TINJAUAN ZAKAT FITRAH DI SEKOLAH SEKOLAH KITA MENURUT FIQH
Sebagai wujud partisipasi terhadap terselenggaranya zakat fitrah secara optimal, melalui kepanitiaan yang di bentuk berbagai lembaga, di antaranya lembaga sekolah menawarkan jasa pengumpulan dan pendistribusian zakat fitrah dari siswa kepada pihak pihak yang menerima zakat fitrah.
Meski dengan tujuan yang sangat mulia, namun dalam realisasinya sering kali di jumpai kejanggalan kejanggalan yang perlu mendapat perhatian dan kajian lebih dalam, di antaranya :
Agar program yang di canangkanberjalan optimal, pihak sekolah mewajibkan siswanya menyalurkan zakat fitarah melalui kepanitiaan di sekolah. Berbagai sangksi telah di siapkan untuk menganjar siswa yang tidak mengindahkan aturan ini.
Para sisiwa di anjurkan untuk membayar dalam bentuk uang, bukan beras.
Terkadang zakat fitrah tersebut di distribusikan untuk kepentingan sekolah, semacam untuk membayar guru, karyawan, pembangunan gedung dan lainya.
Terkadang pengumpulanya di lakukan sebelum romadlon.
Sebenarnya bisakah panitia zakat di sekolah di sebut sebagai amil zakat? Serta bagaimana hukum memeberikan sanksi terhadap siswa yang tidak mau menyerahkan zakatnya kepada sekolah?
Salah satu ayat yang menerangkan persoalan seputar zakat adalah :
إنما الصدقات اافقراء والمساكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب والغارمين وفي سبيل الله وابن السبيل فريضة من الله والله عليم حكيم
“Sesungguhnya zakat zakat itu hanyalah untuk orang orang fakir, orang orang miskin, pengurus zakat, para mu’alaf yang di bujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Alloh, dan utnu mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketatepan yang di wajibkan Alloh, dan Alloh maha mengetahui lagi maha bijaksana”.(QS at Taubah : 60).
Dalam kitab kitab fiqh, amil zakat yang tertera dalam firman Alloh di atas, di definisikan sebagai orang atau lembaga yang mendapat mandat atau rekomendasi dari Imam(atau penggantinya) untuk menangani zakat. Dari definisi di atas, istilah Amil meliputi petugas penarik zakat, pembagi, atau sekedar petugas pencatat setelah mendapat mandat dari imam. Selain berhak mendapat bagian dari zakat mereka juga memiliki wewenang penuh untuk mengalokasikan zakat kepada para penerima zakat selain mereka. Dalam perundang undangan di Indonesia, tercatat bahwa wewenang penanganan zakat pada fase terbawah di bebankan kepada camat, sedangkan kades dan kadus belum memiliki wewenang ini.
Dengan demikian, badan amil zakat yang sah adalah orang atau kepanitiaan zakat yang mendapatkan mandat atau rekomendasi dari canmat. Namun, perlu di perhatikan bahwa amil zakat haruslah orang yang adil dan mengerti ketentuan dan persyaratan yang terkait dengan pembayaran zakat. Hal ini bertujuan agar tidak di khawatirkan terjadi penyelewenangan atau kesalahan dalam pengalokasian zakat.
Sedangkan mengenai kebijakan pihak sekolah yang menerapkan hukum dan sanksi kepada siswa yang tidak mengindahkan peraturan, secara fiqh hal tersebut dapat di benarkan. Sebab, kebijakan tersebut di terapkan atas pertimabangan kebaikan siswa dalam rangka pembelajaran. Karenanya kebijakan ini selaras dengan prinsip dasar seorang pemimpin yan harus bertindak atas dasar maslahat.
Kaidah fiqh menyebutkan :
تَصَرَّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kinerja imam terhadap rakyat di dasarkan atas kemaslahatan”.
Kesimpulan :
Panitia zakat yang di bentuk lembaga sekolah dapat di sebut amil jika mendapat rekomendasi dari camat atau badan pemerintahan yang memiliki wewenang menangani persoalan zakat.
Sedangkan mengenai kebijakan pihak sekolah dalam persoalan ini dapat di benarkan, karena bertujuan untuk menanamkan kepedulian siswa kepada ajaran agama.
Referensi :
I’anatuth Tholibin juz 2 hal. 77
Hasyiyah al Jamal juz 4 hal. 97 dan juz 5 hal. 165
Hasyiyah Bujairomi alal Manhaj Juz 3 hal. 318
Tuhfatul Muhtaj juz 3 hal. 344 – 345