UU SISDIKNAS DAN PENDIDIKAN IMAN serta TAQWA

UU SISDIKNAS DAN PENDIDIKAN IMAN dan TAQWA

(Perspektif Nahdlatul Ulama)

  1. Pendahuluan

Dinamika perkembangan dunia pendidikan nasional lima tahun terakhirdiwarnai oleh lahirnya Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru danDosen yang disusul dengan lahirnya PP No 74 tahun 2008 tentang guru. UUtersebut lahir dengan pertimbangan bahwa pembangunan nasional dalam bidangpendidikan merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkankualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia sertamenguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam menuju masyarakat yangmaju, adil, makmur dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-UndangDasar 1945. Selian itu, dalam rangka menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi serta tata pemerintahan yang baik danakuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengantuntutan perubahan kehiudpan lokal, nasional dan global perlu dilkukanpemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarahdan berkesinambungan.Hal yang teramat penting untuk garis bawahi dalam dasar pertimbangan UU diatas adalah ungkapan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa  ditempatkan sebagai dasar pijak yang pertama.

Hal tersebut diperkuat oleh rumusan tujuan pendidikan nasional yang terungkap dalam Undang-Undang No 20tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3 sebagai berikut:kh nu

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentukwatak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskankehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan pendidikan nasional tersebut mempertegas bahwa secara konstitusional bahwa negara Indonesia berdasarkan pada agama. Artinya; bahwa Negara Indonesia melindungi dan menghargai kehidupan beragama dari seluruh warga Negara Indonesia. Berdasarkan tinjauan sosial kultural, memang terlihat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai agama sehingga kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia.

Sebagai negara yang berdasarkan agama, pendidikan agama tidak dapat diabaikan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Umat beragama beserta lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia merupakan potensi besar dan sebagai modal dasar dalam pembangunan mental spiritual bangsa dan merupakan potensi nasional untuk pembangunan fisik materiil bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, agama tidak dapat dipisahkan dengan penyelenggaraan pendidikan nasional Indonesia..

Secara khusus terkait pendidikan agama dalam UU Sidiknas, dibutuhkan penafsiran yang jelas pada istilah-istilah yang mungkin dapat menimbulkan perbedaan yang mengarah pada konflik vertikal-horisontal. Beberapa pasal yang berpotensi kontroversi diantaranya:

Visi dan misi pendidikan nasional dalam UU Sisdiknas dipandang sangat terfokus pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia. Konsep itu mengesampingkan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional dipersempit secara substansial. Padahal tugas untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan adalah tugas lembaga keagamaan dan masyarakat, bukan lembaga pendidikan.

Untuk mewujudkan peserta didik yang beriman dan bertaqwa tentu mereka harus mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik (UU Sisdiknas tahun 2003 Pasal 13 ayat 1a). konsekwensinya setiap lembaga pendidikan yang memiliki peserta didik yang beragam agamanya harus menyediakan guru yang sesuai dengan latar belakang agama peserta didik.

Undang-Undang No.20/2003 Bab VI pasal 13 juga menetapkan bahwa pendidikan nasional dilaksanakan melalui jalur formal, non formal, dan informal yang penyelenggaraannya dapat saling melengkapidan saling memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.

Undang-undang Sisdiknas ini juga memberikan penekanan bahwa penyelenggaraan pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna.

Selama ini melihat NU dalam mengembangkan pendidikan, lebih banyak berpihak pada kalangan masyarakat bawah, seperti petani desa, pedagang, buruh, nelayan dan orang-orang yang berekonomi menengah ke bawah. Kita lihat lembaga pendidikan NU, baik berbentuk pesantren, madrasah, dan sekolah-sekolah, umumnya menampung mereka itu. Namun disitulah justru NU memiliki nilai lebih tersendiri. Meskipun sekarang menjamur lembaga pendidikan yang mengambil posisi lain, misalnya melayani kelas menengah ke atas, jumlahnya belum begitu banyak. Rupanya NU tetap konsisten, ingin mengangkat harkat dan martabat, serta melayani orang-orang kelas menengah ke bawah itu.

Ke depan, kiranya NU perlu memikirkan alternatif yang lebih luas dan menyeluruh, agar amal salih yang dilakukan oleh gerakan organisasi keagamaan yang bersifat kultural ini memiliki nilai lebih dan sesuai dengan tantangan zamannya. Sudah barang tentu, apapun yang ditawarkan tidak boleh mengurangi, apalagi mengubah dasar-dasar keyakinan yang selama ini dipertahankan.

  1. Rumusan Masalah.

Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan beberapa hal:

  1. Apa rumusan iman dan taqwa yang diusulkan oleh NU dalam memahami istilah tersebut dalam UU Sisdiknas
  2. Bagaimana konsep musyawirin tentang sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlaq mulia dalam rangka meningkatkan kecerdasan bangsa ?
  3. Pembahasan
  4. Pengertian Iman dan Taqwa (tinjauan Tafsir Pendidikan)

Untuk mengetahui kedua istilah tersebut perlu merujuk terlebih dahulu pada konsep al Qur’an tentang Iman dan Taqwa. Kata Iman dalam berbagai bentuk derivasinya disebutkan dalam al Qur’an sebanyak 840 kali serta dalam variasi makna yang berbeda-beda. Hal ini menunjukan pentingnya kedudukan Iman dalam setiap segmen kehidupan.

Kata iman merupakan bentuk masdar ấmana-Yu’minu, secara bahasa digunakan untuk makna: memberi rasa aman[1][1] dan membenarkan (tashdiq)[2][2]

Adapun kata Iman menurut istilah, para ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda. Imam Al-Bukhori berkata : Iman adalah perkataan dan amalan[3][3], dan beliau juga berkata : Saya telah bertemu dengan lebih dari seribu ulama dari seluruh penjuru, dan saya tidak menemui mereka berselisih tentang makna Iman yaitu perkataan dan amalan, bertambah dan berkurang[4][4].

Imam Asy-Syafi’i berpendapat: dan ijma’ dari sahabat, tabi’in dan generasi setelahnya yang kami ketahui bahwa mereka berkata, “Iman adalah perkataan, amalan dan niat, tidaklah cukup salah satu dari itu kecuali bersama yang lain. [5][5]

Ibnu At-Taimiyah berkata : dalam bab ini, banyak sekali perkataan ulama dan para imam ahli sunnah tentang tafsir Iman. sebagian mereka mengatakan, “Iman adalah perkataan dan amalan.” dan yang lain berkata, “Iman adalah perkataan, amalan dan niat.” dan yang lainnya berkata, “Iman adalah perkataan, amalan, niat dan mengikuti sunnah.” dan yang lainnya lagi mengatakan, “Iman adalah perkataan dengan lisan, meyakini dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan.”.[6][6]

Sedangkan kata Taqwa diulang dalam al Qur’an sebanyak 258 kali dalam berbagai bentuk dan dalam konteks yang bermacam-macam diantaranya:

Dalam bentuk kata kerja lampau (fi’il madhi) ditemukan sebanyak 27 kali, yaitu dengan bentuk ittaqa sebanyak 7 kali, antara lain dalam QS. Al-Baqarah [2]: 189; dalam bentuk ittaqaw sebanyak 19 kali, seperti dalam QS. Al-Maidah [5]: 93; dan dalam bentuk ittaqaytunna (hanya satu kali, ditemukan dalam QS. Al-Ahzab [33]: 32. dalam bentuk-bentuk seperti di atas, kata taqwa pada umumnya memberi gambaran mengenai keadaan, sifat-sifat, dan ganjaran bagi orang-orang bertakwa.

Kata taqwa yang diungkapkan dalam bentuk kata kerja masa sekarang (fi’il mudhori) ditemukan sebanyak 54 kali. dalam bentuk ini, Al-Quran menggunakan kata itu untuk: (1) menerangkan berbagai ganjaran, kemenangan, dan pahala yang diberikan kepada orang yang bertakwa, seperti dalam QS. Ath-Thalaq [65]: 5; (2) menerangkan keadaan atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seseorang sehingga ia diharapkan dapat mencapai tingkat takwa, yang diungkapkan bentuk la’allakum tattaqun (semoga engkau bertakwa), seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183; dan (3) menerangkan ancaman dan peringatan bagi orang-orang yang tidak bertakwa, seperti dalam QS. Al-Mu’minun [23]: 32.

Kata taqwa yang dinyatakan dalam kalimat perintah ditemukan sebanyak 86 kali, 78 kali di antaranya mengenai perintah untuk bertakwa yang ditujukan kepada manusia secara umum. Obyek takwa dalam ayat-ayat yang menyatakan perintah takwa tersebut bervariasi, yaitu: (1) Allah sebagai obyek ditemukan sebanyak 56 kali, misalnya pada QS. Al-Baqarah [2]: 231 dan Asy-Syu’ara [26]: 131; (2) Neraka sebagai obyeknya dijumpai sebanyak 2 kali, yaitu pada QS. Al-Baqarah [2]: 24 dan Ali ‘Imran [3]: 131; (3) Fitnah/siksaan sebagai obyek takwa didapati satu kali, yaitu pada QS. Al-Anfal [8]: 25; (4) Obyeknya berupa kata-kata rabbakum (al-ladzi khalaqakum dan kata-kata lain yang semakna berulang sebanyak 15 kali, misalnya di dalam QS. Al-Hajj [22]: 1.

Kata taqwa yang dinyatakan dalam bentuk mashdar, ditemukan di dalam al-Quran sebanyak 19 kali. Yang diungkapkan dalam bentuk tuqat sebanyak 2 kali dan dalam bentuk taqwa sebanyak 17 kali. dalam bentuk ini kata taqwa pada umumnya digunakan al-Quran untuk: (1) menggambarkan bahwa suatu pekerjaan yang dilakukan harus didasarkan atas ketakwaan kepada Allah Swt, seperti dalam QS. Al-Hajj [22]: 37; dan (2) menggambarkan bahwa takwa merupakan modal utama dan terbaik untuk menuju kehidupan akhirat.

Secara etimologis kata ini merupakan bentuk masdar dari kata ittaq yattaqi (yang berarti menjaga diri dari segala yang membahayakan. Sementara sebagian ulama berpendapat bahwa kata ini lebih tepat diterjemahkan dengan berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu.[7][7] Kata takwa dengan pengertian ini dipergunakan di dalam al-Quran, misalnya pada QS. Al-Mu’min, 40:45 dan Ath-Thur 52: 27.

. Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang Amat buruk.

Maka Allah memberikan karunia kepada Kami dan memelihara Kami dari azab neraka.

Sedangkan Takwa dalam istilah syar’i (hukum), kata taqwa mengandung pengertian menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah Swt. dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya.

Pernyataan di atas senada dengan pendapat para ulama terdahulu, diantaranya: Imam Ar-Raghib Al-Asfahani mendenifisikan: yaitu menjaga kebersihan jiwa kita dengan meninggalkan saegala sesuatu yang dilarang oleh Allah. Sedangkan menurut imam Ghazali, Takwa kepada Allah dalam al Qur’an menunjuk pada tiga maksud, takut (Khasyah), taat dan ibadah, dan membersihkan hati dari dosa.[8][8] Fakhrur Razi menyebutkan bahwa makna Taqwa dalam al Qur’an menunjuk pada lima hal; iman, taat, taubat, meninggalkan maksiat, dan ikhlas. [9][9] menurut Muhammad Abduh, adalah menghindari siksaan Tuhan dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarang-Nya serta mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya. Hal ini, lanjutnya, hanya dapat terlaksana melalui rasa takut dari siksaan yang menimpa dan rasa takut kepada yang menjatuhkan siksaan, yaitu Allah. Rasa takut itu pada mulanya timbul dari keyakinan tentang adanya siksaan.

Setelah menelusuri makna dasar takwa yang secara umum mempunyai pengertian takut kepada Allah yang dilaksanakan dengan cara menjauhi larangan-Nya dan menjalankan semua yang telah diperintahkan-Nya. Barangkali pamaknaan seperti inilah yang masyhur di kalangan umat Islam di masa lalu ketika memberikan arti tentang takwa.

Namun Di dalam Al-Quran, sering Tuhan menyeru dengan kalimat ittaqu atau yattaqi. Di mana ada tambahan huruf pada asal kalimah waqa, ia membawa perubahan kepada makna Di sini ittaqullah membawa maksud hendaklah kamu mengambil Allah sebagai pemelihara, pembenteng, pelindung. Yaitu hendaklah jadikan Tuhan itu pelindung. Jadikan Tuhan itu kubu atau benteng. Bila sudah berada dalam perlindungan, kubu atau benteng Tuhan, perkara yang negatif dan berbahaya tidak akan, masuk atau tembus. Atau jadikan Tuhan itu dinding dari kejahatan.

Oleh karena itu seyogyanya kata takwa janganlah selalu diartikan takut, sebab takut hanyalah sebagian kecil dari takwa. Dan didalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, ridla, sabar, dan lain sebagainya. Bahkan lebih luas takwa mengandung arti kata berani, yang demikian itu karena adanya rasa percaya kepada Tuhan, yang diikuti dengan upaya terus-menerus untuk berjalan di jalan yang benar akan menjaduikan orang kehilangan rasa takut dan kesusahan. Karena dalam memelihara hubungan dengan tuhan, bukan saja karena takut, akan tetapi lebih karena adanya kesadaran diri sebagai hamba.

Dengan demikian dapat dapat simpulkan bahwa sesungguhnya takwa adalah merupakan himpunan segala sifat-sifat mahmudah yang diperoleh melalui kesadaran penuh bahwa Allah tidak pernah absent dari seluruh kegiatan kehidupan kita. Allah itu maha hadir, hal inilah yang pernah dikatakan oleh rasulullah kepada Abu Bakar waktu bersembunyi di dalam gua tsur dalam perjalanan sangat rahasia untuk hijrah kemadinah ketika dikejar-kejar oleh musuh mereka. Dalam kondisi itu nabi dengan tenang mengatakan, sebagaimana yang terekam dalam al-Qur’an :

Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) Maka Sesungguhnya Allah Telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia Berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir Itulah yang rendah. dan kalimat Allah Itulah yang Tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (at-Taubah, 9:40)

Dari pemaparan ayat di atas, takwa adalah suatu sikap hidup yang didasari oleh kesadaran sedalam-dalamnya bahwa Allah selalu menyertai. Sehingga dalam diri seseorang sendiri timbul suatu keinsyafan untuk melakukan segala sesuatu yang sekiranya Allah akan memperkenankannya. Dan apabila seseorang menyadari akan hadirnya Tuhan dalam setiap langkahnya, maka ia akan dibimbing kearah budi pekerti yang luhur, dan keseluruhan sifat mahmudah itulah yang dinamakan dengan takwa. Dimana ia membawa keselamatan dunia dan Akhirat.

  1. Pendidikan Imtaq dalam Sistem Pendidikan Nasional.

Istilah dan penggunaan kata takwa selalu diawali atau bergandengan dengan kata iman, seperti surat Ali Imran/3:102, juga perintah puasa. Ini menunjukkan bahwa orang bisa melaksanakan ketakwaan karena atas dasar keimanannya. Sehingga, dalam konteks ketakwaan inilah maka seseorang bisa memahami, mengapa keimanan sesorang bisa bertambah dan berkurang. Untuk itu, dengan beriman dan bertakwa, Allah menjanjikan hilangnya ketakutan dan kekhawatiran untuk melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Dalam surat Al-Anfaal/8:29 ditegaskan Allah :

Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.

Maka, orang yang bertakwa (muttaqin), adalah orang yang selalu menjaga dirinya dari perbuatan dosa dengan satu pedoman dan petunjuk Alqur’an sehingga bisa mengembangkan kemampuan rohani dan kesempurnaan diri. Mirza Nashir Ahmad dalam terjemahan the Holy Quran-nya, menyebut orang yang bertakwa adalah orang yang memiliki mekanisme atau daya penangkal terhadap kejahatan yang bisa merusak diri sendiri dan orang lain. Sementara, dalam ayat lain muttaqin menunjukkan kepada orang bijak, soleh, jujur, dan bertanggung jawab.

Perintah Allah berbuat baik dan menjauhi larangan, adalah sejalan dengan potensi yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya : sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, sehingga memiliki kemungkinan-kemungkinan yang besar untuk maju dan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya : Tiap-tiap orang bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya .

Ada beberapa ciri orang bertakwa, diantaranya : 1) beriman dan meyakini tanpa keraguan bahwa Alqur’an sebagai pedoman hidupnya; 2) beriman kepada perkara-perkara yang gaib; 3) mendirikan sembahyang; 4) orang yang selalu membelanjakan sebahagian dari rezeki yang diperolehnya; 5) orang yang selalu mendermakan hartanya baik ketika senang maupun susah; 6) orang yang bisa menahan amarahnya, dan mudah memberi maaf; 7) mensyukuri nikmat Allah yang telah diterimanya, karena Allah mengasihani orang-orang yang selalu berbuat kebaikan; takut melanggar perintah Allah; 9) oleh karena itu, tempat mereka adalah surga sesuai dengan yang dijanjikan Allah, dan tempatnya tidak jauh dari mereka.

Adapun nilai-nilai kemanusiaan sebagai akibat ketaqwaan itu diantaranya :

  1. Berilmu; dalam Alqur’an pada prinsipnya takwa berarti mentaati segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Setiap perintah Allah adalah kebaikan untuk dirinya; sebaliknya setiap larangan Allah apabila tetap dilanggar maka keburukan akan menimpa dirinya. Maka, dalam konteks ini, takwa menjadi ukuran baik tidaknya seseorang, dan seseorang bisa mengetahui baik dan tidak baik itu memerlukan pengetahuan (ilmu) melalui pendidikan.
  2. Kepatuhan dan disiplin; takwa menjadi indikator beriman tidaknya seseorang kepada Allah. Sebab, setiap perintah dan larangan dalam Alqur’an selalu dalam konteks keimanan kepada Allah. Oleh karena itu, secara sederhana, setiap orang yang mengamalkan takwa kepada Allah pasti ia beriman; tapi, tidak setiap orang beriman bisa menjalani proses ketaqwaannya, yang diantaranya disebabkan oleh faktor ketidaktahuan dan pembangkangan. Maka, iman, islam, dan takwa dalam beberapa ayat selalu disebut sekaligus, untuk menunjukkan integralitas dan mempribadi dalam diri seseorang.
  3. Sikap hidup dinamis; takwa pada dasarnya merupakan suatu proses dalam menjaga dan memelihara hubungan baik dengan Allah, sesama manusia, dan alam. Karena berhadapan dengan situasi yang berkembang dan berubah-ubah, maka dari proses ini manusia takwa membentuk suatu cara dan sikap hidup. Cara dan sikap hidup yang sudah dibentuk ini, secara antropologis-sosiologis menghasilkan etika, norma dan sistem kemasyarakatan ( kebudayaan).
  4. Kejujuran, keadilan, dan kesabaran; tiga hal ini merupakan bagian yang ditonjolkan dalam ayat-ayat takwa. Kejujuran, keadilan, dan kesabaran merupakan dasar-dasar kemanusiaan universal. Dalam konteks ini, kesabaran dipahami sebagai keharmonisan dan keteguhan diri dalam menghadapi segala cobaan hidup.

Empat poin di atas, merupakan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang terrdapat dalam nilai-nilai takwa. Dengan demikian, takwa merupakan dasar-dasar kemanusiaan universal yang nilai-nilainya tidak mutlak dimiliki oleh Muslim, tetapi oleh seluruh manusia yang berada pada jalur atau fitrah kemanusiaannya. Karena memiliki nilai-nilai kemanusiaan universal, maka takwa bisa dikorelasikan kepada seluruh sektor dan kepentingan hidup manusia, termasuk didalamnya sektor pendidikan.

Atas dasar itu, setiap pendidikan yang sedang berlangsung untuk mengembangkan potensi diri dan memperbaiki peradabannya itu, sudah barang tentu memiliki paradigma, yaitu suatu

cara pandang pendidikan dalam memahami dunia (world view). Setiap paradigma mencerminkan cara pandang masyarakat dimana pendidikan itu berlangsung. Oleh karena itu, setiap masyarakat, bangsa, maupun negara, masing-masing memiliki paradigma pendidikan sesuai dengan cara pandang masyarakat atau negara bersangkutan terhadap dunianya. Berkenaan dengan paradigma pendidikan itu, maka bangsa Indonesia adalah bangsa atau masyarakat relijius yang diakumulasikan dalam rumusan Pancasila dan UUD 45. Seharusnya, dari paradigma inilah sistem pendidikan Indonesia terumuskan.

Dengan merujuk kepada beberapa prinsip dasar takwa dan hakekat serta tujuan pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, maka takwa bukan saja hanya memiliki nilai implikatif kepada proses pendidikan, tetapi takwa harus menjadi paradigma pendidikan, baik dalam dasar-dasar filosofisnya, proses, maupun tujuannya. Oleh karena itu, ada beberapa prinsip takwa yang berimplikasi kepada pendidikan, diantaranya :

Pertama; Dasar takwa adalah Alqur’an yang berfungsi sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Rasulullah bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk itu, dengan menyucikan dan mengajarkan manusia. Menurut Qurais Shihab, menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika. Tujuan yang ingin dicapai adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yaitu beribadah.

Kedua; berkenaan dengan hakekat dan tujuan pendidikan, maka, pada dasarnya takwa merupakan hakekat dari tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu membina manusia sehingga mampu menjalankan fungsinya dalam membangun peradaban manusia. Di sini, takwa mendorong manusia untuk memperoleh ilmu sebagai modal dalam mengembangkan potensi dirinya dan bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dengan baik dan harmonis sesuai dengan kapasitas serta keahliannya.

Ketiga; oleh karena itu, nilai-nilai taqwa bukan saja sejalan dengan hakekat dan tujuan pendidikan, tetapi sekaligus juga takwa harus menjadi paradigma pendidikan. Paradigma ini adalah menyangkut dasar filosofi, arah, proses, dan tujuan pendidikan. Maka, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berparadigma takwa.

Keempat; sejalan dengan paradigma takwa itu, maka tujuan ideal pendidikan Islam adalah manusia sempurna (insan kamil), yaitu manusia yang memiliki keunggulan jasmani, akal, dan kalbu. Ketiga aspek potensi manusia ini tiada lain adalah manusia takwa, yang secara serasi dan seimbang mesti dikembangkan melalui pendidikan.

Ada beberapa langkah esensial yang harus terintegrasi dalam pendidikan untuk mencapai manusia yang beriman dan bertaqwa yaitu;[10][10]

  1. Mu’ahadah

Mu’ahadah bererti selalu mengingat perjanjian kepada Allah swt., bahawa dia akan selalu beribadah kepada Allah swt. Seperti merenungkan sekurang-kurangnya 17 kali dalam sehari semalam dia membaca ayat surat Al Fatihah : 5 Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan

Dalam perjanjian itu, manusia mengakui Allah pencipta sekalian manusia dan juga pentadbir mutlak alam semesta. Perjanjian itu kemudian dirakamkan Allah melalui firman-Nya yang bermaksud: Dan (ingatlah wahai Muhammad) ketika Tuhanmu mengeluarkan zuriat anak-anak Adam (turun temurun) dari (tulang) belakang manusia, dan Dia jadikan mereka saksi terhadap diri mereka sendiri (sambil Dia bertanya dengan firman-Nya): Bukankah Aku Tuhan kamu? Mereka semua menjawab: Benar, (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi. Yang demikian itu supaya kamu tidak berkata pada hari kiamat: Sesungguhnya kami lalai (tidak diberi peringatan) tentang (hakikat tauhid) ini. (Surah al-A’raf, ayat 172)

  1. Muraqabah

Muraqabah bererti merasakan kebersamaan dengan Allah swt. dengan selalu menyedari bahawa Allah swt. selalu bersama para makhluk-Nya dimana saja dan pada waktu apa sahaja. Terdapat beberapa jenis muraqabah, pertamanya muraqabah kepada Allah swt. dalam melaksanakan ketaatan dengan selalu ikhlas kepadaNya. Kedua muraqabah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan dan meninggalkannya secara total. Ketiga, muraqabah dalam hal-hal yang mubah adalah dengan menjaga adab-adab kepada Allah dan bersyukur atas segala nikmatNya. Keempat muraqabah dalam mushibah adalah dengan redha. atas ketentuan Allah serta memohon pertolonganNya dengan penuh kesabaran.

  1. Muhasabah
    Muhasabah sebagaimana yang ditegaskan dalam Al Quran surat Al Hasyr: 18,

Wahai orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah dan hendaklah merenungkan setiap diri, apalah yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan takwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui apa jua pun yang kamu kerjakan

Ini bermakna hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya tatkala selesai melakukan amal perbuatan, apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan redha. Allah? Atau apakah amalnya dicampuri sifat riya? Apakah ia sudah memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia?

Umar bin Khattab r.a. berkata, Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk pertunjukan yang agung (hari kiamat). Di hari itu kamu dihadapkan pada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang sedikitpun.

  1. Mu’aqabah

Mu’aqabah ialah memberikan hukuman atau denda terhadap diri apabila melakukan kesilapan ataupun kekurangan dalam amalan. Mu’aqabah ini lahir selepas Muslim melakukan ciri ketiga iaitu muhasabah. Hukuman ini bukan bermaksud deraan atau pukulan memudaratkan, sebaliknya bermaksud Muslim yang insaf dan bertaubat berusaha menghapuskan kesilapan lalu dengan melakukan amalan lebih utama meskipun dia berasa berat.dalam Islam, orang yang paling bijaksana ialah orang yang sentiasa bermuhasabah diri dan melaksanakan amalan soleh. Disebutkan, Umar bin Khattab pergi ke kebunnya. Ketika pulang didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan solat Asar berjamaah. Maka beliau berkata, Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah solat Asar. Kini kebunku aku kujadikan sedekah untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Abu Thalhah sedang sholat, di depannya lewat seekor burung lalu ia melihatnya dan lalai dari solatnya sehingga lupa sudah berapa rakaat beliau solat. Kerana kejadian tersebut beliau mensedekahkan kebunnya untuk kepentingan orang miskin sebagai denda terhadap dirinya atas kelalaian dan ketidakkhusyukannya.

  1. Mujahadah
    Makna mujahadah sebagaimana disebutkan dalam surat Al Ankabut ayat 69 adalah apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari sebelumnya. Dalam hal ini ia harus tegas, serius dan penuh semangat sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia baginya dan menjadi sikap yang melekat dalam dirinya.
  2. Peran NU dalam Pendidikan Nasional ke depan
  3. Orientasi Pendidikan NU

Konsep asli pendidikan NU itu adalah pesantren. Sedangkan pendidikan pesantren itu sendiri jika dicermati adalah sangat mengutamakan akhlak yang mulia. Hal itu bisa dilihat dari konsep-konsep ideal dan mewarnai pendidikan NU misalnya tawadhu’, tha’t, ridao, barakah, hurmah, dan semacamnya. Pendidikan NU oleh kyai, sebagai pemegang otoritas utama, diarahkan untuk mencapai tingkatan itu.

Pendidikan dikatakan berhasil, oleh kyai manakala berhasil melahirkan orang yang penuh tawadhu’, tha’at, hurmah, untuk selanjutnya agar yang bersangkutan mendapatkan ridha dan barakah. Pendidikan bagi kyai, bukan sebatas menstransfer ilmu pengetahuan, tetapi adalah proses mentransfer kepribadian. Pendidikan yang dipandang bisa menghasilkan pribadi-pribadi semacam itu, tidak lain adalah pesantren.

Oleh karena itu pendidikan di pesantren sesungguhnya sangat berbeda dengan pendidikan di sekolah umum. Pendidikan pesantren, para santri bertempat tinggal bersama kyai atau pengasuh sepanjang waktu. Di pesantren selalu dibangun masjid, rumah kyai, dan tempat tinggal para santri. Semua fasilitas dan pendekatan pendidikan yang diselenggarakan itu, disesuikan dengan tujuan pendidikan yang ingin diraih sebagaimana dikemukakan di muka.

Membandingkan pendidikan pesantren dengan pendidikan umum sesungguhnya kurang tepat. Berbeda dengan pesantren, pendidikan umum hanya sebatas mengembangkan ranah nalar, kecerdasan, dan ketrampilan. Sedangkan pendidikan pesantren lebih mengutamakan pada upaya membentuk pribadi luhur berdasar nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu, sesungguhnya kedua jenis pendidikan itu memang berbeda dari banyak aspeknya.

Akhir-akhir ini sebatas untuk memenuhi tuntutan lingkungan, maka tidak sedikit pesantren, atau lembaga pendidikan NU, membuka sekolah umum, baik berupa madrasah, sekolah, dan bahkan perguruan tinggi. Namun begitu, biasanya kyai tidak akan mengubah apalagi menghilangkan tradisi pesantrennya itu. Lembaga pendidikan modern yang dikembangkan di pesantren, sebatas sebagai upaya beradaptasi dengan perubahan zaman atau tuntutan masyarakat. Posisi lembaga pendidikan umum di pesantren, dimaksudkan untuk memperkukuh pendidikan pesantrennya. Artinya, sekalipun ada sekolah umum, tradisi pesantren berupa pengajaran kitab kuning melalui bandongan, wekton dan sorogan masih harus dipertahankan.

Persoalan penting yang sudah sekian lama dihadapi oleh pesantren adalah bahwa keberadaannya belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah, termasuk oleh Departemen Agama sendiri. Padahal pendidikan pesantren sudah lahir sebelum lembaga-lembaga pendidikan modern muncul. Lebih dari itu, pesantren dalam sejarahnya, telah memberikan andil besar pada perjuangan kemerdekaan negeri ini. Dan, dari pesantren pula telah lahir tokoh-tokoh Islam yang memiliki kapabilitas dan integritas yang tinggi terhadap bangsa ini.

Persoalan pengakuan terhadap pesantren, terutama pesantren salafiah dan diniyah, akhir-akhir ini semakin dirasakan mendesak untuk diselesaikan. Sebab tanpa pengakuan pemerintah, selain terasa adanya perlakuan diskriminatif, alumni pesantren tidak bisa mengakses peluang-peluang strategis di tengah masyarakat, baik terkait dengan lapangan kerja, studi lanjut, maupun juga peluang bagi alumninya masuk wilayah peran-peran politik yang mempersyaratkan ijazah formal. Pengakuan itu lambat diberikan karena terbentur oleh logika pendidikan yang agaknya berbeda antara pesantren dan pemerintah.

Kyai pesantren lebih mengedepankan hal yang bersifat substantive, sedangkan pemerintah menuntut persyaratan yang bersifat formal. Seorang pengasuh pesantren, asalkan oleh masyarakat dianggap alim, sekalipun tidak memiliki ijazah, akan didatangi para santri. Waktu, tempat dan sarana belajar tidak menjadi perhatian. Sedangkan pemerintah lebih mengutamakan persyaratan formal seperti ijazah guru, tempat belajar, waktu belajar, sarana belajar, kurikulum dan seterusnya. Bahkan akhir-akhir ini pemerintah melalui Badan Standar Pendidikan Nasional merumuskan berbagai standard pendidikan, yang harus dipenuhi. Bagi pesantren yang dipentingkan bukan standard itu, melainkan sederhana, ialah niat yang harus diluruskan. Sementara itu, niat bagi orang yang belajar di sekolah umum, rupanya tidak mendapatkan perhatian.

Umpama pemerintah dalam melihat pesantren tidak sebagaimana melihat sekolah umum pada umumnya, tetapi melihatnya sebagaimana apa adanya, yaitu pesantren ya pesantren, maka niat baik untuk mengakui pendidikan pesantren tidak ada sesuatu yang sulit. Hambatan itu terjadi, karena pemerintah ingin membuat standard, sementara pesantren karena merupakan pendidikan yang lebih bersifat personal, yaitu tergantung pada personal kyai atau pengasuhnya, maka akan sulit dilakukan. Mestinya, pesantren dilihat sebagaimana adanya. Pesantren memang berbeda dengan sekolah. Sehingga keberadaannya tidak perlu disamakan dengan sekolah, melainkan cukup diakui dan jika mungkin, karena sama-sama memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat, maka diberikan bantuan operasionalnya.

  1. Tiga Posisi Strategis Pendidikan NU

Dalam perkembangannya, NU telah menempatkan lembaga pendidikannya pada posisi strategis, yaitu sebagai lembaga pendidikan alternative, posisi yang bersifat partisipatif, dan posisi komplementer. Oleh karena itu, peran-peran NU dalam pendidikan sesungguhnya amat kaya dan strategis. Hanya saja, peran itu secara kualitatif belum banyak yang menonjol, lantaran berbagai macam kendala, baik internal maupun eksternal, yang semua itu harus dihadapi.
Peran pendidikan NU yang bersifat alternative adalah pendidikan pesantren sebagaimana dikemukakan di muka. Pendidikan pesantren yang dirintis, dikelola, dan dikembangkan secara individual oleh para ulama dan tokoh NU selama ini sudah memberikan sumbangan besar pada masyaratat, pemerintah, dan bangsa Indonesia ini.

Sekalipun para kyai atau ulama tatkala mendirikan pesantren tidak menamakan sebagai milik NU, tetapi mereka memiliki ikatan batin yang kuat pada organisasi NU. Tanpa didaftar sebagai milik NU, pesantren selalu dikatakan milik organisasi keagamaan terbesar ini. NU sekalipun secara organisatoris juga tidak ikut mengurus secara langsung, tetapi karena para pendiri dan pengelola yang sesungguhnya adalah orang NU, maka pesantren tersebut dianggap milik NU.
Posisi seperti itu, menjadikan pesantren tidak merepotkan organisasi besar NU.

Organisasi NU justru merasa sulit tatkala harus mengkoordinasikannya. Sehingga seringkali pesantren diumpamakan sebagai kerajaan kecil, masing-masing memiliki otonomi dan kewenangannya sendiri-sendiri. NU merasa memilikinya, tetapi sesungguhnya juga tidak berkewenangan apa-apa untuk mengaturnya. Hubungan pesantren dengan NU sebatas pada ikatan emosional atau state of mind, yaitu di antara banyak kyai atau ulama’pemilik pesantren memiliki ikatan ideologis yang sangat kuat, sekalipun tidak terjalin dalam ikatan struktur organisasi formal.

Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa antara pesantren dengan NU tidak ada hubungan. Hubungan itu sangat kokoh. Misalnya, NU akan menyelenggarakan kegiatan, baik pada tingkat lokal, regional, dan bahkan nasional, maka pesantren akan mendukung sepenuhnya. Jika NU mengundang pesantren untuk membahas hal terkait dengan keagamaan atau lainnya, maka para kyai dan pengasuh pesantren akan hadir. Akan tetapi, sekali lagi, ikatan secara organisatoris tidak sekokoh ikatan ideologisnya.

Otoritas kyai atau pengasuh pesantren seperti itu, di antaranya menjadikan sebab pemerintah mengalami kesulitan dalam memberikan pengakuan terhadap pesantren, terutama bagi pesantren salafiah dan diniyahnya. Pesantren berharap diakui oleh pemerintah, tetapi karena otoritas yang dimiliki sedemikian kuat, maka tidak mudah diselesaikan. Namun, apapun keadaannya, pesantren sesungguhnya telah menjadi alternative dan sekaligus memperkaya khazanah pendidikan di negeri ini.

Peran NU lainnya dalam pengembangan pendidikan adalah bersifat partisipatif. Peran ini dirupakan dengan mendirikan sekolah-sekolah formal, seperti madrasah, sekolah, dan bahkan sekolah umum hingga sampai universitas. Dengan peran ini, maka di mana-mana ada madrasah atau sekolah, dan universitas dengan menggunakan nama atau setidak-tidaknya lambang-lambang NU.

Lagi-lagi lembaga pendidikan seperti inipun seringkali pada awalnya juga didirikan secara perseorangan, baik yang ada di lingkungan pesantren maupun lainnya. Namun karena para pendiri itu secara idiologis memiliki ikatan dengan NU, maka kemudian lembaga pendidikan yang didirikan itu menggunakan simbol-simbol NU. Kenyataan seperti itu menjadikan pertumbuhannya, terutama dari aspek kuantitatif sangat cepat. Lembaga pendidikan NU menjadi ada di mana-mana, sampai-sampai jumlahnya kadang sulit dihitung secara pasti.

Persoalan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan NU seperti ini, adalah terkait dengan keterbatasan penyediaan fasilitas dan dukungan dana. Biasanya biaya untuk mengembangkan lembaga pendidikan tersebut dicukupi secara mandiri. Lembaga pendidikan NU yang didirikan oleh orang-orang NU tetap memliki loyalitas yang sedemikian kuat terhadap organisasinya. Mereka bersemangat untuk berjuang dan sekaligus berkorban. Tidak jarang orang NU tatkala mendirikan lembaga pendidikan, memanfaatkan harta kekayaan pribadinya. Orang-orang NU tidak pernah mendapatkan sesuatu dari organisasinya, melainkan sebaliknya, justru memberikan sesuatu untuk organisasinya.

Pemerintah tatkala menghadapi kesulitan memberantas korupsi seperti sekarang ini, mestinya bisa belajar banyak dari sikap mental yang berkembang di organisasi sosial keagamaan seperti NU ini. Di organisasi ini, sekalipun tidak ada pengawasan ketat dan juga ancaman risiko pelaku pelanggaran, ternyata tidak terdengar berita-berita penyimpangan yang dilakukan oleh para pemimpin organisasinya, termasuk di lembaga pendidikannya. Mereka dengan sukarela membesarkan organisasinya dengan kekuatan idiologis yang melahirkan kecintaan dan loyalitas itu. Bangsa ini sesungguhnya juga memiliki idiologi yang semestinya juga bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Selanjutnya, posisi strategis lembaga pendidikan NU lainnya adalah sebagai komplementer. Jenis pendidikan yang dimaksudkan ini berupa pesantren, ma’had, atau diniyah yang menyatu dengan sekolah formal, termasuk lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Posisi strategis ini belum banyak dikembangkan, tetapi akhir-akhir ini sudah mulai. Adanya lembaga pendidikan diniyah di berbagai sekolah umum seperti di SD, SMP, dan SMA, SMK dan juga ma’had ‘aly di kampus-kampus kiranya sangat strategis untuk dijadikan basis pengembangan ideologi atau dakwah NU.

Saya membayangkan, apabila orang-orang NU, atau mungkin juga diprakarsai secara organisasi, merintis kerjasama dengan sekolah-sekolah di berbagai jenjang pendidikan, mendirikan diniyah di sore hari, maka tanpa menambah jam pelajaran agama, maka NU dapat memanfaatkan peluang yang sangat terbuka ini untuk melengkapi pendidikan umum yang diselenggarakan oleh masing-masing sekolah itu.

Pada saat ini rupanya sedang mulai muncul di berbagai tempat, semangat melengkapi pendidikan formal dengan apa yang disebut dengan ma’had ini. Madrasah dan juga sekolah yang mengembangkan pendidikan dengan istilah boarding school tersebut, pada hakikatnya adalah bentuk lain dari pesantren. NU perlu mengambil langkah-langkah strategis, memanfaatkan fenomena bermunculannya konsep boarding school atau ma’had madrasah atau ma’had kampus ini.

Dalam mengelola boarding school, kiranya orang-orang NU memiliki pengalaman yang cukup banyak, apalagi bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren. Namun terlepas dari itu semua, sesungguhnya dengan lahirnya ma’had madrasah, sekolah, atau juga di perguruan tinggi, semisal di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, adalah kemenangan ideologi pesantren. Oleh karena itu jika orang-orang NU tidak segera merespon, maka momentum strategis itu akan hilang percuma dan bisa jadi akan dimanfaatkan bagi pihak-pihak lain. NU dalam sejarahnya, dalam pengembangan pendidikan selalu berada di posisi depan. Sehingga semestinya, tradisi itu tidak boleh dilewatkan begitu saja.

Peran dan Langkah Strategis Yang Perlu Dikembangkan
Idealnya seluruh lembaga pendidikan yang dimiliki oleh NU terkoordinasi secara rapi dan jelas. Akan tetapi, karena lembaga pendidikan tersebut tumnbuh dari bawah, yaitu didirikan, dikembangkan, dan dikelola oleh orang-orang NU secara personal, atau kelompok orang-orang NU, maka keinginan menyatukan dan mengkoordinasi, ternyata tidak mudah dilakukan, kalau tidak dikatakan mustahil dicapai. Oleh karena itu niat mengkoordinasi, baik dari aspek administrasi maupun manajemennya, untuk sementara waktu, menurut hemat saya, tidak perlu dipaksakan. Ikatan lembaga pendidikan NU baik secara regional maupun nasional cukup dikembangkan pada tataran idiologis atau state of mind saja.

Pengurus NU yang membidangi pendidikan dalam hal ini adalah Ma’rif, menurut hemat saya bisa mengambil peran strategis lainnya yang diperlukan seperti misalnya, menjadi mediator, koordinator, dan juga peran-peran advokatif tatkala menghadapi pemerintah, maupun lembaga-lembaga lain yang diperlukan. Ma’arif bisa mengambil peran memperkukuh, sebagai sumber informasi, maupun ide-ide inovatif lainnya. Terkait hubungannya dengan pemerintah misalnya, Ma’rif bisa melakukan mediasi dan advokasi terhadap lembaga pendidikan di bawah organisasi NU.

Peran tersebut mungkin dianggap kecil, tetapi sesungguhnya sangat diperlukan oleh lembaga pendidikan NU. Tatkala muncul inovasi pengembangan perguruan tinggi umum berupa rusunawa (rumah susun sederhana untuk mahasiswa), maka Ma’arif mestinya bisa menjadi mediator dan bahkan juga menawarkan konsep-konsep pengembangannya. Tampaknya hingga sekarang rusunawa baru difungsikan sebagai tempat tinggal mahasiswa. Maka NU dengan potensi pikiran cerdas dan pengalamannya, bisa menawarkan konsep pemanfaatan fasilitas tersebut. NU dengan pendidikan pesantrennya sangat kaya pengalaman dalam mengelola rusunawa yang selanjutnya difungsikan sebagai ma’had.

Selain itu, pengembangan lembaga pendidikan, selalu memerlukan peran-peran publikatif dan pencitraan. NU selama ini sudah dipercaya secara meluas di berbagai kalangan. NU dijadikan referensi dalam berbagai kegiatan keagamaan. Siapapun, baik lembaga pemerintah maupun swasta, telah mempercayai orang-orang NU melakukan kepemimpinan dalam kehidupan keagamaan. Peran itu sekiranya diperluas, untuk membangun citra positif dan juga publikasi terhadap lembaga pendidikan di lingkungan NU akan luar biasa.

Namun setahu saya, peran-peran strategis itu belum banyak dimainkan. Bahkan entah disengaja atau tidak, saya sering mendengar adanya tokoh NU justru menerangkan bahwa lembaga pendidikan NU masih mengalami ketertinggalan. Apa yang dijelaskan oleh tokoh NU itu juga ditunjukkan dengan mengirim anak atau keluarganya ke sekolah-sekolah yang bukan beridentitas NU. Akhirnya, warga NU percaya bahwa lembaga pendidikan NU nyata-nyata tidak maju, sehingga mereka yang mengirim anak atau keluarganya ke lembaga pendidikan NU adalah mereka yang dalam keadaan atau posisi darurat. Terpaksa menyekolahkan ke sekolah NU karena murah atau susah diterima oleh lembaga pendidikan lainnya.

Mungkin tokoh NU yang melakukan seperti itu ingin menghargai orang lain di atas miliknya sendiri, tetapi dalam alam kompetitif seperti ini, tidak akan menguntungkan. Tokoh NU harus ikut mempublikasikan dan meyakinkan bahwa lembaga pendidikan yang beridentitas NU, di bawah Ma’arif, bukan sebatas sebagai pelengkap, tetapi memiliki kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki oleh jenis lembaga pendidikan lainnya. Kelebihan itu misalnya, bahwa lembaga pendidikan NU memberikan kekuatan lebih, misalnya dalam membangun watak atau akhlak, spiritual, disamping memberikan bekal ilmu dan ketrampilan sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya. Setidak-tidaknya saya mengajak agar kita semua bangga dengan lembaga pendidikan NU, dan mendukung dengan cara apa saja yang bisa dilakukan.

Jika warga NU yang jumlahnya sedemikian besar serta memiliki potensi yang sedemikian banyak, berhasil digerakkan untuk membesarkan lembaga pendidikannya, maka ber NU akan menjadi lebih bangga dan keberadaannya bukan hanya sebatas alasan meneruskan tradisi yang telah diwariskan oleh leluhurnya. NU memang menjadi tempat bagi orang-orang yang ingin mewarisi ajaran Rasulullah, para sahabat, dan para ulama yang hidup sambung-menyambung dari generasi ke generasi. Semua itu memerlukan instrumen yang disebut lembaga pendidikannya. Dengan cara pandang seperti itu, merintis, mengelola dan mengembangkan pendidikan telah didasari oleh ideologi yang kokoh dan kuat, sehingga mendirikan lembaga pendidikan bukan sebatas meniru, karena orang lainb melakukannya. Pendidikan NU akhirnya berhasil menjadi pilihan utama bagi orang-orang NU sendiri, dan syukur juga bagi orang yang lain karena kelebihannya itu