَسْألُنِى ؟ فَيَقوُلُوْنَ : يَسْألُوْنَكَ الجَنَّةَ, فَيَقُوْلُ : وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ :
كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لَوْ اَنَّهُمْ رَأوْهَا كَانُوْا اَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَ اَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَاَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً. فَيَقُوْلُ :
فَمِمَّا يَتَعَوَّذُوْنَ ؟ فَيَقولُوْنَ : مِنَ النَّارِ, فَيَقُوْلُ : وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُلُوْنَ :
لَوْ رَأوْهَا كاَنُوْا اَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا, فَيَقُوْلُ : اُشْهِدُكُمْ اَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ, فَيَقُوْلُ مَلَكٌ مِنَ المَلاَئِكَةِ :
فُلاَنٌ فَلَيْسَ مِنهُمْ, اِنَّمَا جَائَهُمْ لِحَاجَةٍ فَيَقُوْلُ : هًمْ قَوْمٌ لاَ يَشْقَى جَلِيْسُهُمْ.
“Sesungguhnya Allah memilik sekelompok Malaikat yang berkeling dijalan-jalan sambil mencari orang-orang yang berdzikir. Apabila mereka menemukan sekolompok orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka saling menyeru: ‘Kemarilah kepada apa yang kamu semua hajatkan’. Lalu mereka mengelilingi orang-orang yang berdzikir itu dengan sayap-sayap mereka hingga kelangit. Apabila orang-orang itu telah berpisah (bubar dari majlis dzikir) maka para malaikat tersebut berpaling dan naik kelangit. Maka ber- tanyalah Allah swt. kepada mereka (padahal Dialah yang lebih mengetahui perihal mereka). Allah berfirman: ‘Darimana kalian semua’? Malaikat berkata: Kami datang dari sekelompok hamba-Mu dibumi. Mereka bertasbih, bertakbir dan bertahlil kepada-Mu.
Allah berfirman; ‘Apakah mereka pernah melihatKu’? Malaikat berkata: Tidak pernah! Allah berfirman; ‘Seandainya mereka pernah melihatKu’? Malaikat berkata; Andai mereka pernah melihat-Mu niscaya mereka akan lebih meningkatkan ibadahnya kepada-Mu, lebih bersemangat memuji-Mu dan lebih banyak bertasbih pada-Mu. Allah berfirman; ‘Lalu apa yang mereka pinta pada-Ku’? Malaikat berkata; Mereka minta sorga kepada-Mu.
Allah berfirman; ‘Apa mereka pernah melihat sorga’? Malaikat berkata; Tidak pernah! Allah berfirman; ‘Bagaimana kalau mereka pernah melihatnya’? Malikat berkata; Andai mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan ber- tambah semangat terhadapnya, lebih bergairah memintanya dan semakin besar keinginan untuk memasukinya. Allah berfirman; ‘Dari hal apa mereka minta perlindungan’? Malaikat berkata; Dari api neraka. Allah berfirman; ‘Apa mereka pernah melihat neraka’? Malaikat berkata; Tidak pernah!
Allah berfirman: ‘Bagaimana kalau mereka pernah melihat neraka’? Malaikat berkata; Kalau mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan sekuat tenaga menghindarkan diri darinya. Allah berfirman; ‘Aku persaksikan kepadamu bahwasanya Aku telah mengampuni mereka’. Salah satu dari malaikat berkata; Disitu ada seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok mereka, dia datang semata-mata karena ada satu keperluan (apakah dia akan diampuni juga?). Allah berfirman; ‘Mereka (termasuk seseorang ini) adalah satu kelompok dimana orang yang duduk bersama mereka tidak akan kecewa’ “. Sedangkan dalam riwayat Muslim ada tambahan pada kalimat terakhir: ‘Aku ampunkan segala dosa mereka, dan Aku beri permintaan mereka’.
Empat hadits terakhir diatas, jelas menunjukkan keutamaan kumpulan majlis dzikir, Allah swt.akan melimpahkan rahmat, ketenangan dan ridho-Nya pada para hadirin. termasuk disini orang yang tidak niat untuk berdzikir serta majlis seperti itulah yang sering dicari dan dihadiri oleh para malaikat. Alangkah bahagianya bila kita selalu kumpul bersama majlis-majlis dzikir yang dihadiri oleh malaikat tersebut sehingga do’a yang dibaca ditempat majlis dzikir tersebut lebih besar harapan untuk diterima oleh Allah swt. Juga hadits-hadits tersebut menunjukkan mereka berkumpul berdzikir secara jahar, karena berdzikir secara sirran/pelahan sudah biasa dilakukan oleh perorangan !
Al-Baihaqiy meriwayatkan Hadits dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulallah saw. bersabda:
لاَنْ اَقْعُدَنَّ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى مِنْ بَعْدِ صَلاَةِ الْفَجْرِ ِالَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ اَحَبُّاِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا (رواه البيهاقي
“Sungguhlah aku berdzikir menyebut (mengingat) Allah swt. bersama jamaah usai sholat Shubuh hingga matahari terbit, itu lebih kusukai daripada dunia seisinya.”
Juga dari Anas bin Malik ra riwayat Abu Daud dan Al-Baihaqiy bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Sungguhlah aku duduk bersama jamaah berdzikir menyebut Allah swt. dari sholat ‘ashar hingga matahari terbenam, itu lebih kusukai daripada memerdekakan empat orang budak.’
Riwayat Al Baihaqy dari Abu Sa’id Al Khudrij ra, Rasulallah saw bersabda :
يَقُوْلُ الرَّبُّ جَلَّ وَعَلاَ يَوْمَ القِيَامَةِ سَيَعْلَمُ هَؤُلاَءِ الْجَمْعَ الْيَوْمَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ فَقِيْلَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ قَالَ : اَهْلُ مَجَالِسِ الذِّكْرِ فِي الْمَسَاجِدِ (رواه البيهاقي
“Allah jalla wa ‘Ala pada hari kiamat kelak akan bersabda: ’Pada hari ini ahlul jam’i akan mengetahui siapa orang ahlul karam (orang yang mulia). Ada yg bertanya: Siapakah orang-orang yg mulia itu? Allah menjawab, Mereka adalah orang-orang peserta majlis-majlis dzikir di masjid-masjid ”.
Ancaman bagi orang yang menghadiri kumpulan tanpa disebut nama Allah dan Shalawat atas Nabi saw.
Hadits riwayat Turmudzi (yang menyatakan Hasan) dari Abu Hurairah, sabda Nabi saw :
مَا قَعَدَ قَوْمُ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرُونَ اللهَ فِيهِ وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى النَّبِيِّ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الترمذي وقال حسن
“Tiada suatu golonganpun yang duduk menghadiri suatu majlis tapi mereka disana tidak dzikir pada Allah swt. dan tak mengucapkan shalawat atas Nabi saw., kecuali mereka akan mendapat kekecewaan di hari kiamat”.
Juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dengan kata-katanya yang berbunyi sebagai berikut :
وَرَوَاهُ اَحْمَدُ بِلَفْظٍ مَا جَلَسَ قَوْمُ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوْا اللهَ فِيهِ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تَرَةً
‘Tiada ampunan yang menghadiri suatu majlis tanpa adanya dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan mendapat tiratun artinya kesulitan… “.
Dalam buku Fathul ‘Alam tertera : Hadits tersebut diatas menjadi alasan atas wajibnya (pentingnya) berdzikir dan membaca shalawat atas Nabi saw. pada setiap majlis.
Hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda yang artinya :
قَالَ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ وَعَنْ اَبِي هُرَيْرَة (ر)
.صَ. مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالىَ فِيْهِ اِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً (رواه ابو داود
“Tiada suatu kaum yang bangun (bubaran) dari suatu majlis dimana mereka tidak berdzikir kepada Allah dalam majlis itu, melainkan mereka bangun dari sesuatu yang serupa dengan bangkai himar/keledai, dan akan menjadi penyesalan mereka kelak dihari kiamat ”. (HR.Abu Daud)
Hadits-hadits diatas mengenai kumpulan/lingkaran majlis dzikir, itu sudah jelas menunjukkan adanya pembacaan dzikir bersama-sama dengan secara jahar, karena berdzikir sendiri-sendiri itu akan dilakukan secara lirih (pelan). Lebih jelasnya mari kita rujuk lagi hadits-hadits yang membolehkan dzikir secara jahar. Hadits dari Abi Sa’id Al-Khudri ra. dia berkata:
اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولُ اِنَّهُ مَجْنُوْنٌ
“Sabda Rasulallah saw. ‘Perbanyaklah dzikir kepada Allah sehingga mereka (yang melihat dan mendengar) akan berkata : Sesungguhnya dia orang gila’ “ (HR..Hakim, Baihaqi dalam Syu’abul Iman , Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnus Sunni)
Hadits dari Ibnu Abbas ra. dia berkata : Rasulallah saw. bersabda :
اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولَ المُنَافِقُوْنَ اِنَّكُمْ تُرَاؤُوْنَ
“Banyak banyaklah kalian berdzikir kepada Allah sehingga orang-orang munafik akan berkata : ’Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang riya’ (HR. Thabrani)
Imam Suyuthi dalam kitabnya Natiijatul Fikri fil jahri biz dzikri berkata : “Bentuk istidlal dengan dua hadits terakhir diatas ini adalah bahwasanya ucapan dengan ‘Dia itu gila’ dan ‘Kamu itu riya’ hanyalah dikatakan terhadap orang-orang yang berdzikir dengan jahar, bukan dengan lirih (sir).”
Hadits dari Zaid bin Aslam dari sebagian sahabat, dia berkata :
ِ اِنْطَلَقْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ(صَ) لَيْلَةً, فَمَرَّ بِرَجُلٍ فِي المَسْجِدِ يِرْفَعُ صَوْتَهُ فَقُلْتُ :
يَا رَسُوْلَ اللهِ عَسَى اَنْ يَكُوْنَ هَذَا مُرَائِيًا فَقَالَ: لاَ وَلاَكِنَّهُ اَوَّاهُ. (رواه البيهاقي)
“Aku pernah berjalan dengan Rasulallah saw. disuatu malam. Lalu beliau melewati seorang lelaki yang sedang meninggikan suaranya disebuah masjid. Akupun berkata; ‘Wahai Rasuallah, jangan-jangan orang ini sedang riya’. Beliau berkata; Tidak ! ‘Akan tetapi dia itu seorang awwah (yang banyak mengadu kepada Allah)’ ”. (HR.Baihaqi)
Lihat hadits ini Rasulallah saw. tidak melarang orang yang dimasjid yang sedang berdzikir secara jahar (agak keras). Malah beliau saw. mengatakan dia adalah seorang yang banyak mengadu pada Allah (beriba hati dan menyesali dosanya pada Allah swt.) Sifat menyesali kesalahan pada Allah swt itu adalah sifat yang paling baik !
Hadits dari Uqbah bahwasanya Rasulallah saw. pernah berkata kepada seorang lelaki yang biasa dipanggil Zul Bijaadain; “Sesungguhnya dia orang yang banyak mengadu kepada Allah. Yang demikian itu karena dia sering berdzikir kepada Allah”. (HR.Baihaqi). (Julukan seperti ini jelas menunjukkan bahwa Zul- Bijaadain sering berdzikir secara jahar).
Hadits dari Amar bin Dinar, dia berkata: “Aku dikabari oleh Abu Ma’bad bekas budak Ibnu Abbas yang paling jujur dari tuannya yakni Ibnu Abbas dimana beliau berkata:
اَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ المَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ
‘Sesungguhnya berdzikir dengan mengeraskan suara ketika orang selesai melakukan shalat fardhu pernah terjadi dimasa Rasulallah saw.’ “. (HR. Bukhori dan Muslim)
Dalam riwayat yang lain diterangkan bahwa Ibnu Abbas berkata: “Aku mengetahui selesainya shalat Rasulallah saw. dengan adanya ucapan takbir beliau (yakni ketika berdzikir)”. (HR.Bukhori Muslim)
Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul Fatawa mengatakan: “Wirid-wirid, bacaan-bacaan secara jahar, yang dibaca oleh kaum Sufi (para penghayat ilmu tasawwuf) setelah sholat menurut kebiasaan dan suluh (amalan-amalan khusus yang ditempuh kaum Sufi) sungguh mempunyai akar/dalil yang sangat kuat”.
Sedangkan hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim mengenai berdzikir secara jahar seusai sholat sebagai berikut:
Hadits nr. 357: Dari Ibnu Abbas, katanya: “Dahulu kami mengetahui selesainya sembahyang Rasulallah saw. dengan ucapan beliau “takbir”.
Hadits nr. 358: Dari Ibnu Abbas, katanya; “Bahwa dzikr dengan suara jahar/agak keras seusai sembahyang adalah kebiasaaan dizaman Nabi saw. Kata Ibnu Abbas, jika telah kudengar suara berdzikir, tahulah saya bahwa orang telah bubar sembahyang”.
Hadits nr. 366: Dari Abu Zubair katanya; “Adalah Abdullah bin Zubair mengucapkan pada tiap-tiap selesai sembahyang sesudah memberi salam:….” Kata Abdullah bin Zubair, Adalah Rasulallah saw. mengucap- kannya dengan suara yang lantang tiap-tiap selesai sembahyang“.
(Ketiga hadits terakhir ini dikutip dari kitab “Terjemahan hadits Shahih Muslim” jilid I, II dan III terbitan Pustaka Al Husna, I/39 Kebon Sirih Barat, Jakarta, 1980.)
Al-Imam al-Hafidz Al-Maqdisiy dalam kitabnya ‘Al-Umdah Fi Al-Ahkaam’ hal.25 berkata:
“Abdullah bin Abbas menyebutkan bahwa berdzikir dengan mengangkat suara dikala para jema’ah selesai dari sembahyang fardhu adalah diamalkan sentiasa dizaman Rasulallah saw.. Ibnu Abbas berkata, ‘Saya memang mengetahui keadaan selesainya Nabi saw. dari sembahyangnya (ialah dengan sebab saya mendengar) suara takbir’ (yang disuarakan dengan nyaring) “. (HR Imam Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Juraij).
Hadits yang sama dikemukakan juga oleh Imam Abd Wahab Asy-Sya’rani dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah hal.110; demikian juga Imam Al-Kasymiriy dalam kitabnya Fathul Baari hal. 315 dan As-Sayyid Muhammad Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya Nuzul Al-Abrar hal.97; Imam Al-Baghawiy dalam kitabnya Mashaabiih as-Sunnah 1/48 dan Imam as-Syaukani dalam Nail al-Autar.
Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Abbas ra beliau berkata; ‘Kami tidak mengetahui selesainya shalat orang-orang di masa Rasulallah saw. kecuali dengan berdzikir secara jahar’.
Dan masih banyak lagi dalil mengenai keutamaan kumpulan berdzikir yang tidak kami cantumkan disini tapi insya Allah dengan adanya semua hadits diatas cukup jelas bagi kita dan bisa ambil kesimpulan bahwa (kumpulan) berdzikir baik dengan suara lirih maupun jahar/agak keras itu, tidaklah dimakruhkan atau dilarang bahkan didalamnya justru terdapat dalil yang menunjukkan kebolehannya, atau kesunnahannya!!
Demikian juga dzikir dengan jahar itu dapat menggugah semangat dan melembutkan hati, menghilangkan ngantuk, sesuatu yang tidak akan didapat kan pada dzikir secara lirih (sir). Dan diantara yang membolehkan lagi dzikir- jahar ini adalah ulama mutaakhhirin terkemuka Al-‘Allaamah Khairuddin ar-Ramli dalam risalahnya yang berjudul Taushiilul murid ilal murood bibayaani ahkaamil ahzaab wal-aurood mengatakan sebagai berikut: “Jahar dengan dzikir dan tilawah, begitu juga berkumpul untuk berdzikir baik itu di majlis ataupun di masjid adalah sesuatu yang dibolehkan dan disyari’atkan ber- dasarkan hadits (qudsi) Nabi saw.: ‘Barangsiapa berdzikir kepada-Ku (Allah) dihadapan orang-orang, maka Aku pun akan berdzikir untuknya dihadapan orang-orang yang lebih baik darinya’ dan firman Allah swt. ‘Seperti dzikirmu terhadap nenek-moyangmu atau dzikir yang lebih mantap lagi’ (Al-Baqoroh: 200) bisa juga dijadikan sebagai dalilnya.(dalil jahar) “
Agama hanya memakruhkan dzikir jahar yang terlalu keras, begitu juga jahar yang tidak keterlaluan bila sampai mengganggu orang yang sedang tidur atau sedang shalat atau menyebabkan dirinya riya’ serta mensyariatkan/ mewajibkan dzikir jahar ini. Berapa banyak perkara yang sebenarnya mubah tapi karena diwajibkan atau disyariatkan pelaksanaanya dengan cara-cara tertentu padahal agama tidak mengajarkan demikian, maka ia akan berubah menjadi makruh sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qori’ dalam Syarhul Miskat, Al-Hashkafi dalam Ad- Durrul Mukhtar dan beberapa ulama lainnya.
Kalau kita baca ayat-ayat al-Qur’an,hadits dan wejangan para ulama yang telah dikemukakan tadi, jelas bahwa berdzikir baik orang berdzikir sendirian, berkelompok, secara sir atau jahar/agak keras itu semua baik/ mustahab dan sebagai anjuran syari’at Islam. Bagaimana tercelanya saudara kita yang selalu menteror, mencela dan mensesatkan kumpulan dzikir (tahlilan/yasinan, istighotsah dan sebagainya) yang mana disitu selalu dikumandangkan pembacaan diantaranya; ayat-ayat Al-Qur’an, sholawat pada Nabi saw., pembacaan Tasbih, Takbir dan lain sebagainya serta mendo’akan saudara muslimin baik yang masih hidup atau yang sudah wafat? Bacaan yang dibaca didalam majlis tersebut, semuanya tidak ada larangan syari’at, malah sebaliknya banyak hadits Rasulallah saw. yang menunjukkan kebolehannya, atau kesunnahannya!!
Memang ada hadits riwayat Baihaqi, Ibnu Majah dan Ahmad; “Sebaik-baik dzikir adalah secara lirih (sir) dan sebaik-baik rizki adalah yang mencukupi ”. Menurut ulama’ diantaranya Imam as-Suyuthi, kata-kata Sebaik-baik dalam suatu hadits berarti Keutamaan bukan yang lebih utama. Jadi hadits terakhir ini bukan menunjukkan kepada jeleknya atau dilarangnya dzikir secara jahar, karena banyak riwayat hadits shohih yang mengarah pada bolehnya dzikir secara jahar.
Mari kita baca lagi perincian berdzikir dengan jahar yang lebih jelas menurut pendapat Imam Suyuthi dan lainnya.
“Imam As-Suyuthi didalam Natijatul/fikri Jahri Bidz Dzikri, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya mengenai tokoh Sufi yang membentuk kelompok-kelompok dzikir dengan suara agak keras, apakah itu merupakan perbuatan makruh atau tidak? Jawab beliau: Itu tidak ada buruknya (tidak makruh) ! Ada hadits yang menganjurkan dzikir dengan suara agak keras (jahar) dan ada pula menganjurkan dengan suara pelan (sirran). Penyatuan dua macam hadits ini yang tampaknya berlawanan, semua tidak lain ter- gantung pada keadaan tempat dan pribadi orang yang akan melakukan itu sendiri.
Dengan merinci manfaat membaca Al-Qur’an dan berdzikir secara jahar/ jahran dan lirih/sirran itu Imam Suyuthi berhasil menyerasikan dua hal ini kedalam suatu pengertian yang benar mengenai hadits-hadits terkait. Jika anda berkata bahwa Allah swt. telah berfirman:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُوْنَ الجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُضُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ.
‘Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hati dengan merendahkan diri disertai perasaan dan tanpa mengeraskan suara’. (Al A’raf:205). Itu dapat saya (Imam Suyuthi) jawab dari tiga sisi:
- Ayat diatas ini adalah ayat Makkiyah ( turun di Makkah sebelum hijrah). Masa turun ayat (Al A’raf 205) ini berdekatan dengan masa turunnya ayat berikut ini:
وَلاَ تَجْهَرْ بصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِبَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً
‘Dan janganlah engkau (hai Nabi) mengeraskan suaramu diwaktu sholat, dan jangan pula engkau melirihkannya…’ (Al Isra’:110).
Ayat itu (Al A’raf :205) turun pada saat Nabi saw. sholat dengan suara agak keras (jahar), kemudian didengar oleh kaum musyrikin Quraisy, lalu mereka memaki Al Qur’an dan yang menurunkannya (Allah swt). Karena itulah beliau saw. diperintah (oleh Allah) untuk meninggalkan cara jahar guna mencegah terjadinya kemungkinan yang buruk (saddudz-dzari’ah). Makna ini hilang setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah dan kaum Muslimin mempunyai kekuat- an untuk mematahkan permusuhan kaum musyrikin. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
- Jama’ah ahli tafsir (Jama’atul Mufassirin), diantaranya Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan Ibnu Jarir, menerapkan makna ayat diatas tentang dzikir pada masalah membaca Al-Qur’an. Nabi saw. menerima perintah jahran (agak keras) membaca Al-Qur’an sebagai pemuliaan (ta’dziman) terhadap Kitabullah tersebut., khususnya diwaktu sholat tertentu. Hal itu diperkuat kaitannya dengan turunnya ayat: ‘Apabila Al-Qur’an sedang dibaca maka hendaklah kalian mendengarkannya…’ (Al A’raf:204). Dengan turunnya perintah ‘mendengarkan’ maka orang yang mendengar Al-Qur’an yang sedang dibaca, jika ia (orang yang beriman) tentu takut dalam perbuatan dosa. Selain itu ayat tersebut juga menganjurkan diam (tidak bicara) tetapi kesadaran berdzikir dihati tidak boleh berubah, dengan demikian orang tidak lengah meninggalkan dzikir (menyebut) nama Allah. Karena ayat tersebut diakhiri dengan: ‘Dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai’.
- Orang-orang Sufi mengatakan berdzikir sirran (lirih) itu hanya khusus dapat dilakukan dengan sempurna oleh Rasulallah saw., karena beliau saw. manusia yang disempurnakan oleh Allah swt. Manusia-manusia selain beliau saw. sangat repot sekali melakukan dengan sempurna sering diikuti was-was, penuh berbagai angan-angan perasaan, karena itulah mereka berdzikir secara agak keras/jahran. Dzikir jahran semua was-was, angan-angan dan perasaan, lebih mudah dihilangkan, serta akan mengusir setan-setan jahat.
Pendapat demikian ini diperkuat oleh sebuah hadits yang diketengahkan oleh Al- Bazzar dari Mu’adz bin Jabal ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda:
‘Barangsiapa diantara kamu sholat diwaktu malam hendaklah bacaannya di ucapkan dengan jahran (agak keras). Sebab para malaikat turut sholat seperti sholat yang dilakukannya, dan mendengarkan bacaan-bacaan sholat- nya. Jin-jin beriman yang berada di antariksa dan tetangga yang serumah dengannya, merekapun sholat seperti yang dilakukannya dan mendengarkan bacaan-bacaannya. Sholat dengan bacaan keras akan mengusir Jin-jin durhaka dan setan-setan jahat’.” Demikianlah pendapat Imam Suyuthi.
Pendapat Ibnu Taimiyyah yang dijuluki Syaikhul Islam mengenai majlis dzikir didalam kitab Majmu ‘al fatawa edisi King Khalid ibn ‘Abd al-Aziz. Ibnu Taimiyyah telah ditanya mengenai pendapat beliau mengenai perbuatan berkumpul beramai-ramai berdzikir, membaca al-Qur’an, berdo’a sambil menanggalkan serban dan menangis, sedangkan niat mereka bukanlah karena ria’ ataupun membanggakan diri tetapi hanyalah karena hendak mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Adakah perbuatan-perbuatan ini boleh diterima? Beliau menjawab: ‘Segala puji hanya bagi Allah, perbuatan-perbuatan itu semuanya adalah baik dan merupakan suruhan didalam Shari’a (mustahab) untuk berkumpul dan membaca al-Qur’an dan berdzikir serta berdo’a….’ “ Pertanyaan ini berkaitan dengan kelompok/majlis dzikir dimasjid-masjid yang dilakukan kaum Sufi Syadziliyyah.
Ibnu Hajr mengatakan, bahwa pembentukan jama’ah-jama’ah seperti itu adalah sunnah, tidak ada alasan untuk menyalah-nyalahkannya. Sebab ber- kumpul untuk berdzikir telah diungkapkan pada hadits Qudsi Shohih: ‘Tiap hambaKu yang menyebutKu di tengah sejumlah orang, ia pasti Kusebut (amal kebaikannya) di tengah jama’ah yang lebih baik’.
Dengan kumpulnya orang bersama untuk berdzikir ini sudah tentu menunjuk- kan dzikir tersebut dengan suara yang bisa didengar sesamanya (agak keras). Bila tidak demikian, apa keistimewaan hadits tentang kumpulan (halaqat) dzikir yang dibanggakan oleh Malaikat dan Rasulallah saw.?, karena berdzikir secara sirran/lirih sudah biasa dilakukan oleh perorangan !
Imam An-Nawawi menyatukan dua hadits (jahar dan lirih) itu sebagai- mana katanya: Membaca Al-Qur’an maupun berdzikir lebih afdhol/utama secara sirran/lirih bila orang yang membaca khawatir untuk riya’, atau mengganggu orang yang sedang sholat ditempat itu, atau orang yang sedang tidur. Diluar situasi seperti ini maka dzikir secara jahran/agak keras adalah lebih afdhol/baik. Karena dalam hal itu kadar amalannya lebih banyak daripada membaca Al-Qur’an atau dzikir secara lirih/sirran.
Selain itu juga membaca Qur’an dan dzikir secara jahran/keras ini manfaat- nya berdampak pada orang-orang yang mendengar, lebih konsentrasi atau memusatkan pendengarannya sendiri, membangkitkan hati pembaca sendiri, hasrat berdzikir lebih besar, menghilangkan rasa ngantuk dan lain-lain. Menurut sebagian ulama bahwa beberapa bagian Al-Quran lebih baik dibaca secara jahar/jahran, sedangkan bagian lainnya dibaca secara lirih/sirran. Bila membaca secara lirih akan menjenuhkan bacalah secara jahar dan bila secara jahar melelahkan maka bacalah secara lirih.
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm berkata sebagai berikut:
“Aku memilih untuk imam dan makmum agar keduanya berdzikir pada Allah sesudah salam dari shalat dan keduanya melakukan dzikir secara lirih kecuali imam yang menginginkan para makmum mengetahui kalimat-kalimat dzikirnya, maka dia boleh melakukan jahar sampai dia yakin bahwa para makmum itu sudah mengetahuinya kemudian diapun berdzikir secara sir lagi”. Dengan demikian tidak diketemukan dikalangan ulama Syafi’iyah pernyataan-pernyataan yang melarang/mengharamkan dzikir secara jahar apalagi sampai memutuskannya dengan bid’ah munkar !
Mari kita rujuk lagi riwayat hadits bahwa setan akan lari bila mendengar suara adzan atau iqamah, karena yang dibaca dalam adzan/iqamah kalimat dzikir dan sekaligus mencakup kalimat-kalimat tauhid juga, sebagaimana juga bacaan yang dibaca pada kumpulan majlis-majlis dzikir (tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan sebagainya).
Hadits nomer 581 riwayat Muslim sabda Rasulallah saw.: “Sesungguhnya apabila setan mendengar adzan untuk sholat ia pergi menjauh sampai ke Rauha’, berkata Sulaiman; ‘Saya bertanya tentang Rauha’ itu, jawab Nabi saw.; ‘jaraknya dari Madinah 36 mil’ “.
Hadits nomer 582 riwayat Muslim dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya apabila setan mendengar adzan sholat ia bersembunyi mencari perlindungan sehingga suara adzan itu tidak terdengarnya lagi. Tapi apabila setan itu mendengar iqamah, ia menjauh (lagi) sehingga suara iqamah tidak terdengar lagi. Namun apabila iqamah berakhir, setan kembail (lagi) melakukan waswas, yaitu membisikkan bisikan jahat “.
Lihat hadits dari Mu’adz bin Jabal dan dua hadits diatas bahwa dengan baca Al-Qur’an waktu sholat malam secara jahar akan didengar oleh malaikat, jin-jin beriman dan lainnya, serta bisa mengusir setan-setan yang jahat dan durhaka. Walaupun hadits ini berkaitan dengan bacaan Al-Qur’an pada waktu sholat malam hari serta bacaan adzan dan iqomah, tapi intinya sama yaitu pembacaan ayat Al-Qur’an dan bacaan kalimat-kalimat tauhid dan dzikir secara jahar.
Perbedaannya adalah satu didalam keadaan sholat membacanya yang lain diluar waktu sholat, yang mana kedua-duanya bisa didengar oleh malaikat, jin dan mengusir setan. Juga berdasarkan hadits-hadits yang telah di kemukakan tadi, maka tidak ada saat bagi setan untuk memperdayai manusia selama manusia itu sering berdzikir karena dzikirnya itu bisa di dengar oleh setan-setan tersebut. Maka dari itu Allah swt. sering memper -ingatkan dalam Al-Qur’an agar kita selalu berdzikir pada-Nya.
Orang dianjurkan berdzikir setiap waktu baik dalam keadaan junub, haid, nifas maupun dalam keadaan suci (kecuali bacaan ayat Al-Qur’annya), sedang sibuk atau lenggang waktu, sedang berbaring atau duduk dan pada setiap tempat. Itulah yang dimaksud ayat Allah swt. diantaranya surat An-Nisa:103, karena dzikir semacam ini boleh dilaksanakan terus menerus.!! Lain halnya dengan sholat ada syarat dan waktu-waktu tertentu yang tidak boleh melakukan sholat, umpama: orang yang sedang haid, nifas, junub ( harus mandi dulu), sholat sunnah yang hanya niat sholat saja setelah sholat ashar/shubuh dan sebagainya. Begitu juga ibadah puasa akan batal bagi orang yang sedang haidh, nifas atau junub dan hal-hal lain yang bisa membatalkan puasa.
Mereka berdzikir dengan suara yang jahar tapi bila ditempat mereka dzikir terdapat orang yang merasa terganggu umpama orang sedang sholat, atau ada orang tidur maka mereka akan melirihkan suaranya. Sebagian orang senang berdzikir secara agak keras/jahran untuk dapat memerangi bisikan busuk (was-was), godaan hawa nafsu, lebih konsentrasi tidak mudah lengah, dan langsung menyatukan ucapan lisan dengan hatinya, lebih khusyu’ apalagi dengan irama dzikir yang enak, menghilangkan ngantuk dan lain-lain. Masjid-masjid yang dijadikan tempat dzikir oleh kaum Sufi ini diantara- nya masjid Ar Ribath .
Bagi yang memilih dzikir secara sirran (lirih, pelan) untuk memudahkan perjuangan melawan hawa nafsu, melatih diri agar tidak berbau riya’ (meng- harap pujian-pujian orang) dan menahan nafsu agar tidak menjadi orang yang terkenal. Terdapat riwayat bahwa Umar bin Khattab ra. berdzikir secara jahar/agak keras sedangkan sahabat Abubakar ra dengan suara lirih (sirran). Waktu mereka berdua ditanya oleh Rasulallah saw. mereka menjawab dengan penjelasan seperti diatas itu. Ternyata Rasulallah saw. membenar- kan mereka berdua ini !
Dengan adanya keterangan-keterangan diatas ini kita bisa menarik kesimpul an ada ulama yang senang berdzikir secara lirih dan ada yang lebih senang secara jahar, tergantung situasi sekitarnya dan pribadi masing-masing, bila situasi mengizinkan maka secara jahar itu lebih baik/afdhol. Jadi kedua macam cara itu dibolehkan!!
Aturan/adab (paling baik/tidak wajib) dalam dzikir menurut Syaikh ‘Ali Al-Marshafy, dalam kitabnya Manhajus Shalih mengatakan antara lain sebagai berikut: “Kita selalu dalam keadaan bersih yakni mandi dan berwudu’, menghadap kiblat (kalau bisa), duduk ditempat yang suci (bukan najis). Orang agar sepenuhnya konsentrasi (penuh perhatian) dengan hatinya mengenai dzikir yang dibaca itu. Tempat dzikir tersebut ditaburi dengan minyak wangi. Berdzikir dengan ikhlas karena Allah swt…”.
Dan masih banyak yang beliau anjurkan cara yang terbaik untuk berdzikir tapi empat diatas itu cukup buat kita agar tercapainya dzikir itu, sehingga kita bisa menikmatinya dan menenangkan jiwa. Yang dimaksud Syaikh ‘Ali Al Marshafy ditaburi minyak wangi pada tempat dzikir ialah agar tempat dzikir tersebut semerbak wangi baunya. Dalam hal ini dibolehkan semua jenis bahan yang bisa menimbulkan bau harum umpama minyak wangi, sebangsa kayu-kayuan (gahru dan sebagainya) atau menyan Arab yang kalau dibakar asapnya berbau wangi, karena disamping bau-bauan ini lebih mengkhusyukkan/ mengkonsentrasikan, menyegarkan pribadi orang itu atau para hadirin, juga menyenangkan malaikat-malaikat dan jin-jin yang beriman yang hadir di majlis dzikir ini. Bau harum ini malah lebih diperlukan bila berada di ruangan yang banyak dihadiri oleh manusia agar berbau semerbak ruangan tersebut. Gahru, uluwwah atau menyan ini banyak dijual baik di Indonesia, Makkah, Madinah maupun dinegara lainnya. Yang paling mahal harganya adalah Gahru kwaliteit istemewa.
Hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda: “Siapa yang diberi wangi-wangian janganlah ditolak, karena ia mudah dibawa dan semerbak harumnya”. (HR.Muslim, Nasa’I dan Abu Dawud)
Ada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Nasa’i: “Adakalanya Ibnu Umar ra. membakar uluwwah tanpa campuran, dan adakalanya kapur barus yang dicampur dengan uluwwah seraya berkata, ‘Beginilah Rasulallah saw. mengasapi dirinya’.”
Begitu juga tahun 2001 bulan suci Ramadhan kami ziarah ke makam Rasulallah saw. di Madinah, disana setiap usai sholat Isya’ terutama pada di tempat sekitar Raudhah (antara Rumah dan Mimbar Rasulallah saw.) dan disekitar Mimbar Rasulallah saw. selalu di asapi kayu gahru. Bagi orang-orang yang pernah hadir di tempat ini pada waktu tertentu itu insya Allah bisa menyaksikan serta menikmati bau-bauan harum tersebut. Padahal kalau kita lihat negara Saudi Arabia banyak disana golongan wahabi/salafi yang sering mengeritik dan membuat ceritera khurafat atau mengisukan yang tidak-tidak terhadap golongan muslimin yang membakar dupa/gahru waktu mengadakan majlis dzikir. Diantara golongan wahabi dan pengikutnya ini ada yang mengatakan pembakaran dupa/gahru dan sebagainya waktu sedang berkumpul berdzikir maupun sendirian untuk mendatangkan setan-setan dan lain-lain !
Tetapi kalau kita baca hadits Nabi saw., setan malah lari mendengar bacaan dzikir itu, dan senang bersemayam dirumah dan diri orang yang tidak mengadakan majlis dzikir. Lihatlah, karena kedengkian golongan tertentu pada majlis dzikir ini, mereka membuat fitnah dan mengadakan khurafat-khurafat (tahayul) yang dikarang-karang sendiri, agar manusia mengikuti faham mereka dan tidak menghadiri majlis dzikir tersebut. Mengapa golongan pengingkar ini tidak berkata pada sipenjual Gahru, menyan arab di Makkah dan Madinah bahwa itu haram, khurafat karena bisa mendatangkan setan-setan?
Dalil-dalil mereka yang melarang dzikir secara jahar
Dengan adanya riwayat-riwayat yang dikemukakan tadi, buat kita insya Allah sudah cukup jelas mengenai dibolehkannya dzikir baik secara lirih maupun secara jahar. Tetapi bagi golongan pengingkar selalu mengajukan dalil-dalil yang menurut paham mereka sebagai larangan/haramnya orang ber- kumpul berdzikir secara jahar. Mari kita baca dalil mereka untuk masalah ini:
Firman Allah swt (Al ‘Araf : 204): ‘Dan apabila dibacakan (kepadamu) ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka dengarkanlah dia dan perhatikan agar kamu diberikan rahmat’. Ayat ini dibuat dalil oleh mereka untuk melarang pem- bacaan Al-Qur’an secara bersama, yang di amalkan orang-orang pada majlis dzikir (Istighothah, tahlilan, yasinan dan lain lain).
Sudah tentu pemikiran seperti ini adalah paham yang keliru, karena makna atau yang dimaksud firman Allah swt. itu ialah: Bila ada orang membaca Al-Qur’an sedangkan orang lainnya tidak ikut membaca bersama orang tersebut, maka yang tidak ikut membaca ini di anjurkan untuk mendengarkan serta memperhatikan bacaan Al Qur’an tersebut agar mereka juga mendapat pahala dan rahmat dari Allah swt. Jadi bukan berarti ayat ini melarang orang bersama-sama membaca Al-Qur’an dalam kumpulan majlis dzikir ! Karena cukup banyak hadits yang menjanjikan pahala bagi orang yang membaca Al-Qur’an baik membacanya secara berkelompok maupun perorangan, serta tidak ada nash baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah yang melarang mem- baca Al-Qur’an secara bersama-sama ! Malah justru mendapat pahala bagi yang membacanya !.
Mereka berdalil juga pada firman Allah Al-A’raf :205 yang berbunyi: ‘Dan ingatlah Tuhanmu didalam hatimu sambil merendahkan diri dan merasa takut serta tidak dengan suara keras (yang berlebihan) dipagi maupun sore hari’.
Ayat diatas juga tidak bisa dibuat dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar. Sebenarnya yang dimaksud ayat ini adalah untuk orang-orang yang sedang mendengarkan Al-Qur’an yang sedang dibaca oleh orang lain sebagaimana ditunjukkan oleh ayat yang telah dikemukakan yaitu surat Al-A’raaf : 204. Dengan demikian, makna surat Al-A’raf : 205 tadi adalah: ‘Berdzikirlah kepada Tuhanmu didalam hati wahai orang yang memperhati- kan dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan merendahkan diri serta rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara…’.
Seperti ini pula makna yang dikehendaki oleh ulama pakar diantaranya: Ibnu Jarir, Abu Syaikh dari Ibnu Zaed. Sedangkan Imam Suyuthi dalam kitabnya Natijatul Fikri berkata: Ketika Allah swt. memerintahkan untuk inshot (memperhatikan bacaan Al Qur’an) dikhawatirkan terjadinya kelalaian dari mengingat Allah swt., maka dari itu disamping perintah inshot dzikir didalam hati tetap dibebankan agar tidak terjadi kelalaian mengingat Allah swt. Karenanya ayat tersebut diakhiri dengan ‘Dan janganlah kamu termasuk diantara orang-orang yang lalai’. (baca keterangan pada halaman sebelum ini)
Malah menurut Imam Ar-Rozi bahwa ayat Al A’raf : 205 justru menetapkan dzikir dengan jahar yang tidak berlebihan, bukan malah mencegahnya karena disitu disebut juga ‘…dan bukan dengan mengeraskan suara (jahar yang berlebihan)…’ Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tuntutan ayat itu adalah ’melakukan dzikir antara sir dan jahar yang berlebihan’ makna yang demikian sesuai dan dikuatkan oleh firman Allah swt dalam surat Al-Isro’: 110 yang berbunyi: ‘Janganlah kamu mengeraskan suara dalam berdo’a dan janganlah pula kamu melirihkannya melainkan carilah jalan tengah diantara yang demikian itu’.
Golongan pengingkar ini juga berdalil pada hadits Nabi saw. yang di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Marduwaih dan Al-Baihaqi dari Abu Musa Al-Asy’ari ra yang berkata:
“Kami pernah bersama Rasulallah saw. dalam sebuah peperangan, maka terjadilah satu keadaan dimana kami tidaklah menuruni lembah dan tidak pula mendaki bukit kecuali kami mengeraskan suara takbir kami. Maka mendekatlah Rasulallah saw. kepada kami dan bersabda: ‘ Lemah lembutlah kalian dalam bersuara karena yang kalian seru bukanlah zat yang tuli atau tidak ada. Hanyalah yang kalian seru adalah zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya yang kalian seru itu lebih dekat kepadamu ketimbang leher-leher onta tungganganmu’ “.
Hadits ini tercantum dalam kitab-kitab hadits yang enam. Imam Turmudzi dalam bab Fadhlut Tasbih menyebutkan juga hadits dari Abu Musa al-Asy’ari yang senada tapi sedikit berbeda dan ditambah dengan sabda Rasulallah saw. “Wahai Abdullah bin Qais, maukah kamu aku beritahukan sebagian dari perbendaharaan sorga…? Dialah : ‘Laa Haulaa Walaa Quwwata Illa Billah’ “. Turmudzi berkata: Ini adalah hadits yang shohih.
Golongan ini berkata: “Mengapa kita harus mengeraskan suara dalam berdzikir…?, padahal hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari diatas memerintahkan untuk merendahkan suara di ketika berdzikir karena Zat yang didzikirkan yakni Allah swt. bukan Zat yang tuli, bukan Zat yang tidak ada bahkan ilmu dan kekuasan-Nya ada dihadapan kita ! Dia lebih dekat kepada kita dibanding leher-leher onta tunggangan kita !
Alasan inipun tidak tepat untuk dijadikan dalil melarang atau mengharamkan semua bentuk dzikir jahar, perintah irba’uu dihadits tersebut bukanlah hukum wajib sehingga berakibat haramnya berdzikir secara jahar. Hal ini karena perintah dengan menggunakan kata ar-rab’u adalah semata-mata untuk memberikan kemudahan kepada mereka. Berdasarkan inilah maka Syeikh Ad-Dahlawi dalam Al-Lama’aat Syarhul Misykat mengatakan bahwa irba’uu adalah satu isyarat dimana larangan jahar hanyalah untuk memudahkan, bukan karena jahar itu tidak disyariatkan !
Kalau sekiranya Rasulallah saw. tidak mencegah para sahabat berdzikir secara keras pada waktu peperangan menaiki dan menuruni bukit, maka mereka jelas akan menyangka bahwa mengeraskan suara dzikir yang berlebihan itu sewaktu dalam perjalanan adalah disunnahkan, karena per- buatan mereka itu didiamkan/diridhoi oleh Rasulallah saw.. Padahal kesunnahan yang seperti itu tidaklah dikehendaki oleh beliau saw. Mengeraskan dzikir pada saat itu sedang dalam perjalanan perang menuju Khaibar seperti itu tidak ada mashlahatnya/kebaikannya, bahkan bisa menimbulkan bencana kalau sampai didengar oleh musuh orang-orang kafir. Terlebih-lebih ada hadits mengatakan ‘Perang itu adalah satu tipu daya’.
Begitupun juga beliau saw. melarang mereka supaya nantinya tidak merasa lebih lelah dan kesulitan dalam menghadapi peperangan. Beginilah juga yang diterangkan oleh Al-Bazzaazi makna pelarangan pengerasan suara pada waktu itu. Pengarang kitab Fathul Wadud Syarah Sunan Abi Daud mengatakan bahwa kata-kata rofa’uu ashwaatahum menunjukkan bahwa mereka itu terlalu berlebihan dalam menjaharkan dzikir. Maka hadits itu tidaklah menuntut terlarangnya menjaharkan dzikir secara mutlak ! Jadi dzikir jahar yang dilakukan oleh para sahabat itu adalah jahar yang berlebihan (jerat-jerit) sebagaimana ditunjukkan oleh kaitan larangan itu dalam beberapa riwayat.
Begitu juga bila hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari diatas ini dipakai sebagai dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar maka akan ber- benturan dengan hadits-hadits yang berkaitan dengan dzikir secara jahar (silahkan baca keterangan sebelumnya).
Sebelum ini telah kami kemukakan sebagian fatwa seorang ulama yang di andalkan juga oleh golongan ini yaitu Ibnu Taimiyah didalam kitabnya Majmu’at fatawa edisi Raja Saudi Arabi Malik Khalid bin ‘Abdul ‘Aziz sebagai berikut: “Ibnu Taimiyyah telah ditanya mengenai pendapat beliau mengenai perbuatan berkumpul beramai-ramai berdzikir (secara jahar), membaca al-Qur’an berdo’a sambil menanggalkan serban dan menangis sedangkan niat mereka bukanlah karena ria’ ataupun menunjuk-nunjukkan diri, tetapi hanyalah karena hendak mendekatkan diri kepada Allah swt. Adakah perbuatan-perbuatan ini boleh diterima? Beliau menjawab, ‘Segala puji hanya bagi Allah, perbuatan-perbuatan itu semuanya adalah baik dan merupakan suruhan didalam Shari’a (agama) untuk berkumpul dan membaca al-Qur’an dan berdzikir serta berdo’a’.”
Sebagian golongan ini juga melarang kumpulan majlis dzikir dengan ber- dalil suatu riwayat bahwa Umar bin Khattab ra. mencambuk suatu kaum yang berkumpul karena kaum ini berdo’a untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin ! Dengan berdalil pada hadits ini, mereka melarang semua bentuk berdzikir secara jahar.
Umpama riwayat tersebut benar-benar ada dan shohih, kita harus meneliti dahulu apa sebab Umar bin Khattab ra melarang mereka berkumpul untuk berdo’a kebaikan tersebut, sehingga tidak langsung menghukum semua berkumpulnya manusia untuk do’a kebaikan itu dilarang. Dzikir dan do’a itu termasuk amalan ibadah yang sangat dianjurkan baik oleh Allah swt. maupun Rasulallah saw.. Tidak ada penentuan/kewajiban dalam syariat tentang cara-cara berdzikir dan berdo’a, boleh dilakukan secara berkumpul atau pun secara individu !
Penafsiran mereka seperti itu adalah sangat sembrono sekali, karena ini bisa mengakibatkan orang akan merendahkan sifat Umar bin Khattab, sehingga orang-orang non muslim maupun muslim akan mensadiskan beliau karena mencambuk (tanpa alasan yang tepat) orang yang berkumpul hanya karena berdo’a kebaikan untuk muslimin dan pemimpinnya. Hati-hatilah! Disamping itu riwayat ini berlawanan dengan firman Allah swt (hadits Qudsi) dan hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai keutamaan berdo’a dan halaqat dzikir (lingkaran dzikir) !
Juga golongan ini mengatakan ada riwayat dari Bukhori yang berkata ada suatu kaum/kelompok setelah melaksanakan sholat Maghrib seorang dari mereka berkata: “Bertakbirlah kalian semua pada Allah seperti ini… bertasbihlah seperti ini….dan bertahmidlah seperti ini…maka Ibnu Mas’ud ra mendatangi orang ini dan berkata:….sungguh kalian telah datang dengan perkataan bid’ah yang keji atau kalian telah menganggap lebih mengetahui dari sahabat Nabi.”
Riwayat diatas itu dibuat juga oleh golongan pengingkar sebagai dalil untuk melarang semua kumpulan majlis dzikir, alasan seperti ini juga tidak tepat sama sekali. Pertama kita harus mengetahui dahulu kalimat takbir, tasbih atau tahmid apa yang diperintahkan orang tersebut pada sekelompok muslimin itu. Kedua umpama bacaan takbir, tasbih, tahmid serta cara pem- beritahuan sesuai yang dianjurkan oleh Nabi saw. maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud ra akan melarangnya, karena Rasulallah saw. sendiri meridhoi dan memberi kabar gembira bagi kelompok kaum yang sedang berdzikir. Ketiga, kelompok tersebut belum melakukan dzikir yang diperintahkan oleh orang itu, oleh karenanya Ibnu Mas’ud bukan tidak menyenangi kumpulan dzikir dan bacaannya tapi beliau tidak menyenangi cara pemberitahuan orang tersebut kepada kelompok itu, yang seakan-akan mewajibkan atau mensyari’atkan kelompok tersebut untuk mengamalkan hal tersebut, karena dzikir adalah amalan-amalan sunnah/bukan wajib !!
Jadi janganlah kita main pukul rata mengharamkan semua jenis kelompok dzikir secara jahar dengan alasan sebagian sahabat telah melarangnya pada kelompok manusia tertentu, tapi kita harus meneliti motif atau sebab apa dzikir tersebut pada waktu itu dilarang oleh sahabat Nabi tersebut. Dengan demikian kita tidak akan ke bingungan atau kesulitan untuk mengamalkan hadits Rasulallah saw. lainnya yang mengarah kepada kebolehan dan kesunnahan untuk berdzikir baik secara individu maupun berkelompok, baik secara lirih maupun jahar sebagaimana yang telah dijelaskan juga oleh ulama-ulama pakar, Imam Nawawi, Ibnu Hajr, Imam Suyuthi serta lain-lainnya.
Begitu juga bila ada sebagian ulama pakar tidak menyenangi berdzikir secara jahar atau secara lirih itu tidak berarti semua dzikir secara jahar atau lirih itu haram diamalkan! Tidak lain hal tersebut tergantung pada pribadi ulama itu masing-masing atau tergantung pada situasi lokasi dan tempat untuk berdzikir tersebut.
Kami tambahkan lagi hadits yang shohih menganjurkan manusia untuk membaca Talbiyah dan Tahlil secara jahar pada waktu musim haji, yang mana Talbiyah dan Tahlil juga termasuk dzikir pada Allah swt. Hadits dari Khalad bin Sa’id Al Anshori dari Bapaknya bahwa Nabi saw bersabda:
“Jibril datang kepadaku lalu menyuruhku untuk memerintahkan kepada sahabatku atau kepada orang-orang yang bersamaku agar mengeraskan suara dengan Talbiyah dan tahlil ”. ( Riwayat Abu Dawud nr.1797, Tirmidzi nr.829, Nasa’i dalam bab mengeraskan suara ketika ber ihram, Ibnu Majah nr.2364, Imam Malik dalam Al Muwattha hadits nr.34). Menurut Imam Syafii Takbir dan Tahlil dalam haji ini boleh diamalkan secara jahar baik dimasjidil Haram atau dilapangan.
Kalau dzikir Talbiyah dan Tahlil secara jahar yang dilakukan oleh berjuta-juta jama’ah haji secara berkelompok-kelompok malah dianjurkan dan tidak di- larang, apalagi dzikir secara jahar yang hanya dilakukan oleh kelompok jauh lebih sedikit jumlahnya dari itu, apa salahnya dalam hal ini..?.