MONEY POLITICS DAN HIBAH PEJABAT
MONEY POLITICS DAN HIBAH PEJABAT
Hasil penyelidikan dan pemeriksaan Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Yang telah di umumkan kepada publik ternyata banyak pejabat negara di semua lembaga negara maupun perusahaan pemerintah (BUMN) yang asal kekayaanya berasal dari “hibah”, hal ini bertujuan untuk menghindari kesan bahwa hasil kekayaan tersebut di dapat dengan cara melanggar hukum.
Sementara itu kita juga semakin banyak melihat dan mendengar maraknya praktek money politics, yakni sebuah hibah atau pemberian (berupa uang atau materi lainya) yang di lakukan oleh seseorang kepada pihak lain dalam rangka meraih jabatan, Pns atau tender proyek tertentu.
Bagaimanakah pandangan syari’at atas tindakan money politics?
Money politics sebagai pemberian (berupa uang atau benda lainya) untuk mempengaruhi dan atau menyelewengkan keputusan yang adil dan obyektif di dalam syari’at islam hal itu merupakan suap(risywah) yang di laknat oleh Alloh Swt, baik yang memberi (Rosyi) ataupun yang menerima (Murtasyi) maupun yang menjadi perantara (Roisyi).
Referensi :
Fatawi al Subki juz 1 hal. 204
Roddul Muhtar ‘alad Durrul Mukhtar juz 5 hal. 362
Kemudian baimanakah pandangan syari’at islam terhadap status hibah pejabat tertentu?
1. Hibah yang di terima oleh pejabat negara, status hukumnya adalah bisa termasuk suap dan atau bisa termasuk korupsi(ghulul).
2. Dalam hal hibah atau hadiah yang di berikan oleh orang yang sebelumnya sudah biasa memberi dan jumlahnyapun tidak lebih besar dari biasanya(bisa memberi sebelum menjadi pejabat dan jumlahnya sama atau tidak lebih besar), maka hukumnya boleh.
Referensi :
Fatawi al Subki juz 1 hal. 205
Al Mughni juz 10 hal. 118
Kemudian status uang atau hibah atau hadiah sebagaimana yang di maksud di atas harus di sita oleh Negara untuk di alokasikan atas kemashlahatan(kebaikan) rakyat.
Suap boleh di lakukan ketika untuk mencegah kedzoliman. Seperti kalau tidak ngasih uang maka akan di rampok atau di bunuh.
Referensi :
Al Jami’ li Ahkamil Qur’an juz 3 hal. 168
Idlohul Ahkam lima Ya’khudzul ‘Ummal wal Hukkam hal.119