HARUSKAH MENJAUHI DUNIA POLITIK
Kerangka Analisis Masalah
Dewasa ini, kita menyaksikan hubungan antara ulama dan umara seolah seperti dua kutub yang frontal dan kontras satu sama lain baik secara ikatan emosional maupun kultural, di mana perbedaan ini praktis tidak kita jumpai di era Nabi dan generasi-generasi awal Islam, di mana seorang figur yang menjabat sebagai pemerintah (umara) adalah figur yang menyandang gelar ulama itu sendiri. Demikian juga sebaliknya, seorang ulama sekaligus umara di waktu itu dan tidak pernah menjadi dua kubu yang saling konfrontasi.
Terlepas dari sugesti sosio-politik yang mempengaruhi perbedaan dua kubu tertsebut, perbedaan ini semakin tampak ekstrim dan kritis ketika kita melihat dalam beberapa fatwanya, para fuqaha lebih-lebih ulama Mutashawwif melontarkan fatwa agar menjahui ranah perpolitikan seperti dengan pernyataan bahwa dunia politik adalah madhinnah al-fitnah, klaim syubhat terhadap sumbangan-sumbangan politis dan lain sebagainya. Kita juga bisa jumpai pujian-pujian ulama kapada tokoh-tokoh yang memiliki track record menjauh dari umara dalam hidupnya (lihat: Ihya’ Ulumiddin vol. II hlm. 140 dll.).
Secara implisit, sikap dan fatwa ulama demikian mau tidak mau akan memunculkan opini bahwa dunia politik adalah sebuah ranah kehidupan yang aib untuk diterjuni. Fatwa-fatwa yang boleh jadi dianggap profokatif oleh sebagian pihak ini, tidak aneh jika kemudian menjadi justifikasi dan penegas persepsi umum bahwa umara dan ulama adalah dua kubu yang “hitam dan putih”. Persepsi umum ini bisa kita buktikan dari ucapan sederhana namun cukup sinis yang kerap kita dengar: ”kyai kok berpolitik” dan lain sebagianya.
Sementara itu, dalam khazanah fiqh siyasah kita mengetahui bahwa hakikat dari misi politik (siyasah) adalah ri’âyah limashâlih al-’ibâd (demi terciptanya kemaslahatan kehidupan umat) yang nota bene secara hukum adalah kewajiban. Bagaimana dengan kontradiksi ini??!
Pertanyaan
a. Apa landasan riil dari fatwa-fatwa untuk menjauhi dunia politik dan klaim syubhat uang yang diperoleh dari politik tersebut?
b. Di manakah sebenarnya proporsi fatwa-fatwa tersebut?
Jawaban
a. Berlandaskan pada Hadits tentang anjuran untuk menjahui dunia perpolitikan yang tidak bisa lepas dari kedzaliman serta pelakunya akan melakukan kedzaliman tersebut. Sedangkan klaim terhadap status kesyubhatan uang tersebut, dikarenakan ketidakjelasan status halal-tidaknya, dari sisi hasil pendapatan atau pihak penerimanya.
b. Idem dengan sub. A
Referensi :
1. Ihya’ ’Ulum Ad-Din vol. I hal. 448 dan vol. II hal. 73 dan 490.
2. Al-Jami’ Li-Ahkam Al-Qur’an Li-Al-Qurthuby vol. I hal. 2861.
3. Tuhfah Al-Muhtaj vol. VII hal. 170
4. Bughyah Al-Mustarsyidin vol. 127