MENJADIKAN BULAN ROJAB UNTUK MENELADANI KEAGUNGAN AKHLAK NABI MUHAMMAD SAW.

Bulan rojab merupakan salah satu bulan yang mulia di sisi Alloh swt, oleh karenanya, menjadi sangat penting bagi umat islam untuk bisa memanfaatkan momen yang penuh berkah dan bersejarah di bulan tersebut, guna memantapkan hati kita dalam mencintai dan meneladani makhluk termulia di muka bumi, agar kita semakin bertaqwa di sisi Alloh swt dan semakin bisa memperbaiki diri.

Beberapa hal yang bisa kita teladani dari akhlak Rosululloh saw di salah satu bulan yang mulia ini adalah :

Nabi Muhammad Saw, Tidak Mendo’akan yang Buruk Meski Dimusuhi

 “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” Sabda Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits.

Nabi Muhammad saw. adalah sosok manusia paripurna. Beliau telah memberikan teladan terbaik dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Bagaimana menjadi seorang pemuda, menjadi sahabat, menjadi suami, menjadi pemimpin agama, bahkan menjadi pemimpin negara dengan landasan akhlak yang luhur.

Hal ini ditegaskan Allah di dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 21; “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Salah satu teladan yang diajarkan Nabi Muhammad saw. adalah bagaimana menjaga lisan dari tutur kata yang buruk. Dalam sejarah hidupnya, Nabi Muhammad saw. tidak pernah berkata kotor, mengumpat, ataupun mengeluarkan cercaan bahkan kepada musuhnya –kaum musyrik yang memusuhi dakwah Islam- sekalipun. Sebaliknya, Nabi Muhammad saw. malah mendoakan mereka yang baik-baik.

Ada banyak cerita terkait dengan hal ini sebagaimana tertera dalam Akhlak Rasul Menurut Al-Bukhari dan Muslim (Abdul Mun’im al-Hasyimi, 2018). Diantaranya adalah ketika pasukan Islam menang dalam Perang Badar. Nabi Muhammad saw. melarang umat Islam mengumpat korban Perang Badar dari kalangan kaum musyrik. Kata Nabi Muhammad saw., umpatan akan menyakiti hati orang-orang yang masih hidup. Nabi Muhammad saw. juga mengingatkan bahwa kekejian adalah sesuatu yang hina.

Begitu pun ketika Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya melewati kaum Tsaqif. Ada seorang sahabat yang meminta Nabi Muhammad saw. berdoa agar kaum Tsaqif mendapatkan laknat dari Allah. Namun Nabi Muhammad saw. malah melakukan hal yang sebaliknya. Beliau mendoakan agar kaumTsaqif mendapatkan hidayah dari Allah saw. Nabi Muhammad saw. juga mendoakan kaum Dus agar mendapatkan hidayah ketika beliau diminta salah seorang sahabat untuk melaknatnya.

Sebagaimana diketahui, kaum Tsaqif adalah penguasa wilayah Thaif pada saat itu. Tiga tahun sebelum hijrah ke Yatsrib (Madinah), Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya hijrah ke Thaif. Mereka hendak meminta perlindungan dan pertolongan kepada masyarakat Thaif dari penindasan kaum musyrik Quraisy. Namun apa dikata, Nabi Muhammad saw. dan sahabatnya malah mendapatkan perlakuan buruk dari penduduk Thaif. Kaum Tsaqif melempari Nabi Muhammad saw. dengan batu hingga kakinya terluka.

Hal yang sama juga dilakukan Nabi Muhammad saw. ketika Perang Uhud selesai. Sebuah peperangan yang berat bagi pasukan umat Islam karena mereka kalah. Akibatnya, sebagian sahabat meminta agar Nabi Muhammad saw. melaknat kaum Quraisy. Namun permintaan itu dijawab sebaliknya oleh  Nabi Muhammad saw.

“Sesungguhnya saya diutus dengan membawa kasih sayang. Saya tidak diutus sebagai tukang melaknat. Ya Allah ampunilah kaumku karena mereka tidak mengetahui,” jawab Nabi Muhammad saw.

Demikianlah teladan yang ditunjukkan Nabi Muhammad saw. Beliau tidak pernah mendoakan yang jelek, mengumpat, berkata kotor, atau mengeluarkan cercaan bahkan kepada musuhnya sekalipun. Tidak hanya itu, Nabi Muhammad saw. juga menegur Sayyidina Abu Bakar ketika mendoakan Sa’id bin ‘Ash yang sudah meninggal dengan sesuatu yang buruk. Nabi Muhammad saw. baru akan ‘berdoa yang keras’ kepada musuh ketika mereka mengancam eksistensi komunitas umat Islam sebagaimana yang terjadi ketika Perang Ahzab.

 

Kejadian Ini yang Sebabkan Nabi Muhammad Saw Marah

Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus menceritakan, Nabi Muhammad saw. marah besar ketika mengetahui ada sahabat membunuh seseorang yang mengucapkan kalimat syahadat dalam sebuah peperangan.

Ceritanya, orang yang dibunuh tersebut adalah dari kelompok kafir yang sedang berperang melawan umat Islam. Ketika sudah tersudut, orang kafir tersebut mengucapkan kalimat syahadat. Sahabat tersebut tidak bergeming dan tetap membunuh ‘orang kafir’ tersebut meski sudah melafalkan kalimat syahadat.

“Karena pengertiannya (sahabat tersebut) ini syahadat nya, syahadat politis,” kata Gus Mus menirukan sahabat tersebut dalam sebuah video yang diunggah akun @GusMus Channel di Youtube, Senin (2/4).

Melihat kejadian itu, lanjut Gus Mus, sahabat-sahabat Nabi Muhammad yang lainnya menegur dan marah kepada sahabat yang membunuh tersebut karena bagaimanapun juga orang kafir tersebut sudah membaca kalimat syahadat sehingga darahnya haram dibunuh.

Sahabat yang membunuh tersebut bersikukuh bahwa apa yang dilakukan itu benar. Sahabat tersebut juga menganggap bahwa orang kafir tersebut hanya membaca dan menjadikan kalimat syahadat sebagai alat untuk menyelamatkan diri.

Gus Mus menambahkan, kejadian pembunuhan itu lalu dilaporkan kepada Nabi Muhammad saw. Kepada Nabi Muhammad saw., sang sahabat tersebut kekeh berpendapat bahwa orang yang dibunuhnya tersebut hanya berpura-pura mengucapkan kalimat syahadat agar tidak dibunuh.

“Rasulullah kalau marah kelihatan hanya merah mukanya,” terangnya.

“Kenapa kamu tidak bedah dadanya supaya kamu tahu bahwa di dalamnya juga apa,” cerita Gus Mus menirukan respons Nabi Muhammad saw. kepada sahabatnya itu.

Penulis buku Fikih Keseharian Gus Mus ini menegaskan, siapapun yang sudah mengucapkan kalimat syahadat maka orang tersebut secara otomatis sudah menjadi seorang Muslim.

“Muslim belum shalat ada, Muslim belum haji banyak, Muslim belum zakat lebih banyak lagi,” jelasnya.

Dia mengkritik mereka yang mengafirkan Muslim lain yang tidak satu pemahaman dengan mereka. Bagi Gus Mus, mereka melakukan hal demikian berdasarkan nafsu bukan semangat beragama.

“Semangat beragama itu adalah semangat mengajak semua orang untuk berbahagia di dunia maupun di akhirat,” ungkapnya.

 

Mereka yang Diampuni Rasulullah Saw Usai Fathu Makkah

Pembebasan kota Makkah atau dikenal dengan Fathu Makkah menjadi kemenangan yang nyata bagi umat Islam. Bagaimana tidak, tanpa peperangan, tanpa pertumpahan darah, dan tanpa ada yang menghunus pedang, umat Islam berhasil menduduki kota Makkah dari kaum musyrik Quraisy.

Sebaliknya, bagi kaum musyrik Quraisy peristiwa yang terjadi pada 10 Ramadhan abad ke-8 Hijriyah atau bertepatan dengan 8 Juni 632 M itu adalah hari yang sangat mencekam. Mereka resah karena selama ini mereka kerap kali memusuhi dan menindas umat Islam. Takut kalau-kalau umat Islam membalas balik.

Akan tetapi apa yang mereka kira salah. Rasulullah, sang panglima umat Islam, pada saat berpidato  menegaskan bahwa Fathu Makkah adalah hari kasih sayang (yaumul marhamah), bukan hari balas dendam (yaumul malhamah). Seketika itu masyarakat musyrik Quraisy menjadi cukup tenang. Namun tidak dengan musuh-musuh yang sangat kejam dan terkenal memusuhi umat Islam.

Mulanya, Rasulullah menjatuhi mereka hukuman mati atas perbuatan mereka terhadap umat Islam. Tetapi mereka kemudian meminta ampun atau dimintakan ampun. Rasulullah pun mengampuni dan tidak jadi menghukum mati mereka.

Merujuk buku Muhammad: Nabi Untuk Semua (Maulana Wahiddudin Khan, 2005), berikut musuh-musuh Islam yang diampuni Rasulullah dari hukuman mati ketika atau usai peristiwa Fathu Makkah.

Pertama, Quraibah. Quraibah adalah budak dari Abdullah bin Khatal. Ia menghadap Rasulullah dan meminta suaka manakala ia dijatuhi hukuman mati. Rasulullah mengabulkan permintaannya. Quraibah pun akhirnya memeluk Islam.

Kedua, Sarah. Ia adalah budak Ikrimah bin Abu Jahal. Sebelumnya ia senang sekali memperolok-olok dan mencemooh Rasulullah dan pengikutnya. Pada saat Fathu Makkah ia dijatuhi hukuman mati, tapi ia mendapatkan ampunan setelah meminta suaka kepada Rasulullah. Akhirnya ia masuk Islam dan hidup hingga masa kekhalifahan Umar bin Khattab.

Ketiga, Harits bin Hisyam dan Zubair bin Abu Umayyah. Keduanya lari dan sembunyi di rumah  saudaranya, Ummi Hani binti Abi Jahal, manakala hendak dihukum mati. Ummi Hani kemudian menghadap Rasulullah untuk memintakan mereka ampunan.

“Siapapun yang mendapat perlindunganmu, juga mendapat perlindungan kami,” kata Rasulullah kepada Ummi Hani. Harits dan Hisyam lolos dari hukuman mati.

Keempat, Ikrimah bin Abu Jahal. Ia adalah putra dari salah satu musuh Islam paling berbahaya dan kejam, Abu Jahal. Sama seperti bapaknya, Ikrimah juga sangat memusuhi Islam dan Rasulullah. Pada saat Fathu Makkah, Ikrimah dijatuhi hukuman mati. Ia kemudian mengungsi ke Yaman. Istri Ikrimah, Ummi Hakim binti Harits yang telah masuk Islam, mendatangi Rasulullah untuk mengampuni suaminya. Permintaan Ummi Hakim dikabulkan.

Ikrimah lantas balik ke Makkah dan juga memeluk Islam. Setelah menyatakan diri menjadi umat Rasulullah, Ikrimah betul-betul berjuang untuk Islam –baik dengan harta atau pun tenaga. Ia juga kerap kali ikut berperang melawan musuh-musuh Islam.

Kelima, Habbar bin Aswad. Ia juga merupakan musuh Islam yang keji. Diceritakan suatu ketika Zainab, putri Rasulullah, dalam sebuah perjalanan dari Makkah ke Madinah. Di tengah jalan,  Habbar bin Aswad menusuk unta yang ditunggangi Zaibah. Akibat kejadian itu, Zainab yang tengah hamil terjatuh dari untanya dan mengalami keguguran. Habbar juga disebut-sebut sebagai orang yang bertanggung jawab atas pembantaian dan penindasan umat Islam yang menyebabkan banyak korban.

Saat Fathu Makkah, Habbar disanksi hukuman mati. Ia kemudian menghadap Rasulullah untuk meminta ampun. Rasulullah mengabulkan permintaannya sehingga Habbar bebas dari hukuman mati.

Keenam,  Wahsyi bin Harb. Ia adalah pembunuh paman Rasulullah, Hamzah, pada saat Perang Uhud. Ketika Fathu Makkah, Wahsyi melarikan diri ke Thaif untuk mencari tempat aman. Wahsyi semakin ‘terjepit’ manakala penduduk Thaif juga masuk Islam sesaat setelah peristiwa Fathu Makkah.

Ia lantas pergi ke Madinah untuk meminta ampun Rasulullah dan menyatakan diri masuk Islam. Rasulullah mengampuninya. Setelah memeluk Islam, Wahsyi menunggu kesempatan untuk menebus segala kesalahannya. Wahsyi berhasil memenggal kepala nabi palsu Musailamah pada saat Perang Yamamah dengan menggunakan lembing yang sama ketika ia menghabisi Hamzah.

Ketujuh, Ka’ab bin Zuhair. Ia merupakan seorang pujangga terkenal lihai membuat puisi. Sayangnya, ia membuat puisi untuk menghina dan mencemooh Rasulullah. Ia lari dari Makkah pada saat peristiwa Fathu Makkah. Ia kemudian menghadap Rasulullah di Madinah untuk meminta ampun dari hukuman mati. Tidak hanya itu, Rasulullah memberikan hadiah kain setelah Ka’ab menyatakan diri masuk Islam.

Kedelapan, Abdullah bin Zib’ari. Sama hal nya dengan Ka’ab bin Zuhair, Abdullah bin Zib’ari juga menghina Rasulullah melalui puisi-puisi yang dibuatnya. Ia melarikan diri ke Najran ketika umat Islam berhasil menduduki Makkah. Ia merupakan salah satu musuh Islam yang yang masuk daftar hitam atau dihukum mati. Namun sebelum dihukum ia mendatangi Rasulullah dan meminta ampunan. Rasulullah mengampuninya. Abdullah bin Zib’ari lantas bertobat dan memeluk Islam.

Kesembilan, Hindun binti Utbah. Ia merupakan istri dari Abu Sufyan. Sama seperti Abu Sufyan sebelum memeluk Islam, Hindun sangat benci terhadap Islam. Bahkan, ia sampai memakan jantung Hamzah pada saat Perang Uhud setelah Hamzah berhasil dipenggal Wahsyi. Atas segala perbuatannya terhadap umat Islam, Hindun dijatuhi hukuman mati. Namun kemudian Rasulullah mengampuninya setelah Hindun memohon ampun dan memeluk Islam.

Meski demikian, musuh-musuh Islam yang tidak minta ampun atau dimintakan ampun tetap dieksekusi mati atas segala kejahatan mereka kepada umat Islam. Mereka diantarannya adalah Abdullah bin Khatal, Fartana, Huwairits bin Nafidz bin Wahab, Miyas bin Subabah, dan Harits bin Talatil.

Ada juga musuh Islam yang melarikan diri dari Makkah dan tidak pernah kembali sampai akhir hayatnya. Ia meninggal di negeri nan jauh dari Makkah. Dialah Hubairah bin abu Wahab Makhzumi yang melarikan diri ke Najran dan meninggal di sana.