SAYYIDINA ABU UBAIDAH RA YANG DI ANUGERAHI PENGHARGAAN KEPERCAYAAN OLEH NABI SAW.

Sahabat Nabi tak ubahnya seperti kita yakni dari kalangan manusia biasa. Mereka bukanlah dari kalangan para Nabi ataupun Rasul. Mereka hidup dari kalangan Kaum Kafirin. Namun Ketika Cahaya Iman dan Islam Masuk dalam hati mereka. Maka Allah Muliakan Mereka.

Dengan Iman yang mereka Miliki, Mereka pertaruhkan nyawa dan hidup mereka untuk berjuang Bersama Rasulullah.

Rasulullah saw pernah bersabda yang maksudnya, “Setiap umat mempunyai sumber kepercayaan, sumber kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” Itulah penghargaan bintang mahaputra yang diterima oleh Abu Ubaidah dari Rasulullah SAW. Penghargaan yang tidak diberikan Rasulullah kepada sahabat yang lainnya.

Nama lengkapnya adalah Amir bin Abdullah bin al-Jarah bin Hilal al-Fahry al-Qursy, biasanya dipanggil dengan sebutan Abu Ubaidillah. Dia adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang berasal dari kaum Quraisy. Lahir di Makkah dari sebuah keluarga yang terhormat. Abu Ubaidah adalah seorang yang berperawakan tinggi, kurus, dan tidak terlalu berisi. Jenggotnya tidak tebal. Orangnya pemurah dan sederhana. berwibawa, bermuka ceria, rendah diri dan sangat pemalu. Dia juga termasuk orang yang berani ketika dalam kesulitan. Meski seorang yang pemalu dia disenangi oleh semua orang yang melihatnya, sehingga siapapun yang mengikutinya akan merasa tenang.

MASUK ISLAMNYA ABU UBAIDAH

Abu Ubaidah termasuk orang yang pertama-tama masuk lslam. Keislamannya selang sehari setelah Abu Bakar atau sehari sebelum Abdurrahman bin Auf memeluk lslam. Masuknya Abu Ubaidah ke dalam ajaran Islam adalah berkat peran dari Abu Bakar Al-Shiddiq. Karena dia telah berteman dan mengenal sejak lama shahabat Abu Bakar, sehingga tidak sulit bagi Abu Ubaidah untuk menerima ajakan Abu Bakar untuk mempercayai ajaran baru yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

Suatu ketika ia sadar dan memahami apa yang dimaksudkan Abu Bakar terhadap dirinya. Akhirnya dia berangkat bersama Abdurrahman bin ‘Auf, Ustman bin Maz’un dan Arqam bin Abi Arqam untuk menemui Rasulullah SAW. Di depan Rasulullah SAW mereka sama-sama mengucapkan kalimat syahadah.

Sebagaimana sahabat yang lain, keislaman Abu Ubaidillah juga tidak lepas dari tantangan dan siksaan dari orang-orang kafir Quraisy, meski dia berasal dari keluarga yang cukup terhormat di mata kaum Quraisy. Ayahnya sendiri sangat menentang keputusannya untuk meninggalkan ajaran nenek moyangnya. Dia terus menerus dibujuk oleh ayahnya untuk kembali kepada ajarannya semula, hingga ayah Abu Ubaidah mempersempit ruang geraknya. Tetapi semua cobaan dapat dilalui dengan sabar dan tawakkal kepada Allah SWT.

Abu Ubaidah menjadi sahabat kesayangan dan kepercayaan Rasulullah SAW. Bahkan dia termasuk satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga dalam sebuah hadits Rasulullah SAW.

   “Dari Abdurrahman bin ‘Auf, dia berkata: Rasulullah bersabda: Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Az Zubair di surga, Abdurrahman bin ‘Auf di surga, Sa’d di surga, Sa’id di surga, dan Abu Ubaidah ibnul Jarrah di surga.” [HR At Tirmidzi (3747), hadits shahih.]

ABU UBAIDAH DALAM PERANG BADAR DAN PEMBUKTIAN KEIMANANNYA MELEBIHI KELUARGANYA

Perang pertama antara kaum muslimin dan kaum kafir, perang Badar, menjadi ujian pertama bagi kualitas keimanannya. Selaku tentara, tentu saja dia harus senantiasa patuh kepada perintah panglimanya, yaitu Rasulullah saw. Sementara sebagai seorang mukmin, dia berkeyakinan bahwa semua yang berperang di bawah panji Rasulullah adalah saudara dan keluarganya, meskipun mereka berbeda asal-usul dan warna kulitnya.

Sebaliknya, semua yang berperang di bawah bendera Quraisy atau sekutu mereka adalah musuhnya, meskipun mereka adalah keluarga terdekatnya. Maka ketika dilihatnya sang ayah yang kafir berada dalam barisan tentara Quraisy, jiwanya bergejolak. Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat ayahnya memerangi dan membunuhi saudara-saudaranya seiman. Pergolakan batin antara dirinya sebagai seorang anak dan dirinya sebagai seorang mukmin memaksanya untuk memutuskan sikap. Maka majulah ia menghampiri ayahnya, dan menghadapinya sebagai seorang musuh yang patut diperangi. Dengan keyakinannya, dia mengambil sikap sebagai seorang mukmin sejati yang memandang tali persaudaraan dan kekerabatan dari sudut pandang yang benar.

“Wahai ayah,” seru Abu Ubaidah begitu kudanya mendekati kuda ayahnya.”Bertobatlah. Sadarilah bahwa jalan yang engkau tempuh itu adalah jalan yang sesat. lkutlah bersamaku, dan jadilah keluargaku dalam iman.”

‘Anak kurang ajar! Bukan untuk ini kau kubesarkan. Sungguh, jika aku tahu akan begini jadinya, sudah sejak dulu kau kubunuh. Dasar anak durhaka!” Teriak ayahnya sambil terus menghantamkan pedangnya.

“Kalau ayah tidak mau menuruti nasihatku, maka maafkan saya jika terpaksa melawan ayah.” Kata Abu Ubaidah masih dengan nada yang lembut.

‘Apa?! Kamu menantangku? Dasar anak tak tahu diuntung! Ayo maju, biar sekalian kupenggal kepalamu seperti teman-temanmu!”

Maka Abu Ubaidah pun menerjang bagai banteng terluka. Dihantamkannya pedang di tangannya tanpa ragu-ragu. Ayah dan anak itu bertempur layaknya dua orang musuh yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah. Keduanya saling memukul, menangkis, dan kadang menusukkan pedang masing-masing. Pelan tapi pasti, Abu Ubaidah dapat mendesak ayahnya. Akhirnya, setelah pertempuran itu berlangsung beberapa saat, Abu Ubaidah berhasil merobohkan ayahnya.

“Maafkan saya, ayah.” Kata Abu Ubaidah Iirih sambil menatap tubuh ayahnya yang terkapar bersimbah darah.

Sedih, pasti. Sebab, bagaimanapun juga laki-laki yang baru saja dirobohkannya itu ayahnya, orang yang pernah mengasuh dan membesarkannya. Tetapi apa mau dikata, peperangan ini adalah perang akidah, dan ayahnya berada di pihak musuh yang memerangi saudara-saudaranya seiman.

Tindakan Abu ubaidah yang luar biasa itu mengundang turunnya wahyu dari langit, sebagaimana tersurat di dalam Al-Qur’an:

   “Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan dan Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari Dia. Lalu dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Merekalah golongan Allah. lngatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung.” (Q.S. al-Mujadilah [58]: 22)

ABU UBAIDAH DALAM PERANG UHUD

Pada peperangan berikutnya, perang Uhud, Abu Ubaidah semakin menunjukkan kualitas imannya. Dialah orang yang merelakan tubuhnya dijadikan sebagai perisai untuk melindungi Nabi saw. dari senjata musuh.

Ketika pasukan muslimin kocar-kacir dan banyak yang lari meninggalkan pertempuran, Abu Ubaidah justru berlari menghampiri Rasulullah saw. karena melihat beliau dalam bahaya. Abu Ubaidah tidak memperdulikan keselamatan dirinya, dan sama sekali tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun terhadap banyaknya lawan dan rintangan, Rasulullah saw. sendiri memang dalam bahaya. Bahkan beliau terluka parah. Di pipinya terhunjam dua rantai besi penutup kepala beliau yang melesak terhantam senjata lawan.

Melihat itu, Abu Ubaidah segera berusaha untuk mencabut rantai tersebut dari pipi Rasulullah SAW dengan menggunakan giginya. Digigitnya rantai itu sampai akhirnya terlepas dari pipi Rasulullah SAW. Namun, bersamaan dengan itu, satu gigi seri Abu Ubaidah ikut terlepas dari tempatnya. Abu Ubaidah tidak jera. Diulanginya sekali lagi untuk mengigit rantai besi satunya yang masih menancap di pipi Rasulullah hingga terlepas. Kali ini pun satu gigi serinya harus lepas, sehingga dua gigi seri Abu Ubaidah ompong karenanya. Tindakannya itu membuat Rasulullah sangat terharu dan merasa bangga kepadanya.

Saat itu Abu Bakar berkata, “Sebaik-baik gigi yang terputus, itulah gigi Abu Ubaidah bin Jarrah.”

KEPERCAYAAN RASULULLAH YANG TINGGI TERHADAP ABU UBAIDAH

Abu Ubaidillah mendapat julukan Aminul Ummah (Orang yang dipercaya bagi kaumnya) dan Amirul Umaro (pemimpin para pemimpin) dari Rasulullah SAW. Kepercayaan Rasulullah SAW. kepada Abu Ubaidah tidak hanya dalam urusan peperangan, tetapi juga dalam urusan keagamaan.

Suatu ketika, sekelompok orang Kristen Najran dari Yaman datang menyatakan keislaman mereka. Dalam kesempatan yang sama, mereka sekaligus meminta kepada Nabi agar dikirimi seorang guru untuk mengajarkan Al-Qur’an dan Sunnah serta seluk beluk agama lslam.

“Baiklah, saya akan kirimkan bersama kalian seseorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya.” Kata Rasulullah,

Pujian yang begitu tulus keluar dari mulut Rasulullah yang mulia itu membuat para sahabat yang mendengarnya terkesima. Mereka semua berharap pilihan Rasulullah jatuh pada dirinya, karena pujian tersebut merupakan pengakuan yang jujur dari seorang Rasul yang tidak diragukan lagi kebenarannya.

Mengenai peristiwa tersebut Umar bin Khattab bercerita:

   “Sebenarnya aku tak pernah tertarik menjadi seorang amir, tetapi ketika Rasulullah mengucapkan hal itu, aku sangat tertarik dan berharap bahwa orang yang dimaksudkan Rasulullah itu adalah aku. Aku pun cepat-cepat berangkat ke masjid untuk salat zuhur. Seperti biasa, Rasulullah-lah yang mengimami para jamaah. Ketika kami selesai salat, Rasulullah menoleh ke kanan dan ke kiri, Maka aku pun mengulurkan badanku, berharap Rasulullah melihatku. Rasulullah memang melihatku, tetapi beliau masih melayangkan pandangannya mencari-cari seseorang. Ketika pandangan beliau tertumbuk pada Abu Ubaidah, wajah beliau tampak berseri-seri. Segera dipanggilnya Abu Ubaidah agar mendekat, lalu beliau bersabda ‘pergilah berangkat bersama mereka. Apabila nanti terjadi perselisihan di antara mereka, selesaikanlah dengan yang haq’. Maka berangkatlah Abu Ubaidah bersama orang-orang dari Yaman itu “

Itulah gambaran kepercayaan Rasulullah kepada Abu Ubaidah. Kepercayaan beliau itu terus terjaga hingga beliau wafat. Sepeninggal beliau pun, Abu Ubaidah tetap menjadi orang kepercayaan di masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Bahkan, sesaat setelah Rasulullah saw wafat, Umar bin Khattab bermaksud membaiatnya di Saqifah.

Umar berkata,

   “Ulurkan tanganmu, wahai Abu Ubaidah, agar saya dapat membaiatmu. Sebab, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sungguh dalam setiap kaum terdapat orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah’.”

tetapi dijawab dengan penuh zuhud oleh Abu Ubaidah,

   “Saya tidak mungkin berani mendahului orang yang dipercayai oleh Rasulullah saw. menggantikan beliau menjadi imam kita ketika beliau sakit (maksudnya Abu Bakar ra.). Oleh sebab itu, sudah semestinyalah kita membaiatnya menjadi pemimpin kita sepeninggal Rasulullah saw.” jawab Abu Ubaidah.

Begitulah Abu Ubaidah, sahabat kepercayaan Rasulullah yang rendah hati. Pantaslah bila dia menjadi suri teladan bagi seluruh umat. Dia senantiasa memikul semua tanggung jawab dengan sifat amanah. Ketika Khalifah Abu Bakar memberinya jabatan mengurus keuangan negara, Abu Ubaidah pun menjadikan jabatan itu sebagai amanah yang dipikulnya dengan penuh tanggung jawab.

Ketika Umar bin Khattab sang khalifah hendak menghembuskan nafas terakhirnya, dia juga berkata:

   “Seandainya Abu Ubaidillah bin Al-Jarrah masih hidup, niscaya aku menunjuknya sebagai penggantiku. Jika Rabbku bertanya kepadaku tentang dia, maka aku jawab, ‘Aku telah menunjuk kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya sebagai penggantiku.”

Abdullah bin Mas’ud, salah satu shahabat Rasulullah SAW juga sangat bangga dengannya. Dia berkata:

   “Paman-pamanku yang paling setia sebagai sahabat Rasulullah saw cuma tiga orang. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah,”

ABU UBAIDAH MERAHASIAKAN PEMECATAN KHALID BIN WALID

Ketika pelaksanaan misi penyerbuan ke Syam (Suriah), Khalifah Abu Bakar menunjuknya sebagai panglima tertinggi. Akan tetapi dia tidak bersedia dan lebih memilih memimpin pasukan di Hims. Panglima perang ke Syam akhirnya dipegang oleh Khalid bin Walid. Pada perang Yarmuk menghadapi Heraklius, kaisar Romawi Timur, Abu Ubaidah menyerahkan tampuk pimpinan perang kepada Khalid bin Walid.

Saat Umar bin Khattab menjadi khalifah, jabatan panglima perang diserahkan kembali kepada Abu Ubaidah. Penggantian itu berbarengan dengan tengah berkecamuknya peperangan besar yang amat menentukan. Saat itu, Khalid bin Walid sedang memimpin pasukan muslimin dengan gagah berani. Maka dengan kebijaksanaannya, Abu Ubaidah meminta utusan Khalifah untuk merahasiakan berita tersebut kepada umum. Dia tidak serta merta mengambil alih tampuk pimpinan pasukan dari tangan Khalid bin Walid, melainkan merahasiakan haknya itu sambil tetap berperang di bawah komando sang panglima. Setelah kemenangan tercapai, barulah Abu Ubaidah menemui Khalid untuk menyerahkan surat dari Khalifah.

   “Semoga Allah merahmatimu, wahai Abu Ubaidah. Mengapa engkau tidak menyampaikan kepadaku begitu surat ini datang?” tanya Khalid.

   “Saya tidak ingin mematahkan ujung tombak Anda. Kita tahu, bukan kekuasaan dunia yang kita tuju, dan bukan untuk dunia pula kita beramal. Kita semua bersaudara karena Allah.” Demikian jawaban Abu Ubaidah, sebuah jawaban yang membuat Khalid semakin mengaguminya.

Setelah serah terima jabatan itu, kepemimpinan pasukan Muslimin beralih ke tangan Abu Ubaidah. Di bawah kepemimpinannya, pasukan Muslimin berhasil menaklukkan kota-kota di Suriah dan Palestina, antara lain Damaskus, Hims, Hama, Qisnisrin, al-Ladhiqiyah (Suriah), Haleb (Alleppo), Antiokia (Suriah), dan Baitulmakdis (Yerusalem). Abu Ubaidah bin Jarrah RA. ikut serta dalam semua peperangan kaum muslimin, bahkan selalu mempunyai andil besar dalam setiap peperangan tersebut. Salah satu jasa terbesarnya adalah penaklukan sebagian negeri Syam yang berhasil diraih pasukan Muslimin di bawah pimpinannya.

SIFAT ZUHUD ABU UBAIDAH

Abu Ubaidillah juga dikenal dengan kezuhudannya.Dalam satu kisah disebutkan ketika Abu Ubaidillah menjabat sebagai seorang gubernur Syam. Umar bin Khattab sang khalifah pada saat itu hendak berkunjung ke rumahnya. ” Hai Abu Ubaidah, bolehkah aku datang ke rumahmu?” tanya Umar.

Jawab Abu Ubaidah, “Untuk apakah kau datang ke rumahku? Sesungguhnya aku takut kau tak kuasa menahan air matamu begitu mengetahui keadaanku nanti.”

Namun Umar memaksa dan akhirnya Abu Ubaidahpun mengizinkan Umar berkunjung ke rumahnya. Ketika Umar bin Khattab sampai di rumah Abu Ubaidillah, dia sangat terkejut. Ia mendapati rumah Sang Gubernur Syam kosong melompong. Tidak ada perabotan sama sekali. Melihat hal tersebut, kemudian Umar bertanya,

   “Hai Abu Ubaidah, di manakah penghidupanmu? Mengapa aku tidak melihat apa-apa selain sepotong kain lusuh dan sebuah piring besar itu, padahal kau seorang gubernur?”, “Adakah kau memiliki makanan?” tanya Umar lagi.

Abu Ubaidah kemudian berdiri dari duduknya menuju ke sebuah ranjang dan memungut arang yang didalamnya. Umar pun meneteskan air mata melihat kondisi gubernurnya seperti itu.

Abu Ubaidah pun berujar, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sudah kukatakan tadi bahwa kau ke sini hanya untuk menangis.”

Umar berkata, “Ya Abu Ubaidah, banyak sekali di antara kita orang-orang yang tertipu oleh godaan dunia.”

Suatu ketika Umar mengirimi uang kepada Abu Ubaidah sejumlah empat ribu dinar. Orang yang diutus Umar melaporkan kepada Umar, “Abu Ubaidah membagi-bagi uang kirimanmu.” Kemudian Umar berkata, “Alhamdulillah, puji syukur kepada-Nya yang telah menjadikan seseorang dalam Islam yang memiliki sifat seperti dia.”

Begitulah Abu Ubaidah. Hidup baginya adalah pilihan. Ia memilih zuhud dengan kekuasaan dan harta yang ada di dalam genggamannya. Baginya jabatan bukan aji mumpung buat memperkaya diri. Tapi, kesempatan untuk beramal lebih intensif guna meraih surga.

ABU UBAIDAH WAFAT DAN NASIHATNYA MENJELANG KEMATIANNYA

Itulah mengapa ketika wabah penyakit taun merajalela di negari Syam, Khalifah Umar bin Khattab merasa khawatir akan keselamatan Abu Ubaidah. Beliau segera mengirim surat untuk memanggil Abu Ubaidah agar kembali ke Madinah. Saat itu Abu Ubaidah sedang berada di tengah-tengah pasukannya, bersama mereka menghadapi ancaman musuh dan wabah penyakit sekaligus. Maka ketika surat tersebut datang, Abu Ubaidah menyatakan keberatannya dengan mengirimkan surat balasan yang isinya,

“Wahai Amirul Mukminin, saya tahu bahwa Anda memerlukan saya sehingga Anda menyuruh saya pulang. Akan tetapi, seperti Anda ketahui, saya sedang berada di tengah-tengah pasukan muslimin. Saya tidak ingin menyelamatkan diri sendiri dari musibah yang menimpa mereka dan saya tidak ingin berpisah dari mereka sampai Allah sendiri menetapkan keputusan-Nya terhadap saya dan mereka. Oleh sebab itu, sesampainya surat saya ini, saya mohon dibebaskan dari rencana Baginda dan izinkanlah saya tinggal di sini.”

Setelah Khalifah Umar membaca surat itu, beliau menangis, sehingga para hadirin bertanya, ‘Apakah Abu Ubaidah sudah meninggal?” “Belum, akan tetapi kematiannya sudah di ambang pintu.” Jawab Umar sedih.

Kemudian Amirul mu’minin kembali menulis surat untuknya dan memerintahkannya untuk pergi meninggalkan kota ‘Amwas ke tempat yang disebut Al-Jabiyah, hingga semua pasukan tidak meninggal karenanya, lalu Abu Ubaidahpun mengikuti perintah Amirul mukminin, namun beliau tetap terserang penyakit kusta.

Menjelang kematiannya, Abu Ubaidah berpesan kepada pasukannya:

   “Saya pesankan kepada kalian sebuah wasiat yang jika kalian terima, maka kalian akan selamat. Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, berpuasalah di bulan Ramadan, berdermalah, tunaikanlah ibadah haji dan umrah, saling nasihat menasihatilah kalian, sampaikanlah nasihat kepada pemimpin kalian dan jangan suka menipunya. Janganlah kalian terpesona dengan keduniaan, sebab betapapun seseorang melakukan seribu upaya, dia pasti akan menemui ajalnya seperti saya ini. sungguh Allah telah menetapkan kematian untuk setiap manusia’ oleh sebab itu, semua orang pasti akan mati. Orang yang paling beruntung adalah orang yang paling taat kepada Allah dan paling banyak bekalnya untuk akhirat”‘

Kemudian Abu Ubaidah berpaling kepada Muadz bin Jabal ra. dan berkata kepadanya,

”Wahai Muadz! lmamilah salat mereka.”

Setelah itu Abu Ubaidah RA. pun menghembuskan nafasnya yang terakhir pada umur 58 tahun. Beliau dishalatkan oleh Mu’adz bin Jabal, dan dikebumikan di desa Baisan, Syam.

Sepeninggal Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal berpidato di hadapan kaum Muslimin, .

   “Wahai sekalian kaum muslimin! Kalian sudah dikejutkan dengan berita kematian seorang pahlawan, yang demi Allah saya tidak menemukan ada orang yang lebih baik hatinya, lebih jauh pandangannya, lebih suka terhadap hari kemudian dan sangat senang memberi nasihat kepada semua orang dari beliau, oleh sebab itu doakanlah beliau, semoga kalian semua dirahmati Allah.”

Pada saat Umar bin Khaththab RA mendengar kematian Abu Ubaidah, dia memejamkan kedua matanya dalam keadaan penuh dengan air mata. Air mata pun mengalir, lalu dia membuka kedua matanya dalam kepasrahan. Ia memohonkan rahmat Allah untuk sahabatnya dalam keadaan air mata mengalir dari kedua matanya, air mata orang-orang shalih. Air mata mengalir karena kematian orang-orang yang shalih.

Pada suatu kesempatan Umar bin Khattab mengajukan pertanyaan kepada para sahabat, “Tunjukkan kepada saya cita-cita tertinggi kalian.” Salah seorang dari mereka mengacungkan tangan dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin sekiranya rumah ini penuh dengan emas, akan saya infakkan seluruhnya untuk jalan Allah.”

Umarpun mengulangi pertanyaannya, “Apa masih ada yang lebih baik dari itu?”, sahabat yang lainpun menjawab, “Wahai Amirul Mukminin sekiranya rumah ini dipenuhi dengan intan, emas dan permata, niscaya akan saya infakkan seluruhnya untuk Allah.” Umar bin Khattab kembali mengajukan pertanyaan yang sama. Merekapun serentak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin kami tidak tahu lagi apa yang terbaik dari itu.”

Umar bin Khathab kemudian menjelaskan, “Cita-cita yang terbaik adalah, seandainya ruangan ini Allah penuhi dengan pejuang muslim seperti Abu Ubaidah yang jujur, adil dan bijaksana.”