METODE PENGALOKASIAN ZAKAT FITRAH SETELAH TERKUMPUL DI AMIL ZAKAT

METODE PENGALOKASIAN ZAKAT FITRAH SETELAH TERKUMPUL DI AMIL ZAKAT

zakkat                  Setelah zakat fitrah terkumpul dalam sebuah lembaga yang di sebut amil zakat, terkadang kita kurang mengetahui bagaimana cara dalam membagikanya kepada para mustahiq zakat.

Pertanyaanya adalah :

1. Bagaimana cara membagikan zakat fitrah kepada ashnaf yang ada?

2. Berapa jumlah bagiannya masing masing ashnaf tersebut…?

Di dalam berbagai kitab fiqh Syafi’i di jelaskan bahwa :

1. Caranya dibagi rata diantara ashnaf yang ada disana.

2. Tidak tentu , tergantung zakat yang berhasil dikumpulkan.

Wajib mentashorufkan zakat fitrah kepada ashnaf 8 atau ashnaf ashnaf yang ada disana, namun menurut salah satu qoul, jika memang jumlahnya sedikit boleh dibagikan hanya kepada 3 orang masakin saja, bahkan menurut qoul lain boleh hanya kepada 1 orang miskin saja.

Mughnil Muhtaj juz I hal. 543

فرعان: أحدهما: يجب صرف زكاة الفطر إلى الأصناف الذين ذكرهم الله تعالى، وسيأتي بيان ذلك في كتاب الصدقات إن شاء الله تعالى. وقيل: يكفي الدفع إلى ثلاثة من الفقراء أو المساكين لأنها قليلة في الغالب، وبهذا قال الإصطخريّ . وقيل: يجوز صَرْفُها لواحد، وهو مذهب الأئمة الثلاثة وابن المنذر

Minhajul Qowim juz I hal. 305

ـ (ويجب صرف الزكاة إلى الموجودين من الأصناف الثمانية) فإن وجدوا كلهم بمحل الزكاة وجب الصرف إليهم، ولا يجوز أن يحرم بعض الأصناف، فإن فقد بعضهم أو بعض آحاد الصنف ردَّت حصة من فقد أو الفاضل عن كفاية بعضهم على بقية الأصناف ونصيب المفقود من آحاد الصنف على بقية ذلك الصنف، ولا ينقل شيء من ذلك إلى غيرهم لانحصار الاستحقاق فيهم. ومحله إذا نقص نصيبهم عن كفايتهم وإلا نقل إلى ذلك الصنف، أما لو عدمت الأصناف كلهم في البلد، أو فضل عنهم شيء: فإن الكل في الأولى، والفاضل في الثانية ينقل إلى جنس مستحقه بأقرب بلد إلى بلد الزكاة، فعلم أنه لا يجوز للمالك ولا يجزئه نقل الزكاة مع وجود مستحقيها بموضع المال حال الوجوب عنه إلى غيره وإن قربت المسافة، لأن ذلك يوحش أصناف البلد بعد امتداد أطماعهم إليها ـ اهـ منهاج القويم ج ١
ص ٣٠٥

Begitu juga keterangan dalam kitab Fathul Mu’in halaman 222 sebagaimana berikut ini :

Cara membaginya harus rata tapi tidak wajib menyama ratakan 1 kelompok masing masing perorang, cukup 3, tapi sunah andai mau di ratakan semua.

ﻭﻳﻠﺰﻡ ﺍﻟﺘﺴﻮﻳﺔ ﺑﻴﻦﺍﻻﺻﻨﺎﻑ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺣﺎﺟﺔ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺃﺷﺪ، ﻻ ﺍﻟﺘﺴﻮﻳﺔ ﺑﻴﻦ ﺁﺣﺎﺩ ﺍﻟﺼﻨﻒ، ﺑﻞ ﺗﻨﺪﺏ. ﻭﺍﺧﺘﺎﺭ ﺟﻤﺎﻋﺔ – ﻣﻦ ﺃﺋﻤﺘﻨﺎ – ﺟﻮﺍﺯ ﺻﺮﻑ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﻣﺴﺎﻛﻴﻦ، ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ،

Wajib menyama ratakan bagian antara kelompok, sekalipun kebutuhan suatu kelompok melebihi kelompok lain, tidak wajib menyama ratakan bagian masing masing perorang dalam individu suatu kelompok, tetapi di sunahkan.

Segolongan ulama dari ulama kita memilih pendapat yang membolehkan memberikan zakat fitrah kepada 3 orang miskin. atau 3 mustahiq lainya.

Di dalam kitab I’anatuth Tholibin Juz 2 hal. 22 di jelaskan juga :

ﻭﺍﺧﺘﺎﺭ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ – ﻣﻨﻬﻢ ﺍﻻﺻﻄﺨﺮﻱ – ﺟﻮﺍﺯ ﺻﺮﻑ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﻣﺴﺎﻛﻴﻦ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ. ﺍﻩ. ﻭﻋﺒﺎﺭﺓ ﺍﻟﺘﺤﻔﺔ: ﻟﻜﻦ ﺍﺧﺘﺎﺭ ﺟﻤﻊ ﺟﻮﺍﺯ ﺩﻓﻌﻬﺎ ﻟﺜﻼﺛﺔ ﻓﻘﺮﺍﺀ ﺃﻭ ﻣﺴﺎﻛﻴﻦ ﻣﺜﻼ، ﻭﺁﺧﺮﻭﻥ ﺟﻮﺍﺯﻩ ﻟﻮﺍﺣﺪ، ﻭﺃﻃﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻻﻧﺘﺼﺎﺭ ﻟﻪ. ﺑﻞ ﻧﻘﻞ ﺍﻟﺮﻭﻳﺎﻧﻲ ﻋﻦ ﺍﻻﺋﻤﺔ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﻭﺁﺧﺮﻳﻦ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ ﺩﻓﻊ ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺃﻳﻀﺎ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻬﻤﺎﻥ، ﻗﺎﻝ: ﻭﻫﻮ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭ، ﻟﺘﻌﺬﺭ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻤﺬﻫﺒﻨﺎ.

Golongan dari murid kami memilih di antaranya Imam Ustukhuri yang membolehkan mentashorufkan zakat pada 3 orang miskin tau mustahiq lainya saja, ibarot sebagaimana dalam kiab Tuhfah, bahkan ulama jam’un memilih kebolehan memberikanya pada 3 orang faqir atau miskin. Dan di perpanjang qaulnya bahkan boleh di berikan pada 1 orang.

Melihat dari adanya waktu makruh dan haram, kemudian Bolehkah seorang istri memberikan zakatnya pada suami yang mana suami tersebut termasuk orang yang berhak menerima zakat?

Di dalam hadist Abu Sa’id al Khudri di ceritakan bahwa :

Datanglah Zainab, isteri Ibnu Mas’ud meminta izin kepada Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu dikatakan kepada Beliau :

“Wahai Rosulalloh, ini adalah Zainab”. Beliau bertanya: “Zainab siapa?”.
Dikatakan : “Zainab isteri dari Ibnu Mas’ud”. Beliau berkata,: “Oh ya, persilakanlah dia”. Maka dia diizinkan kemudian berkata,:

“Wahai Nabi Alloh, sungguh anda hari ini sudah memerintahkan shodaqoh (zakat) sedangkan aku memiliki emas yang aku hendak menzakatkannya, namun Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dia dan anaknya lebih berhak terhadap apa yang akan aku sedekahkan ini dibandingkan mereka (para mustahiq).

Maka Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Ibnu Mas’ud benar, suamimu dan anak-anakmu lebih berhak kamu berikan shodaqoh dari pada mereka”. ( HR Bukhori )

Berarti, bahwa istri mmemberikan zakatnya kepada suamai adalah hukumnya boleh . . .

Berkata Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari juz 3 hal. 329 untuk mengomentari hadits di atas :

“ Hadist ini menjadi dalil kebolehan seorang istri memberikan zakat kepada suaminya “

Berkata Ibnu Qudamah di dalam kitab al Mughni juz 2 hal. 279 :

“ Jika istri miskin, sedangkan suami kaya, dan selalu memberikan nafkah kepadanya, maka tidak diperbolehkan baginya memberikan zakat kepada istrinya, karena istri sudah cukup dengan nafkah dari suami.“ Tetapi ketika suami miskin dan istri kaya, maka istri tidak ada kewajiban memberikan nafkah kepada suaminya, karena hartanya untuk dirinya sendiri. Oleh karenanya, diperbolehkan baginya memberikan zakat kepada suaminya.

di dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin hal. 106 juga di sebutkan bahwa :
Ya boleh seorang istri memberikan zakat pada suaminya ataupun sebaliknya jika suaminya (atau sebaliknya) termasuk dari bagian golongan yang berhak menerima zakat.

وللزوجة إعطاء زوجها من زكاتها وعكسه بشرطه، ويجوز تخصيص نحو قريب بل يسن إذ لا تجب التسوية بين آحاد الصنف بخلافها بين الأصناف. إهــ

Dan bagi seorang istri (boleh) memberi suaminya dari zakatnya, dan sebaliknya sesuai syarat pemberian zakat. Dan boleh mengkhususkan semisal kerabat (dalam penyaluran zakat) bahkan hal demikian dianjurkan, karena menyamaratakan pembagian zakat di antara perorangan dari golongan yang berhak menerima zakat itu tidak wajib, berbeda halnya dengan penyamarataan di antara golongan golongan yang berhak menerima zakat.

Tetapi di dalam keterangan yang lain di sebutkan bahwa :

Semua kewajiban dalam bentuk mengeluarkan harta, tidak boleh diserahkan kepada orang yang menjadi tanggungan nafkah pelaku amal

Ulama sepakat bahwa seseorang tidak boleh menyerahkan zakatnya kepada istrinya. Karena memberi nafkah istri menjadi kewajiban suami, sehingga si istri tidak butuh untuk mengambil zakat. Karena itu, tidak boleh menyerahkan zakat kepada istri, sebagaimana ketika zakat itu diserahkan kepada istri sebagai bentuk nafkah baginya.

Kesimpulanya adalah bahwa seorang suami boleh menerima zakat dari isterinya, asalakan si suami adalah termasuk golongan orang yang menerima zakat, sedangkan istri menerima zakat dari suaminya masih ada perbedaan pendapat walau si istri adalah termasuk penerima zakat, karena istri memang wajib di nafkahi oleh si suami.

Referensi :

al Majmu’ syarah Muhadzab juz 6 hal. 192
* (فَرْعٌ)
الْمُكْفَى بِنَفَقَةِ أَبِيهِ أَوْ غَيْرِهِ مِمَّنْ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ وَالْفَقِيرَةُ الَّتِي لَهَا زَوْجٌ غَنِيٌّ يُنْفِقُ عَلَيْهَا هَلْ يُعْطَيَانِ مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ فِيهِ خِلَافٌ مُنْتَشِرٌ ذَكَرَهُ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَلَخَصَّهُ الرَّافِعِيُّ فَقَالَ هُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى مَسْأَلَةٍ وَهِيَ لَوْ وَقَفَ عَلَى فُقَرَاءِ أقاربه أَوْصَى لَهُمْ فَكَانَا فِي أَقَارِبِهِ هَلْ يَسْتَحِقَّانِ سَهْمًا فِي الْوَقْفِ وَالْوَصِيَّةِ فِيهِ أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ (أَصَحُّهَا) لَا يَسْتَحِقَّانِ قَالَهُ الشَّيْخُ أَبُو زَيْدٍ وَالْخُضَرِيُّ وَصَحَّحَهُ الشَّيْخُ أَبُو عَلِيٍّ السِّنْجِيُّ وَغَيْرُهُ
(وَالثَّانِي)
يَسْتَحِقَّانِ قَالَهُ ابْنُ الْحَدَّادِ (وَالثَّالِثُ) يَسْتَحِقُّ الْقَرِيبُ دُونَ الزَّوْجَةِ لِأَنَّهَا تَسْتَحِقُّ عِوَضًا يَثْبُتُ فِي ذِمَّةِ الزَّوْجِ وَيَسْتَقِرُّ قَالَهُ الْأَوْدَنِيُّ (وَالرَّابِعُ) عَكْسُهُ وَالْفَرْقُ أَنَّ الْقَرِيبَ يَلْزَمُهُ كِفَايَتُهُ مِنْ كُلِّ وَجْهٍ حَتَّى الدَّوَاءِ وَأُجْرَةُ الطَّبِيبِ فَانْدَفَعَتْ حاجاته وَالزَّوْجَةُ لَيْسَ لَهَا إلَّا مُقَدَّرٌ وَرُبَّمَا لَا يَكْفِيهَا قَالَ فَأَمَّا مَسْأَلَةُ الزَّكَاةِ فَإِنْ قُلْنَا لَا حَقَّ لَهُمَا فِي الْوَقْفِ وَالْوَصِيَّةِ فَالزَّكَاةُ أَوْلَى وَإِلَّا فَوَجْهَانِ (الْأَصَحُّ) يُعْطَيَانِ كَالْوَقْفِ وَالْوَصِيَّةِ (وَالثَّانِي) لَا وَبِهِ قَالَ ابْنُ الْحَدَّادِ وَالْفَرْقُ أَنَّ الِاسْتِحْقَاقَ فِي الْوَقْفِ بِاسْمِ الْفَقْرِ وَلَا يَزُولُ اسْمُ الْفَقْرِ بِقِيَامِ غَيْرِهِ بِأَمْرِهِ وَفِي الزَّكَاةِ بِالْحَاجَةِ وَلَا حَاجَةَ مَعَ تَوَجُّهِ النَّفَقَةِ فَأَشْبَهَ مَنْ يَكْتَسِبُ كُلَّ يَوْمٍ كِفَايَتَهُ فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ الْأَخْذُ مِنْ الزَّكَاةِ وَإِنْ كَانَ مَعْدُودًا مِنْ الْفُقَرَاءِ وَالْخِلَافُ فِي الْقَرِيبِ إذَا أَعْطَاهُ غَيْرُ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ أَوْ الْمَسَاكِينِ وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُعْطِيَهُ مِنْ غَيْرِهِمَا بِلَا خِلَافٍ (وَأَمَّا) الْمُنْفِقُ فَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُعْطِيَهُ مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ بِلَا خِلَافٍ لِأَنَّهُ مُسْتَغْنٍ بِنَفَقَتِهِ وَلِأَنَّهُ يَدْفَعُ عَنْ نَفْسِهِ النَّفَقَةَ وَلَهُ أَنْ يُعْطِيَهُ مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِ وَالْغَارِمِ وَالْغَازِي وَالْمُكَاتَبِ إذَا كَانَ بِتِلْكَ الصِّفَةِ وَكَذَا مِنْ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ إلَّا أَنْ يَكُونَ فَقِيرًا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهُ لِئَلَّا يُسْقِطَ النَّفَقَةَ عَنْ نَفْسِهِ وَيَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهُ مِنْ سَهْمِ ابْنِ السَّبِيلِ مُؤْنَةَ السَّفَرِ دُونَ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ سَفَرًا وَحَضَرًا لِأَنَّ هَذَا الْقَدْرَ هُوَ الْمُسْتَحَقُّ عَلَيْهِ بِسَبَبِ الْقَرَابَةِ (وَأَمَّا) فِي مَسْأَلَةِ الزَّوْجَةِ فَالْوَجْهَانِ جَارِيَانِ فِي الزَّوْجِ كَغَيْرِهِ
المجموع شرح المهذب

Kemudian bagaimana hukum penjelasannya bila ada sisa pembagian zakat setelah di bagikan kepada ashnaf, yang mana di peruntukan untuk meneruskan pembangunan masjid?

Golongan para penerima zakat itu sudah dijelaskan secara tegas dalam firman Alloh subhanahu wata’ala :

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekaan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Alloh dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Alloh. Dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubat : 60)

Jadi, tidak diperbolehkan memberikan zakat kepada selain 8 golongan (ashnaf tsamaniyah) tersebut.

Hanya saja memang terdapat perbedaan pendapat mengenai masalah pemberian dana zakat untuk masjid. Perbedaan ini berawal dari perbedaan penafsiran mengenai maksud dari “sabilillah” pada ayat tersebut :

Pendapat pertama :

Menyatakan, bahwa maksud dari “sabilillah” adalah orang orang yang sedang berperang, jihad untuk membela agama Alloh dan tidak mendapatkan gaji dari pemerintah, karena itu tidak diperbolehkan memberikan zakat untuk masjid,. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama’ 4 madzhab fiqih, pendapat ini juga merupakan pendapat yang diikuti oleh mayoritas ulama’ kontemporer.

Pendapat kedua :

Menyatakan bahwa maksud dari kata “sabilillah” adalah “sabilil khoir” (jalan kebaikan) artinya, segala macam hal yang yang berkaitan dengan agama itu masuk dalam kategori “sabilillah”, karena itulah diperbolehkan memberikan zakat untuk masjid.

Pendapat ini dituturkan oleh Imam Ar Rozi, dalam kitab tafsirnya, beliau menjelaskan bahwa Imam Quffal dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa sebagian fuqoha’ memperbolehkan memberikan zakat untuk semua kebaikan, seperti mengkafani mayit, membangun benteng dan membangun masjid dengan alasan bahwa kriteria “sabilillah itu mencakup semua hal tersebut, pendapat ini juga dituturkan oleh Imam Al Kasani dalam kitab Bada’ius Shona’i.

Selain itu pendapat ini juga didukung dan difatwakan oleh beberapa ulama’ kontemporer, seperti Sayyid Shodiq Hasan Khon, Syekh jamaluddin Al Qosimi, Syekh Rosyid Ridho, Syekh Mahmud Syaltut dan Syekh Husain Mahluf.

Referensi :

1. Bughyatul Mustarsyidin, Hal : 106

2. Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuh, Juz :3 Hal : 1958 – 1959

3. Tafsir Ar-Rozi, Juz : 16 Hal : 87

4. Tafsir Munir Lisy Syaikh Nawawi

5. Fiqhuz Zakat, Juz : 2 Hal : 102 – 107

Ibarot :

Bughyatul Mustarsyidin, Hal : 106

مسئلة : لا يستحق المسجد شيئا من الزكاة مطلقا لا يجزء صرفها إلا لحر المسلم ليست الزكاة كالوصية

Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuh, Juz : 3 Hal : 1958 – 1959

رابعا ـ هل تعطى الزكاة لغير هذه الأصناف؟ اتفق جماهير فقهاء المذاهب على أنه لا يجوز صرف الزكاة إلى غير من ذكر الله تعالى من بناء المساجد والجسور والقناطر والسقايات وكري الأنهار وإصلاح الطرقات، وتكفين الموتى، وقضاء الدين، والتوسعة على الأضياف، وبناء الأسوار وإعداد وسائل الجهاد، كصناعة السفن الحربية وشراء السلاح، ونحو ذلك من القرب التي لم يذكرها الله تعالى مما لا تمليك فيه؛ لأن الله سبحانه وتعالى قال: {إنما الصدقات للفقراء} [التوبة:60/ 9] وكلمة «إنما» للحصر والإثبات، تثبت المذكور وتنفي ماعداه، فلا يجوز صرف الزكاة إلى هذه الوجوه؛ لأنه لم يوجد التمليك أصلا. لكن فسر الكاساني في البدائع سبيل الله. بجميع القرب، فيدخل فيه كل من سعى في طاعة الله وسبيل الخيرات إذا كان محتاجا؛ لأن «في سبيل الله» عام في الملك، أي يشمل عمارة المساجد ونحوها مما ذكر، وفسر بعض الحنفية «سبيل الله بطلب العلم ولو كان الطالب غنيا». قال أنس والحسن: «ما أعطيت في الجسور والطرق، فهي صدقة ماضية». وقال مالك: سبل الله كثيرة، ولكني لا أعلم خلافا في أن المراد بسبيل الله ههنا الغزو

Tafsir Ar-Rozi, Juz : 16 Hal : 87

الصنف السابع: قوله تعالى: وفي سبيل الله قال المفسرون: يعني الغزاة. قال الشافعي رحمه الله: يجوز له أن يأخذ من مال الزكاة وإن كان غنيا وهو مذهب مالك وإسحاق وأبي عبيد. وقال أبو حنيفة وصاحباه رحمهم الله: لا يعطى الغازي إلا إذا كان محتاجا. واعلم أن ظاهر اللفظ في قوله: وفي سبيل الله لا يوجب القصر على كل الغزاة، فلهذا المعنى نقل القفال في «تفسيره» عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد، لأن قوله: وفي سبيل الله عام في الكل

Tafsir Munir Lisy-Syaikh Nawawi

فى سبيل الله) ويجوز للغازى ان يأخذ من مال الزكاة وإن كان غنيا كما هو مذهب الشافعية ومالك واسحق وقال أبو حنيفة وصاحباه لا يعطى إلا إذا كان محتاجا ونقل القفال عن بعض الفقهاء أنهم اجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المسجد لان قوله تعالى فى سبيل الله عام فى الكل

Fiqhuz Zakat, Juz : 2 Hal : 102 – 107

ومن العلماء – قديما وحديثا – من توسع في معنى “سبيل الله” فلم يقصره على الجهاد وما يتعلق به، بل فسره بما يشمل سائر المصالح والقربات وأعمال الخير والبر، وفقا للمدلول الأصلي للكلمة وضعا ما نقله القفال عن بعض الفقهاء: من ذلك ما نبه عليه الإمام الرازي في تفسيره حيث ذكر: أن ظاهر اللفظ في قوله تعالى: (وفي سبيل الله) لا يوجب القصر على الغزاة. ثم قال: فلهذا المعنى نقل القفال في تفسيره عن بعض الفقهاء: أنها أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير: من تكفين الموتى، وبناء الحصون، وعمارة المساجد؛ لأن قوله: (وفي سبيل الله) عام في الكل (تفسير الفخر الرازي 16/113 )أ.هـ. – إلى أن قال

رأي صاحب الروضة الندية وفي الروضة الندية للسيد صديق حسن خان، وهو على مذهب أهل الحديث المستقلين قال: “أما سبيل الله، فالمراد هنا: الطريق إليه عز وجل، والجهاد – وإن كان أعظم الطرق إلى الله عز وجل – لكن لا دليل على اختصاص هذا السهم به. بل يصح صرف ذلك في كل ما كان طريقا إلى الله عز وجل. هذا معنى الآية لغة، والواجب الوقوف على المعاني اللغوية حيث لم يصح النقل هنا شرعا، ثم قال: ومن جملة “سبيل الله” الصرف في العلماء الذين يقومون بمصالح المسلمين الدينية، فإن لهم في مال الله نصيبا، سواء أكانوا أغنياء أو فقراء. بل الصرف في هذه الجهة من أهم الأمور؛ لأن العلماء ورثة الأنبياء وحملة الدين. وبهم تحفظ بيضة الإسلام، وشريعة سيد الأنام” أهـ (الروضة الندية: 1/206 – 207

آراء المحدثين – القاسمي ذكر الشيخ جمال الدين القاسمي – رحمه الله – في تفسيره ما ذكره الرازي من أن ظاهر اللفظ لا يوجب القصر على الغزاة، وما نقله القفال عن بعض الفقهاء في ذلك، ثم ذكر قول صاحب “التاج”: “كل سبيل أريد به الله عز وجل – وهو بر – داخل في سبيل الله” (محاسن التأويل: 7/3181 ). وسكت عن هذه النقول، ولم يعقب عليها، وهو يوحي بموافقة ضمنية، أو بعدم الاعتراض

رأي رشيد رضا وشلتوت

أما السيد رشيد رضا – صاحب المنار – رحمة الله. فقد قال في تفسير آية المصارف ما نصه: “التحقيق أن سبيل الله هنا: مصالح المسلمين العامة التي بها قوام أمر الدين والدولة دون الأفراد. وأن حج الأفراد ليس منها؛ لأنه واجب على المستطيع دون غيره، وهو من الفرائض العينية بشرطه كالصلاة والصيام، لا من المصالح الدينية الدولية … ولكن شعيرة الحج وإقامة الأمة لها منها، فيجوز الصرف من هذا السهم على تأمين طرق الحج وتوفير الماء والغذاء وأسباب الصحة للحجاج، إن لم يوجد لذلك مصرف آخر (تفسير المنار: 1/585 – الطبعة الثانية). وذكر صاحب المنار – بعد ذلك بقليل (المصدر السابق ص 587) – أن سبيل الله يشمل سائر المصالح الشرعية العامة التي هي ملاك أمر الدين والدولة. وأوليها وأولها بالتقديم الاستعداد للحرب، لشراء السلاح، وأغذية الجند، وأدوات النقل، وتجهيز الغزاة ( وهذا بالنسبة للحرب الإسلامية والجيوش الإسلامية التي تقاتل لإعلاء كلمة الله فحسب)، وتقدم مثله عن محمد بن عبد الحكم، ولكن الذي يجهز به الغازي يعود بعد الحرب إلى بيت المال إن كان مما يبقى كالسلاح والخيل وغير ذلك؛ لأنه لا يملكه دائما بصفة الغزو التي قامت به، بل يستعمله في سبيل الله، ويبقى بعد زوال تلك الصفة عنه في سبيل الله، ويدخل في عمومه إنشاء المستشفيات العسكرية، وكذا الخيرية العامة، وإشراع الطرق وتعبيدها، ومد الخطوط الحديدية العسكرية – لا التجارية – ومنها بناء البوارج المدرعة والمطارات الحربية والحصون والخنادق، ومن أهم ما ينفق في سبيل الله في زماننا هذا إعداد الدعاة إلى الإسلام، وإرسالهم إلى بلاد الكفار من قبل جمعيات منظمة تمدهم بالمال الكافي كما يفعله الكفار في تبشير دينهم. وقد بينا تفصيل هذه المصلحة العظيمة في تفسير قوله تعالى: (ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير) (آل عمران: 104) أ.هـ

وكذا فسر الشيخ محمود شلتوت -رحمه الله- “سبيل الله” بأنه: “المصالح العامة التي لا ملك فيها لأحد، والتي لا يختص بالانتفاع بها أحد، فملكها لله، ومنفعتها لخلق الله، وأولاها وأحقها: التكوين الحربي الذي ترد به الأمة البغي، وتحفظ الكرامة، ويشمل العدد والعدة على أحدث المخترعات البشرية، ويشمل المستشفيات عسكرية ومدنية، ويشمل تعبيد الطرق، ومد الخطوط الحديدية، وغير ذلك، مما يعرفه أهل الحرب والميدان. ويشمل الإعداد القوي الناضج لدعاة إسلاميين يظهرون جمال الإسلام وسماحته، ويفسرون حكمته، ويبلغون أحكامه، ويتعقبون مهاجمة الخصوم لمبادئه بما يرد كيدهم إلى نحورهم. “وكذلك يشمل العمل على دوام الوسائل التي يستمر بها حفظة القرآن الذين تواتر – ويتواتر – بهم نقله كما أنزل، من عهد وحيه إلى اليوم، وإلى يوم الدين إن شاء الله” أ.هـ. (الإسلام عقيدة وشريعة ص 97 – 98، طبع الأزهر). وهو تأييد لما ذهب إليه صاحب المنار رحمه الله

وعلى هذا الأساس أفتى من سأله عن جواز صرف الزكاة في بناء المساجد فكان جوابه: “إن المسجد الذي يراد إنشاؤه أو تعميره إذا كان هو المسجد الوحيد في القرية. أو كان بها غيره ولكن يضيق بأهلها، ويحتاجون إلى مسجد آخر، صح شرعا صرف الزكاة لبناء هذا المسجد أو إصلاحه، والصرف على المسجد في تلك الحالة يكون من المصرف الذي ذكر في آية المصارف الواردة في سورة التوبة باسم “سبيل الله” . وهذا مبني على اختيار أن المقصود بكلمة ” سبيل الله” المصالح العامة، التي ينتفع بها المسلمون كافة، ولا تخص واحدا بعينه، فتشمل المساجد والمستشفيات ودور التعليم ومصانع الحديد والذخيرة وما إليها، مما يعود نفعه على الجماعة. وأحب أن أقرر هنا أن المسألة محل خلاف بين العلماء (ثم ذكر الشيخ، ما نقله الرازي في تفسيره عن القفال من صرف الصدقات في جميع وجوه الخير … ) إلى أن قال: ” وهذا ما أختاره وأطمئن إليه وأفتي به، ولكن مع القيد الذي ذكرناه بالنسبة للمساجد، وهو أن يكون المسجد لا يغني عنه غيره، وإلا كان الصرف إلى غير المسجد أولى وأحق” أ هـ (الفتاوى للشيخ شلتوت ص 219 – طبع الأزهر

فتوى مخلوف وسئل الشيخ حسنين مخلوف مفتي الديار المصرية الأسبق عن جواز الدفع لبعض الجمعيات الخيرية الإسلامية من الزكاة. فأفتى بالجواز، مستندا إلى ما نقله الرازي عن القفال وغيره في معنى “سبيل الله” (انظر: فتاوى شرعية للشيخ مخلوف الجزء الثاني

 

Leave your comment here: