NU DALAM KONSEP MUWATHONAH DAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

Belakangan ini, kegelisahan dari sebagian besar warga Negara Indonesia sudah memuncak terkait dengan mulai tipisnya menuju pendidikan karakter bangsa, khususnya terkait dengan Pancasila dan NKRI. Fenomena “kontra” atas pelarangan ormas keislaman yang dianggap tidak sesuai dengan karakter bangsa adalah salah satu buktinya. Ketegasan pemerintah di bawah kendali Presiden Jokowi, sayangnya belum didukung oleh semua komponen bangsa, terutama para politisi di gedung dewan yang terhormat, DPR RI.

Mengacu pada salah satu kasus di atas, pendidikan karakter bangsa merupakan keniscayaan yang harus diterapkan dalam kurikulum pendidikan, materi pokok dalam forum-forum ilmiah, program kegiatan pada organisasi kemasyarakatan, dan lainnya. Praktik-praktik pendidikan karakter bangsa bagi Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Ormas Islam di Indonesia sudah dilakukan sejak NU didirikan oleh Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari pada tahun 1926. Bahkan jika menilik praktik dalam pengajaran ataupun ajaran di pondok pesantren sebelum tahun 1926 juga sudah dipraktikkan oleh para kyai, santri dan masyarakat sekitarnya. Warisan-warisan para kyai NU hingga hari ini masih tetap dilestarikan oleh para pengikutnya terkait itu.

  1. Said Aqil Siroj (Ketum PBNU) dalam berbagai kesempatan sering kali menyampaikan sebuah pemetaan tentang konsep persaudaraan (ukhuwah). Menurut beliau, “Ada tiga konsep tentang ukhuwah (persaudaraan), yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia).” Dari ketiga konsep persaudaraan tersebut, bagi beliau, persaudaraan kebangsaan harus lebih diutamakan dan didahulukan dari dua konsep lainnya (persaudaraan umat Islam maupun persaudaraan umat manusia). Statetemen tersebut diadasarkan pada pentingnya keutuhan sebuah Negara (yang dalam konteks Indonesia memiliki ribuan suku, etnis, dan sejumlah agama dan kepercayaan).

Konsep “ukhuwah wathaniyyah” yang digagas sendiri oleh Nabi Muhammad SAW ini bukan hanya tafsir atau sekadar klaim. Karena Nabi sendiri juga pernah mengungkapkan kecintaannya terhadap tanah kelahirannya yang merupakan dasar utama dari munculnya sikap kebangsaan Nabi. Misalnya, pada saat nabi hendak meninggalkan kota Makkah untuk hijrah ke Madinah, beliau bersabda, “Tidak ada kota yang lebih membuat hatiku tentram dan lebih kucintai melebihi Makkah. Andai saja kaumku (suku Quraisy) tidak mengusirku, niscaya Aku tidak akan pernah ingin tinggal di daerah manapun.”

Sebagai sebuah jam’iyyah, Nahdlatul Ulama sendiri telah merumuskan sejumlah prinsip-prinsip dasar keberagamaan, yakni tasamuh (toleran), tawazun (seimbang/harmoni), ta’adul (keadilan), tawassuth (tengah-tengah, tidak ekstim kanan-kiri), dan amar makruf nahi munkar. Lima prinsip dasar ini menunjukkan sikap sekaligus watak dan karakter kebangsaan Nahdlatul Ulama itu sendiri.

Membincang moderasi sebagai bagian dari sikap keberislaman tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan khazanah-khazanah ilmu pengetahuan yang telah diwariskan oleh para ulama salaf. Sarjana-sarjana masa lalu inilah yang dalam titik tertentu telah berhasil merumuskan dan melestarikan sikap moderatisme dalam tubuh Islam yang kemudian dikenal dengan istilah tawazun, tawassuth, tasamuh dan i’tidal. Prinsip dasar keberagaman ini menunjukkan sebu¬ah bukti bahwa NU turut berkontribusi dalam pengembangan dan penyebaran wawasan keagamaan yang moderat di satu sisi, serta ikut mendorong pembentukan ide kebangsaan.

Mabadi’ Khairu Ummah

Di samping berpegang pada lima prinsip dasar keberagamannya, Nahdlatul Ulama juga memiliki lima prinsip dasar sebagai jalan atau metode menuju dan mewujudkan masyarakat yang harmonis yang biasa disebut dengan istilah Mabadi Khair Ummah. Lima prinsip tersebut adalah; al-Shidq kejujuran; al-Amanah walwafa bil ‘ahdi (Amanah dan tanggung jawab) ; al-Adalah (Keadilan); al-Ta’awun (tolong menolong); dan al-Istiqomah (konsisten). Di bawah ini akan diuraikan secara singkat mengenai kelima prinsip tersebut.

  1. Ash-shidqu. Butir ini mengandung arti kejujuran atau kebenaran, kesungguhan. Jujur dalam arti satunya kata dengan perbuatan ucapan dengan pikiran. Apa yang diucapkan sama dengan yang dibatin. Tidak memutarbalikkan fakta dan memberikan informasi yang menyesatkan, jujur saat berpikir dan bertransaksi. Mau mengakui dan menerima pendapat yang lebih baik.

  1. Al-amanah wal wafa bil ‘ahdi. Yaitu melaksanakan semua beban yang harus dilakukan terutama hal-hal yang sudah dijanjikan. Karena itu kata tersebut juga diartikan sebagai dapat dipercaya dan setia dan tepat pada janji, baik bersifat diniyah maupun ijtimaiyah. Semua ini untuk menghindarkan berapa sikap buruk seperti manipulasi dan berkhianat. Manah ini dilandasi kepatuhan dan ketaatan pada Allah.

  1. Al’Adalah. Berarati bersikap obyektif, proporsional dan taat asas, yang menuntut setiap orang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari pengaruh egoisme, emosi pribadi dan kepentingan pribadi. Distorsi semacam itu bisa menjerumuskan orang pada kesalahan dalam bertindak. Dengan sikap adil, proporsional dan obyektif relasi sosial dan transaksi ekonomi akan berjalan lancar saling menguntungkan.

  1. At–ta’awun. Tolong-menolong merupakan sendi utama dalam tata kehidupan masyarakat, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan pihak lain. Ta’awun berarti bersikap setiakawan, gotong-royong dalam kebaikan dan dan taqwa. Ta’awaun mempunyai arti timbal balik, yaitu memberi dan menerima. Oleh karena itu sikap ta’awun mendorong orang untuk bersikap kreatif agar memiliki sesuatu untuk disumbangkan pada yang lain untuk kepentingan bersama, yang ini juga berarti langkah untuk mengkonsolidasi masyarakat.

  1. Istiqamah, dalam pengertian teguh, jejeg ajek dan konsisten. Tetap teguh dengan ketentuan Allah dan Rasulnya dan tuntunan para salafus shalihin dan aturan main serta rencana yang sudah disepakati bersama. Ini juga berarti kesinambungan dan keterkaitan antara satu periode dengan periode berikutnya, sehingga kesemuanya merupakan kesatuan yang saling menopang seperti sebuah bangunan. Ini juga berarti bersikap berkelanjutan dalam sebuah proses maju yang tidak kenal henti untuk mencapai tujuan.

Perumusan atas konsep Mabadi’ Khaira Ummah ini, menurut Khamami (), didasarkan pada orientasi moral untuk perubahan sosial-ekonomi masyarakat. Sebuah pengukuhan moralitas sebagai landasan dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang bertumpu pada nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab sehingga tata laku masyarakat dilandasi oleh moralitas yang agung, bukan nafsu serakah menumpuk kekayaan dan kepentingan ego pribadi.

Pada titik ini, terlihat secara jelas bagaimana Nahdlatul Ulama telah sejak lama memiliki komitmen yang tinggi atas sikap keberagamaannya yang menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan kebangsaan sebagaimana tercermin dalam prinsip dasar dan juga mabadi’ khaira ummah-nya. Sebuah konsep yang juga telah empat belas abad yang lalu sudah dipancangkan oleh pembawa ajaran Islam itu sendiri, Nabi mulia Muhammad SAW, dalam mitsaq atau watsiqah madinah-nya, merumuskan konsep kebangsaan di Negara Madinah.

Beberapa ajaran kebangsaan di lingkungan NU di atas, sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa NU adalah ormas Islam garda terdepan dalam membimbing warganya untuk tetap mengajarkan karakter bangsa Indonesia, khususnya tentang Pancasila dan NKRI. Pendidikan karakter bangsa di NU juga dapat dilihat melalui berbagai kurikulum lokal di setiap sekolah LP Ma’arif NU atau pendidikan Islam yang berafiliasi pada pesantren NU. Materi Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) adalah salah satunya. Materi semacam Aswaja ini salah satu yang dapat memberi penegasan kebangsaan, bahwa NU memiliki model pendidikan karakter bangsa yang khas.