PANDANGAN GUS DUR TERHADAP SYAIKH MAS’UD KAWUNGANTEN CILACAP

  CIL                 Syekh Mas’ud Kawunganten Cilacap merupakan salah satu Ulama di lingkungan Nahdlatul Ulama Cilacap. Dalam pandangan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Kiai Mas’ud layak dan patut disebut “Syekh”. Saat itu (tahun 1983-an) Gus Dur menulis: “Di tahun lima puluhan, yang di panggil syekh adalah Kiai Masduki dari Lasem, karena penguasaannya atas buku teks (kitab) utama di bidang teori hukum, yaitu kitab Jam’ul Jawami. Tahun-tahun delapan puluhan ini rupanya sudah ada pengganti Syekh Masduki Lasem, yang sudah sekian tahun wafat. Dan dia itulah Kiai Mas’ud dari Kawunganten, Purwokerto (Cilacap, Red.). Berikut ini tulisan lengkap Gus Dur : Syekh Mas’ud Pemburu Kitab.

Kiai Mas’ud bukan sembarang kiai. Ia diakui amat dalam pengetahuannya di bidang hukum agama. la menguasai peralatan untuk mengambil keputusan hukurn fiqh, berupa teori hukum (usul fiqh) dan pedoman hukum (qawa’id fiqh). Kedua ‘alat’ itu memang harus dikuasai sempurna, kalau ingin menghasilkan keputusan-keputusan hukum agama yang ‘berkualitas tinggi’, hingga layak disebut “syekh”.

Di tahun lima puluhan, yang di panggil syekh adalah Kiai Masduki dari Lasem, karena penguasaannya atas buku teks (kitab) utama di bidang teori hukum, yaitu kitab Jam’ul Jawami. Tahun-tahun delapan puluhan ini rupanya sudah ada pengganti Syekh Masduki Lasem, yang sudah sekian tahun wafat. Dan dia itulah Kiai Mas’ud dari Kawunganten, Purwokerto (Cilacap, Red.)

Orangnya sederhana. Dalam pergaulan sangat bersikap rendah hati kepada orang lain, bahkan kepada yang lebih muda umurnya sekalipun. Suaranya tidak pernah dikeraskan. Penampilannya adalah penampilan kiai ‘kampung’ yang tidak ada ‘kegagahan’nya sedikit pun.

Tetapi, di balik penampilan ‘biasa-biasa saja’ itu tersembunyi sesuatu yang tidak disangka-sangka: kekerasan hati untuk melakukan pengejaran, yang mungkin tidak akan pernah berhenti: mengajar buku-buku teks agama secara tradisional digunakan di pesantren, atau seharusnya diajarkan di dalamnya.

Mengapa seharusnya? Karena rnemang belurn diajarkan dan digunakan, karena baru merupakan naskah asli tulisan tangan, belum diterbitkan. Menurut ‘bahasa pesantren’, masih berupa naskah yang ‘belum dicap’.

Pesantren di Indonesia memiliki tradisi keilmuan agamanya sendiri, yang unik dan menarik untuk dikaji: tradisi mengembangkan produk ilmiah dalam bentuk karya-karya tulis para ‘ulamanya.

Di sana para kiai dan santri tak hanya menggantungkan diri pada teks-teks ‘negeri Arab’ saja – yang sebenarnya juga datang dari segenap penjuru dunia, seperti Afrika Barat, Asia Tengah dan India. Dan tradisi pesantren untuk mengembangkan ‘karya lokal’ ini akhirnya berpuncak pada munculnya ulama-ulama tangguh, yang diakui secara internasional oleh dunia Islam di masanya.

Misalnya Kiai Nawawi Banten, Kiai Mahfudz Termas (Pacitan), Kiai Muhtaram Banyumas dan Kiai Ahmad Khatib Padang serta Kiai Abdussamad Palembang. Semuanya termasuk, kelompok yang menguasai dunia pengetahuan agama di Mekkah selama sepuluh tahun, di sekitar peralihan dari abad kesembilan belas ke abad kedua puluh. Sekarang pun masih terasa sisa-sisanya di sana, seperti terbukti atas pengakuan atas Syekh Yasin Padang yang sudah menaturalisasi diri (tajannus) menjadi warga Arab Saudi. Karangan-karangannya tersebar di seluruh penjuru Dunia Islam saat ini.

Dalam tradisi inilah pesantren mengembangkan dan mengajarkan ‘teks-teks lokal’ yang dicetak di Kairo atau Mekkah, dan kembali kemari sebagai ‘kitab agama’ yang sudah diterima universal oleh dunia Islam. Terkenal adalah traktat kecil tentang Tauhid (teologi) karya Kiai Nawawi Banten, berjudul Nur Al-Dhalam, yang digunakan sebagai teks dasar di seluruh penjuru tanah air hingga saat ini. Lebih terkenal lagi dari kiai yang satu ini, yang bergelar ‘pemuka ulama Mekkah dan Madinah’ (sayyid ‘ulama At-Hijaz), adalah kumpulan empat puluh hadits pilihannya, berjudul Hadits al-Arba’in, yang digunakan tidak hanya di lingkungan pesantren saja, bahkan sampai sekolah-sekolah non-agama juga. Muhammadiyah dan NU, SI dan Perti, lslam Jama’ah dan Persis, semuanya menggunakannya sebagai teks dasar untuk tingkat permulaan dalam pengajaran hadits.

Nah, Syekh Mas’ud adalah penerus tradisi ini, dalam arti sepenuhnya. Tidak hanya menggunakan yang sudah tercetak dan beredar luas, melainkan juga yang masih dalam bentuk tulisan tangan dan belum ‘dicap’.

Apa yang dirasakannya sebagai tugas adalah mencari karya-karya bermutu tinggi, hasil pemikiran para kiai kita sendiri yang sudah meninggalkan dunia fana ini. Kemudian dihubungkannya dengan mereka yang berminat menerbitkannya.

Contoh menarik dari kerja ini adalah ‘perburuan’nya yang intensif atas sebuah naskah unik karya Kiai lhsan dari pesantren Jampes (Kediri), yang wafat menjelang Perang Dunia II dan termasuk ‘angkatan Kiai Hasyim Asy’ari’ dari Tebuireng, Jornbang. Kiai lhsan meninggalkan dua buah karya tulis utama. Sebuah berjudul Siraj al-Talibin, sebuah komentar atas traktat AI-Ghazali yang sudah seribu tahun urnurnya, Minhaj al-Abidin. Karya dua jilid ini bernilai tinggi, sehingga dijadikan buku wajib untuk kajian post graduate di Al-Azhar dan beberapa perguruan tinggi lain (ironisnya, justru tidak dikenal orang-orang IAIN). Dicetak di Cairo, kini digunakan di seluruh pesantren dengan kajian mendalam atas tasawwuf dan akhlaq.

Karya utamanya yang satu lagi belum sempat diterbitkan, ketika pengarangnya berpulang ke rahmatullah, berjudul Minhaj al-Imdad, komentar atas traktat Irsyad al- ‘lbad. Semuanya ada seribu dua puluh tiga lembar, Gus, kata Kiai Mas’ud kepada saya sewaktu bertemu baru-baru ini. ‘Tulisan tangan dari penulis (katib) yang langsung didikte Kiai lhsan sendiri. Kabarnya katib itu berasal dari Pecangakan di Bojonegoro’. la pun meneruskan sejumlah ‘data primer’ lagi tentang karya ‘belum dicap’ tersebut.

Ini ciri karakteristik dari ‘pemburu’ yang gila dengan buruannya. Sayangnya, karya tersebut mendadak hilang sejak beberapa tahun yang lalu. Dan Kiai Mas’ud, karena kecintaannya yang begitu mendalam pada tradisi ke-‘kitab’-an kaum pesantren, memburunya dengan tekun, bertanya kian kemari. “Alhamdulillah, sekarang saya sudah tahu di tangan siapa naskah itu, akan diikhtiarkan memperolehnya. Syekh Yasin Padang sudah menyatakan kesediaan mencetaknya di Mekkah,”katanya bersemangat.

“Kegilaan”yang mengesankan: perburuan yang mengagumkan dari seorang kiai yang amat dalam pengetahuan agamanya, tetapi tengelam dalam keasyikan yang tidak disadarinya memiliki arti penting bagi pengetahuan ke-lslam-an di negeri ini. Mungkin malah di seluruh dunia, katakanlah dua puluh tahun lagi.

Pada waktu nanti karya tersebut ‘sudah dicap’, digunakan sebagai sumber bernilai tinggi di mana-mana, siapakah yang ingat jasanya melakukan ‘pemburuan’ itu? Mungkin tidak ada lagi yang ingat. Dan Syekh Mas’ud tidak peduli juga. Karena ia sudah puas, sudah merasa menunaikan tugas yang dipilihnya sendiri.