PENJELASAN SUMPAH ILA’ DALAM PERNIKAHAN SUAMI ISTERI
(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ila’.
(فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ الْإِيْلَاءِ
Ila’ secara bahasa adalah bentuk kalimat masdar dari fi’il “aala yuli ila’an” ketika seseorang bersumpah.
وَهُوَ لُغَةً مَصْدَرُ آلَى يُولِيْ إِيْلَاءً إِذَا حَلَفَ
Dan secara syara’ adalah sumpah seorang suami yang sah menjatuhkan talak bahwa ia tidak akan mewathi istrinya pada bagian vaginanya dengan secara mutlak atau dalam masa lebih dari empat bulan.
وَشَرْعًا حَلْفُ زَوْجٍ يَصِحُّ طَلَاقُهُ لِيَمْتَنِعَ مِنْ وَطْءِ زَوْجَتِهِ فِيْ قُبُلِهَا مُطْلَقًا أَوْ فَوْقَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ
Makna ini diambil dari penjelasan mushannif -di bawah ini-,
وَهَذَا الْمَعْنَى مَأْخُوْذٌ مِنْ قَوْلِ الْمُصَنِّفِ
Praktek ‘Ila’
Ketika seorang suami bersumpah tidak akan mewathi istrinya secara mutlak atau dalam waktu tertentu, maksudnya tidak mewathi yang dibatasi dengan waktu lebih dari empat bulan, maka ia, maksudnya suami yang bersumpah tersebut adalah orang yang melakukan sumpah ila’ pada istrinya
(وَإِذَا حَلَفَ أَنْ لَا يَطَأَ زَوْجَتَهُ) وَطْأً (مُطْلَقًا أَوْ مُدَّةً) أَيْ وَطْأً مُقَيَّدًا بِمُدَّةٍ (تَزِيْدُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَهُوَ) أَيِ الْحَالِفُ الْمَذْكُوْرُ (مُوْلٍ) مِنْ زَوْجَتِهِ
Baik ia bersumpah dengan nama Allah Ta’ala atau dengan salah satu sifat-sifatNya.
سَوَاءٌ حَلَفَ بِاللهِ تَعَالَى أَوْ بِصِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ
Atau ia menggantungkan wathi terhadap istrinya dengan talak atau memerdekakan budak. Seperti ucapan sang suami, “jika aku mewathimu, maka engkau tertalak, atau “maka budakku merdeka.
أَوْ عَلَّقَ وَطْءَ زَوْجَتِهِ بِطَلَاقٍ أَوْ عِتْقٍ كَقَوْلِهِ إِنْ وَطَأْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ أَوْ فَعَبْدِيْ حُرٌّ
Sehingga ketika ia betul-betul mewathi, maka istrinya tertalak dan budaknya merdeka.
فَإِذَا وَطِئَ طُلِّقَتْ وَعَتِقَ الْعَبْدُ
Begitu pula seandainya sang suami berkata, “jika aku mewathimu, maka aku harus melakukan shalat, puasa, haji, atau memerdekakan budak karena Allah Swt.” Maka sesungguhnya dia juga melakukan sumpah ila’.
وَكَذَا لَوْ قَالَ إِنْ وَطَأْتُكِ فَلِلَّهِ عَلَيَّ صَلَاةٌ أَوْ صَوْمٌ أَوْ حَجٌّ أَوْ عِتْقٌ فَإِنَّهُ يَكُوْنُ مُوْلِيًا أَيْضًا.
Konsekwensi Ila’
Wajib memberi tenggang waktu terhadap lelaki yang melakukan sumpah ila’ selama empat bulan, baik lelaki tersebut berstatus merdeka atau budak, di dalam permasalahan istri yang mampu untuk diwathi jika memang sang istri meminta hal itu.
(وَيُؤَجَّلُ لَهُ) أَيْ يُمْهَلُ الْمُوْلِيْ حَتْمًا حُرًّا كَانَ أَوْ عَبْدًا فِيْ زَوْجَةٍ مُطِيْقَةٍ لِلْوَطْءِ (إِنْ سَأَلَتْ ذَلِكَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ)
Permulaan waktu tersebut dalam permasalahan wanita yang masih berstatus istri adalah sejak terjadinya sumpah ila’. Dan di dalam permasalahan wanita yang tertalak raj’i adalah sejak terjadinya ruju’.
وَابْتِدَاؤُهَا فِيْ الزَّوْجَةِ مِنَ الْإِيْلَاءِ وَفِيْ الرَّجْعِيَّةِ مِنَ الرَّجْعَةِ
Kemudian, setelah masa tenggang itu habis, maka sang suami yang melakukan sumpah ila’ disuruh memilih di antara al fai’ah (kembali pada sang istri) dengan cara ia memasukkan hasyafahnya atau kira-kira ukuran hasyafah bagi suami yang terpotong hasyafahnya ke dalam vagina istrinya.
(ثُمَّ) بَعْدَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ (يُخَيَّرُ) الْمُوْلِيْ (بَيْنَ الْفَيْئَةِ) بِأَنْ يُوْلِجَ الْمُوْلِيْ حَشَفَتَهُ أَوْ قَدْرَهَا مِنْ مَقْطُوْعِهَا بِقُبُلِ الْمَرْأَةِ
Dan membayar kafarat yamin, jika sumpah akan meninggalkan wathi dengan nama Allah.
(وَ التَّكْفِيْرِ) لِلْيَمِيْنِ إِنْ كَانَ حَلْفُهُ بِاللهِ عَلَى تَرْكِ وَطْئِهَا
Atau mentalak istri yang disumpah tidak akan diwathi.
(أَوِ الطَّلَاقِ) لِلْمَحْلُوْفِ عَلَيْهَا
Kemudian, jika sang suami tidak mau melakukan fai’ah dan talak, maka hakim menjatuhkan satu talak raj’i atas nama sang suami.
(فَإِنِ امْتَنَعَ) الزَّوْجُ مِنَ الْفَيْئَةِ وَالطَّلَاقِ (طَلَّقَ عَلَيْهِ الْحَاكِمُ) طَلْقَةً وَاحِدَةً رَجْعِيَّةً
Sehingga, jika sang hakim menjatuhkan talak lebih dari satu, maka talak tersebut tidak jatuh.
فَإِنْ طَلَّقَ أَكْثَرَ مِنْهَا لَمْ يَقَعْ
Jika sang suami hanya tidak mampu fai’ah, maka sang hakim memerintahkan dia agar menjatuhkan talak.
فَإِنِ امْتَنَعَ مِنَ الْفَيْئَةِ فَقَطْ أَمَرَهُ الْحَاكِمُ بِالطَّلَاقِ
(Sumber : Kitab Fathul Qorib)
PENJELASAN TALAQ (CERAI) DAN RUJUK
(Fasal) menjelaskan hak talak suami yang merdeka, suami yang berupa budak dan permasalahan-permasalahan yang lain.
(فَصْلٌ) فِيْ طَلَاقِ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
Suami yang merdeka memiliki hak talak tiga kali atas istrinya walaupun istrinya berstatus budak.
(وَيَمْلِكُ) الزَّوْجُ (الْحُرُّ) عَلَى زَوْجَتِهِ وَلَوْ كَانَتْ أَمَّةً (ثَلَاثَ تَطْلِيْقَاتٍ
Dan suami yang berstatus budak hanya memiliki hak talak dua kali atas istrinya, baik istrinya berstatus merdeka ataupun budak.
وَ) يَمْلِكُ (الْعَبْدُ) عَلَيْهَا (تَطْلِيْقَيْنِ) فَقَطْ حُرَّةً كَانَتِ الزَّوْجَةُ أَوْ أَمَّةً
Budak muba’adl, mukatab, dan budak mudabbar itu sama dengan budak yang murni.
وَالْمُبَعَّضُ وَالْمُكَاتَبُ وَالْمُدَبَّرُ كَالْعَبْدِ الْقِنِّ
Istisna’ (Mengecualikan) Dalam Talak
Istisna’ dalam talak hukumnya sah ketika istisna’ bersambung dengan talak yang diucapkan.
(وَيَصِحُّ الْاِسْتِثْنَاءُ فِيْ الطَّلَاقِ إَذَا وَصَلَهُ بِهِ)
Maksudnya sang suami menyambung lafadz “mustasna (yang dikecualikan)” dengan lafadz “mustasna minhu (yang diambil pengecualiannya)” dengan bentuk penyambungan secara ‘urf, dengan arti kedua lafadz tersebut dianggap satu perkataan secara ‘urf.
أَيْ وَصَلَ الزَّوْجُ لَفْظَ الْمُسْتَثْنَى بِالْمُسْتَثْنَى مِنْهُ اتِّصَالًا عُرْفِيًّا بِأَنْ يُعَدَّ بِالْعُرْفِ كَلَامًا وَاحِدًا
Juga disyaratkan suami harus niat mengecualikan sebelum selesai mengucapkan kalimat talak.
وَيُشْتَرَطُ أَيْضًا أَنْ يَنْوِيَ الْاِسْتِثْنَاءَ قَبْلَ فَرَاغِ الْيَمِيْنِ
Dan tidak cukup mengucapkan pengecualian tanpa disertai niat untuk mengecualikan.
وَلَا يَكْفِيْ التَّلَفُّظُ بِهِ مِنْ غَيْرِ نِيَّةِ الْاِسْتِثْنَاءِ
Dan juga disyaratkan yang dikecualikan (mustasna) tidak menghabiskan jumlah yang diambil pengecualiannya (mustasna minhu).
وَيُشْتَرَطُ أَيْضًا عَدَمُ اسْتِغْرَاقِ الْمُسْتَثْنَى الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ
Sehingga, jika menghabiskan seperti ucapan “engkau tertalak tiga kecuali tiga”, maka pengecualian tersebut batal.
فَإِنِ اسْتَغْرَقَ كَأَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا ثَلَاثًا بَطَلَ الْاِسْتِثْنَاءُ .
Ta’liq (Penggantungan) Talak
Sah menta’liq talak dengan sifat dan syarat. Seperti kata-kata “jika engkau masuk rumah, maka engkau tertalak”, maka sang istri menjadi tertalak ketika masuk rumah.
(وَيَصِحُّ تَعْلِيْقُهُ) أَيِ الطَّلَاقِ (بِالصِّفَةِ وَالشَّرْطِ) كَإِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَتُطَلَّقُ إِذَا دَخَلَتْ
Talak tidak bisa jatuh kecuali terhadap istri.
(وَ) الطَّلَاقُ لَا يَقَعُ إِلَّا عَلَى زَوْجَةٍ
Kalau demikian, maka talak tidak bisa jatuh -terhadap seorang wanita- sebelum menikah.
وَحِيْنَئِذٍ (لَا يَقَعُ الطَّلَاقُ قَبْلَ النِّكَاحِ)
Sehingga tidak sah mentalak wanita lain -bukan istri- dengan bentuk talak secara langsug seperti ucapan seorang laki-laki pada wanita tersebut, “aku mentalakmu.”
فَلَا يَصِحُّ طَلَاقُ الْأَجْنَبِيَّةِ تَنْجِيْزًا كَقَوْلِهِ لَهَا طَلَّقْتُكِ
Dan juga tidak dengan bentuk talak yang digantungkan seperti ucapan seorang laki-laki pada wanita yang bukan istrinya, “jika aku menikah denganmu, maka engkau tertalak”, atau “jika aku menikah dengan fulanah, maka ia tertalak.”
وَلَا تَعْلِيْقًا كَقَوْلِهِ لَهَا إِنْ تَزَوَّجْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ أَوْ إِنْ تَزَوَّجْتُ فُلَانَةً فَهِيَ طَالِقٌ .
Orang-Orang Yang Tidak Sah Menjatuhkan Talak
Ada empat orang yang tidak bisa menjatuhkan talak, yaitu anak kecil, orang gila, yang semakna dengan orang gila adalah orang epilepsi.
(وَأَرْبَعٌ لَا يَقَعُ طَلَاقُهُمُ الصَّبِيُّ وَالْمَجْنُوْنُ) وَفِيْ مَعْنَاهُ الْمُغْمَى عَلَيْهِ
Orang yang tidur dan orang yang dipaksa menjatuhkan talak, maksudnya dengan tanpa alasan yang benar.
(وَالنَّائِمُ وَالْمُكْرَهُ) أَيْ بِغَيْرِ حَقٍّ
Sehingga, jika pemaksaan tersebut di dasari dengan alasan yang benar, maka jatuh talak.
فَإِنْ كَانَ بِحَقٍّ وَقَعَ
Bentuk pemaksaan dengan alasan yang benar seperti penjelasan sekelompok ulama’, adalah pemaksaan talak yang dilakukan oleh seorang qadli terhadap suami yang melakukan sumpah ila’ setelah melewati masa ila’.
وَصُوْرَتُهُ كَمَا قَالَ جَمْعٌ إِكْرَاهُ الْقَاضِيْ لِلْمُوْلِيْ بَعْدَ مُدَّةِ الْإِيْلَاءِ عَلَى الطَّلَاقِ
Syarat-Syarat Pemaksaan
Syarat ikrah / paksaan adalah kemampuan al mukrih (orang yang memaksa), dengan terbaca kasrah huruf ra’nya, untuk membuktikan ancamannya terhadap al mukrah (orang yang dipaksa), dengan terbaca fathah huruf ra’nya, baik dengan mengandalkan kekuasaan atau kekuatan.
وَشَرْطُ الْإِكْرَاهِ قُدْرَةُ الْمُكْرِهِ بِكَسْرِ الرَّاءِ عَلَى تَحْقِيْقِ مَا هَدَّدَ بِهِ الْمُكْرَهَ بِفَتْحِهَا بِوِلَايَةٍ أَوْ تَغَلُّبٍ
Lemahnya al mukrah (orang yang dipaksa), dengan terbaca fathah huruf ra’nya, untuk melawan / menghentikan al mukrih (orang yang memaksa), dengan terbaca kasrah huruf ra’nya, baik dengan lari darinya, meminta tolong pada orang yang bisa menyelamatkannya, atau cara-cara sesamanya.
وَعَجْزُ الْمُكْرَهِ بِفَتْحِ الرَّاءِ عَنْ دَفْعِ الْمُكْرِهِ بِكَسْرِهَا بِهَرَبٍ مِنْهُ أَوْ اسْتِغَاثَةٍ بِمَنْ يُخْلِصُهُ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
Dan al mukrah (orang yang dipaksa) mempunyai dugaan bahwa sesungguhnya jika ia tidak mau melakukan apa yang dipaksakan padanya, maka al mukrih (orang yang memaksa) akan membuktikan ancamannya.
وَظَنُّهُ أَنَّهُ إِنِ امْتَنَعَ مِمَّا أُكْرِهَ عَلَيْهِ فَعَلَ مَا خَوَّفَهُ بِهِ
Pemaksaan bisa hasil dengan ancaman pukulan keras, penjara, merusakkan harta atau sesamanya.
وَيَحْصُلُ الْإِكْرَاهُ بِالتَّخْوِيْفِ بِضَرْبٍ شَدِيْدٍ أَوْ حَبْسٍ أَوْ إِتْلَافِ مَالٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
Ketika dari al mukrah (orang yang dipaksa) nampak ada qarinah (petunjuk) bahwa ia melakukan dengan keinginan sendiri, dengan contoh semisal seseorang dipaksa menjatuhkan talak tiga namun kemudian dia menjatuhkan talak satu, maka talak yang ia lakukan sah / jatuh.
وَإِذَا ظَهَرَ مِنَ الْمُكْرَهِ بِفَتْحِ الرَّاءِ قَرِيْنَةُ إخْتِيَارٍ بِأَنْ أُكْرِهَ شَخْصٌ عَلَى طَلَاقِ ثَلَاثٍ فَطَلَّقَ وَاحِدَةً وَقَعَ الطَّلَاقُ
Ketika ada orang mukallaf menggantungkan talak dengan sifat dan sifat tersebut baru wujud ketika orang tersebut tidak dalam keadaan mukallaf, maka sesungguhnya talak yang dita’liq dengan sifat tersebut menjadi jatuh.
وَإِذَا صَدَرَ تَعْلِيْقُ الطَّلَاقِ بِصِفَةٍ مِنْ مُكَلَّفٍ وَوُجِدَتْ تِلْكَ الصِّفَةُ فِيْ غَيْرِ تَكْلِيْفٍ فَإِنَّ الطَّلَاقَ الْمُعَلَّقَ بِهَا يَقَعُ
Orang yang sedang mabuk ketika menjatuhkan talak, maka talaknya sah seperti penjelasan di depan
وَالسَّكْرَانُ يَنْفُذُ طَلَاقُهُ كَمَا سَبَقَ
BAB TALAK RAJ’I
(Fasal) menjelaskan hukum-hukum talak raj’i.
(فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ الرَّجْعَةِ
Lafadz “ar raj’ah” dengan terbaca fathah huruf ra’nya. Ada keterangan bahwa ra’nya terbaca kasrah. Raj’ah secara bahasa adalah kembali satu kali.
بِفَتْحِ الرَّاءِ وَحُكِيَ كَسْرُهَا وَهِيَ لُغَةً الْمَرَّةُ مِنَ الرُّجُوْعِ
Dan secara syara’ adalah mengembalikan istri pada ikatan pernikahan saat masih menjalankan ‘iddah talak selain talak ba’in dengan cara tertentu.
وَشَرْعًا رَدُّ الزَّوْجَةِ إِلَى النِّكَاحِ فِيْ عِدَّةِ طَلَاقٍ غَيْرِ بَائِنٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ
Dengan bahasa “talak” mengecualikan wathi syubhat dan dhihar. Karena sesungguhnya halalnya melakukan wathi dalam kedua permasalahan tersebut setelah hilangnya sesuatu yang mencegah kehalalannya tidak bisa disebut ruju’.
وَخَرَجَ بِطَلَاقٍ وَطْءُ الشُّبْهَةِ وَالظِّهَارُ فَإِنَّ اسْتِبَاحَةَ الْوَطْءِ فِيْهِمَا بَعْدَ زَوَالِ الْمَانِعِ لَا تُسَمَّى رَجْعَةً
Ketika seseorang mentalak istrinya satu atau dua kali, maka bagi dia diperkenankan ruju’ tanpa seizin sang istri selama masa ‘iddahnya belum habis.
(وَإِذَا طَلَقَ) شَخْصٌ (امْرَأَتَهُ وَاحِدَةً أَوْ اثْنَتَيْنِ فَلَهُ) بِغَيْرِ إِذْنِهَا (مُرَاجَعَتُهَا مَا لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا)
Cara Ruju’
Ruju’ yang dilakukan oleh orang yang bisa bicara sudah bisa hasil dengan menggunakan kata-kata, di antaranya adalah “raja’tuki (aku meruju’mu)” dan lafadz lafadz yang ditasrif dari lafadz “raj’ah.”
وَتَحْصُلُ الرَّجْعَةُ مِنَ النَّاطِقِ بِأَلْفَاظٍ مِنْهَا رَاجَعْتُكِ وَمَا تَصَرَّفَ مِنْهَا
Menurut pendapat al ashah sesungguhnya ucapan al murtaji’ (suami yang ruju’),”aku mengembalikanmu pada nikahku” dan, “aku menahanmu pada nikahku” adalah dua bentuk kalimat ruju’ yang sharih.
وَالْأَصَحُّ إِنَّ قَوْلَ الْمُرْتَجِعِ “رَدَّدْتُكِ لِنِكَاحِيْ” وَ “أَمْسَكْتُكِ عَلَيْهِ” صَرِيْحَانِ فِيْ الرَّجْعَةِ
Menurut al ashah- Sesungguhnya ucapan al murtaji’, “aku menikahimu”, atau, “aku menikahimu” adalah dua bentuk kalimat ruju’ yang kinayah.
وَإِنَّ قَوْلَهُ “تَزَوَّجْتُكِ” أَوْ “نَكَحْتُكِ” كِنَايَتَانِ
Syarat Orang Yang Ruju’
Syarat al murtaji’, jika ia tidak dalam keadaan ihram, adalah orang yang sah melakukan akad nikah sendiri.
وَشَرْطُ الْمُرْتَجِعِ إِنْ لَمْ يَكُنْ مُحْرِمًا أَهْلِيَةُ النِّكَاحِ بِنَفْسِهِ
Kalau demikian maka ruju’nya orang yang mabuk hukumnya sah.
وَحِيْنَئِذٍ فَتَصِحُّ رَجْعَةُ السَّكْرَانِ
Tidak sah ruju’nya orang murtad, anak kecil dan orang gila. Karena sesungguhnya masing-masing dari mereka bukan orang yang sah melakukan akad nikah sendiri.
لَا رَجْعَةُ الْمُرْتَدِّ وَلَا رَجْعَةُ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُوْنِ لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمْ لَيْسَ أَهْلًا لِلنِّكَاحِ بِنَفْسِهِ
Berbeda dengan orang yang safih dan budak. Maka ruju’ yang dilakukan keduanya sah tanpa ada izin dari wali dan majikan.
بِخِلَافِ السَّفِيْهِ وَالْعَبْدِ فَرَجْعَتُهُمَا صَحِيْحَةٌ مِنْ غَيْرِ إِذْنِ الْوَلِيِّ وَالسَّيِّدِ
Walaupun awal pernikahan keduanya membutuhkan / tergantung pada izin wali dan majikannya.
وَإِنْ تَوَقَّفَ ابْتِدَاءً نِكَاحُهُمَا عَلَى إِذْنِ الْوَلِيِّ وَالسَّيِّدِ.
Jika ‘iddah wanita yang tertalak raj’i telah selesai, maka bagi sang suami halal menikahinya dengan akad nikah yang baru.
(فَإِنِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا) أَيِ الرَّجْعِيَّةِ (حَلَّ لَهُ) أَيْ زَوْجِهَا (نِكَاحُهَا بِعَقْدٍ جَدِيْدٍ
Dan setelah akad nikah yang baru tersebut, maka sang istri hidup bersama suaminya dengan memiliki hak talak yang masih tersisa. Baik wanita tersebut sempat menikah dengan laki-laki lain ataupun tidak.
وَتَكُوْنُ مَعَهُ) بَعْدَ الْعَقْدِ (عَلَى مَا بَقِيَ مِنَ الطَّلَاقِ) سَوَاءٌ اتَّصَلَتْ بِزَوْجٍ غَيْرِهِ أَمْ لَا
Talak Ba’in Kubra
Jika suami mentalak sang istri dengan talak tiga, jika memang sang suami berstatus merdeka, atau talak dua jika sang suami berstatus budak, baik menjatuhkan sebelum melakukan jima’ atau setelahnya, maka wanita tersebut tidak halal bagi sang suami kecuali setelah wujudnya lima syarat.
(فَإِنْ طَلَّقَهَا) زَوْجُهَا (ثَلَاثًا) إِنْ كَانَ حُرًّا أَوْ طَلْقَتَيْنِ إِنْ كَانَ عَبْدًا قَبْلَ الدُّخُوْلِ أَوْ بَعْدَهُ لَمْ تَحِلَّ لَهُ إِلَّا بَعْدَ وُجُوْدِ خَمْسِ شَرَائِطَ)
Yang pertama, ‘iddah wanita tersebut dari suami yang telah mentalak itu telah habis.
أَحَدُهَا (انْقِضَاءُ عِدَّتِهَا مِنْهُ) أَيِ الْمُطَلِّقِ.
Yang kedua, wanita tersebut telah dinikahkan dengan laki-laki lain, dengan akad nikah yang sah.
(وَ) الثَّانِيْ (تَزْوِيْجُهَا بِغَيْرِهِ) تَزْوِيْجًا صَحِيْحًا
Yang ketiga, suami yang lain tersebut telah men-dukhul dan menjima’nya.
(وَ) الثَّالِثُ (دُخُوْلُهُ) أَيِ الْغَيْرِ (بِهَا وَإِصَابَتُهَا)
Yaitu suami yang lain tersebut memasukkan hasyafah atau seukuran hasyafah orang yang hasyafah-nya terpotong pada bagian vagina sang wanita, tidak pada duburnya.
بِأَنْ يُوْلِجَ حَشَفَتَهُ أَوْ قَدْرَهَا مِنْ مَقْطُوْعِهَا بِقُبُلِ الْمَرْأَةِ لَا بِدُبُرِهَا
Dengan syarat penisnya harus intisyar (berdiri), dan orang yang memasukkan alat vitalnya termasuk orang yang memungkinkan melakukan jima’, bukan anak kecil.
بِشَرْطِ الْاِنْتِشَارِ فِيْ الذَّكَرِ وَكَوْنِ الْمُوْلِجِ مِمَّنْ يُمْكِنُ جِمَاعُهُ لَا طِفْلًا
Yang ke empat, wanita tersebut telah tertalak ba’in dari suami yang lain itu.
(وَ) الرَّابِعُ (بَيْنُوْنَتُهَا مِنْهُ) أَيِ الْغَيْرِ
Yang kelima, ‘iddahnya dari suami yang lain tersebut telah selesai.
(وَ) الْخَامِسُ (انْقِضَاءُ عِدَّتِهَا مِنْهُ).