LELEKI YANG MEMBERIKAN MAHAR SEBELUM AKAD NIKAH
DALAM masyarakat umumnya ketika menikahkan putrinya, maka mas kawin akan di serahkan terlebih dahulu sebelum akad nikah di lakukan.
Kemudian apakah hal ini di benarkan menurut agama?
Boleh boleh saja apabila mahar diberikan sebelum aqad, dengan qorinah dalam ibarat bughyah bahwa bila calon suami (yang melamar) memberikan harta dengan maksud mahar maka dibenarkan.
Menurut Abu Mahromah dan Ibnu Hajar dalam kitab fatawi nya :
(مسألة: ش) : دفع لمخطوبته مالاً ثم ادعى أنه بقصد المهر وأنكرت صدقت هي إن كان الدفع قبل العقد وإلا صدق هو اهـ. قلت: وافقه في التحفة، وقال في الفتاوى وأبو مخرمة: يصدق الزوج مطلقاً، ويؤخذ من قولهم صدقت أنه لو أقام الزوج بينة بقصده المذكور قبلت.
Bila orang yang melamar (calon suami) memberikan harta pada wanita yang dilamarnya dengan bermaksud harta tersebut sebagai mahar (pada wanita yang dilamar) , dan wanita yang dilamar mengingkarinya maka yang dibenarkan wanita yang dilamar
Hal ini bila terjadi sebelum aqad (nikah) bila terjadi setelah aqad nikah maka yang dibenarkan ialah suaminya dan saya berkata (pengarang bughyah) pendapat Ibnu Hajar mencocoki (setuju) dengan qoul Asykhori dalam kitab tuhfahnya,
Berkata Ibnu Hajar dalam kitab fatawinya dan Abu Makhromah yang dibenarkan ialah suami secara mutlaq (baik diberikan sebelum aqad atapun setelah aqad hartanya dengan maksud mahar ).
Dan saya berkata (pengarang bughyah) diambil dari pendapat ulama’ berupa dibenarkannya wanita yang dilamar bahwa bila suami mendatangkan saksi dengan tujuan tersebut maka yang diterima istrinya (wanita yang dilamar tadi).
Bughyatul musytarsidin hal 214
(مَسْأَلَةُ ش) دَفَعَ لِمَخْطُوْبَتِهِ مَالاً ثُمَّ ادَّعَى أَنَّهُ بِقَصْدِ الْمَهْرِ وَأَنْكَرَتْ صُدِّقَتْ هِيَ, إِنْ كَانَ الدَّفْعُ قَبْلَ الْعَقْدِ وَإِلاَّ صُدِّقَ هُوَ. قُلْتُ وَافَقَهُ فِى التُّحْفَةِ وَقَالَ فِى الْفَتَاوَى وَأَبُوْ مَحْرَمَةَ يُصَدَّقُ الزَّوْجُ مُطْلَقًا وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِمْ صُدِّقَتْ أَنَّهُ لَوْ أَقَامَ الزَّوْجُ بَيِّنَةً بِقَصْدِهِ الْمَذْكُوْرِ قُبِلَتْ.
“Jika seorang laki-laki memberikan sejumlah uang kepada tunangannya, kemudian ia mengaku bahwa pemberian tersebut dimaksudkan sebagai maskawin, sedangkan perempuan tersebut mengingkarinya, maka pengakuan perempuan tersebut yang diterima bila pemberian itu diserahkan sebelum akad nikah, dan jika diserahkan sesudahnya maka yang diterima adalah pengakuan laki-laki. Menurut saya, pendapat ini sama dengan pendapat (Ibnu Hajar) dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj. Sedangkan menurut pendapatnya dalam kitab al-Fatawa dan pendapat Abu Mahramah, yang dibenarkan adalah pihak laki-laki secara mutlak. Dari pendapat mereka dapat difahami, bahwa pengakuan perempuan dapat dibenarkan, dalam arti walaupun laki-laki mengajukan bukti atas pengakuannya, pengakuan perempuan tetap dapat diterima.”
Begitu pula pendapat Zainudin al-Malaibari dalam Fathul Mu’in:
لَوْ خَطَبَ امْرَأَةً ثُمَّ أَرْسَلَ أَوْ دَفَعَ بِلاَ لَفْظٍ إِلَيْهَا مَالاً قَبْلَ الْعَقْدِ أَي وَلَمْ يَقْصُدْ التَّبَرُّعَ ثُمَّ وَقَعَ اْلإِعْرَاضُ مِنْهَا أَوْ مِنْهُ رُجِعَ بِمَا وَصَلَهَا مِنْهُ كَمَا صَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ مُحَقِّقُوْنَ وَلَوْ أَعْطَاهَا مَالاً فَقَالَتْ هَدِيَّةً وَقَالَ صَدَاقًا صُدِّقَ بِيَمِيْنِهِ.
“Seandainya seseorang melamar perempuan, kemudian ia memberikan sejumlah harta benda kepadanya sebelum akad nikah tanpa disertai suatu pernyataan apa pun, dan ia tidak bermaksud sebagai pemberian (tabarru’), kemudian terjadi pengingkaran dari pihak perempuan atau laki-laki yang melamarnya, maka laki-laki itulah yang dimenangkan. Pendapat ini sesuai dengan yang dianut oleh sebagian besar ulama ahli tahqiq. Seandainya seorang laki-laki memberikan suatu harta benda, kemudian perempuan menyatakan sebagai hadiah, sedangkan laki-laki menyatakannya sebagai maskawin, maka pengakuan pihak laki-laki yang diterima dengan disertai sumpah.”
Tentang hal ini lebih jelas lagi apa yang dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawal Kubra,sebagai jawaban dari sebuah pertanyaan serupa:
(وَسُئِلَ) عَمَّنْ خَطَبَ امْرَأَةً فَأَجَابُوْاهُ فَأَعْطَاهُمْ شَيْئًا مِنَ الْمَالِ يُسَمَّى الْجِهَازَ هَلْ تَمْلِكُهُ الْمَخْطُوْبَةُ أَوْ لاَ, بَيِّنُوْا لَنَا ذَلِكَ (فَأَجَابَ) بِأَنَّ الْعِبْرَةَ نِيَّةُ الْخَاطِبِ الدَّافِعِ فَإِنْ دَفَعَ بِنِيَّةِ الْهَدِيَّةِ مَلَكَتْهُ الْمَخْطُوْبَةُ أَوْ بِنِيَّةِ اِحْسَانِهِ مِنَ الْمَهْرِ حُسِبَ مِنْهُ. وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ أَوْ بِنِيَّةِ الرُّجُوْعِ بِهِ عَلَيْهَا إِذَا لَمْ يَحْصُلْ زِوَاجٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ لَمْ تَمْلِكْهُ وَ يَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهَا.
Pertanyaan :
Ada seorang laki-laki melamar seorang perempuan lamarannya, lalu laki-laki tersebut memberikan sejumlah harta benda kepada mereka yang disebutkan sebagai persiapan (jihaz) nikah, apakah perempuan yang dilamar itu berhak memilikinya? Mohon dijelaskan!
Jawaban :
Sesungguhnya yang diterima adalah niat pelamar yang memberinya. Jika ia memberinya dengan niat sebagai hadiah, maka perempuan yang dilamar berhak memilikinya, atau jika laki-laki itu beniat sebagai maskawin, maka dianggap sebagai maskawin. Jika laki-laki itu berniat bukan sebagai maskawin atau ia berniat untuk menarik kembali jika perkawinan gagal atau ia tidak berniat apapun, maka perempuan itu tidak berhak memilikinya dan pemberian itu kembali kepada pihak laki-laki tersebut.”