MUSIK DAN TARIAN DALAM PERAN KEAGAMAAN PARA SUFI

Dalam kitab Fatawi Haditsiyah hal. 212 dijelaskan :

TARI

( وسئل )نفع الله به عن رقص الصوفية عند تواجدهم هل له أصل

( فأجاب )بقولهنعم له أصل فقد روى في الحديث أن جعفر بن أبي طالب رضي الله عنه رقص بين يدي النبي صلى الله عليه وسلم لما قال لهأشبهت خَلقي وخُلقي وذلك من لذة هذا الخطاب ولم ينكر عليه صلى الله عليه وسلم وقد صح القيام والرقص في مجالسالذكر والسماع عن جماعة من كبار الأئمة منهم عز الدين شيخ الإسلام ابن عبد السلام

Ibnu Hajar Al-haitami ditanya (semoga Alloh memberikan manfaat) tentang tarian yang dilakukan para shufi ketika dibuai lezatnya dzikir, apakah hal itu ada dalil/dasarnya?

Beliau menjawab, iya benar, hal itu memang ada dalil/dasarnya, sesungguhnya telah diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa sesungguhnya Ja’far bin Abi Tholib RA. menari-nari dihadapan Nabi SAW, ketika itu beliau mengatakan kepadanya, “Wahai Ja’far, sungguh rupa dan tabiatmu mirip denganku”. Ja’far menari sedemikian ini tak lain hanya karena terbuai rasa lezat atas sabda Nabi dan Nabi pun tidak mengingkari perbuatan Ja’far tersebut, lagi pula sungguh benar-benar terjadi tari-tarian sambil berdiri pada majlis dzikir seperti yang dilakukan segolongan imam-imam besar termasuk di antaranya Syeikh Al-islam Izzuddin bin Abdus salam.

Dalam kitab Kimiya Sa’adah Lil Nawawi di jelaskan :

Hati manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa bagai sebuah batu api. Ia mengandung api tersembunyi yang terpijar oleh musik dan harmoni serta menawarkan kegairahan bagi orang lain, di samping dirinya. Harmoni-harmoni ini adalah gema dunia keindahan yang lebih tinggi, yang kita sebut dunia ruh. Ia mengingatkan manusia akan hubungannya dengan dunia tersebut, dan membangkitkan emosi yang sedemikian dalam dan asing dalam dirinya, sehingga ia sendiri tak berdaya untuk menerangkannya. Pengaruh musik dan tarian amat dalam, menyalakan cinta yang telah tidur di dalam hati – cinta yang bersifat keduniaan dan inderawi, ataupun yang bersifat ketuhanan dan ruhaniah.

Sesuai dengan itu, terjadi perdebatan di kalangan ahli teologi mengenai halal dan haramnya musik dan tarian dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Suatu sekte, Zhahariah, berpendapat bahwa Allah sama sekali tak dapat dibandingkan dengan manusia, seraya menolak kemungkinan bahwa manusia bisa benar-benar merasakan cinta kepada Allah. Mereka berkata bahwa manusia hanya bisa mencinta sesuatu yang termasuk dalam spesiesnya. Jia ia “benar-benar” merasakan sesuatu yang ia pikir sebagai cinta kepada Sang Khalik, kata mereka hal itu tak lebih daripada sekadar proyeksi belaka, atau bayang-bayang yang diciptakan oleh khayalannya, atau suatu pantulan cinta kepada sesama mahluk. Musik dan tarian, menurut mereka, hanya berurusan dengan cinta kepada makhluk, dan karenanya haram dala mkegiatan keagamaan. Jika kita tanya mereka, apakah arti “cinta kepada Allah” yang diperintahkan oleh syariat, mereka menjawab bahwa hal itu berarti ketaatan dan ibadah. Kesalahan ini akan kita sanggah pada bab yang akan membahas kecintaan kepada Allah. Saat ini, baiklah kita puaskan diri kita dengan berkata bahwa musik dan tari tidak memberikan sesuatu yang sebelumnya tidak ada di dalam hati, tapi hanyalah membangunkan emosi yang tertidur. Oleh karena itu, menyimpan cinta kepada Allah di dalam hati yan gdiperintahkan oleh syariat itu sama sekali dibolehkan. Malah ikut serta dala mkegiatan-kegiatan yang memperbesarnya patut dipuji. Di pihak lain, jika hatinya penuh dengan nafsu inderawi, musik dan tarian hanya akan menambahnya; karena itu, terlarang baginya. Sementara itu, jika mendengarkan musik hanyalah sebagai hiburan belaka, maka hukumnya mubah. Karena, sekadar kenyataan bahwa musik itu menyenangkan tidak lantas membuatnya haram, sebagaimana mendengarkan seekor burung berbunyi; atau melihat rumput hijau dan air mengalir tidak diharamkan. Watak tak-berdosa dari musik dan tarian yang diperlakukan sekadar sebagai hiburan, juga dibenarkan oleh hadis shahih yang kita terima dari Siti Aisyah yang meriwayatkan:

Pada suatu hari raya, beberapa orang Habsyi menari di masjid. Nabi berkata kepadaku, “Inginkah engkau melihatnya?” Aku jawab, “Ya”. Lantas aku diangkatnya dengan tangannya sendiri yang dirahmati, dan aku menikmati pertunjukan itu sedemikian lama, sehingga lebih dari sekali beilau berkata, “Belum cukupkah?”

Hadis lain dari Siti Aisyah adalah sebagai berikut:

Pada suatu hari raya, dua orang gadis datang ke rumahku dan mulai bernyanyi dan menari. Nabi masuk dan berbaring di sofa sambil memalingkan mukanya. Tiba-tiba Abu Bakar masuk dan, melihat gadis-gadis itu bermain, dia berseru: “Hah! Seruling setan di rumah Nabi!” Nabi menoleh karenanya dan berkata: “Biarkan mereka, Abu Bakar, hari ini adalah hari raya.”

Terlepas dari kasus-kasus yang melibatkan musik dan tarian yang membangunkan nafsu-nafsu setan yang telah tidur di dalam hati, kita dapati adanya kasus-kasus yang menunjukkan mereka sama sekali halah. Misalnya nyanyian orang-orang yang sedang menjalankan ibadah haji yang merayakan keagungan Baitullah di Makkah, yang dengan demikian mendorong orang lain untuk pergi haji; dan musik yang membangkitkan semangat perang di dara para pendengarnya dan memberikan mereka semangat untuk memerangi orang-orang kafir. Demikian pula, musik-musik sendu yang membangkitkan kesedihan karena telah berbuat dosa dan kegagalan dalam kehidupan keagamaan juga diperbolehkan: seperti misalnya musik Nabi Daud, nyanyian penguburan yang menambah kesedihan karena kematian tidak diperbolehkan, karena tertulis dalam al-Qur’an: “Jangan bersedih atas apa yang hilang darimu.” Di pihak lain, musik-musik gembira di pesta-pesta, seperti perkawinan dan khitanan atau kembali dari perjalanan, hukumnya halal.

Sekarang kita sampai pada penggunaan musik dan tarian yang sepenuhnya bersifat keagamaan. Para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yan glebih besar kepada Allah dalam diri mereka, dean dengannya mereka seringkali mendapatkan penglihatan dan kegairanan ruhani. Dalam keadaan ini hati mereka menjadi sebersih perak yan gdibakar dalam tungku, dan mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin, walau seberat apapun. Para sufi itu kemudian menjadi sedemikian sadar akan hubungannya dengan dunia ruhani, sehingga mereka kehilangan segenap perhatiannya akan dunia ini dan kerapkali kehilangan kesadaran inderawinya.

Meskipun demikian, para calon sufi dilarang ikut ambil bagian dalam tarian mistik ini tanpa bantuan pir (syaikh atau guru ruhani)nya. Diriwayatkan bahwa Syaikh Abul-Qasim Jirjani, ketika salah seorang muridnya meminta izin untuk ambil bagian dalam tarian semacam itu, berkata: “Jalani puasa yang ketat selama tiga hari, kemudian suruh mereka memasak makanan-makanan yang menggiurkan. Jika kemudian engkau masih lebih menyukai tarian itu, engkau boleh ikut.” Bagaimanapun juga, seorang murid yang hatinya belum seluruhnya tersucikan dari nafsu-nafsu duniawi – meskipun mungkin telah mendapat penglihatan sepintas akan jalur tasawwuf – mesti dilarang oleh syaikhnya untuk ambil bagian dalam tarian-tarian semacam itu, karena hal itu hanya akan lebih banyak mendatangkan mudharat daripada mashlahatnya.

Orang-orang yang menolak hakikat ekstase (kegairahan) dan pengalaman-pengalaman ruhani para sufi, sebenarnya hanya mengakui kesempitan pikiran dan kedangkalan wawasan mereka saja. Meskipun demikian, mereka haruslah dimaafkan, karena mempercayai hakikat suatu keadaan yang belum dialami secara pribadi adalah sama sulitnya dengan memahami kenikmatan menatap rumput hijau dan air mengalir bagi seorang buta, atau bagi seorang anak untuk mengerti kenikmatan melaksanakan pemerintahan. Karenanya seorang bijak, meskipun ia sendiri mungkin tidak mempunyai pengalaman tentang keadaan-keadaan tersebut, tak akan menyangkal hakikatnya. Sebab, kesalahan apa lagi yang lebih besar daripada orang yang menyangkal hakikat sesuatu hanya karena ia sendiri belum mengalaminya! Mengenai orang-orang ini, tertulis dalam al-Qur’an: “Orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk akan berkata, ‘Ini adalah kemunafikan yang nyata’.”

Sedang mengenai puisi erotis yang dibaca pada pertemuan-pertemuan para sufi – yang banyak orang merasa keberatan terhadapnya – mesti kita ingat bahwa jika dalam puisi seperti ini disebut-sebut tentang pemisahan dari atau persekutuan dengan yang dicintai, maka para sufi – yang amat cinta pada Allah – menggunakan ungkapan semacam itu untuk menjelaskan pemisahan dan persekutuan dengan Dia. Demikian pula, “jalan-jalan buntuk yang gelap” dipakai untuk menjelaskan kegelapan kekafiran; “kecerahan wajah” untuk cahaya keimanan; dan “mabuk” sebagai ekstase (kegairanan) sang sufi. Ambil sebagai misal, bait dari sebuah puisi berikut ini:

Mungkin sudah kuatur anggur beribu takaran

Tapi, sampai ‘kau habis mereguknya tiada kegembiraan kaurasakan

Dengan itu penulisnya bermaksud untuk mengatakan bahwa kenikmatan agama yang sejati taka akan bisa diraih lewat perintah resmi, tapi dengan rasa tertarik dan keinginan. Seseorang boleh jadi telah banyak berbicara dan menulis tentang cinta, keimanan, ketakwaan dan sebagainya, tapi sebelum ia sendiri memiliki sifat-sifat ini, semuanya itu tak bermanfaat baginya. Jadi, orang-orang yang mencari-cari kesalahan para sufi, karena sufi-sufi tersebut sangat terpengaruh – bahkan sampai mencapai ekstase – oleh bait-bait seperti itu, hanyalah orang-orang dangkal dan tak toleran. Onta sekalipun kadang-kadang terpengaruh oleh lagu-lagu Arab yang dinyanyikan penunggangnya sehingga ia akan berlari kencang, memikul beban berat, sampai akhirnya tersungkur kelelahan.

Meskipun demikian, orang-orang yang mendengar syair pada sufi berada dalam bahaya dikutuk, jika ia menerapkan syair-syair yang didengarnya itu untuk Allah. Misalnya, ketika ia dengar syair seperti “Engkau berubah dari kecenderungan-semulamu”, ia tak boleh menerapkannya untuk Allah – yang tak boleh berubah – melainkan untuk dirinya dan ragam suasana hatinya sendiri. Allah bagaikan mentari yang selalu bersinar, tetapi bagi kita kadang-kadang cahaya-Nya terhalang oleh beberapa obyek yang ada di antara kita dan Dia.

Diriwayatkan bahwa beberapa ahli mencapai tingkat ekstase sedemikian rupa sehingga diri mereka hilang dalam Allah. Demikian halnya dengan Syaikh Abul-Hasan Nuri yang ketika mendengar seuntai syair tertentu, terjatuh dalam keadaan ekstase dan menerobos ke dalam ladang yan gpenuh dengan batang-batang tebu yang baru dipotong, berlari kian-kemari sampai kakinya berdarah penuh luka dan akhirnya mati tak lama sesudah itu. Dalam kasus-kasus semacam itu, beberapa orang berpendapat bahwa Tuhan telah benar-benar turun ke dalam manusia, tapi ini adalah kesalahan yang sama besar dengan yang dilakukan oleh seseorang yang ketika pertama kali melihat bayangannya di cermin, berpendapat bahwa ia telah tersatukan dengan cermin itu, atau bahwa warna-warni merah-putih yang dipantulkan oleh cermin adalah sifat-sifat bawaan cermin itu.

Keadaan-keadaan ekstase yang dialami para sufi beragam, sesuai dengan emosi-emosi yang dominan di dalamnya, yakni cinta, ketakutan, nafsu, tobat dan sebagainya. Keadaan-keadaan ini, sebagaimana kita sebut di atas, dicapai seringkali tidak hanya sebagai hasil mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an, tetapi juga syair yang merangsang. Sementara orang keberatan terhadap pembacaan syair, sebagaimana juga al-Qur’an, pada kesempatan-kesempatan seperti itu. Tapi mesti diingat bahwa tidak seluruh ayat al-Qur’an dimaksudkan untuk membangkitkan emosi – seperti misalnya, perintah bahwa seorang laki-laki mesti mewariskan seperenam hartanya untuk ibunya dan sebagainya untuk saudara perempuannya, atau bahwa seorang wanita yang ditinggal mati suaminya mesti menunggu empat bulan sebelum boleh menikah lagi dengan orang lain. Sangat sedikit orang dan hanya yang sangat peka sajalah yang bisa tercebur ke dalam ekstase keagamaan oleh ayat-ayat seperti itu.

Alasan lain yang membenarkan penggunaan syair, juga ayat-ayat al-Qur’an, dalam kesempatan-kesempatan seperti ini adalah bahwa orang-orang telah sedemikian akrab dengan al-Qur’an, banyak di antaranya bahkan telah menghafalnya, sehingga pengaruh pembacannya telah sedemikian ditumpulkan oleh perulangan yang berkali-kali. Seseorang tidak bisa selalu mengutip ayat-ayat al-Qur’an baru sebagaimana yang bisa dilakukan dengan syair. Suatu kali ketika beberapa orang Arab Badul mendengarkan al-Qur’an untuk pertama kalinya dan menjadi sangat tergerak olehnya, Abu Bakar berkata kepada mereka, “Kami dulu pernah seperti kamu, tetapi sekarang hati kami telah mengeras,” berarti bahwa al-Qur’an telah kehilangan sebagian pengaruhnya atas orang-orang yang akrab dengannya. Dengan alasan yang sama, Khalifah Umar biasa memerintahkan para peziarah haji ke Makkah agar segera meninggalkan tempat itu secepatnya. “Karena,” katanya, “saya khawatir, jika kalian menjadi terlalu akrab dengan Kota Suci itu, ketakjuban kalian terhadapnya akan sirna dari hati-hati kalian.”

Ada pula penggunaan nyanyian dan peralatan musik – sepreti seruling dan genderang – secara tak berbobot dan sembrono, paling tidak di mata masyarakat awam. Keagungan al-Qur’an tak pantas, meskipun sementara, dikaitkan dengan hal-hal seperti ini. Diriwayatkan bahwa sekali waktu Nabi saw. memasuki rumah Rai’ah putri Mu’adz. Beberapa orang gadis-penyanyi yang ada di sana secara tiba-tiba mulai mengalunkan nyanyiannya untuk menghormati beliau. Beliau dengan segera meminta mereka untuk berhenti, karena puji-pujian bagi Nabi adalah tema yang terlalu sakral untuk diperlakukan demikian. Akan timbul pula bahaya jika ayat-ayat al-Qur’an dipergunakan secara khusus, sehingga pendengar-pendengarnya akan mengaitkannya dengan penafsiran mereka sendiri, dan hal ini terlarang. Di pihak lain, tak ada bahaya yang mungkin timbul dalam menafsirkan baris-baris syair dengan berbagai cara, karena memang makna yang diberikan seseorang atas suatu syair tak harus sama dengan yang diberikan oleh penulisnya.

Bentuk lain dari tarian-tarian mistik ini adalah dengan melukai diri sendiri sembari mengoyak-ngoyakkan pakaian. Jika hal ini adalah hasil dari suatu keadaan ekstase murni, maka tak ada sesuatu yang bisa dikatakan untuk menentangnya. Tapi jika hal ini dilakukan oleh orang-orang yang sok disebut “ahli”, maka hal ini adalah suatu kemunafikan belaka. Dalam setiap hal, orang yang paling ahli adalah yang mampu mengendalikan dirinya, hingga ia benar-benar berasa wajib untuk memberikan penyaluran kepada perasaan-perasannya. Diriwayatkan bahwa seorang murid Syaikh Juaid, ketika mendengar sebuah nyanyian pada suatu pertemuan para sufi, tak bisa menahan diri sehingga mulai memekik dalam keadaan ekstase. Junaid berkata kepadanya: “Jika kaulakukan hal itu sekali lagi, jangan tinggal bersamaku lagi.” Setelah kejadian itu, sang anak muda berusaha untuk menahan dirinya. Tapi pada akhirnya pada suatu hari emosinya sedemikian kuat terbangkitkan sehingga, setelah sedemikan lama dan sedemikian kuat tertekan, ia melontarkan pekikan dan kemudian mati.

Kesimpulannya, dalam menyelenggarakan pertemuan-pertemuan semacam itu, perhatian mesti diberikan kepada tempat dan waktu, dan bahwa tidak ada pemirsa dengan niat yang tak patut ikut hadir di dalamnya. Orang-orang yang ikut serta di dalamnya mesti duduk berdiam diri, tidak saling melihat, menundukkan kepala – sebagaimana dalam shalat – dan memusatkan pikiran mereka kepada Allah. Setiap orang mesti waspada terhadap segala sesuatu yang mungkin terilhamkan ke dalam hatinya, dan tidak melakukan gerakan-gerakan apa pun yang bersumber dari rangsangan sadar-diri belaka. Tetapi jika ada seseorang di antara mereka yang bangkit dalam keadaan ekstase murni, maka segenap orang yang hadir mesti bangkit pula bersamanya, dan jika ada sorban seseorang yang tanggal, maka orang lain pun mesti meletakkan sorbannya.

Meskipun hal ini merupakan hal baru dalam Islam dan tidak diterima dari para sahabat, mesti kita ingat bahwa tidak semua hal itu terlarang, melainkan hanya yang secara langsung bertentangan dengan syariat. Misalnya, shalat Tarawih. Shalat ini dilembagakan pertama kali oleh Khalifah Umar. Nabi saw. bersabda: “Hiduplah dengan setiap orang sesuai dengan kebiasaan dan wataknya.” Oleh karena itu, kita dibenarkan untuk mengerjakan hal-hal tertentu demi menyenangkan orang, jika sikap tidak-berkompromi akan menyakitkan hati mereka. Memang benar bahwa para sahabat tidak mempunyai kebiasaan untuk berdiri ketika Nabi saw. masuk, karena mereka tidak menyukai praktek ini; tetapi di daerah-daerah yang mempunyai kebiasaan seperti ini, dan tidak melakukannya akan bisa menimbulkan rasa tidak senang, lebih baik berkompromi dengannya. Orang-orang Arab punya kebiasaan sendiri, orang-orang Persia pun demikian, dan Allah tahu mana yang paling baik.