PENGANTAR STUDI SEKTE WAHHABIYYAH

PENGANTAR STUDI SEKTE WAHHABIYYAH

GUS ANAMPengantar Studi Sekte Wahhabiyyah

Sebuah Catatan Kritis Epistemologis dari Pesantren

Oleh: KH. Zuhrul Anam Hisyam

 

“إنى أدعوكم إلى التوحيد وترك الشرك بالله وجميع ما تحت السبع الطباق مشرك على الإطلاق، ومن قتل مشركا فله الجنة”. (محمد بن عبد الوهاب)

 

Mukaddimah

Tak dapat dipungkiri, umat Islam kini berada dalam satu masa yang lazim disebut sebagai era globalisasi (‘ashr al-‘awlamah). Merujuk kepada namanya, masa ini bermakna satu periode dimana hubungan antar manusia, entah kebudayaan, ekonomi atau sosial politik, di dunia demikian erat. Periode ini juga ditandai dengan ketergantungan yang kian menguat antara satu negara dengan negara-negara lain. Praktis, boleh dikatakan, tidak ada negara yang benar-benar “mandiri” –tidak butuh bantuan negara lain. Interaksi antar manusia menjadi demikian cair, rapat dan dekat meski berbeda negara atau bahkan benua. Singkatnya, kita, umat Islam, tengah hidup di alam tanpa batas.

Di balik itu, zaman globalisasi juga sesungguhnya menyajikan fenomena (dhahirat) lain yang memilukan. Sejatinya era ini adalah era dimana peradaban (hadharat) yang kuat mendikte dan mendominasi yang lemah melalui penguasaan teknologi, media-informasi dan sosial ekonomi. Kita bisa dengan jelas melihat dan menyaksikan, bagaimana negara-negara berkembang yang kebanyakan negara Muslim, terpaksa dengan atau tanpa sadar mengikuti peradaban dan kebudayaan (thaqafah) yang tengah mendominasi (baca: Barat). Orang Muslim dengan “ikhlas” mengikuti gaya hidup, cara berpikir dan falsafah hidup Barat yang diterima melalui televisi, media massa ataupun yang dititipkan lewat bantuan-bantuan ekonomi. Dampaknya nyata! Sistem ekonomi negara menjadi berbasis kapitalisme, cara berpikir mengimani liberalisme dan gaya hidup menjelma hedonisme dan konsumerisme. Di kampung, celana jeans dan rok ketat menggantikan sarung dan kerudung!

Pemaparan di atas hendak menggambarkan, di era globalisasi, ideologi apapun dan dari manapun sangat mudah berpindah dan berkeliaran. Dalam konteks keindonesiaan, dimana Indonesia hanya menjadi “penggembira” di era globalisasi, kita mendapati Indonesia tak ubahnya seperti pasar raya bagi banyak aliran dan ideologi liyan (akhar). Ada liberalisme, sekulerisme, fundamentalisme, kapitalisme di satu sisi. Sedang disisi lain, kita disuguhi salafisme (salafiyyah), Ahmadiyyah, dan Syi’ah. Ini sesuai benar dengan gambaran Ibn Khaldun, “peradaban yang inferior hanya akan cenderung mengekor kepada peradaban yang dominan” (المغلوب مولع دائما بالإقتداء بالغالب).[2]

Salah satu ideologi dan aliran yang berasal dari luar Indonesia dan eksisitensinya kerap menjadi perbincangan banyak kalangan adalah kelompok Wahhabiyyah. Ada banyak silang-sengketa dalam menilai dan menyikapi aliran ini: ada yang anti pati dan tak sedikit yang membelanya hingga mati. Berangkat dari fenomena inilah, kiranya dirasa perlu adanya sebuah kajian atau telaah yang menyoroti sepak terjang sekte Wahhabiyyah ini secara komprehensif demi mendapatkan sebuah hasil yang obyektif. Dalam rangka mengetengahkan pandangan dunia pesantren salaf (tradisional) yang kerap bertabrakan dan atau bersinggungan dengan kelompok tersebut, makalah ini hadir dengan menitikberatkan kepada sejarah kemunculan Wahhabiyyah, doktrin dan ajarannya, juga menyinggung beberapa tokoh pentingWahhabiyyah sehingga dapat melakukan analisis kritis-obyektif (dirasat naqdiyyah mawdu’iyyah) atas Wahhabiyyah.

Telaah Historis Sekte Wahhabiyyah

Sebelum membincang sejarah kemunculan Wahhabiyyah, adalah sebuah keharusan untuk mengetahui apa atau siapa yang dimaksud dengan Wahhabiyyah? Menurut Hasan ibn ‘Ali al-Saqqaf, seorang murid Dr Sa’id Ramadhan al-Buthi dan ulama hadith kenamaan, Syaikh ‘Abdullah ibn al-Siddiq al-Ghumari, Wahhabiyyah (dan Salafiyyah) adalah para pengikut mazhab Hanbali yang meyakini konsep tajsim (antropomorfisme) dan tidak melakukan penghormatan yang selayaknya kepada Ahl al-Bayt. Meskipun mereka mendaku sebagai pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal, namun dalam pelbagai permasalahan (qadhaya), mereka jauh bertolak belakang dengan sang patron.[3]

Menelisik ta’rif (definisi) tersebut, Hasan ibn ‘Ali al-Saqqaf cenderung menyamakan antara gerakan Salafiyyah (salafisme) dengan Wahhabiyyah (Wahhabisme). Dengan tegas ia menjelaskan bahwa tiada perbedaan yang esensial di antara keduanya, terlebih kedua gerakan ini mempunyai worldview (filosofi) yang identik seperti al-tashbih wa al-tajsim. Singkatnya, penamaan Wahhabiyyah merujuk kepada konteks Arab Saudi, adapun namaSalafiyyah berlaku dalam konteks global atau umum.

Jika dicermati, ta’rif di atas sesungguhnya problematis (ishkal) sebab dalam kajian ilmu mantik, definisi yang ditawarkan Hasan ibn ‘Ali al-Saqqaf tidaklah jami’an dan mani’anpada saat yang bersamaan. Tidak meliputi (jami’an), karena pengertian tersebut gagal memasukkan generasi baru gerakan Salafiyyah di pelbagai belahan dunia seperti Yaman dan Indonesia yang bukan berlatar belakang mazhab Hanbali.[4] Juga tidak mengeksklusi (mani’an) beberapa ormas di Indonesia yang kini sudah banyak bermetamorfosa dan mengalami keterputusan epistemologis.

Menariknya, penggunaan nomenklatur “salafiyyah” sebagai sebuah nama gerakan justru mendapat tentangan dari Dr Sa’id Ramadhan al-Buthi yang notabene merupakan salah satu guru Hasan ibn ‘Ali al-Saqqaf. Bagi Syaikh al-Buthi, istilah “salafiyyah” tidak tepat digunakan sebagai nama gerakan, jamaah atau mazhab. Bahkan dengan tegas beliau menyebut pemakaian  istilah “salafiyyah” tak lain merupakan bentuk bid’ah baru yang tidak ditemukan presedennya di masa ulama salaf (klasik). Lebih lanjut, beliau menambahkan, bahwa menjadi pengikut generasi salaf tidaklah harus dengan menjadi anggota aliranSalafiyyah, apalagi hanya mencukupkan diri dengan berpegangan secara kaku dan literalistik (harfiyyah) terhadap produk-produk ijtihad mereka yang partikular (juz’iyyah). Yang dianjurkan adalah merujuk kepada kaidah penafsiran dan metode istinbath al-ahkam yang mereka pedomani.[5] Adalah naif, jika kelompok yang acap menuduh dan mengecam umat Islam lain sebagai pelaku bid’ah, namun tanpa disadarinya kelompok tersebut juga melakukan bid’ah.

Penjelasan yang relatif berbeda tentang apa itu Wahhabiyyah datang dari Dr Muhammad ‘Imarah, salah seorang pemikir Muslim penting dari Mesir yang tergabung dalamMajma’ al-Buhuth al-Islamiyyah (Lembaga Riset Keislaman) dibawah naungan Universitas al-Azhar. Menurutnya, Wahhabiyyah adalah julukan yang disematkan kepada para pengikut dan simpatisan ajaran dan dakwah yang digagas oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab.[6]

Penegasan yang serupa dikemukakan oleh sejarawan berkebangsaan Mesir, Ahmad Amin. Dalam analisisnya, Wahhabiyyah merupakan nama yang diberikan oleh para penentang kepada para pendukung dan pengagum ajaran Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab yang kemudian dimasyhurkan oleh banyak kalangan Barat. Adapun para pengikut ajaran Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab lebih nyaman menyebut diri mereka sendiri sebagai al-Muwahhidun.[7] Dari nama al-Muwahhidun ini, bisa kita analisis jika konsern (ihtimam) dan fokus ajaran Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab adalah bidang tauhid (teologi). Dalam dakwahnya, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab hendak melakukan pemurnian akidah yang diyakininya sudah banyak mengalami penyimpangan dan membawanya kembali sesuai dengan ajaran para ulama terdahulu (salaf al-salihin).

Dari elaborasi tentang definisi Wahhabiyyah di atas dapat disimpulkan jikaWahhabiyyah adalah aliran baru dalam Islam yang memedomani ajaran dan konsep dakwah Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dalam upayanya mengembalikan umat Islam kepada tauhid atau akidah yang murni dan tidak terkooptasi oleh aneka macam bid’ah yang dapat menjerumuskan umat Islam kepada kekufuran. Lantas bagaimana kaitan Salafiyyah denganWahhabiyyah? Penulis berpendapat relasi (‘alaqah) di antara keduanya adalah apa yang lazim dibahasakan dalam dunia pesantren sebagai (عموم وخصوص مطلق) sebagaimana hubungannya kata al-lafdzu dengan al-kalam.

Dengan menyimak beberapa literatur, kita bisa mengetahui jika para sarjana berasumsi bahwa Wahhabiyyah mulai muncul dan eksis pada pertengahan abad 18 M atau 12 H di kawasan Najd, Arab Saudi. Asumsi ini dapat diterima mengingat Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab yang ditahbiskan sebagai pendiri kelompok Wahhabiyyah juga lahir pada kurun waktu tersebut. Pada masa dimana Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab lahir, sebagian kawasan Arab tengah mengalami kemunduran dalam pelbagai aspek kehidupan. Pertama, dalam aspek keagamaan, sebagian kawasan Arab berhiaskan fenomena taklid buta, kejumudan dan kemunduran serta perilaku-perilaku dan ritual yang mengeruhkan ajaran tauhid. Dalam kajian fikih, tradisi berijtihad tergerus oleh ketundukan buta dan pengkultusan terhadap ulama. Sedang aspek ubudiyyah, seperti kian melenceng dari tuntunan al-Qur’an dan Sunnah.

Kedua, dalam aspek sosial-politik,[8] dinasti Uthmaniyyah, sebagai representasi dunia Islam mulai kehilangan pengaruhnya dalam percaturan global serta kian mengendornya kontrol sebab dihimpit tekanan kolonialisme Barat yang kembali menguat sebelum akhirnya benar-benar runtuh pada abad 19 M. Detik-detik keruntuhan khilafah Uthmaniyah juga menandai lepasnya Palestina kedalam kekuasaan Inggris dan selanjutnya menjadi titik awal bagi kelahiran negara Israel.[9]

Karena membicarakan aspek kesejarahan sekte Wahhabiyyah berkelindan dengan perjalanan hidup figur terkenal bernama Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, maka sudah sewajarnya bagian ini menyorot secara khusus sejarah hidup Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Terlebih, dari namanya ini lah, sekte atau gerakan Wahhabiyyah memperoleh label atau nama. Dan tentu saja, dengan mengetahui sedikit banyak biografi (sirah dzatiyah) Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, kita dapat memperoleh informasi yang lebih terang benderang dan mampu menghindarkan dari penilaian yang tidak adil.

Figur Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, menurut versi yang lemah, lahir pada tahun 1111 H.,[10] atau tahun 1115 H (1702 M.)[11] dalam catatan lain yang kuat dan meninggal pada tahun 1206 H. (1792 M.). Jika demikian, masa hidup Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab berada dalam masa Khilafah Uthmaniyyah, yaitu di bawah kepemimpinan Sultan Salim III (1204-1222 H.). Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab ibn Sulayman al-Tamimiy al-Najdiy. Dia lahir besar di desa al-‘Uyaynah,[12] 50 kilometer dari kota al-Riyadh, terletak di kawasan Najd, dan masuk di bawah bawah distrik al-Dir’iyyah. Al-‘Uyaynah sendiri adalah daerah asal Musaylamah al-Kadzdzab, orang yang mendaku sebagai nabi palsu. Masa pendidikan awalnya berada dalam bimbingan ayah yang menjadi hakim (qadhi) al-‘Uyaynah dan keluarga besarnya sebelum akhirnya memutuskan untuk menimba ilmu keluar. Dalam catatan al-Zirkili, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab disebut melakukan rihlah ilmiah menuju al-Hijaz, Madinah, Basrah, Baghdad, Hamdan, Isfihan dan Sham sebelum akhirnya kembali ke tanah kelahirannya.[13] Satu versi lain menyebutkan hingga ke Mesir dan India, meski agaknya ini hanyalah kleim semata.

Sejak kecil, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab yang terkenal cerdas dan hapal al-Qur’an dididik oleh kalangan ulama bermazhab Hanbali dalam mempelajari ilmu-ilmu keislaman.[14] Ini mengapa, kelak di kemudian hari, selain kagum kepada Imam Ahmad ibn Hanbal, ia juga banyak mengidolakan dan terpengaruh oleh ulama besar mazhab Hanbali seperti Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim al-Jawzi. Dia juga mulai mengenal dan mempelajari tasawuf dan filsafat ketika belajar di Isfihan (masuk daerah Iran sekarang). Di samping itu, satu sumber menyebutkan jika Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab mempunyai kegemaran mengkaji sejarah hidup orang-orang yang mengaku sebagai nabi palsu seperti Musaylamah al-Kadzdzab, al-Aswad al-‘Unsi atau Thulayhah al-Asadi.[15] Sayangnya, tidak disebutkan secara pasti apa motifnya dalam mempelajari kehidupan nama-nama tersebut. Akibatnya, fakta ini kerap dipakai untuk melakukan justifikasi dalam melakukan stigmatisasi  terhadap Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab.

Guru dan kawannya memang mengakui kecerdasan dan penalarannya, namun beberapa guru dan keluarganya mempunyai firasat bahwa di balik kecerdasannya kelak akan timbul masalah tersendiri. Adalah Syaikh Ahmad ibn Zaini Dahlan,[16] seorang mufti Makkah pada jamannya, yang memberikan informasi ini. Menurutnya,

“وكان أبوه وأخوه ومشايخه يتفرسون فيه أنه سيكون منه زيغ وضلال لما يشاهدونه من أقواله وأفعاله ونزعاته فى كثير من المسائل، وكانوا يوبخونه ويحذرون الناس منه فحقق الله فراستهم فيه لما ابتدع ما ابتدعه من الزيغ والضلال الذى أغوى به الجاهلين وخالف فيه أئمة الدين وتوصل بذلك إلى تكفير المؤمنين…”.[17]

Selepas melakukan pengembaraan intelektual, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab kembali ke kampung halamannya. Pengalaman “mengaji” ke luar al-‘Uyaynah sepertinya menyadarkan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab bahwa umat Islam sudah jauh menyimpang dari ajaran Islam yang murni (al-Qur’an dan Sunnah) dengan melakukan kemunkaran dan heresi (bid’ah) yang berujung pada kesyirikan. Umat Islam, dalam pengamatannya, tengah melakukan kesalahan yang membahayakan akidah mereka dengan melakukan penghormatan yang berlebihan kepada para ulama yang saleh, menganggap sakral (wingit) dan keramat bebatuan dan pepohonan serta melakukan ritual ibadah di makam-makam.[18] Kesalahan ini, dalam pandangan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, kian diperparah dengan menjamurnya tradisi sufisme (tasawuf) di tengah umat Islam.[19]

Bertolak dari fenomena miris inilah, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab berkeyakinan perlu adanya perubahan (taghyir), perbaikan (islah) atau pembaharuan (tajdid) demi mengembalikan umat Islam kepada akidah yang benar dan murni. Ini mengapa, banyak para sarjana seperti Ahmad Amin berpendapat bahwa Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab adalah seorang mujaddid atau min du’at al-islah. Hal tersebut didasarkan pada motif asasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dalam memulai dakwahnya yaitu menghilangkan anasir-anasir syirik dalam peribadatan umat Islam saat itu. Di lain pihak, kalangan yang melihat dampak buruk dari dakwah ini menganggap Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab bukanlah seorang pembaharu (mujaddid).

Dengan merujuk kepada tesis Dr Muhammad Kamil Dhahir, gerakan dakwah Wahhabiyyah dapat dibagi menjadi dua tahapan: pertama, tahapan atau fase keagamaan (al-marhalah al-diniyyah) dan kedua,  fase politis (al-marhalah al-siyasiyah). Di fase pertama, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, selepas kepulangannya dari menuntut ilmu, memutuskan kembali dan tinggal bersama ayahnya di Huraymla. Di kota ini, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab mendirikan majelis pengajian dan keilmuan (halaqah) sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan ajaran dan dakwahnya, terutama menjelaskan tentang kesalahan para orang muslim dalam beribadah. Sekalipun pada mulanya kiprah sosial kemasyarakatannya mendapat restu dari sang ayah, namun sang ayah memutuskan untuk tetap bersikap moderat (tawassuth) dan tidak mengambil jalan yang frontal. Ini yang membedakan dengan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab yang tetap mengambil sikap tanpa tedeng aling-aling dengan menyebut mereka yang melakukan bid’ah sebagai orang kafir dan musyrik. Akibatnya, masyarakat umum mengucilkannya dan menjadikannya berpindah ke al-‘Uyaynah. Di sana, dia mendapat perlakuan baik dari ‘Uthman ibn Mu’ammar -pemimpin al-‘Uyaynah.

Selepas ayahnya mangkat, pada tahun 1157 H., di al-‘Uyaynah, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab mengumandangkan ajaran dan dakwahnya terang-terangan. Tak memerlukan waktu lama, dengan berbekal kecerdasannya, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab berhasil merekrut banyak pengikut setia di kota al-‘Uyaynah. Merekalah yang menjadi generasi awal kelompok Wahhabiyyah. Sikap tanpa kompromi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab mulai terlihat jelas ketika dia mulai berani merubuhkan bangunan kubah makam Zayd ibn al-Khaththab dan menebang habis pepohonan yang dikeramatkan. Inilah yang memicu konflik antara pengikut gerakan Wahhabiyyah dengan masyarakat luas yang tak sependapat dengan cara dakwah Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Kalau saja tidak ada perlindungan dari ‘Uthman ibn Mu’ammar, jalan cerita mungkin akan berkata lain. Atas akses dan kemudahan yang didapat dari kedekatannya dengan ‘Uthman ibn Mu’ammar, dakwah Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab mulai berkembang pesat. Perkembangan ini diikuti dengan perobohan bangunan atau tempat yang dikeramatkan.[20] Aksi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya memancing reaksi dan balasan dari masyarakat luas. Dari sinilah, jalan berliku Wahhabiyyahmulai memunculkan cerita kekerasan bahkan peperangan yang ironisnya terjadi antara sesama umat Islam. Ini mengapa, banyak ulama menganggap kemunculan Wahhabiyyah tak lebih sebagai salah satu dari dua fitnah pada abad tersebut. Fitnah yang lain adalah penjajahan Mesir oleh Perancis yang hampir berbarengan dengan keruntuhan Khilafah Uthmaniyyah.

Hingga di masa ini, Wahhabiyyah masihlah menjadi aliran keagamaan murni tanpa bersentuhan secara resmi dengan dinamika politik kekuasaan. Ia hanya berkembang melaluihalaqahhalaqah keilmuan.

Selain kota al-‘Uyaynah yang menjadi basis penting bagi perkembanganWahhabiyyah, al-Dir’iyyah juga menjadi bagian fundamental bagi mengguritanyaWahhabiyyah. Al-Dir’iyyah adalah kota yang menjadi saksi bagi permulaan fase politis bagi aktivitas Wahhabiyyah. Di kota ini, pada tahun 1157 H., terjadi kesepakatan antara Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dengan Muhammad ibn Sa’ud, pemimpin al-Dir’iyyah saat itu, yang didampingi oleh saudara dan anak kandungnya, ‘Abd al-‘Aziz. Menyusul adanya kesepakatan ini, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab memegang posisi keagamaan, sedangkan Muhammad ibn Sa’ud berhak mengendalikan politik kekuasaan.

Efek dari kesepahaman antara dua tokoh tersebut memberikan keuntungan kepada masing-masing pihak. Dalam aspek religius, kota al-Dir’iyyah menjadi pusat gerakanWahhabiyyah dimana otoritas tertinggi dipegang oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, sedangkan Muhammad ibn Sa’ud berhasil mendirikan cikal bakal negara Arab Saudi modern.[21] Apalagi ekspansi wilayah dan daerah kekuasaannya banyak terbantu oleh doktrin dan ajaran Wahhabiyyah yang menempatkan perang melawan umat Islam yang tak sepaham dengan Wahhabiyyah sebagai “jihad”. Sejak adanya “perkawinan” antara Wahhabiyyah dengan politik kekuasaan, Wahhabiyyah kian berkembang pesat hingga mencapai belahan dunia lain. Penyebaran dakwah yang yang ironisnya tidak sepi dari jerit konflik dan anyir darah yang tumpah.[22]

Dalam fase politis ini, Wahhabiyyah tidak hanya menjalin kedekatan dengan klan Muhammad ibn Sa’ud. Namun yang mengejutkan, gerakan Wahhabiyyah juga merajut hubungan istimewa dengan kerajaan Inggris dalam peperangan merebut Baghdad. Selain membantu urusan logistik perang, pihak Inggris juga menjadi juru penengah.[23] Tak heran, jika sebagian kalangan beranggapan bahwa gerakan Wahhabiyyah tak bisa diidentifikasi sebagai gerakan umat Islam murni, melainkan ada campur tangan asing.

Sangat mungkin, resistensi atau penolakan banyak masyarakat terhadapWahhabiyyah yang kerap terjadi, selain ketidakcocokan terhadap konsep ajaran dan dakwahWahhabiyyah, juga karena trauma terhadap cerita kelam nan suram di masa silam yang bertaburkan nuansa kekerasan. Cerita ketidakcocokan bukan hanya datang dari masyarakat, melainkan juga pernah datang dari ayah kandung sekaligus gurunya, juga dari orang yang pernah memberikan penghormatan yang mendalam kepada Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, ‘Uthman ibn Mu’ammar. Agaknya, kegemaran Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dalam memberikan label “bodoh, syirik dan bid’ah”, alih-alih menyadarkan masyarakat malah menimbulkan perasaan tersakiti.[24]

Mengkaji Doktrin Kelompok Wahhabiyyah

“ ولا نكفر مسلما بذنب من الذنوب وإن كانت كبيرة إذا لم يستحلها ولا نزيل عنه اسم الإيمان ونسميه مؤمنا حقيقة ويجوز ان يكون مؤمنا فاسقا غير كافر” (الإمام أبو حنيفة فى الفقه الأكبر)

Menyimak pemaparan di atas, diketahui bahwa ruang garap dakwah Wahhabiyyah adalah wilayah tauhid. Adanya keterpengaruhan yang kuat dengan Ibn Taymiyyah menjadikan konsep tauhid aliran Wahhabiyyah mempunyai kemiripan yang sangat kuat dengan konsep tauhid Ibn Taymiyyah. Dalam menjelaskan konsep tauhidnya, Ibn Taymiyyah membagi tauhid menjadi 4 bagian: 1) tawhid al-rububiyyah; 2) tawhid al-uluhiyyah; 3) tawhid al-‘ibadah; 4) tawhid fi al-asma wa al-sifat.[25] Oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, konsep ini disederhanakan menjadi 3 macam, yaitu: a) tawhid al-rububiyyah; b) tawhid al-uluhiyyah; c) tawhid fi al-asma wa al-sifat.[26]

Permasalahan mendasar ajaran Wahhabiyyah sesungguhnya tidak terletak pada pembagian tauhid menjadi 4 bagian sebagaimana dicetuskan oleh Ibn Taymiyyah atau menjadi 3 macam seperti mazhab Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Namun tetap saja, perdebatan seputar isu pembagian tauhid (taqsim al-tawhid) menjadi tak terelakkan. Jika merunut sejarah tradisi ilmu kalam, praktis tak ada ulama salaf satupun yang melakukan pembagian semodel Ibn Taymiyyah. Bahwa ada asumsi dari kalangan pendukungWahhabiyyah yang menyatakan pembagian tauhid sudah ada semenjak masa salaf al-salihdan bisa dicarikan legitimasinya dalam karya-karya ulama salaf seperti Fiqh al-Awsat nya Imam Abu Hanifah, Kitab al-Tawhid wa Ma‘rifati Asma’illaah ‘Azza wa Jalla wa Sifatihi ‘ala al-Ittifaq wa al-Tafarrud tulisan Imam Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Ishaq ibn Yahya ibn Mandah atau dalam kitab Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an-nya Imam Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Sesungguhnya, asumsi tersebut prematur adanya. Sebagai contoh, apa yang oleh mereka diyakini sebagai dalil atau argumentasi bahwa Ibn Mandah telah melakukan pembagian tauhid, sejatinya Ibn Mandah tengah menjelaskan tentang ketidakbolehan melakukan qiyas dalam permasalahan tauhid.

Salah satu kritikan keras tentang “taqsim al-tawhid” dilancarkan oleh Hasan ibn ‘Ali al-Saqqaf melalui karyanya yang berjudul al-Tandid bi Man ‘Addada al-Tawhid; Ibtal Muhawalat al-Tathlith fi al-Tawhid wa al-‘Aqidah al-Islamiyah.[27] Bagi Hasan ibn ‘Ali al-Saqqaf, selain preseden pembagian tauhid tidak ada dalam khazanah turath, klasifikasi ini juga tidak pernah ditemukan dalam athar para Sahabat atau bahkan hadith Nabi Muhammad SAW sekalipun. Sepertinya, Hasan ibn ‘Ali al-Saqqaf ingin menohok –meski tidak secara langsung- para pendukung Wahhabiyyah dengan menyebut mereka yang anti bid’ah sedang melakukan bid’ah.

Bila perdebatan seputar “taqsim al-tawhid” bukanlah merupakan pembahasan yang begitu fundamental dan esensial, lantas diskursus yang bagaimana yang dirasa penting dalam konsep tauhidnya kelompok Wahhabiyyah? Yang mendasar adalah bagaimana kelompok Wahhabiyyah mengimplementasikan konsep tauhid mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam memaknai kalimat (لا إله إلا الله), semua umat Islam sepakat bahwa kalimat ini bermakna “tiada tuhan kecuali Allah”. Ia (kalimat لا إله إلا الله) juga memberikan pesan yang tegas bahwa hanya ada satu Tuhan yang harus disembah. Adalah mustahil, Allah mempunyai sekutu atau yang menyamai-Nya; baik dalam dzat ataupun sifat-Nya. Semua selain Allah adalah ciptaan-Nya.[28] Jika demikian, siapapun yang bertauhid tidak diperkenankan untuk mempersekutukan-Nya dengan apapun atau siapapun. Gagal memenuhi ikrar tersebut, maka dia akan disebut sebagai “musyrik”. Dalam bahasa sederhana yang digemari di pesantren,

“…أن معنى لا إله إلا الله لا مستغنى عن كل ما سواه ومفتقر إليه كل ما عداه إلا الله، ومعنى الألوهية استغناء الإله عن كل ما سواه وافتقار كل ما عداه  إليه…”. [29]

Pemaknaan kalimat tauhid di atas terasa sejuk dan mendapat respon yang simpatik dari mayoritas umat Islam. Kesejukan itu demikian terasa karena para ulama salaf memberikan batasan yang terang benderang tentang kemustahilan Allah mempunyai sekutu melalui argumentasi cerdas bertajuk burhan al-tamanu’ (برهان التمانع) beserta derivasinya.[30] Melalui “burhan al-tamanu’” ini pula, para ulama telah meletakkan metode dan kriteria yang ketat dalam melakukan pembedaan antara ibadah dengan syirik sebelum memberikan hukum pengkafiran.

Berbeda dengan hasil ijtihad para pendahulunya, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab menyajikan pemaknaan yang relatif “baru” terhadap kalimat tauhid di atas. Kebaruan inilah yang akhirnya menimbulkan kontroversi karena menyasar ritus peribadatan masyarakat luas. Dalam pandangan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, kalimat لا إله إلا الله harus didefinisikan sebagai: “نافى جميع ما يعبدون من دون الله، ومثبت العبادة لله وحده لا شريك له”.[31]

Sepintas, tidak ada yang “aneh” dari pendapat Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab tersebut. Dalam literatur lain, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab memperjelas perkataanya tersebut dengan menyatakan:

“فاعلم أن هذه الكلمة نفى وإثبات: نفى الألوهية عما سوى الله تعالى من المخلوقات، حتى محمد صلى الله عليه وسلم، حتى جبريل، فضلا عن غيرهما من الأولياء والصالحين.”.[32]

Keganjilan nampak begitu menguat ketika dia memberikan pernyataan yang tak kalah tegas dengan statemen sebelumnya. Dia dengan mantap mengatakan:

“إذا عرفت هذا عرفت معنى (لا إله إلا الله)، وعرفت أن من نخا نبيا أو ملكا، أو ندبه، أو استغاث به- فقد خرج من الإسلام؛ وهذا هو الكفر الذى قاتلهم عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم.”.[33]

Sampai di sini, apa yang dibidik oleh dakwah Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab menjadi tak terbantahkan lagi. Dia tidak lagi memahami kalimat tauhid sebagaimana yang telah digariskan oleh para ulama terdahulu. Syirik dalam perspektif Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab tidak lagi bermakna kita mempersekutukan selain Allah dengan Allah dalam konteks ketuhanan, melainkan juga mencakup meminta bantuan (tawassul), istishfa’ atau istighathah. Faktor mengapa Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab lebih banyak berkonsentrasi dalam ketiga isu inilah yang dipertanyakan Hersi Mohamed Hilole. Dengan demikian, upaya islah (jika memang dakwah Wahhabiyyah diterima sebagai bagian tajdid) menjadi sangat rentan disalahpahami oleh kalangan luas. Lebih jauh, siapapun yang tidak bertobat dari melakukantawassulthalab al-shafa’ah dan istighathah maka dia telah kafir. Adalah jelas bahwaWahhabiyyah tidak membedakan antara doa dengan ibadah.[34] Dan selagi dia tidak melakukan tobat, maka harta bendanya boleh dirampas dan lehernya boleh ditebas.[35]Dalam konteks inilah, sangat mungkin gerakan Wahhabiyyah oleh banyak kalangan acap dipersepsikan sebagai ideologi bagi kaum fundamental yang berkonotasi aktivitas terorisme.[36] Sudah barang tentu, anggapan ini harus ditepis dengan keberanian untuk mengoreksi dan tindakan nyata dari mereka yang mengusung faham Wahhabiyyah.

Konsekuensi dari ajaran dan dakwah Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab yang berlandaskan pada doktrin tauhidnya ini adalah gampangnya para pengikut Wahhabiyyah melakukan takfir (pengkafiran). Yang memilukan, pengkafiran tersebut juga dibarengi dengan kekerasan terhadap siapa saja yang sudah diberi label melakukan syirik. Dan pada akhirnya, hal tersebut hanya akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar: konflik dan perpecahan di tengah umat Islam. Dalam konteks keindonesiaan, para pengusung Wahhabiyyah jelas akan banyak bersinggungan dengan kalangan pesantren, terutama yang berkultur ahl al-sunnah wa al-jama’ah, juga dengan para orang Muslim yang masih teguh memegang tradisi nenek moyang atau yang disebut oleh Clifford Geertz sebagai “Islam Abangan”.

Kenyataan ini mestinya mendorong para santri dari dunia pesantren untuk lebih mempersiapkan diri guna menghadapi kelompok Wahhabiyyah. Perjumpaan yang seharusnya tidak boleh berisi dengan celaan, hujatan apalagi kekerasan, melainkan dengan diskusi yang memperhatikan etika munadharah. Ini sesuai dengan amanat Imam Hasan al-Basri bahwa al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar harus dengan cara yang ma’ruf pula. Ke depan, dunia pesantren harus melakukan pengembangan dengan lebih membuka diri terhadap disiplin keilmuan yang selama ini dianaktirikan seperti sejarah (tarikh), ‘ulum al-hadith‘ulum al-qur’an, milal wa nihal dan fiqh al-muqarin.

Seperti disinggung di atas, seturut dengan gugatan Hersi Mohamed Hilole,[37]Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab melalui dakwah dan ajarannya lebih menitikberatkan pada 2 aspek pertama klasifikasi tauhid: al-rububiyyah dan al-uluhiyyah. Dia memberikan porsi atau ruang yang terbilang sedikit dalam pembahasan tawhid fi al-asma wa al-sifat. Sangat mungkin, penyebab kenapa Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab tidak terlibat mendalam diskursus al-asma wa al-sifat adalah dilema yang akan mengiringi pembahasan jenis tauhid yang ketiga ini. Jamak diketahui, bahwa golongan Wahhabiyyah kerap merujuk kepada Imam Ahmad ibn Hanbal, Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim al-Jawzi dalam banyak hal, termasuk di dalamnya adalah konsep al-asma wa al-sifat. Tidak seperti kebanyakan ulama lain yang yang tergabung dalam kelompok al-Asha’irah yang menganut mazhab ta’wil, ketiga tokoh di atas lebih memilihithbat sebagai pendapat mereka. Perbedaannya, mazhab ta’wil melakukan penafsiran terhadap sifat-sifat Allah yang mustahil diberikan makna sesuai dengan konteks kebahasaan dengan tetap memperhatikan koridor tanzih, sedangkan mazhab ithbat tetap memaknai sifat-sifat Allah selaras dengan konteks kebahasaan. Di samping ithbat, terdapat pula mazhabtafwidh dimana mazhab ini enggan terlibat dalam pembahasan al-asma wa al-sifat secara mendalam dengan meyakini Allah lah yang lebih tahu.

Ketika kelompok Wahhabiyyah memutuskan memilih ithbat sebagai cara pandang mereka dalam menjelaskan al-asma wa al-sifat, problem yang sering dihadapi adalah mereka kerap terjebak dalam tashbih dan tajsim (antropomorfisme) –menyamakan sifat dan dzat Allah dengan ciptaan-Nya.[38] Kenyataan ini, berupa debat permasalahan tashbih dan tajsim, juga yang kerap memunculkan ketegangan antara kelompok Wahhabiyyah dengan al-Asha’irah. Dalam lingkup diskursus ini pula, isu tahrif karya-karya Imam Abu Hasan al-Ash’ari yang dilakukan oleh ulama-ulama Wahhabiyyah mengemuka.

    Melihat banyaknya contoh bagaimana Wahhabiyyah terjebak dalam antropomorfisme menjadikan banyak orang mengidentikkan Wahhabiyyah sebagai kelompok dengan akidah tajsim.[39] Namun yang menarik, kritikan bahwa Wahhabiyyah terjebak dalamtajsim gagal menyertakan bukti perilaku tajsim dari Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab.[40] Yang ada justru contoh tajsim dari Ibn Taymiyyah yang tentu saja bukan merupakan bagian dari gerakan Wahhabiyyah meski ajarannya dipegang kuat oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya. Atau seringkali, contoh tajsim dan tashbih itu diambilkan dari para pengikutnya. Penulis sendiri kesulitan untuk menemukan perkataan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab yang bertendensi tajsim atau tashbih kecuali informasi yang diberikan oleh kitabNasa’ih li ‘Uqala’i al-Wahhabiyyah. Hal ini wajar karena Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab tidak memberikan porsi yang banyak bagi pembahasan tawhid al-asma’ wa al-sifat sebagaimana porsi yang diberikan kepada 2 jenis tauhid lainnya.

Sebagaimana disinggung di atas, kelompok Wahhabiyyah yang memedomani mazhab ithbat seringkali kesulitan dalam memegang teguh ithbat al-sifat. Akibatnya, tanpa disadari kerap para tokoh Wahhabiyyah melakukan penafsiran (ta’wil) terhadap sifat-sifat Allah. Sebagai contohnya adalah apa yang dilakukan oleh ‘Abd al-‘Aziz ibn ‘Abdullah ibn Baz. Dalam fatawanya, sebagaimana yang dikutip ‘Ali al-Kurani, Ibn Baz menafsirkan al-ma’iyyah denganal-‘ilm.[41] Semestinya, jika Ibn Baz konsisten dengan panduan konsep Wahhabiyyah, maka dia akan memaknai al-ma’iyyah sebagai kedekatan yang hakiki antara manusia dengan Tuhannya, bukan dengan menafsirkannya sebagai al-‘ilm -pengetahuan Tuhan terhadap keadaan ciptaan-Nya. Pertanyaannya, apakah Ibn Baz tidak sadar bahwa bila dalam keyakinan kelompoknya, melakukan ta’wil adalah sesuatu yang terlarang dan dapat menyebabkan kekafiran sebab melakukan pendustaan kepada Allah dan Rasul-Nya?[42]

Tidak hanya Ibn Baz, ketidakkonsistenan dalam memedomani ajaran Wahhabiyyahjuga dipertontonkan oleh Muhammad Nasir al-Din al-Albani, seorang tokoh pentingWahhabiyyah kelahiran Albania, Eropa Selatan. Sama halnya dengan sang kolega, Ibn Baz, al-Albani juga terperangkap melakukan ta’wil terhadap ayat al-sifat yang seharusnya jika merujuk kepada ajaran Wahhabiyyah, ayat tersebut harus dimaknai sesuia dengan konteks kebahasaan. Al-Albani, juga para penganut Wahhabiyyah, berduyun-duyun menafsirkan ayat (فأينما تولوا فثم وجه الله) dan hadith (إلا أخذها الرحمن بيمينه). Tidakkah mereka sedang berbuat kekufuran sebagaimana para ulama lain yang gemar melakukan ta’wil terhadap ayat al-sifat?

Sikap mendua al-Albani nampaknya cerminan bahwa sosok ini mendapat banyak sanggahan dari para ulama. Sebagai misal, al-Albani menuduh ulama yang menyatakan bahwa Allah bisa dilihat namun tidak tersekat oleh dimensi ruang dan waktu sebagai ulama yang kehilangan nalar sehat. Lebih jauh, dalam menafsirkan ayat (إن الله لايغفر ان يشرك به), al-Albani memfatwakan bahwa sebagian dosa syirik mendapat ampunan Allah. Fatwa ini, selain tidak sejalan dengan ajaran Wahhabiyyah, juga menabrak hadith lain yang sahih yang mengafirmasi kandungan ayat tersebut.[43] Kritikan terhadap al-Albani juga datang dari Hasan ibn ‘Ali al-Saqqaf yang mengarang “Qamus Shata’im al-Albani”.[44]

Apa yang bisa disimpulkan dari bagian ini adalah sesungguhnya ajaran Wahhabiyyahberpusat di konsep tauhidnya. Dari pengembangan konsep ini, kelompok Wahhabiyyahmenjadikannya sebagai justifikasi untuk melakukan takfir kepada sesama umat Islam dengan berdasarkan tuduhan berbuat syirik dan bid’ah. Akibatnya ritual yang jamak dilakukan mayoritas umat Islam seperti tawassul, istishfa’, istighathah, penghormatan terhadap ulama dan orang saleh serta merawat tempat-tempat bersejarah dianggap sebagai satu kemusyrikan yang derajatnya lebih rendah dari orang-orang musyrik pada masa Rasulullah SAW. Jika semua ritual tersebut adalah kemusyrikan yang mengantar kepada kekufuran, maka mayoritas umat Islam adalah kafir yang sah dalam kaca mata agama untuk dibunuh dan diambil hartanya.

Ikhtitam

Sosok Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dengan ajaran dan dakwahnya mungkin penuh kontroversi. Ini menunjukkan bahwa dia tak lebih dari seorang manusia yang pendapatnya boleh diikuti dan diabaikan. Meminjam istilahnya Hasan ibn Farhan al-Maliki, dia adalah “juru dakwah, bukan seorang nabi” (da’iyatan wa laysa nabiyyan). Tentu saja, jika ajaranWahhabiyyah melarang umat Islam untuk melakukan penghormatan yang berlebihan terhadap para ulama, demikian pula semestinya para pendukung Wahhabiyyah untuk menjauhi sikapghuluww dalam mengikuti Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab.[45]

            Adalah bijaksana, jika kita kembali merenungi apa yang pernah disampaikan oleh Imam Malik:

            ”من صدر عنه ما يحتمل الكفر من تسعةٍ وتسعين وجهاً ويحتمل الإيمان من وجه، حُمِل أمره على الإيمان”.

والله أعلم بالصواب


[1] Pengasuh PP At Taujieh al-Islamy Leler Randegan Banyumas

[2] Ibn Khaldun, Muqaddimah, ed. Hajar ‘Asi, Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal, 1983, hal. 101.

[3] Hasan ibn ‘Ali al-Saqqaf, al-Salafiyyah al-Wahhabiyyah; Afkaruha al-Asasiyyah wa Judzuruha al-Tarikhiyyah, Beirut: Dar al-Mizan, Cet. III, 2009, hal. 19.

[4] Tentang model relasi Salafiyyah Yaman, Arab Saudi dan Indonesia bisa lihat, Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad; Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta: LP3ES-KITLV, 2008.

[5] Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-Salafiyyah; Marhalah Zamaniyyah Mubarakah La Mazhabun Islamiyyun, Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. XIV, 2010, hal. 9-14. Senada dengan Syaikh al-Buthi, sarjana terkemuka dari Mesir, Dr Muhammad ‘Imarah juga dengan tegas membedakan antara “salafiyyah” dengan “wahhabiyyah”. Menurut ‘Imarah, istilah “salafiyyah” adalah gerakan yang mengajak umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Ia berpendapat bahwa istilah ini bisa saja dipadankan dengan istilah “ahl al-hadith” yang eksis pada masa Khilafah ‘Abbasiyyah. Hanya saja yang perlu diperhatikan, ada banyak aliran dalam gerakanSalafiyyah, misalnya: kaum literalis (ahl al-jumud wa al-taqlid) dan pembaharu (ahl al-tajdid). Lihat dalam, Muhammad ‘Imarah, Ma’rakat al-Musthalahat bayn al-Gharb wa al-Islam, Kairo: Nahdat Misr li al-Thiba’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi’, Cet. II, 2004, hal. 207-208.

[6] Muhammad ‘Imarah, al-Wasith fi al-Mazahib wa al-Musthalahat al-Islamiyyah, Kairo: Nahdat Misr li al-Thiba’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi’, 2000, hal. 112.

[7] Ahmad Amin, Zu’ama’ al-Islah fi al-‘Asr al-Hadith, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, hal. 10. Fakta bahwa nama Wahhabiyyah merupakan pemberian non pengikut ajaran Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab juga diakui oleh beberapa tokoh penting aliran Wahhabiyyah kontemporer semisal ‘Abd al-‘Aziz ibn Baz dan Salih al-Fawzan. Ibn Baz dalam sebuah kesempatan menyatakan jika nama Wahhabiyyah adalah julukan bagi para ulama dan kalangan yang menyeru kepada masyarakat pentingnya memurnikan kembali akidah mereka yang telah tercemar oleh perbuatan sirik seperti mengkultuskan orang saleh, memuja pepohonan dan bebatuan serta meminta pertolongan kepada orang yang telah meninggal. Jika sebelumnya panggilan Wahhabiyyah dianggap sebagai celaan, namun kedua tokoh tersebut memandangnya tidak lagi sebagai ejekan, melainkan sebagai satu kehormatan. Lihat,http://www.nokhbah.net/vb/showthread.php?t=1754, diakses pada 06 Mei 2012.

[8] Muhammad ‘Iwadh al-Khathib, al-Wahhabiyyah; Fikran wa Mumarasatan, Tanpa Tempat: al-Mi’raj li al-Thiba’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi’, 2000, hal. 59-60.

[9] Tentang sejarah Israel, silakan rujuk Adel Safty, Might over Right; How the Zionist Took Over Palestine, Reading: Garnet Publishing, Cet. I, 2009.

[10] Al-Sayyid Murtadha al-Radhawiyy, Madhi al-Wahhabiyyin wa Hadhiruhum, Beirut: al-Irshad li al-Thiba’ah wa al-Nashr, hal, 36.

[11] Abu ‘Abdillah ‘Amir ‘Abdullah Falih, Mu’jam Alfadh al-‘Aqidah, al-Riyadh: Maktabah al-‘Ubaykan, Cet. I, 1998, hal. 445.

[12] Khayr al-Din al-Zirkili, al-A’lam; Qamus Tarajim li Ashhar al-Rijal wa al-Nisa’ min al-‘Arab wa al-Musta’ribin wa al-Mustashriqin, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, Cet. XV, Mei 2002, Vol. 6, hal. 257.

[13] Bandingkan dengan, Ahmad Amin, Zu’ama’ al-Islah fi al-‘Asr al-Hadith, hal. 10.

[14] Muhammad Kamil Dhahir, al-Da’wah al-Wahhabiyyah wa Atharuha fi al-Fikr al-Islami al-Hadith, Beirut: Dar al-Salam li al-Thiba’ah wa al-Nashr, Cet. I, 1993, hal. 33.

[15] Hamid Ibrahim ‘Abdullah, al-Wahhabiyyah; Firqah li al-Tafriqah bayn al-Muslimin, Tanpa Tempat: Dar al-Mash’ar, Cet. I, 1430, hal. 41-43.

[16] Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Zayni ibn Ahmad Dahlan al-Hasani. Beliau lahir di Makkah pada tahun 1231 H. dan meninggal di Madinah tahun 1304 H. Kapasitas keilmuannya diakui luas terbukti dengan diangkatnya beliau sebagai Mufti Makkah dan gelar Syaikh al-Islam. Beliau juga aktif menulis dan mengarang buku dalam pelbagai disiplin ilmu seperti fikih, sejarah dan gramatika bahasa Arab. Kiprah intelektualnya tidak asing lagi bagi kalangan pesantren di Indonesia. Nama beliau banyak disebut dalam salah satu kitab legendaris di dunia pesantren yang berjudul I’anat al-Thalibin. Biografi singkatnya bisa dibaca di,http://www.ashraaf.biz/vb/showthread.php?t=3494, diakses pada 07 Mei 2012.

[17] Al-Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Fitnat al-Wahhabiyyah, Istanbul: Isik Kitabevi, tanpa tahun, hal. 4.

[18] Husayn ibn Ghinam, Tarikh Najd, ed. Nasir al-Din al-Asad, Tanpa Tempat: Tanpa Penerbit, Cet. II, 1982, hal. 10-11. Beberapa kekeliruan umat Islam yang terekam dalam buku ini antara lain: umat Islam di Tha’if mendatangi makam ‘Abdullah ibn ‘Abbas untuk berdoa dan bermunajat. Jika dicermati, kenyataan ini mengingatkan kita kepada beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia beberapa puluhan tahun silam yang sudah punah, ataupun yang masih bertahan hingga sekarang seperti mengeramatkan satu kuburan dengan mengasumsikannya sebagai makam orang saleh tanpa ada bukti yang otentik.

[19] Muhammad ‘Imarah, Tayyarat al-Fikr al-Islami, Kairo: Dar al-Shuruq, Cet. II, 1998, hal. 253-254.

[20] Muhammad Kamil Dhahir, al-Da’wah al-Wahhabiyyah wa Atharuha fi al-Fikr al-Islami al-Hadith, hal. 47-48.

[21] Ahmad Mahmud Subhi, Judzur al-Irhab fi al-‘Aqidah al-Wahhabiyyah, Beirut: Dar al-Mizan, Cet. I, 2008, hal. 38-40.

[22] Louis Alexandre Olivier de Corancez, The History of the Wahabis; From Their Origin until the End of 1809, pent. Eric Tabet, Reading: Garnet Publishing, 1995, hal. 1-9. Bandingkan dengan, Muhammad Kamil Dhahir, al-Da’wah al-Wahhabiyyah wa Atharuha fi al-Fikr al-Islami al-Hadith, hal. 50-53. Lihat juga, Husayn ibn Ghinam, Tarikh Najd, hal. 80-84 dan bagian ketiga tentang peperangan (al-ghazawat).

[23] Louis de Corancez, al-Wahhabiyyun; Tarikh Ma Ahmalahu al-Tarikh, Beirut: Riad el-Rayyes Books, Cet. I, 2003, hal. 185-192. Bandingkan dengan, Tanpa Pengarang,Mudzakarat Mister Hempher; al-Jasus al-Britani fi al-Bilad al-Islamiyyah, Iran: Dar Anwar al-Huda, Tanpa Tahun.

[24] Hamid Algar, al-Wahhabiyyah; Maqalah Naqdiyyah, pent. ‘Abbas Khudhayr Kadhim, Cologne: Manshurat al-Jamal, Cet. I, 2006, hal. 21.

[25] Untuk definisi dan penjelasan lebih detail mengenai 4 macam tauhid ini, silakan rujuk, Ahmad ibn Taymiyyah al-Harrani, Majmu’ah Fatawa Shaikh al-Islam Ibn Taymiyyah, ed. ‘Abdurrahman ibn Qasim dan Ahmad ibn ‘Abdurrahman, Arab Saudi: Tanpa Penerbit, Cet. I, Tanpa Tahun, Vol. I, hal. 32 dan Vol. II, hal. 277 dan Vol. III, hal. 2.

[26] Penjabaran Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab terhadap 2 kategori pertama tauhid dapat ditemukan di, ‘Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim al-‘Asimi al-Najdi, al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah; Majmu’at Rasa’il wa Masa’il ‘Ulama Najd al-A’lam min ‘Asr al-Shaykh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab ila ‘Asrina Hadza, Tanpa Tempat: Tanpa Penerbit, Cet. VI, 1996, Vol. I, hal. 65. Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab mendefinisikan tawhid al-rububiyyahsebagai “وهو أنه سبحانه متفرد بالخلق والتدبير، عن الملائكة والأنبياء وغيرهم”. Ta’rif ini menyiratkan satu fakta bahwa pengakuan terhadap eksistensi pencipta alam semesta dan yang mengatur tidak harus menjadikan yang mengaku sebagai orang Islam. Beda halnya dengan tawhid al-uluhiyyah yang dimaknai sebagai “وهو ألا يعبد إلا الله، لا ملكا مقربا، ولا نبيا مرسلا”. Tauhid jenis kedua ini memberikan konsekuensi pelakunya diberi label Muslim.

[27] Hasan ibn ‘Ali al-Saqqaf, al-Tandid bi Man ‘Addada al-Tawhid; Ibtal Muhawalat al-Tathlith fi al-Tawhid wa al-‘Aqidah al-Islamiyah, ‘Amman: Dar al-Imam al-Nawawi, Cet. II, 1992, hal. 38.

[28] Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-I’tiqad, Ankara: Nur Matbaasi, 1962, hal. 73-79.

[29] Al-Sayyid Muhammad ibn Muhammad al-Husayni al-Zabidi, Ithaf al-Sadat al-Muttaqin bi Sharh Ihya’ ‘Ulum al-Din, Beirut: Mu’assasah al-Tarikh al-‘Arabi, 1994, Vol. II, hal. 17.

[30] Tentang argumentasi ini, lihat, Mas’ud ibn ‘Umar ibn ‘Abdillah Sa’d al-Din al-Taftazani,Sharh al-Maqasid, Beirut: ‘Alam al-Kutub, Cet. II, 1998, Vol. IV, hal. 31-42.

[31] Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Talqin Usul al-‘Aqidah li al-‘Ammah, dalam, Bassam ‘Abd al-Wahhab al-Jabi, Majmu’ah Mutun al-‘Aqa’id, Beirut: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, Cet. I, 1993, hal. 14.

[32] Husayn ibn Ghinam, Tarikh Najd, Vol. II, hal. 263.

[33] Ibid., hal. 265.

[34] Bagi Wahhabiyyah, ketundukan terhadap apapun akan dimaknai sebagai bentuk kemusyrikan dan penyembahan. Lihat perbedaan doa dengan ibadah dalam, Muhammad ‘Ali ibn Husayn al-Hamdani, al-Wahhabiyyun wa al-Buyut al-Marfu’ah, ed. Husam Ahmad Shu’ayb, Damaskus: Dar al-Ahbab-Dar al-Haytham, Cet. I, 2001, hal. 9-11.

[35] “فأخبر تبارك وتعالى: أن دعاء غير الله شرك، فمن قال: يا رسول الله؛ أو قال: يا عبد الله بن عباس؛ أو: يا عبد القادر؛ أو: يا محجوب، زاعما أنه يقضى حاجته إلى الله تعالى، أو أنه شفيعه عنده، أو وسيلته إليه، فهو الشرك الذى يهدر الدم، ويبيح المال، إلا أن يتوب من ذلك، وكذلك: من ذبح لغير الله، أو نذر لغير الله، أو توكل على غير الله، أو رجا غير الله، أو التجأ إلى غير الله، أو استغاث بغير الله فيما لا يقدر عليه إلا الله، فهو أيضا شرك”.

Lihat dalam,  ‘Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim al-‘Asimi al-Najdi, al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah; Majmu’at Rasa’il wa Masa’il ‘Ulama Najd al-A’lam min ‘Asr al-Shaykh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab ila ‘Asrina Hadza, Vol. II, hal. 37.

[36] Ahmad Mahmud Subhi, Judzur al-Irhab fi al-‘Aqidah al-Wahhabiyyah, hal. 29-37.

[37] Hersi Mohamed Hilole, al-Salafiyyah al-Wahhabiyyah bayn Mu’ayyidiha wa Muntaqidiha; Dirasat Tahliliyyah Mawdhu’iyyah, Tanpa Tempat: Borneo Printers and Trading Sdn. Bhd, Cet. I, 1996, hal. 72.

[38] ‘Ali al-Kurani al-‘Amili, al-Wahhabiyyah wa al-Tawhid, Qum: Dar al-Hadi, Cet. II, 1327 H., hal. 119.

[39] Shu’bat al-I’lam wa Wahdat al-Dirasat, Nasa’ih li ‘Uqala’i al-Wahhabiyyah, Karbala: Qism al-Shu’un al-Fikriyyah wa al-Thaqafiyah, Cet. III, 2010, hal. 7-17.

[40] Sa’ib ‘Abd al-Hamid, al-Wahhabiyyah fi Suratiha al-Haqiqiyyah, Beirut: al-Ghadir li al-Nashr wa al-Tawzi’, 1995, hal. 37-40.

[41] ‘Ali al-Kurani al-‘Amili, al-Wahhabiyyah wa al-Tawhid, hal. 117-118.

[42] Muhammad Jawad Mughniyyah, Hadzihi Hiya al-Wahhabiyyah, Tanpa Tempat: Mu’assasah Dar al-Kitab al-Islami, Tanpa Tahun, hal. 165.

[43] Jam’u Ba’dh Talamidz al-Syaikh ‘Abdullah al-Harari, Tabyin Dhalalat al-Albani; Shaykh al-Wahhabiyyah al-Mutamahdith, Tanpa Tempat: Shirkah Dar al-Mashari’ li al-Thiba’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi’, Cet. III, 2007.

[44] Lihat, Hasan ibn ‘Ali al-Saqqaf, Qamus Shata’im al-Albani wa Alfadhihi al-Munkarah allati Yuthliquha fi Haqq ‘Ulama’I al-Ummah wa Fudhala’iha wa Ghayrihim, Beirut: Dar al-Imam al-Nawawi, Cet. II, 2010.

[45] Hasan ibn Farhan al-Maliki, Da’iyah wa Laysa Nabiyyan; Qira’ah Naqdiyyah li Madzhab al-Shaykh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab fi al-Takfir, ‘Amman: Dar al-Razi li al-Thiba’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi’, Cet. I, 2004.

 

Leave your comment here: