KETIKA TUKANG BECAK MENJADI POLITIKUS

KETIKA TUKANG BECAK MENJADI POLITIKUS

KETIKA TUKANG BECAK MENJADI POLITIKUS

 BECAK          Seorang tukang becak, pada suatu hari di minta mengantar penumpang ke rumah saudaranya, di karenakan si penumpang adalah penduduk dari luar jawa dan baru pertama kalinya mau berkunjung shilaturrahmi, tentu tidak tahu jalan dan daerah di sekitar kota tempat saudaranya.

Mengetahui penumpangnya dari luar kota, hal ini tentu tidak di sia siakan oleh si tukang becak tersebu t,

Dia ketika mengantar si penumpang mengambil jalan memutar dan yang lebih jauh agar mendapatkan upah yang lebih besar, padahal sebenarnya si tukang becak ini tahu benar mana jalan yang dekat juga biasa di lalui.

Menurut pandangan syari’at, bagaimanakah hukum si tukang becak yang mengambil jalan lebih jauh dengan maksud dan tujuan sebagaimana dalam keterangan di atas?

Pada umumnya transaksi tukang becak dalam mengantarkan penumpangnya menurut fiqh adalah termasuk dalam akad Ijaroh(persewaan).

Seperti halnya transaksi yang lain, ijaroh juga mengenal adanya syarat dan rukun, setidaknya ada empat rukun dalam akad ijaroh :

1. Dua orang pelaku persewaan (ajir dan al musta’jir)

2. Kemanfaatan barang yang di sewakan (al musta’jar bihi)

3. Upah (al ujroh)

4. Ijab qobul (al sighot)

Dalam ke empat rukun ini, syara’ menetapkan syarat syarat yang harus di penuhi yaitu :

1. Pelaku ijaroh di haruskan orang yang secara syara’ di perbolehkan melakukan transaksi

2. Melaksanakan ijaroh dengan kehendak sendiri atau tidak terpaksa

3. Manfaat barang yang di sewakan haruslah di tentukan dengansalah satu dari dua hal

4. Upah, harus sudah di ketahui kadar, jenis serta sifatnya.

Penetapan syarat syarat di atas di terapkanlah pelaksanaan akad ini, dalam rangka memperkecil potensi ghurur (penipuan). Sebab tanpa syarat syarat di atas, akad ijaroh akan menjadi samar, sehingga potensi ketidak relaan antara kedua belah pihak akan semakin besar.

Pada masalah di atas, taransaksi yang di lakukan oleh si tukang becak dengan penumpangnya bisa di anggap sah secara fiqh jika kadar upah telah di sepakati. Sebab syarat syarat yang lain juga telah terpenuhi.

Namun, meskipun secara praktek transaksi tukang becak di anggap sah, bukan berarti tindakanya adalah halal. Bahkan tindakan tersebut hukumnya adalah haram. sebab tukang becak tersebut melakukan penipuan(al ghhosysy), dengan mengambil jalan yang lebih jauh yang tidak di ketahui penumpangnya, yang mana jika si penumpang mengetahui , maka tidak akan rela menyerahkan upah lebih besar. Hal ini bertentangan dengan prinsip utama tuntunan dalam al Qur’an :

يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ أمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْاأَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْتَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu sekalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka (Saling rela) di antara kamu”.(QS. An Nisa :29).

Secara garis besar seseorang akan rela dengan apa yang di lakukan orang lain kepadanya apabila tidak terdapat unsur penipuan. Bahkan imam al Ghozali dalam magnum opusnya Ihya Ulumaddin menyebutkan bahwa :

Sebuah transaksi meskipun di hukumi sah namun tetap haram ketika di dalamnya ada unsur aniaya(merugikan), baik bagi slah satu pihak atau keduanya.

Secara ringkas Imam al Ghozali menyebutkan, dalam melaksanakan akad transaksi hendaknya seseorang bercermin pada dirinya sendiri, bertanya pada hati nuraninya, Relakah ia jika apa yang ia lakukan pada orang lain menimpa dirinya?

Jikahatinya menjawab tidak, maka bisa di ketahui bahwa hal tersebut adalah tindakan aniaya terhadap orang lain. Karena pada hakikatnya orang lainpun merasakan hal yang sama dengan dirinya.

Kesimpulanya adalah :

Pada dasarnya transaksi yang di lakukan si tukang becak di atas termasuk transaksi ijaroh yang sah. Namun tintakan yang di lakukan si tukang becak hukumnya adalah haram. sebab ia telah melakukan tindakan aniaya(dzolim)terhadap penumpang becaknya, sehingga tergolong tindakan mengambil harta orang lain tanpa kerelaan darinya.

Refeerensi :

Syarah al Wahhaj hal 218

Fiqhul Islamy wa Adillatuhu juz 5 hal 3847

Ihya Ulumuddin juz 3 hal 82

Is’adur Rofiq juz 1 hal 136- 137

Az Zawajir juz 1 hal 399

Leave your comment here: