MEMERDEKAKAN DIRI SENDIRI DENGAN HADIRNYA NUZULUL QUR’AN

Seorang sahabat tercinta dengan segala kesungguhannya ingin mengkhatamkan bacaan Al Quran dalam satu bulan Ramadhan ini. Bahkan dengan terkantuk-kantuk di sela kerepotannya, ia ingin tuntas khatam 30 Juz. Hmmh…luar biasa… Memang ini bukan urusan hakikat makrifat dan segala tetek bengeknya tentang pemahaman apa itu khatam. Tetapi sebuah mahalnya pengorbanan niat karier non duniawi yang terus terang saya sendiri tak mampu.

Ya, niat sangat berhubungan dengan stamina. Apalagi kalau niat baik, biasanya di tengah jalan staminanya sering rontok, entah kenapa… Dan gejala yang umum terjadi untuk urusan perontok niat pengajian adalah ngantuk…

Tapi ngantuk itu sesungguhnya adalah nikmat yang tak tergantikan. Sebab Allah sendiri memfirmankan bahwa tiada sesuatu yang diciptakan sia-sia. Otomatis ngantuk bukanlah barang yang sia-sia…

Ngantuk adalah sebuah nikmat yang tak perlu banting tulang dan berfikir keras untuk mendapatkannya. Ngantuk adalah tanda terhebat, ngantuk adalah penyelamat jiwa, ngantuk adalah jembatan kesadaran hidup dan mati…asal mau memaknainya.

Bayangkan bila seorang sopir yang lagi mengendarai bus tiba-tiba tertidur pulas tanpa didahului ngantuk…grobyak…! ludeslah puluhan nyawa…

Ngantuk adalah kemampuan hipnotis alami bawaan sejak lahir yang ada dalam diri. Ngantuk adalah pertanda bahwa tubuh sudah waktunya untuk tidak meladeni keinginan indera kepala. Ngantuk menginginkan kita memasuki pesan kesejatian yang lebih tinggi daripada urusan kebutuhan ragawi.

Dan semua itu akan termaknai dengan jelas saat proses menuju ngantuk dan tidur itu disadari dan diprogram dengan baik. Pemrograman inilah yang kata para psikolog disebut self hypnosis.

Dalam hal ini, program hypnosis dengan manfaat tertinggi adalah pemasukan afirmasi-afirmasi yang berasal dari kalimat-kalimat atau firman suci. Sebab tentunya, kalimat itu berasal dari sebuah pencapain perjalanan tertinggi proses sebuah penguakan spiritual pejalan suci.

Para pejalan suci atau nabi yang telah sampai pada puncak, pastilah setelah kembali dari perjalanan itu membawa tanda-tanda, gambaran-gambaran peta dan medan. Dan semua itu disimpulkan dengan sesuatu yang kita sebut Kitab Suci.

Dengan berbekal peneguhan afirmasi atas kalam itu, maka alam bawah sadar dan syaraf kita ikut mengarahkan atau mendompleng pada perjalanan itu. Kebiasaan ini kita sebut do’a, wirid shalawat dan sejenisnya. Sehingga walaupun kita terkantuk-kantuk, sesungguhnya perjalanan bawah sadar itu telah melakukan tugas sesuai jalan para nabi.

Untungnya, ngantuk yang didahului dengan niat akan sangat lain buah ruhaninya dengan ngantuk karena kemalasan. Ngantuk yang didahului dengan niat, persis seperti sistem auto pilot pada penerbangan. Kita tinggal programkan mana koordinat yang akan menjadi sasaran landing, pasti mendarat dengan selamat. Walau kita tertidur dalam perjalanan…

Tetapi kelemahannya, kita jadi tak mengerti proses rute sebuah perjalanan. Sehingga kita tak bisa menyampaikan dan bercerita atas pengalaman-pengalaman perjalanan itu. Padahal terkadang sanak kerabat atau anak cucu butuh sebuah gambaran cerita akan lelaku penerbangan itu…

Ngantuk yang sebelumnya diprogram dengan baik tetapi bablas menuju tidur beneran sampai tak sadar bagai hikayat Ashabul Kahfi. Tiba-tiba ketika terbangun, kita sudah dalam keadaan fisik dan pikiran yang segar  yang ditamsilkan dengan makmurnya sebuah negara yang diridhoi Allah. Dan sesungguhnya negara itu adalah tamsil tubuh kita, baik fisik maupun ruhani.

Sedangkan ngantuk yang tetap disadari sampai perpindahan pada kesadaran yang lebih tinggi adalah perwujudan Ayat Kursi. Dimana ngantuk ini hanya menidurkan segala alat inderawi. Sedangkan hati selalu bangun menyimak segala lewatan-lewatan perjalanan spiritual.

Inilah salah satu point Nuzulul Quran yang turun ke dada kita masing-masing. Dimana kesadaran inderawi telah tertutup, tetapi kesadaran hati masih terjaga. Sehingga terjadilah seperti yang termaktub dalam ayat Kursi bahwa kita menjadi sadar gandeng renteng dengan Allah yang tidak ngantuk dan tidur, yang mengerti kejadian di depan dan belakang dan menguasai atas segala ilmunya.

Otomatis lah kita ikut kecipratan limpahan ilmu-ilmu itu sesuai tugas kekhalifahan masing-masing individu. Ilmu inilah yang sering disebut ilmu laduni, ilmu tulis tanpa papan alias kitab yang terbaca dengan jelas walau tak berhuruf…

Dan ini semua bisa dicapai bila kita tak lagi gampang mengumbar kesenangan indera kepala. Sehingga ketika kita sudah melatih fase ini dengan berpuasa Ramadhan secara sesungguhnya, otomatis di tengah bulan Ramadhan kita akan mulai terkonekkan dengan perjalanan para Rasul. Maka diturunkanlah Nuzulul Qur’an pemahaman-pemahaman atas perjalanan para rasul ke dalam dada kita. Sehingga setengah bulan sesudahnya kita mulai tercerahkan setahap demi setahap.

Sampai pada titik paling cerah yaitu malam seribu bulan, lailatu Qadr….

Dan akhirnya…. berhaklah kita berhari raya Idul Fitri yang sejati…dimana perayaan itu adalah perayaan sesungguhnya atas keberhasilan menguak rahasia hidup….

Jadi kesimpulannya, ngaji yang berhasil adalah ngaji yang bikin kita ngantuk bahkan tertidur….tentu yang dimaksud tidur adalah tidurnya segala hawa nafsu kita. Tanda keberhasilannya dapat dilihat dari dominanya kesadaran utama  keseharian yang hampir selalu di atas wilayah umum manusia rata-rata. Dimana wilayah ini kita sudah tak begitu terikat dengan aksi reaksi indera.

Tak heran juga, kata Kanjeng Rasul bahwa tidur di bulan puasa adalah ibadah. Sebab di dalam proses tidurnya hawa nafsu yang disadari, mampu menguak segala keajaiban ruh…keajaiban yang memaksa kita menjadi abdi yang sangat tunduk…keajaiban pengabdi tertahlukkan oleh perjalannnya sendiri …alias proses ibadah…

Wa ba’du,  semoga di malam Nuzulul Quran yang bertepatan dengan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia ini  mampu memerdekakan keterjajahan atas diri sendiri. Masalah negara ini masih gini-gini aja ya biarin aja…toh semua akan berubah sejalan dengan kemerdekaan diri kita…