ZAKAT FITRAH KAITANYA DENGAN PERBEDAAN HARI RAYA
Akhir akhir ini di indonesia, entah karena apa, sering kali terjadi perbedaaan penetapan hari raya idul fitri, meski hanya persoalan penanggalan, namun hal ini merupakan hal yang sangat penting terkait dengan ibadah puasa romadlon dan waktu pembayaran zakat.
Bagi sebagian muslim yang tidak memiliki perhatian lebih terhadap prosesi ibadah, sering kali mereka meremehkan persoalan ini, dengan hanya berpuasa 29 hari(mengikuti versi hari raya yang paling awal) dan membayar zakat pada hari setelahnya(mengikuti hari raya yang akhir).
Menurut yurisprudensi fiqh, apakah pembayaran zakat dengan cara demikian bisa di benarkan?
Zakat fitrah di wajibkan pada tahun ke 2 Hijriyyah bersamaan dengan di wajibkanya puasa romadlon. Salah satu hikmah pelaksanaan zakat fitrah adalah sebagai penyempurnaan ibadah puasa, bahkan bisa di bilang sebagai kunci di terimanya ibadah puasa romadlon. Hal ini sebagaimana sabda Rosululloh saw :
صِيَامُ الرًّجُلِ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى يؤَدِّى صَدَقَةَ الْفِطْرِ
“Puasa seseorang di gantungkan di antara langit dan bumi sehingga ia menyerahkan sedekah fitri(zakat fitrah”.(HR. Ad Dailami)
Kewajiban zakat fitrah di dasarkan pada Ijma’ ulama yang berorientasi pada hadits Nabi saw :
فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِصَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَي الْعَبْدِ و الْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدِّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ اِلَى الصَّلَاةِ
“Rosululloh menfardlukan zakat fitri berupa satu Sho’ kurma atau satu Sho’ gandum bagi hamba, orang merdeka, laki laki, perempuan, anak anak, orang dewasa dari orang orang islam, dan baginda Nabi memerintahkanya untuk di keluarkan sebelum manusia berangkat menunaikan sholat ied”.(HR Bukhori).
Teks hadits Rosul yang hanya menyebutkan kurma dan gandum sebagai alat pembayaran zakat fitrah, di kembangkan oleh para Mujtahid dengan metode Qiyas, bahwa alat pembayaran zakat adalah setiap bahan makanan pokok. Sehingga budaya dan kultur masyarakat sangat berpengaruh pada penentuan jenis makanan untuk pembayaran zakat fitrah.
Hadits di atas selain menjelaskan media pembayaran zakat fitrah berupa makanan pokok, juga menjelaskan waktu pelaksanaanya.
Menurut catatan para ulama dalam karya karya KITAB klasik, waktu pelaksanaan zakat fitrah terbagi menjadi lima, Yakni :
1. Waktu wajib.
Yaitu, ketika menemui bulan Roamadlon dan menemui sebagian awalnya bulan Syawwal. Oleh sebab itu orang yang meninggal setelah maghribnya malam 1 Syawwal, wajib dizakati. Sedangkan bayi yang lahir setelah maghribnya malam 1 Syawwal tidak wajib dizakati.
2. Waktu jawaz(boleh).
Yaitu, sejak awalnya bulan Romadlon sampai memasuki waktu wajib.
3. Waktu Afdlol(utama).
Yaitu, setelah terbit fajar dan sebelum sholat hari raya. (sebagaimana termaktub dalam hadits di atas)
4. Waktu makruh.
Yaitu, setelah sholat hari raya sampai menjelang tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawwal.
(Kecuali jika ada udzur seperti menanti kerabat atau orang yang lebih membutuhkan, maka hukumnya tidak makruh).
5. Waktu haram.
Yaitu, setelah tenggelamnya matahari tanggal 1 Syawwal.
(Kecuali jika ada udzur seperti hartanya tidak ada ditempat tersebut atau menunggu orang yang berhak menerima zakat, maka hukumnya tidak haram. Sedangkan status dari zakat yang dikeluarkan tanggal 1 Syawwal adalah qodlo’).
Dalam fenomena perbedaan penetapan(Itsbat) hari raya, telah di rumuskan, bahwa seseorang di perbolehkan mengikuti ketetapan yang mana saja, asalkan dapat di pertanggungjawabkan. Baik istbat dengan ru’yat atau dengan hisab harus mengikuti syarat dan ketentuan yang berlaku. walaupun yang lebih utama sebenarnya adalah mengikuti pemerintah.
Ketika seseorang telah menentukan pilihan mengikuti salah satu itsbat dan meyakininya(atau menduga kebenaranya) maka segala konsekwensi hukum ibadah yang terkait adalah di sesuaikan denganya.
Sebab konsep dasar dalam ibadah berorientasi pada dugaan kuat(Dzon) seseorang. Ungkapan kaidah fiqh menyatakan :
الإعتبار في العبادات بما في الظن المكلف و تما في نفس الأمر و في العقود بما في نفس الأمر فقط
“Pertimbangan dalam ibadah terkait erat pada dugaan seorang mukallaf dan realita kejadian. Sedangkan dalam transaksi hanya terkait pada realita kejadian saja’.
Dengan demikian, tindakan sesorang muslim dalam membayar zakat seperti fenomena di atas tidak dapat di benarkan. Sebab dengan meyakini kebenaran Itsba hari raya yang lebih awal berarti ia mengakhirkan zakat hingga waktu haram.
Meski demikian, pembayaran zakat harus tetap di lakukan dan tergolong qodlo.
Meski demikian, ada pendapat yang di kutip oleh Imam Ibnul Mundzir dari Imam Ibnu Sirrin dan Imam An Nakho’i, yang memperbolehkan pembayaran zakat fitrah setelah lewatnya hari raya.
Kesimpulan :
Pembayaran zakat fitrah seperti pada fenomena di atas tidak dapat di benarkan menurut fiqh, sebab termasuk mengakhirkan pembayaran zakat sampai waktu haram(setelah lewat hari raya), namun menurut kutipan Imam Ibnul Mundzir dari Ibnu Sirrin dan Imam An Nakho’i, cara yang demikian masih bisa di benarkan, karena menurut mereka pembayaran zakat boleh di lakukan setelah lewatnya hari raya.
Referensi :
Al Majmu’ syarah Muhadzab juz 6 hal. 142
Syarwani juz 3 hal. 308
Muahibah juz 4 hal. 73
Hasyiyah al Bujairomi alal Manhaj juz 2 hal. 277