KEMANA AKU HARUS MEMANGGIL “IBU”…….

UPINIP        Majid Wajidi, sutradara kawakan di Iran, berhasil menyajikan siluet cerita yang menyentuh tentang keluarga Ali itu dalam film Children of Heaven. Ia bercerita tentang sebuah keluarga yang miskin(mungkin di pinggiran kota Teheran) yang berhasil menanamkan kepribadian yang kokoh dalam diri anak-anak mereka.

Film itu menggambarkan potret keluarga Timur Tengah sekitar 15 tahun yang lalu. Dalam tradisi Timur Tengah, kaum Hawa memang lebih terpingit dibanding kawasan-kawasan lain di dunia. Suami punya tanggung jawab penuh untuk menghidupi keluarganya. Sedangkan, istri dengan tabah menjadi seorang ibu yang senantiasa berada di samping anak-anaknya.

Di Timur Tengah pun, cetak biru keluarga ala Children of Heaven itu mungkin akan segera pudar. Beberapa kali, tokoh-tokoh dari Barat datang ke sana dan bersuara agar perempuan-perempuan Arab tak lagi terpenjara. Beberapa dari perempuan Arab terprovokasi oleh Nawal el-Sadawi atau Fatimah Mernissi. Dan, Timur Tengah sepertinya tak terlalu risau dengan itu, sebagaimana terlihat dari pemandangan kebarat-baratan di sekililing menara al-Burj di pantai Qatar.

Di belahan dunia yang lain, mungkin sekali wajah ibu akan pudar lebih cepat. Wajah keibuan yang dulu teduh mulai terlihat kusam. Di negeri kita misalnya, urbanisasi besar-besaran terus menggeser batas-batas gender. Tipologi ibu Indonesia yang menghabiskan waktu untuk menemani anak-anaknya sudah menjadi prototipe ibu tradisional.

Di daerah perkotaan, seorang ibu sudah lumrah menghabiskan waktu di kantor di tempat kerja. Dan, kecenderungan itu tentu saja akan segera menular ke desa-desa. Sebab, sejarah manusia memang selalu bercerita tentang desa yang menjadi urban, tak pernah tentang desa yang menulari kota.

Hampir seluruh penelitian menyatakan bahwa partisipasi perempuan dalam kiprah-kiprah di luar rumah terus meningkat. Di beberapa negara, termasuk di Indonesia, hal itu didukung oleh sistem. Persentase ketewakilan perempuan di parlemen, kabinet dan profesi, menjadi target pemerintah, atau bahkan diatur secara resmi dalam undang-undang.

Dalam rentang waktu 1955 s.d. tahun 1982 keterwakilan perempuan di parlemen berkisar 5-7 persen. Sedangkan antara tahun 1982-2008 antara 8-11 persen. Dan, pada pemilu 2009 yang lalu, terjadi peningkatan tajam persentase perempuan di parlemen. Di DPR RI sebesar 27 persen. Bahkan, beberapa waktu lalu, Sekretariat Jenderal DPR RI menerbitkan Buku Panduan Tentang Gender di Parlemen yang isinya mendorong adanya kaukus parlemen dan politik bagi perempuan. Dan, isu pemberdayaan perempuan, rupanya sedang menjadi komoditi politik yang cukup laris untuk mengail sura pemilih perempuan yang jumlahnya cukup signifikan.

Peningkatan peran publik perempuan juga terjadi dengan cukup drastis di bidang profesi dan ketenagakerjaan. Menurut data tahun 2008 Depnakertrans, sebesar 28 persen  dari keseluruhan tenaga kerja lokal adalah perempuan. Sedangkan tenaga kerja antar negara (TKI), presentase tenaga kerja wanita (TKW) sebesar 76.85 persen. Berarti meningkat sekitar 8-9 persen dari jumlah tahun 2005 yang jumlah TKW-nya sebesar 68.53 persen.

Bagi pemerintah, naiknya presentase kaum perempuan yang bekrja atau berkiprah di luar rumah merupakan presentase tersendiri. Hal itu menunjukkan keberhasilan program pemberdayaan perempuan, juga pengentasan kemiskinan.

Saat masih menjabat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (2004-2009), meutia Hatta, menyatakan bahwa lambatnya pembangunan Indonesia disebabkan oleh kurangnya peran publik perempuan.  “Saya dapat mengatakan bahwa lambatnya pembangunan Indonesia selama hampir 63 tahun merdeka ini disebabkan karena kaum perempan kurang berperan atau tidak diberi kesempatan untuk berperan dalam pembangunan, baik nasional maupun daerah,” tegas Meutia dalam pidatonya tentang kebangkitan perempuan Indonesia sekitar 2 tahun yang lalu.

Ketidakmandirian dan lemahnya kaum perempuan masih dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan kemiskinan. Pandangann inilah yang mengilhami Muhammad Yunus bersemangat mengucurkan pinjaman untuk modal kerja kaum perempuan di Bangladesh. Tak pelak, Muhammad Yunus pun dinobatkan sebagai pemenang nobel atas jasanya ini.

Jika dilihat dengan kacamata pengentasan kemiskinan, meningkatnya presentase ketenagakerjaan perempuan merupakan kabar baik. Secara matematis, perempuan bekerja dan berkarir dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Keluarga yang memilki sumber dua arah, arus pendapatannya jelas lebih deras daripada yang hanya satu arah.

Sayangnya, porsi keterlibatan kaum hawa dalam urusan-urusan di luar rumah, sepertinya menyisakan sekian banyak masalah krusial dalam berbagai faktor, khususnya dengan yang terkait dengan kestabilan  keluarga dan rumah tangga.

Pekerjaan dan keluarga adalah dilema terbesar bagi umumnya wanita yang berkarir atau bekerja. Karir dan pekrjaan mengganggu perhatian dan ketersediaan waktu seorang wanita, baik dalam kapasitasnya sebagai istri, apalagi dalam kapasitasnya sebagai ibu dari anak-anak. Selain itu, kemandiriannya secara keuangan, berpotensi menumbuhkan kecenderungan psikologis untuk menaikkan posisi tawar, bahwa ia memiliki kekuasaan yang setara dengan suaminya. Hal ini rentan menimbulkan benturan-benturan keras pada biduk rumah tangga.

Sedikitnya ketersediaan waktu dan perhatian untuk keluarga akibat karir  dan pekerjaan menyebabkan keluarga kehilangan arah. Dulu pengaruh ibu sangat dominan terhadap kepribadian anak. Ia memiliki kedekatan yang sangat bermanfaat untuk menyemaikan nilai-nilai luhur pada kepribadian anak dalam setiap waktu. Sedangkan ayah menjadi figur yang disegani karena menjadi tempat bergantung dari keluarga. Peran yang saling mengisi ini melahirkan keseimbangan yang sangat berarti bagi keharmonisan rumah tangga dan perkembangan kepribadian anak.

Tak terhitung jumlahnya pengamat pendidikan yang memilki kesimpulan bahwa hilangnya keseimbangan peran pada rumah tangga modern merupakan salah satu faktor utama semakin maraknya kenakalan remaja pada saat ini. Anak-anak kehilangan perhatian, pengawasan, dan sosok pembimbing terdekatnya, karena kedua orang tua mereka menghabiskan waktunya untuk kesibukan di luar rumah.

Melihat hal itu, mungkin ada baiknya jika slogan pemberdayaan perempuan sedikit digesar menjadi pemberdayaan jiwa keibuan. Sebab, jika kesejahteraan bangsa ini hanya diukur dengan pendapatan perkapita, maka sebentar lagi negeri kita betul-betul akan kehilangan ibu.