NARASI PARA PENGUASA MENGENAI PANCASILA
Oleh: تيدي خليل الدين
Narasi dan ideologi merupakan dua bahasan yang memiliki keterkaitan yang cukup dekat. Seturut dengan bahasan tentang Pancasila, narasi menjadi cara bagi penguasa untuk menuturkannya sebagai ideologi negara. Masing-masing era memiliki karakternya sendiri dalam menarasikan Pancasila. Imajinasi sosial tentang Pancasila disalurkan melalui pelbagai sarana, meski sama-sama memiliki fungsi legitimasi. Tulisan ini hendak mendedah narasi Pancasila menurut tiga presiden Indonesia; Soekarno, Soeharto dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Pada masa Soekarno, Pancasila dijadikannya sebagai “civil religious legitimation” bagi Demokrasi Terpimpin yang ia jalankan. (Purdy: 1984, 89) Tapi, sesungguhnya pada masa itu, Pancasila hanya salah satu dari apa yang oleh Soekarno disebut sebagai “Lima Azimat” Revolusi. Dalam pidato Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1965, Soekarno memberikan amanat yang ia beri tajuk “Capailah Bintang-bintang di Langit (Tahun Berdikari)”. Soekarno mengatakan:
“Gagasan-gagasanku itu, Nasakom (1926), Pancasila (1945), Manipol/Usdek (1959), Trisakti Tavip (1964) dan Berdikari (1965), sebenarnya hanyalah hasil penggalianku, yang dua pertama dari masyarakat bangsaku, dan tiga yang terakhir dari revolusi Agustus . . . Baik Nasakom, baik Pancasila, baik Manipol/Usdek, baik Trisakti, maupun Berdikari, kesemuanya mengabdi kepada persatuan nasional revolusionar, artinya, mengabdi kepada kepentingan revolusi . . . Kita tidak cukup hanya berjiwa Nasakom, kita pun harus berjiwa Pancasila, berjiwa Manipol/Usdek, berjiwa Trisakti Tavip, berjiwa Berdikari!”
Soekarno menarasikan Pancasila dalam kerangka revolusi sebagai pandangan utama yang saat itu berkembang. (Pranarka: 1985, 80) Hal itu disampaikannya pada pidato 17 Agustus 1959. Soekarno menegaskan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia yang ke empat belas saat itu, harus benar-benar membuka sejarah baru dalam revolusi perjuangan nasional bangsa Indonesia.
Narasi Pancasila dalam kerangka revolusi itu terus dikembangkan oleh Soekarno dalam pidato tahun 1960. Di tahun ini, ia menyinggung tentang apa yang disebut Manipol-Usdek yang sebenarnya telah diperkenalkan pada tahun 1959. Dalam pidato yang berjudul “Laksana Malaikat yang Menyerbu dari Langit: Jalannya Revolusi Kita (Jarek)”, Soekarno menyodorkan satu Manifesto Politik (Manipol).
Soekarno kemudian menekankan sifat universal dari Pancasila. Menurutnya, Pancasila lebih memenuhi kebutuhan manusia dan lebih menyelamatkan manusia, daripada Declaration of Independence-nya Amerika, atau Manifesto komunis. Bagi Soekarno, Declaration of Independence itu tidak mengandung keadilan sosial, sementara Manifesto Komunis itu harus disublimir dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua ideologi itu, kata Soekarno menjadi sebab manusia dunia terpecah belah dan saling mengintai.
Dengan menggunakan pendekatan ideologis, Pranarka mengatakan bahwa analisis terhadap Pancasila melalui hal tersebut tidak mempersoalkan konsistensi yang menyangkut substansil dan tidak memperhitungkan ”nilai kebenaran internal” dari uraian itu, karena perhatian lebih dititikberatkan pada kegunaan konkrit sebagai motivasi utamanya. (Pranarka, ibid, 349)
Pendekatan seperti ini bisa kita gunakan untuk mencermati uraian Soekarno tentang Pancasila. Terlihat bahwa paparan Soekarno tentang Pancasila tidak terlalu mementingkan kebenaran internal dan konsistensi substansialnya. Itu bisa dimengerti karena motivasi utamanya adalah nation-building, kesatuan bangsa. Meminjam analisis Ricoeur, inilah fungsi integratif dari Pancasila yang kemudian dijadikan legitimasi oleh Soekarno. Di dalamnya, Soekarno memberi nuansa profetik. Inilah strategi Soekarno dalam menarasikan Pancasila.
Dalam menarasikan Pancasila Soekarno banyak menciptakan neologisme. Pancasila ia katakan sebagai dasar negara dan isi jiwa bangsa Indonesia. Di tempat lain, ia menyebut bahwa Pancasila adalah ”hogere opptrekking dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis”. Ia juga menyebut Pancasila adalah wadah, dan masing-masing dapat memberikan isi kepada Pancasila tersebut. Pancasila juga disebut Soekarno sebagai kepribadian Indonesia yang digali dari bumi Indonesia. Soekarno juga pernah menuturkan bahwa Pancasila dan Islam adalah sama. Nasakom, seperti yang dikatakan oleh Soekarno juga sesungguhnya mengandung ”inkompatibilitas intrinsik”. (Pranarka, ibid) Tapi itu tidak kemudian dipersoalkannya, karena yang terpenting adalah bahwa unsur Komunisme, Nasionalis dan Agama dapat bahu membahu mengerek panji revolusi.
Setelah Soekarno berkuasa, Soeharto tampil menjadi Presiden Indonesia. Secara resmi, Soeharto mulai memegang tampuk kekuasaan saat ia dilantik menjadi presiden pada bulan maret 1967. Namun, faktanya Soeharto memulai peranannya ketika dia membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1966 melalui surat perintah sebelas Maret (Supersemar). (Purdy, 205-206) Penyingkiran Soekarno dan PKI sebagai kekuatan politik ketiga terbesar dari domain politik, terlihat sangat efektif dengan keterlibatan militer. (Crouch, 2007)
Periode dimana Soeharto berkuasa ini disebut Orde Baru. Pada 16 Agustus 1967, Soeharto menyampaikan pidato kenegaraan. Dalam pidatonya itu, Soeharto mengatakan bahwa Orde Baru adalah “…tatanan seluruh peri-kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945”.
Ada tiga kekuatan yang menjadi pilar Orde Baru. (Aspinall: 2005, 22-23) Pertama, Orde Baru memperluas kekuatan militer untuk melakukan kontrol terhadap kehidupan politik. Melalui doktrin dwifungsi, militer berperan di ranah politik sekaligus menjaga keamanan negara. Kedua pemerintah merestrukturisasi pimpinan institusi politik dan masyarakat sipil. Meski infrastruktur politik seperti partai, dewan perwakilan dan pemilihan tetap dipertahankan, tetapi perangkat tersebut sudah ditransformasi melalui kombinasi intervensi, manipulasi dan pemaksaan. Pemerintah memoles Golkar (Golongan Karya) sebagai kendaraan elektoralnya. Pemerintah menekankan doktrin monoloyalitas. Ketiga, pemerintah berusaha membangun sebuah justifikasi ideologi yang komprehensif untuk pemerintahan otoritariannya. Pemerintah memurnikan ideologi Pancasila yang ditekankan pada harmoni sosial dan kesatuan organis antara negara dan masyarakat. Merujuk pada “asas kekeluargaan” (family principle), individu dan kelompok diharapkan bisa menomorduakan kepentingannya atas kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Berbeda halnya dengan Soekarno yang banyak menulis tentang Pancasila sebagai proyek politiknya, Soeharto tidak memiliki karya yang fokus membahas Pancasila. (Titaley, 1991: 153) Pemahaman terhadap Pancasilanya Soeharto hanya bisa kita cermati, salah satunya, dari pidato-pidato resmi kenegaraan yang ia sampaikan di berbagai kesempatan. (Krissantono, 1976) Pemahaman terhadap Pancasila seperti yang direfleksikan Soeharto juga bisa kita sarikan dari berbagai program pada masa Orde Baru yang memiliki hubungan dengan Pancasila.
Transisi kepemimpinan politik di Indonesia dari Soekarno dan Soeharto diawali dengan runtuhnya PKI. Ke depan, kehidupan politik Soeharto tidak memiliki tantangan, karena PKI sudah tidak ada lagi. Soeharto hanya berhadapan dengan kelompok Islam dan kelompok Sosialis yang tidak terlalu kuat posisinya. Jelas, bahwa legitimasi pemerintahan Orde Baru diderivasi, salah satunya dari koalisi anti komunis.
Pancasila menurut Soeharto tidak tiba-tiba datang pada tahun 1945. Ia adalah buah dari perjuangan bangsa Indonesia dan berurat akar pada kebudayaan bangsa Indonesia itu sendiri. Soeharto kemudian menegaskan lagi bahwa “Pancasila adalah kepribadian kita, adalah pandangan hidup seluruh Bangsa Indonesia, pandangan hidup yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan kita; oleh karena itu, Pancasila adalah satu-satunya pandangan hidup yang dapat pula mempersatukan kita. Pancasila adalah perjanjian luhur seluruh Rakyat Indonesia yang selalu harus kita junjung tinggi bersama dan kita bela selama-lamanya”.
Kaitannya dengan PKI, Soeharto melihat bahwa ideologi Nasakom seperti yang digaungkan Soekarno dulu itu adalah kecelakaan. Pancasila menjadi tidak lagi murni karena ia berubah menjadi Nasakom. Maka dari itu Soeharto mengajak kepada bangsa Indonesia agar merumuskan Pancasila secara sederhana dan jelas untuk digunakan sebagai pedoman hidup manusia Pancasila. (Krissantono, 1976)
“Jangan terulang lagi misalnya, Pancasila lalu berubah menjadi “Nasakom” yang membawa bencana itu. Ajakan saya adalah agar kita bersama-sama memikirkan penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam segala segi kehidupan dan tingkah laku kita sehari-hari.”
Soeharto melihat bahwa Pancasila telah berhasil melewati masa ujicoba yang panjang sehingga tetap bertahan. Kekuatannya untuk tetap bertahan itulah yang menunjukan kalau ia satu-satunya jawaban atas persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia. Fungsi Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia ditegaskan Soeharto saat dia mengatakan, “Pancasila adalah jiwa dari Bangsa Indonesia. Karena itu, setiap usaha merenggutnya dari bangsa ini pasti akan mendapat perlawanan yang hebat dan berakibat dengan kegagalan”. Di kesempatan lain, Soeharto melihat Pancasila sebagai landasan idiil bagi peri-kehidupan bangsa kita.
Tak hanya dilihat sebagai pandangan hidup, Pancasila oleh Soeharto juga dinilai sekaligus sebagai tujuan hidup bangsa kita. “Kita tidak akan memerosotkan Pancasila hanya menjadi semboyan kosong atau bahan propaganda murah. Pancasila, karena merupakan pandangan hidup, merupakan dasar dan tujuan, maka Pancasila itu harus kita laksanakan dalam segala segi kehidupan dalam tata pergaulan Bangsa Indonesia”.
Penghayatan dan pengamalan Pancasila, menurut Soeharto dilakukan untuk menciptakan masyarakat Indonesia. Atau dengan kata lain, tujuan Soeharto adalah menciptakan Masyarakat Pancasila yang dirumuskan sebagai masyarakat yang berazaskan kekeluargaan dan religius.
“…atau kalau meminjam rumusan yang popular: Masyarakat Pancasila adalah masyarakat yang sosialistis religius dengan ciri-ciri pokok: Tidak membenarkan adanya: kemelaratan, keterbelakangan, perpecahan, pemerasan, kapitalisme, feodalisme, kolonialisme dan imperialisme; karenanya harus bersama-sama menghapuskannya. Menghayati hidupnya dengan berkewajiban: taqwa pada Tuhan Yang Mahaesa, cinta pada Tanah Air, kasih sayang pada sesama manusia, suka bekerja dan rela berkorban untuk kepentingan rakyat”.
Dhakidae menganalisis bahwa Pancasila di era Orde Baru pertama-tama dihubungkan dengan kelompok kiri yang ”anti Pancasila”. (Dhakidae, 692) Tanggal 30 September kemudian ditetapkan sebagai hari pengkhianatan dan 1 Oktober sebagai hari dimana Pancasila terbukti ”sakti” dari rongrongan kelompok yang dianggap ”anti Pancasila”. Jadilah 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Monumen Kesaktian Pancasila dijadikan sebagai ”alat pengingat” dan pembentuk pengetahuan saktinya Pancasila. Tak hanya melalui monumen, produksi pengetahuan tentang Kesaktian Pancasila juga dihadirkan melalui Film Pengkhianatan Gerakan 30 September, sebagai tafsir resmi pemerintah. (McGregor, 2008) Padahal kata Robert Cribb, seperti dikutip Mc. Gregor, ”dalam Pancasila tidak dapat diketemukan alasan mengapa orang komunis harus dibunuh, dan bukan, misalnya dididik kembali dengan halus”. (McGregor, 2008)
Pancasila di era Orde Baru, kata Dhakidae lebih pada soal ”discourse competition, pertandingan wacana, untuk memenangkan medan pertempuran diskursus politik”. (Dhakidae, 692) Tak heran jika di era ini lahir politik pengabaian (exclusion) sehingga hanya memungkinkan satu tafsir terhadap Pancasila. Tahun 1985, pemerintah mengeluarkan UU nomor 8 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Di Pasal 2 ayat 1, UU itu mengatakan organisasi kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Pasal 16 menyebutkan ”Pemerintah membubarkan Organisasi Kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya”. Dengan begitu tidak ada organisasi masyarakat atau organisasi agama sekalipun yang tidak berdasarkan Pancasila.
Jika dibandingkan dengan pandangan Soekarno dan Soeharto, cara Gus Dur menjabarkan Pancasila agak sedikit berbeda. Soekarno sangat menekankan Pancasila sebagai seperangkat ide untuk melawan gelombang kapitalisme dalam sebuah revolusi. Soekarno membungkus Pancasila sebagai “ideologi tengah” di antara Kapitalisme dan Marxisme. Ideologi Pancasila ini adalah sintesa yang menurut Soekarno digali dari bumi nusantara. Soeharto sesungguhnya sama dengan Soekarno, menjadikan Pancasila sebagai ideologi. Pancasila dijadikan sebagai norma yang menjadi takaran mana masyarakat yang Pancasilais dan mana yang anti Pancasila. Usaha Soeharto untuk mengukuhkan Pancasila sebagai ideologi disokong penuh oleh militer. Merekalah yang pada gilirannya menjadi pengaman “tafsir resmi” terhadap Pancasila.
Beda halnya dengan Soekarno dan Soeharto, cara pandang Gus Dur terhadap Pancasila memiliki nuansa lain. Gus Dur memang beberapa kali menyebut Pancasila sebagai ideologi. Dalam sambutan peringatan Hari Lahirnya Pancasila, Gus Dur mengatakan
Inilah yang sangat penting bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi yang memberikan kemungkinan pengembangan profesionalisme yang jujur, tapi juga memungkinkan inisiatif rakyat atau dalam bahasa sekarang masyarakat untuk bisa muncul menunaikan tugasnya dengan baik dan mencapai hal-hal yang kita perlukan.
Sebagai ideologi, Pancasila menurut Gus Dur membutuhkan wadah. Wadah itulah yang akan dijaga eksistensinya. Karena itu, Gus Dur terus melakukan kompromi-kompromi untuk menjaga eksistensi negara sebagai wadah dimana ideologi itu bisa dijalankan.
Meskipun demikian, Gus Dur tidak menafikan bahwa Pancasila sebagai ideologi akan terus diperdebatkan. Pancasila akan terus digugat, begitu juga bentuk negara. Disini Gus Dur justru membuka kemungkinan jika suatu waktu Pancasila (dalam pengertian formnya) dirubah. Yang tidak akan dirubah oleh Gus Dur adalah substansi dari ideologi Pancasila itu sendiri. Kata Gus Dur,
“Karena itu, ingin saya kemukakan sekali lagi di sini bahwa di dalam memperingati hari Pancasila, kita harus kreatif. Saya nyatakan tadi bahwa Pancasila sebagai ideologi akan diperdebatkan orang. Bentuk negara juga akan diperdebatkan orang. Segala-galanya akan diperdebatkan. Tetapi, esensi daripada ideologi, ideologi Pancasila tidak akan diubah dan saya akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan Pancasila.”
Cara pandang Gus Dur terhadap Pancasila inilah yang membedakan dengan Soekarno dan Soeharto. Gus Dur di satu sisi mengikuti ritme Soekarno dan Soeharto dalam memosisikan Pancasila sebagai ideologi. Gus Dur tidak menutup mata bahwa suatu waktu, ideologi ini akan mendapat tantangan, bahkan diperdebatkan. Pancasila akan terus diperdebatkan sebagai sebuah kerangka ideologi.
Di sisi lain, Gus Dur akan terus berusaha mempertahankan Pancasila dari berbagai gugatan. Pancasila yang dimaksud oleh Gus Dur dalam konteks ini adalah nilai atau substansinya. Jika penulis menafsirkan apa yang disampaikan oleh Gus Dur, maka ia melihat Pancasila itu dalam dua bingkai, formal dan substansial. Ideologi yang formalistik selalu akan berada dalam matra perdebatan. Bukan tidak mungkin ada ideologi baru yang dapat menggantikan Pancasila. Meski di kemudian hari ada kemungkinan hadirnya ideologi yang menggantikan Pancasila, tapi nilai dari ideologi Pancasila itu akan ia pertahankan.
Meski ada sedikit perbedaan dalam menempatkan Pancasila, baik Soekarno, Soeharto maupun Gus Dur memiliki kesamaan. Mereka menjadikan Pancasila dalam kerangka integratifnya. Fungsi sebagai legitimasi kekuasaan barangkali sangat kuat terasa pada masa Soeharto dan Soekarno. Di era Gus Dur, vibrasi Pancasila sebagai alat legitimasi kekuasaan tidak sekencang Soekarno dan Soeharto. Gus Dur lebih menekankan pada ide kebebasan berekspresi dan berorganisasi, kesetaraan, demokrasi dan penghargaan terhadap pluralisme. Oleh Gus Dur, Pancasila dijadikan sebagai garansi untuk mewadahi nilai-nilai tersebut.